BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - ANALISIS INTENSIFIKASI PENGAWASAN PEMBAYARAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DALAM UPAYA PENINGKATAN KEPATUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JEPARA - UNISNU Repository

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Dalam suasana negara yang masih diliputi oleh sisa-sisa keterpurukan ekonomi beban yang dipikul pemerintah saat ini masih berat. Untuk membiayai pembangunan nasional pemerintah tidak dapat hanya tergantung pada hutang luar negeri dengan tingkat suku bunga yang tidak rendah ataupun dari sumber daya alam yang semakin lama semakin menipis. Harapan pemerintah salah satunya yang dapat diandalkan untuk membiayai pembangunan nasional adalah penerimaan dari sektor pajak.

  Bukti penerimaan dari sektor pajak saat ini masih diharapkan sebagai sumber utama penerimaan negara dapat kita lihat dari anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2001 dan tahun 2000, betapa mendominasinya, penerimaan dari sektor pajak dibanding dengan sumber penerimaan lainnya. Namun disisi lain masih sangat rendahnya tingkat tax

  

ratio terhadap produk domestik bruto yang dicapai pemerintah dibanding

  dengan negara-negara lain. Oleh karena itu penggalian dari sektor perpajakan ini diupayakan seoptimal dan semaksimal mungkin misalnya dengan ekstensifikasi pajak (menambah jumlah wajib pajak) dan intensifikasi pajak (mengaktifkan atau menggali potensi pajak dari wajib

  Kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam upaya peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak.

  Dengan demikian pengkajian terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak sangat perlu mendapatkan perhatian, dimana salah satu cara yang dilakukan dalam upaya meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar pajaknya ditempuh melalui intensifikasi pengawasan pembayaran masa atas pajak sebagai kewajibannya. Sehubungan dalam hal itu, maka perlu adanya pengawasan terhadap masa pajak dalam upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dengan menerapkan langkah-langkah yang strategis dalam meningkatkan kepatuhan (law enforcement) sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan.

  Mekanisme intensifikasi pengawasan masa pajak dilakukan dengan tujuan menumbuhkan kepatuhan wajib pajak yang merupakan serangkaian kegiatan dalam satu proses secara terpadu, yang ditempuh dengan cara mengelola potensi pajak yang telah berhasil dibina dengan tertib, efisiensi dan berkesinambungan. Pada dasarnya kegiatan intensifikasi yang dilakukan kantor pelayanan pajak memiliki maksud agar dapat memenuhi target penerimaan pajak yang telah ditentukan oleh pemerintah. Maka upaya yang ditempuh kantor pelayanan pajak dalam memenuhi target tersebut adalah dengan meningkatkan mutu pelaksanaan pengawasan atas masyarakat agar mampu, sadar dan jujur dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

  Selain itu peningkatan mutu intensifikasi dapat juga berupa peningkatan kegiatan pemeriksaan oleh fiskus, melalui peningkatan kegiatan pemeriksaan lapangan (field audit) maupun pemeriksaan kantor (room audit), selain itu peningkatan kepatuhan wajib pajak perlu didukung dengan law enforcement yang berupa sanksi hukum secara konsisten.

  Diberlakukannya sanksi dalam perpajakan, yang berupa sanksi administrasi maupun sanksi pidana akan “memaksa” masyarakat untuk memenuhi peraturan yang ada. Disamping itu, upaya administrasi juga dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kerapian terhadap berkas- berkas yang penting bagi pengawasan pembayaran masa wajib pajak. Sedangkan peningkatan atau pemenuhan target dapat dititikberatkan pada perbaikan dan penyempurnaan fiskus untuk diarahkan pada pembentukan profesionalisme dan peningkatan moral.

  Sementara itu pedoman kerja juga harus direnovasi kembali, dan para pemimpin juga harus sering terjun kebawah untuk melihat sendiri kondisi yang sesungguhnya terjadi dilapangan, sehingga berbagai pedoman kerja yang diterapkan memperhitungkan berbagai hambatan yang ada. Sehingga akan mampu menciptakan suatu sistem yang tepat dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak perpajakannya baik itu dalam hal membayar, tidak melapor SPT masa maupun SPT tahunan. Sehingga salah satu pencerminan dalam hal wajib pajak tidak membayar pajaknya adalah semakin besarnya tunggakan pajak dari waktu ke waktu. Akibat yang ditimbulkan dari kurangnya tingkat kepatuhan wajib pajak akan berdampak pada naiknya jumlah tunggakan pajak dan masih belum diimbangi dengan kegiatan pencairannya, sehingga salah satu upaya dalam rangka mengantisipasi permasalahan tersebut adalah dengan kegiatan intensifikasi pengawasan pambayaran masa pajak PPh pasal 21.

  Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diatas maka skripsi ini penulis beri judul “ANALISIS

  INTENSIFIKASI PENGAWASAN PEMBAYARAN MASA PAJAK PENGHASILAN

PASAL 21 DALAM UPAYA PENINGKATAN KEPATUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA JEPARA”.

1.2. Ruang Lingkup

  Berdasarkan pertimbangan, maksud dan perhatian penulis dan kemungkinan tersedianya data serta nantinya agar masalah tidak melebar dari masalah yang akan dibahas, maka penulis membatasi ruang lingkup masalah sebagai berikut ini.

  1.2.2. Penelitian ini dibatasi pada intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak PPh pasal 21 yang meliputi pemberian surat teguran, pemeriksaan, surat tagihan pajak dan kegiatan penyuluhan.

1.3. Perumusan Masalah

  Berpijak pada uraian latar belakang tersebut, terdapat permasalahan yang menyebabkan terjadinya ketidakpatuhan wajib pajak dalam melaporkan kewajiban pajaknya antara lain: (a) ketidaktahuan kewajiban pajaknya; (b) terjadi force major (bencana alam, meninggal); (c) Character dari wajib pajak yang jelek, sehingga menyebabkan tindakan tidak patuh yang pada akhirnya dapat mengganggu kelancaran penerimaan pajak.

  Sehubungan dengan permasalahan tersebut, pertanyaan peneliti dapat dirumuskan sebagai berikut ini.

  1.3.1. Apa pengaruh antara intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak ditinjau dari Surat Teguran, Pemeriksaan dan Surat Tagihan Pajak (STP) terhadap kepatuhan wajib pajak penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara ?

  1.3.2. Apa kendala dan upaya yang dihadapi dalam melakukan penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara ?

  1.4. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

  1.4.1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh antara intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak ditinjau dari pemberian Surat Teguran, Pemeriksaan dan Surat Tagihan Pajak (STP) secara parsial dan berganda terhadap kepatuhan wajib pajak penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara.

  1.4.2. Untuk mendiskripsikan kendala-kendala dan upaya apa saja yang dihadapi dalam melakukan tindakan intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara.

  1.5. Kegunaan Penelitian

  Manfaat dari penelitian ini dapat disampaikan sebagai berikut :

  1.5.1. Sebagai sumbangan dan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan bidang-bidang perpajakan.

  1.5.2. Sebagai wacana khususnya Kantor Pelayanan Pajak Pratama

1.6. Sistematika Penulisan

  Dalam penulisan skripsi ini, dibagi dalam lima BAB yaitu :

  BAB I : PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan.

  BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas mengenai landasan teori mengenai perpajakan yang meliputi : Pengertian pajak, asas – asas hukum pajak, sistem perpajakan di Indonesia, kebijakan perpajakan, dasar pungutan pajak, pajak – pajak yang dikelola Kantor Pelayanan Pajak, pengertian intensifikasi pajak, istilah perpajakan dan pajak penghasilan pasal 21.

  BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini akan membahas metode penelitian berupa definisi operasional variabel, jenis data yang diperoleh, metode pengolahan data dan metode analisis data.

  BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini akan membahas uraian dekripsi obyek penelitian, analisis data dan pembahasan. BAB V : PENUTUP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pajak

  Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa adanya kontra prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. (Mardiasmo, 2008).

  Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) degan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Rohmat Soemitra, 2008).

  Dilihat dari pengertian diatas, ada empat unsur pembentuk pengertian pajak yang utama, yaitu : (Rohmat Soemitra, 2008).

  a) Iuran dari rakyat kepada negara.

  b) Berdasarkan undang-undang.

  c) Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk.

  d) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

2.2. Azas-azas Hukum Pajak

  Dalam menyusun undang-undang, peraturan dan kebijakan perpajakan ada tiga hal pokok yang menjadi landasan dasar yang lazim azas-azas hukum pajak. Tiga hal pokok ini adalah :

  2.2.1. Kesederhanaan (Simplicity) Perundang-undangan

  Sebelum reformasi pajak pada tahun 1983 berlaku ordonansi pajak pendapatan 1941 dan 1932, ordonansi perseroan 1925 dan ordonansi pajak upah 1934 yang kemudian dihapuskan dan semua dimaksudkan dalam undang-undang pajak penghasilan 1983. Menyatukan ketiga ordonansi tersebut kedalam satu bentuk sangatlah tidak mudah, tetapi demi kepentingan kesederhanaan hal ini harus juga dilakukan.

  Azas kesederhanaan mensyaratkan undang-undang dapat mudah dimengerti oleh wajib pajak, dan mudah untuk diubah dan atau diperbaharui sesuai dengan perkembangan perekonomian dan perdagangan yang cepat.

  2.2.2. Azas Keadilan (Equity) Perundang-undangan

  Azas keadilan ini mensyaratkan bahwa dibidang perpajakan disamping disusun dengan sederhana juga memenuhi rasa keadilan bagi tiap wajib pajak.

  2.2.3. Azas Kepastian Hukum (Certainly) peraturan tertinggi yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai ketatanegaraan dan hak serta kewajiban warga negara termasuk pajak. Pajak hanya dapat dipungut dengan undang-undang.

  Tingkat kepatuhan wajib pajak memegang peranan penting dalam menentukan tingkat realisasi penerimaan pajak, karena sistem self assesment yang diterapkan saat ini memberikan kebebasan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri. Tingkat kepatuhan yang tinggi mendorong kebijakan dan rencana pembangunan yang disusun dapat berjalan dengan baik.

  Janji pemerintah meningkatkan tax ratio lima tahun kedepan sebesar 16% yang disampaikan oleh menteri keuangan Republik Indonesia, membawa tantangan sendiri bagi efektifitas penerapan self assessment, karena banyak kalangan juga menghubungkan indikator kepatuhan wajib pajak di suatu Negara dengan tax ratio-nya.

  Dibanding dengan Negara ASEAN dan Asia lainnya pada tahun 1997. Indonesia memiliki tax ratio yaitu 11,4%.

  Sementara Filipina (16.3%), Korea Selatan (16,7%), Jepang

  Tingkat kepatuhan wajib pajak sulit diukur, tetap dapat dilihat dari indikasi-indikasi tertentu. Indikasi (yang akan diteliti) pelaksanaan self Assesmant dikatakan baik bila tingkat kepatuhan wajib pajak tinggi. Tinggi rendahnya kepatuhan dilihat dari:

  a) Tingginya persentase wajib pajak yang terdaftar dan aktif, (tingkat diterima kembali surat pemberitahuan (SPT) Tahunan, realisasi jumlah terdaftar). Dalam bahasan ini diajukan asumsi secara umum terhadap statistik kasar potensi pajak dengan tax ratio di Indonesia.

  b) Tingkat realisasi penerimaan dibanding rencana (persentase, dimana sekian % kepatuhan mempengaruhi sekian rupiah penerimaan Negara).

  c) Jumlah pemeriksaan yang semakin sedikit (% dari jumlah wajib pajak). Tinggat kepatuhan pengisian SPT secara benar.

2.3. Sistem Perpajakan di Indonesia

  Sejak zaman kolonialisme hingga tahun 1967, undang-undang yang dipakai di Indonesia (Hindia Belanda sebelum tahun 1954) adalah

  Pemungutan pajak di Indonesia dengan instrument hukum dari kolonial dirasakan sebagai beban oleh masyarakat, disamping banyaknya jenis Undang-undang dimaksud dengan struktur tarif, beragam jenis- jenis pajak yang diatur serta suasana kolonial yang mendasari undang- undang pajak tersebut. Walaupun masa-masa berikutnya aturan mengenai perpajakan tersebut telah mengalami beberapa perubahan nomor 11 tahun 1967 yang mengatur mengenai tata cara pengenaan pajak atas penghasilan terutama berupa laba usaha. Namun perubahan tersebut belum menjawab secara fundamental akan tuntutan nasional tentang perlunya seperangkat peraturan perundang-undangan yang sesuai falsafah Negara (Reformasi Perpajakan Indonesia, kumpulan tulisan. 1995).

  Sistem pajak hingga tahun 1967, dilakukan dengan menghitung pajak sementara dan menghitung pajak akhir/rangkum. Perhitungan pajak sementara dilakukan oleh fiskus tanpa adanya campur tangan dari wajib pajak dan ditetapkan jumlah pajak yang terhutang sementara.

  Dalam menghitung pajak akhir / rangkum ada dua aturan yaitu: Bila wajib pajak memahai kewajiban memasukkan pemberitahuan, maka perhitungan dilakukan oleh fiskus bersama dengan wajib pajak. Wajib pajak yang tidak memahami dan mematuhi kewajiban, maka fiskuslah yang menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang terutang maka saat

  Pada tanggal 26 agustus 1967 terjadi perubahan dalam tata cara pemungutan pajak atas tiga ordonansi yang masih berlaku. Mulai saat itu diperkenalkan system MPS dan MPO atau menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang lain.

  Pada tahun 1983, disahkan paket undang-undang perpajakan yaitu UU Nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (UU KUP), UU nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan (UU PPh), dan UU nomor 8 tahun 1983 tentang pajak prttambahan nilai barang dan jasa pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM).

  Perubahan undang-undang perpajakan tersebut dikenal dengan “Tax Reform”, karena paket undang-undang tersebut telah mengubah secara total system dan mekanisme pemungutan pajak colonial, khususnya perubahan dari Official assessment menjadi self assessment.

  Perubahan system yang sangat mendasar inilah yang menjadi prinsip system pemungutan pajak, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Melalui system ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan lebih adil, sederhana dan mudah dipahami oleh anggota

  2.4. Kebijakan perpajakan

  Kebijakan pajak atau fiskal policy berarti penggunaan perbuatan dan tindakan pemerintah tertentu yang ditujukan kepada perkembangan dan stabilitas ekonomi. Dan yang menjadi alat untuk melaksanakan fiscal policy adalah berupa: a) Penerimaan-penerimaan negara sebagai hasil sumber- sumber pendapatan negara, terutama pajak-pajak.

  b) Pengeluaran-pengeluaran (expenditures)

  c) Kredit (debt. Management) Untuk melaksakan kebijakan fiskal yang baik ketiga-tiganya unsur ini harus dikoordinasikan dan diintegrasikan dengan pengawasan keuangan dan pengawasan kredit. (Moh. Zain, 2001).

  2.5. Dasar Pungutan Pajak

  Pajak sebagai sumber penerimaan pemerintah dalam melaksanakannya diatur oleh undang-undang. Dengan perkembangannya tata cara pungutan pajak yang dibebankan kepada masyarakat, maka Undang-undang pajak juga mengalami perubahan dari Undang-undang lama menjadi Undang-undang baru sebagai berikut :

2.5.1. Undang-Undang Pajak yang Lama

  undang perpajakan untuk memenuhi kepentingan kas Negara ;

  b) Tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintah seperti yang tercermin dalam tata cara penetapan pajak yang keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan ;

  c) Pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan, hal mana mengakibatkan anggota masyarakat wajib pajak kurang mendapat pembinaan dan pambimbingan terhadap kewajiban perpajakannya dan kurang ikut berperan serta dalam memikul beban Negara dalam mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional. (Moh. Zain, dan Kustadi arinta, 2001).

2.5.2. Undang-Undang Pajak Yang Baru

  a) Bahwa pemungutan pajak merupakan pengabdian kewajiban dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara b) Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan wajib pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan ; c) Anggota masyarakat wajib pajak deberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui system menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self assessment). Sehingga melalui system pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak (Moh. Zain, dan Kustadi arinta, 2001).

2.6. Pajak-pajak yang dikelola Kantor Pelayanan Pajak

2.6.1. Pajak penghasilan pasal 25 dan PPh pasal 25/29

2.6.1.1. Pajak PPh pasal 25

  PPh pasal 25 merupakan besaran pajak, dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan dimana perhitungannya adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan tahun pajak lalu dikurangi dengan pajak penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Ada dua macam PPh pasal 25, yaitu :

  a. PPh pasal 25 orang pribadi Pajak penghasilan orang pribadi adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak b. PPh pasal 25 Badan Yang dimaksud pajak penghasilan badan menurut Undang-undang nomor : 17 tahun 2000 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan bentuk badan lainnya.

2.6.1.2. Pajak PPh pasal 29

  PPh pasal 29 adalah jenis PPh yang dibayar oleh orang pribadi atau badan setelah seluruh PPh dalam satu tahun pajak selesai diperhitungkan, PPh pasal 29 ini ada, apabila pada akhir tahun ternyata masih ada PPh yang kurang atau masih harus dibayar, dimana PPh yang terutang lebih besar dari pada PPh yang telah dibayar pada satu tahun pajak.

2.6.2 Pajak Partambahan Nilai

  kena pajak di dalam daerah pabean seperti yang dijelaskan dalam undang-undang pajak.

2.6.3. Pajak Penghasilan Pemotongan / Pungutan oleh pihak Lain

a. Pajak penghasilan pasal 21

  Pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak atas gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi (karyawan). PPh pasal 21 merupakan besaran pajak dalam tahun berjalan yang harus dipotong dan disetor oleh pemberi kerja untuk setiap bulan dimana dasar perhitungannya adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan sebesar 5% dari penghasilan bruto (maksimal yang dipebolehkan Rp 1.296.000,00 setahun) atau biaya pensiun 5% dari penghasilan bruto (maksimal yang diperbolehkan Rp 432.000,00 setahun) dan dikurangi iuran pensiun dan PTKP. Peraturan ini diperbolehkan bagi karyawan yang penghasilannya diatas PTKP. Untuk wajib pajak dalam hal ini karyawan yang penghasilannya dibawah PTKP (penghasilan tidak kena pajak), maka tidak dipotong PPh pasal 21.

  b. Pajak Penghasilan Pasal 22

  Pajak penghasilan pasal 22 merupakan pajak atas pembelian barang dan lainnya yang pemungutannya dilakukan badan-badan tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah.

  c. Pajak penghasilan pasal 23

  Pajak penghasilan pasal 23 merupakan pajak penghasilan atas jasa deviden, bunga, hadiah dan penghargaan, sewa harta dan jasa-jasa lainnya yang pemotongannya dilakukan oleh semua badan usaha.

  d. Pajak penghasilan pasal 24 ayat (2)

  Pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 merupakan pajak panghasilan atas bunga tabungan, deposito, sewa rumah dan atau bangunan serta pajak penghasilan final lainnya yang pemotongannya dilakukan pihak ketiga.

2.7. Pengertian Intensifikasi Pajak

  Suatu langkah yang ditempuh dengan cara mengelola potensi pajak yang telah berhasil dibina dengan tertib, efisiensi dan berkesinambungan. Tujuan dari intensifikasi ini adalah agar pihak Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara dapat memenuhi Jepara dalam memenuhi target tersebut adalah dengan meningkatkan mutu pelaksanaan administrasi perpajakan dengan cara memberikan bimbingan, dan juga pembinaan pada masyarakat agar mampu, sadar dan jujur dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.

  Selain itu peningkatan mutu intensifikasi dapat juga berupa peningkatan kegiatan pemeriksaan oleh fiskus, melalui penigkatan kegiatan pemeriksaan lapangan (field audit) maupun pemeriksaan kantor ( room audit), selain itu peningkatan kepatuhan wajib pajak perlu didukung dengan Law enforcement yang berupa sanksi hukum secara konsisten. Diberlakukannya sanksi dalam perpajakan, yang berupa sanksi administrasi maupun sanksi pidana akan “memaksa” masyarakat untuk memenuhi peraturan yang ada.

  Disamping itu, upaya administrasi juga dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kerapian terhadap berkas-berkas yang penting bagi pengawasan pembayaran masa wajib pajak. Sedangkan peningkatan atau pemenuhan target dapat dititik beratkan pada perbaikan dan penyempurnaan fiskus untuk diarahkan pada pembentukan profesionalisme dan peningkatan moral. (Moh. Zain, dan Kustadi Arinta, 2001).

  Secara keseluruhan kegiatan intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak yang selama ini berjalan ditempuh melalui :

  a) Surat Teguran

  b) Pemeriksaan

  c) Surat Tagihan Pajak (STP)

  d) Penyuluhan

2.8. Istilah Perpajakan

  Menurut undang-undang RI nomor 16 tahun 2000 berkaitan dengan kegiatan Intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak dapat dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan istilah perpajakan sebagai berikut :

2.8.1. Pengertian SPT Tahunan

  Dalam keputusan direktur jenderal pajak nomor SE- 2/PJ/./2003, yang dimaksud dengan surat pemberitahuan (SPT) tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak yang meliputi SPT tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi (SPT 1770 dan SPT 1770 S), SPT tahunan pajak penghasilan wajib pajak Badan (SPT 1771 dan SPT 1771/4), SPT tahunan pajak

  2.8.2. Wajib Pajak

  Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan atau pemotong pajak tertentu.

  2.8.3. Badan

  Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang murupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya. Badan Usaha Milik Negara, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.

  2.8.4. Pengusaha

  Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan uang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud di luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau

  2.8.5. Pengusaha Kena Pajak

  Pengusaha kena pajak adalah pengusaha sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang melakukan penyerahan barang kena pajak tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak.

  2.8.6. Nomor Pokok Wajib Pajak

  Nomor pokok wajib pajak adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri dan identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

  2.8.7. Masa Pajak

  Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lainnya yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.

  2.8.8. Tahun Pajak

  Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak

  2.8.9. Bagian Tahun Pajak

  Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak.

  2.8.10. Pajak Yang Terutang

  Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

  2.8.11. Surat Pemberitahuan

  Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan pajak dan atau pembayaran masa pajak. Obyek pajak dan atau buku obyek pajak dan atau harta atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

  2.8.12. Surat Pemberitahuan Masa

  Surat pemberitahuan masa adalah surat pemberitahuan untuk suatu masa pajak.

  2.8.13. Surat Pemberitahuan Tahunan

  Surat pemberitahuan tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.

  2.8.14. Surat Setoran Pajak

  Surat setoran pajak adalah surat yang digunakan wajib pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas Negara melalui kantor pos atau bank badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk menteri keuangan.

  2.8.15. Pemeriksaan

  Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

  2.9. Pajak Penghasilan Pasal 21

  2.9.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21

  Pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan sebagai imbalan atas jasa. (Yusdianto Prabowo, 2002) dibayar atau dipotong dan bersifat final, pada akhir tahun pajak diwajibkan untuk menyanpaikan SPT Tahunan PPh dan atas PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi kerja dapat dijadikan sebagai kredit pajak atas PPh yang terutang pada akhir tahun.

  2.9.2.Wajib Pajak PPh Pasal 21

  Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 adalah (Mardiasmo, 2008) : a. Pejabat Negara adalah : 1. Presiden dan wakil presiden.

  2. Ketua, Wakil Ketua dan anggota DPR/MPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten atau kota.

  3. Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan.

  4. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Mahkamah Agung.

  5. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung.

  6. Menteri dan Menteri Negara.

  7. Jaksa Agung.

  9. Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten.

  10. Walikota dan Wakil Walikota Kepala Daerah Kota.

  b. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-pusat, PNS- daerah dan PNS lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU no.8 tahun 1974.

  c. Pegawai adalah setiap orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasrkan perjanjian atau kesepakatan kerja, tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau BUMN atau BUMD.

  d. Pegawai Tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala.

  e. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan atau imbalan lain sehubungan dengan f. Tenaga Lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.

  g. Penerima Pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua.

  h. Penerima Honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan atau kegiatan yang dilakukannya. i. Penerima Upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.

  2.9.3. Tidak Termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21

  Yang tidak termasuk penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 antara lain (Yusdianto Prabowo, 2002) : a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing.

  b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam keputusan menteri

  2.9.4. Obyek PPh Pasal 21

  Penghasilan yang dikenakan pemotong PPh pasal 21 antara lain (Mardiasmo, 2008): a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, tunjangan jabatan, premi dasar yang dibayar oleh pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.

  b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, bonus, premi tahunan, tunjangan lain dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.

  c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan.

  d. Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua, uang pesangon dan pembayaran lain sejenis.

  e. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak dalam negeri, terdiri dari :

  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas,

  2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya.

  3. Olahragawan.

  4. Penasehat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan moderator.

  5. Pengarang, peneliti dan penerjemah.

  6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan social.

  7. Agen iklan.

  8. Pengawas, pengelola proyek, anggota, dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat.

  9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan.

  10. Peserta perlombaan.

  11. Petugas penjaja barang dagangan.

  13. Peserta pendidikan, pelatihan dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai.

  14. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.

  f. Gaji, gaji kehormatan, tunjagan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara dan PNS.

  g. Uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak- anaknya.

  h. Penerima dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan PPh yang bersifat final dan yang dikenakan PPh berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit ).

2.9.5. Penghasilan yang tidak dipotong PPh pasal 21

  Yang tidak termasuk dalam penghasilan yang dipotong a. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa.

  b. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah kecuali yang diberikan Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus (deemed profit).

  c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja.

  d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

  2.9.6. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21

  Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang bersifat final antara lain : (Wirawan dan Waluyo, 2002) a. Uang tebusan pensiun yang dibayarkan oleh dana sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja.

  b. Uang pesangon.

  c. Hadiah dari penghargaan perlombaan.

  d. Honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaga barang dan petugas dinas luar asuransi.

  e. Penghasilan bruto berupa honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh pejabat Negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari keuangan Negara atau keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan oleh pegawai negeri sipil golongan II.d kebawah dan anggota TNI atau POLRI berpangkat pembantu letnan Satu kebawah atau ajun inspektur tingkat satu kebawah.

  2.9.7. Pemotongan Pajak PPh Pasal 21

  Yang termasuk pemotongan pajak pasal 21 antara lain : (Yusdianto, 2002).

  a. Pemberi kerja baik orang pribadi maupun badan yang merupakan induk atau cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan b. Bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan tetap dan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang dibebankan pada keuangan Negara.

  c. Dana pensiun, PT. Taspen, PT. Jamsostek yang membayar uang pensiun, uang tebusan pensiun dan tunjangan hari tua (THT).

  d. Yayasan-yayasan seperti yayasan kesejahteraan, rumah sakit,pendidikan, lembaga, kepanitiaan dan organisasi dalam bentuk apapun dalam segala kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.

  e. Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan suhubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status wajib pajak luar negeri.

  f. Perusahaan, badan dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan dan pemegangan. dilakukan diindonesia oleh tenaga ahli dan atau persekutuan tenaga ahli sebagai wajib pajak dalam melakukan pekerjaan bebas.

2.9.8. Tidak Termasuk obyek PPh pasal 21

  Tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: (Mardiasmo, 2008).

  a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari nagara asing dan orang-orang yang diperbantukan

  b. kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka.

  c. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.

  2.9.9. Tarif PPh Pasal 21

  Tarif PPh pasal 21 secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut : (Mardiasmo, 2008).

Tabel 2.1. Tarif PPh pasal 21

  Tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak Pajak sampai dengan Rp 50.000.000 5% di atas Rp 50.000.000 s/d Rp 250.000.000 15% di atas Rp 250.000.000 s/d Rp 500.000.000 25% di atas Rp 500.000.000 30%

2.10. Penelitian terdahulu

  Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya Sutris Pratomo; 2007, Analisis intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak penghasilan pasal 21 dalam upaya peningkatan kepatuhan kewajiban perpajakan di Kantor Pelayanan Pajak Pati, mengungkapkan bahwa:

  a. Terdapat pengaruh antara intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak penghasilan pasal 21 terhadap kepatuhan kewajiban perpajakan di Kantor Pelayanan Pajak Pati. Bahwa ternyata variabel pemberian Surat Teguran Pajak, Pemeriksaan, Surat Tagihan Pajak (STP) terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel Kepatuhan wajib pajak penghasilan dalam melapor dan membayarkan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pati..

  Variabel yang terbukti memiliki pengaruh paling besar terhadap kepatuhan wajib pajak penghasilan dalam melapor dan membayarkan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pati adalah variabel Surat Teguran.

  b. Kendala dan upaya dalam melakukan tindakan intensifikasi: Kendala :

  1. Tidak tercapainya target pencairan tunggakan PPh Pasal 21 yang berupa STP Maupun SKPKB PPh Pasal 21. penghapusan NPWP sehubungan dengan selesainya pengerjaan proyeknya. Sebab dengan tidak adanya permintaan tersebut makabendaharawwan tersebut masih dianggap WP Efektif sehingga masuk dalam perhitungan target penerimaan PPh Pasal 21.

  3. Pada tahun 2005 target yang ditetapkan dinilai terlalu tinggi bahkan melebihi realisasi penerimaan tahun 2004 padahal terdapat kenaikan PTKP yang berpengaruh pula terhadap kemungkinan pengurangan yang cukup besar terhadap realisasi penerimaan PPh Pasal 21 tahun 2005.

  4. Jumlah personel juru sita yang sangat minim. Dengan dua wilayah unit Kerja, yaitu Pati, Rembang dan Blora Kantor Pelayanan Pajak Pati hanya mempunyai 2 orang juru sita pajak.

  Adapun Upayanya adalah sebagai berikut :

  1. Melakukan penyuluhan secara berkala kepada masyarakat mengenai kesadaran dalam memenuhi kewajiban pajak dengan cara mendaftarkan diri sebagai wajib pajak.

  2. Bekerja sama dengan berbagai pihak dalam menggali potensi wajib pajak dalam rangka meningkatkan Persamaan dari penelitian terdahulu yaitu memiliki variabel penelitian yang sama. Sedangkan perbedaan dari penelitian terdahulu adalah mengenai waktu dan lokasi penelitian.

2.11. Kerangka Pikir Teoritis

  Berdasarkan uraian dalam tinjauan pustaka mengenai intensifikasi pengawasan pembayaran masa pajak ditinjau dari Surat Teguran, Pemeriksaan, dan Surat Tagihan Pajak (STP) terhadap kepatuhan wajib pajak penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara, untuk memperjelas hubungan antara variable tersebut dapat dilihat dalam kerangka pemikiran teoritis dalam gambar 2.1 dibawah ini.

Gambar 2.1. Kerangka Pikir

  (X1) Surat Teguran

  H1

  H2 (Y)

  (X2) Kepatuhan

  Pemeriksaan Wajib Pajak

  H3 (X3)

  STP

2.12. Hipotesis

  Hipotesis adalah merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan – pertanyaan dalam rumusan masalah. Hipotesis tersebut harus diuji atau dibuktikan kebenarannya lewat pengumpulan dan penganalisaan data penelitian. Sejalan dengan latar belakang masalah, perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat diambil suatu hipotesis sebagai berikut :

  H1 : Ada pengaruh positif antara Surat Teguran terhadap kepatuhan wajib pajak penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara. H2 : Ada pengaruh positif antara Pemeriksaan terhadap kepatuhan wajib pajak penghasilan PPh pasal 21 di Kantor Pelayanan

  Pajak Pratama Jepara. H3 : Ada pengaruh positif antara Surat Tagihan Pajak (STP) terhadap kepatuhan wajib pajak penghasilan PPh pasal 21 di

  Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

  3.1.1. Lokasi Penelitian

  Lokasi penelitian berada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara.

  3.1.2. Waktu Penelitian

  Pelaksanaan penelitian yang terdiri dari persiapan, perijinan, sampai dengan penulisan laporan dilaksanakan selama 3 bulan, dimulai pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2009.

  3.1.3. Jenis Penelitian

  Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan survey langsung pada obyek penelitian, yaitu dengan melakukan penelitian untuk memperoleh keterangan – keterangan secara faktual secara langsung pada obyek, dengan melakukan penelitian studi kasus (Case Study). Dalam penelitian ini penulis mengambil obyek pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara untuk mengumpulkan data – data dan keterangan mengenai intensifikasi pengawasan pembayaran pajak dalam rangka di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jepara selama periode tahun 2004 – 2008.

3.2. Variabel Penelitian

  3.2.1. Surat Teguran (X1)

  Merupakan Surat Teguran Masa untuk suatu Masa Pajak karena keterlambatan dalam membayar tanggungan pajaknya, yang dinyatakan dalam satuan.

  3.2.2. Pemeriksaan Pajak (X2)

  Merupakan serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. Pemeriksaan dilakukan pada wajib pajak karena keterlambatan dalam membayar tanggungan pajaknya, yang dinyatakan dalam satuan.

  3.2.3. Surat Tagihan Pajak (X3)

  Merupakan Surat penagihan atas pembayaran masa pada wajib pajak yang bersangkutan dalam membayar tanggungan pajaknya, yang dinyatakan dalam satuan.

3.2.4. Kepatuhan Kewajiban Perpajakan (Y)

  Merupakan tindakan kooperatif dari wajib pajak dengan penuh kesadaran untuk bersedia melapor dan membayarkan kewajiban pajaknya sesuai dengan waktu yang ditentukan.

  3.3. Jenis dan Sumber Data

  Dalam penelitian ini data sekunder yang dibutuhkan adalah data yang berhubungan dengan catatan mengenai : a) Latar belakang perusahaan.

  b) Kegiatan operasional perusahaan lainnya.

  c) Jumlah Surat Teguran selama periode tahun 2004 – 2008.

  d) Jumlah Pemeriksaan pajak selama periode tahun 2004 – 2008.

  e) Jumlah STP selama periode tahun 2004 – 2008.

  f) Jumlah wajib pajak yang patuh dalam melapor dan membayarkan pajaknya selama periode tahun 2004 – 2008.

  3.4. Metode Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi. Metode pengumpulan data dengan melakukan pencatatan dari dokumen perusahaan yang berhubungan dengan data tentang latar belakang Kantor Pelayanan Pajak Pratama

  3.5. Metode Pengolahan Data

Dokumen yang terkait

PENGARUH TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM MENYAMPAIKAN SPT MASA DAN PEMERIKSAAN PAJAK TERHADAP PENINGKATAN PENERIMAAN PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK (KPP) PRATAMA METRO

4 30 49

DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA PALEMBANG

1 3 9

PERANAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA CIAMIS

1 2 10

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - PENGARUH PENGETAHUAN PERPAJAKAN DAN PENGETAHUAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 TERHADAP KEPATUHAN DAN PENGGUNAAN E-FILING WAJIB PAJAK PEGAWAI STIE PERBANAS SURABAYA - Perbanas Institutional Repository

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - PELAKSANAAN PROSES PENERIMAAN, PENGOLAHAN DAN PEREKAMAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA BOJONEGORO - Perbanas Institutional Repository

0 0 9

SISTEM INFORMASI E-REMINDER PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAU PPH 21 PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK WILAYAH BEKASI BARAT

0 0 18

ANALISIS PENERAPAN E-FILING SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK DALAM PENYAMPAIAN SPT MASA MAUPUN SPT TAHUNAN PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA PANGKALPINANG

0 0 19

PENGARUH TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA SURABAYA GENTENG

0 1 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. - PENGARUH PENERAPAN E-SPT PPH PASAL 21 DAN PENGETAHUAN PERPAJAKAN TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK PADA KPP PRATAMA KUDUS - STAIN Kudus Repository

0 0 7

ANALISIS PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA SUKOHARJO PERIODE 2014-2016 - UNS Institutional Repository

0 1 15