T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengabaian Putusan MK Nomor 34PUUXI2013 dengan Keluarnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 T1 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 6 Maret 2014 Mahkamah Konstitusi (MK)
mengeluarkan putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 yang amar putusannya
menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana inkonstitusional karena bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.1 Atas keluarnya putusan MK tersebut, amar putusan harus
dilaksanakan karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak
ada upaya hukum yang dapat ditempuh. 2
Keluarnya putusan ini karena adanya permohonan Peninjauan
Kembali atas kasus pembunuhan yang melibatkan Pemohon (Antasari
Azhar) dengan korban Alm.Nasrudin Zulkarnaen. Pemohon mendapatkan
status terpidana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan atas putusan
tersebut pemohon melayangkan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan
kembali dan diputus oleh MA (Nomor 117PK/Pid/2011) yang memutuskan
menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon.
Dengan keluarnya putusan MA tersebut , Pemohon tidak bisa mengajukan
1
Putusan MK Nomor 34 /PUU-XI/2013 , hal.89
Pada penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No.8 Tahun 2011 atas Perubahan UU No.24 tahun 2003
Te ta g Mahka ah Ko stitusi bahwa Putusa Mahka ah Ko stitusi bersifat fi al, yak i
putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang ditempuh.
2
1
permohonan peninjauan Kembali untuk kedua kalinya walaupun terdapat
novum (bukti baru) dikemudian hari yang dapat mengubah hasil putusan
sidang karena adanya pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana.3
Alasan yang menguatkan dalam permohonan pengujian Pasal
268 ayat 3 UU nomor 1981 Tentang KUHAP adalah pendapat yang
dikemukakan Yusril Ihza Mahendra. Yusril beragumen bahwa “norma
yang dirumuskan oleh Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang hanya
membolehkan PK hanya satu kali dalam konteks perkara pidana
bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi”. Hal ini juga
bertentangan dengan konstitusi jika dikaitkan dengan norma Pasal 24
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “kekuasaan kehakiman
merupakan
peradilan
kekuasaan
guna
yang
merdeka
menegakkan
hukum
untuk
dan
menyelenggarakan
keadilan”.
Dalam
melaksanakan tugasnya hakim dituntut harus dapat mewujudkan
keadilan tidak hanya terpacu pada peraturan perundang-undangan saja
melainkan dapat menciptakan hukum ketika suatu peraturan telah
lampau dan ketinggalan zaman. Hakim tidak dapat menegakkan
keadilan dengan sempurna ketika warga negara yang telah dijatuhi
hukuman mati dan seiring berjalannya waktu terdapat bukti baru atau
novum yang dapat menghapus atau meringankan hukumannya, maka
Pasal 6 ayat
UU No or Tahu
te ta g Kuhap e yataka bahwa Per i taa
Pe i jaua Ke bali atas suatu putusa ha ya dapat dilakuka satu kali saja.
3
2
warga negara tersebut tidak dapat mempertahankan haknya untuk
mendapatkan keadilan karena PK hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Setelah
terdapat
berbagai
pertimbangan
akhirnya
MK
memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dengan
menyatakan bahwa pasal 268 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981
Inkonstitusional karena bertentangan dengan UU 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atas perkembangan yang timbul
akibat dari putusan MK, MA memberikan respon dengan menerbitkan
SEMA Nomor 7 Tahun 2014.
Pada tanggal 31 Desember 2014 MA Menerbitkan Surat edaran
Mahkamah Agung (SEMA) tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan
Kembali Dalam Perkara Pidana. MA menyatakan pada SEMA bahwa
permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1
(satu) kali. Dasar hukum MA mengeluarkan pernyataan ini terkait
Undang-Undang yang mengatur tentang peninjauan kembali tidak hanya
pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kuhap, melainkan terdapat pula
pada Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 3 Tahun
2009. Kedua pasal ini mempertegas bahwa permohonan peninjauan
kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. Berdasarkan keluarnya
SEMA tersebut maka jika terdapat permohonan peninjauan kembali
3
yang tidak sesuai dengan syarat pada isi SEMA diatas maka ketua
pengadilan negeri dapat menolak permohonan PK tersebut.
Jika melihat pada pasal 79 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 3 Tahun
2009, disebutkan bahwa “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih
lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-undang ini”. 4 Menurut penulis norma ini adalah dasar dimana
MA dapat mengeluarkan SEMA. Akan tetapi SEMA merupakan
keputusan yang bersifat intern dan tidak termasuk dalam jenis peraturan
perundang-undangan. Dalam bahasa teoritisnya, SEMA adalah tindakan
overriding terhadap putusan MK. Tetapi overriding disini hanya berlaku
internal ,karena SEMA hanya berlaku untuk lingkungan dibawah
yurisdiksi Mahkamah Agung, jadi SEMA bukan peraturan perundangundangan yang bersifat umum. Atas terbitnya SEMA tersebut
berimplikasi tidak dapat dijalankannya putusan MK menyangkut hak
terpidana untuk mengajukan kembali PK. Menurut penulis substansi
SEMA tidak konsisten dengan semangat putusan MK, oleh karena itu
yang ingin penulis permasalahkan ialah materi muatan SEMA
bertentangan dengan Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013.
4
Ketentuan lebih lanjut bagian Penjelasan pasal 79 UU No 14 Tahun 1985
4
Putusan MK memiliki efek keberlakuan yang disebut Erga
Omnes. 5 Implikasi dari Erga Omnes ialah mengikat bagi semua orang,
tidak
hanya
meliputi
pihak-pihak
berperkara
yaitu
pemohon,
pemerintah, DPR/DPRD ataupun pihak terkait akan tetapi semua
lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia.
Artinya MA juga terikat dalam tindakannya menerbitkan SEMA.
Terkait dengan terbitnya SEMA, MA tidak menghormati MK
selaku lembaga negara yang dibentuk untuk menjamin agar konstitusi
sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan dengan semestinya. 6
Dr.Rimdan menyatakan bahwa : “ kewenangan yang melekat pa da hakim
maupun
lembaga
kehakiman
yang
bersumber
langsung
dari
konstitusi,untuk mengadili dan memberikan putusan perkara bebas dari
pengaruh pihak manapun ". 7 Menurut penulis kewenangan hakim MK
dalam mengeluarkan putusan yang hakikatnya mengikat ke semua pihak
secara tidak langsung dirampas oleh MA dengan menerbitkan SEMA
ini.
Jika disimpulkan bahwa SEMA ini bertentangan dengan prinsip
Erga Omnes . Meskipun putusan MK bukan peraturan perundang-undangan
, akan tetapi sifatnya berlaku umum, berlaku untuk semua pihak. Atas dasar
prinsip Erga Omnes , seharusnya Putusan MK dapat berlaku tanpa
penentangan dari MA yang menghambat laju diberlakukannya putusan
MK tersebut. Dengan demikian atas terbitnya SEMA ini maka para
5
Asshiddiqie Jimly, Hukum Acara MKRI , KonstitusiPress, Jakarta, 2005. Hal 209.
Asshiddiqie Jimly, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi
Press,jakarta,2006. Hal.94
7
Rimdan,Kekuasaan Kehakiman,kencana, jakarta, 2012. Hal. 34
6
5
pencari keadilan yang sudah mengajukan peninjauan kembali terhalang
hak nya untuk kembali mengajukan PK. Dengan demikian skripsi ini
akan membahas keabsahan produk hukum SEMA yang substansi atau
materi muatannya bertentangan dengan putusan MK Nomor 34/PUUXI/2013.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi inti
dari permasalahan ini adalah :
Apakah status SEMA No 7 Tahun 2014 yang substansinya tidak
sejalan dengan putusan putusan MK No 34/PUU-XI/2013 sah ( legally
Binding ) ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keabsahan SEMA
yang substansinya bertentangan dengan putusan MK. Putusan MK
merupakan standar keabsahan dari tindak pemerintahan, baik dalam
bentuk melakukan pengaturan (legislasi dan regulasi), maupun dalam
bentuk kebijakan-kebijakan. SEMA a quo menurut penulis tidak sah,
tidak memiliki kualitas legally binding, karena bertentangan dengan
putusan MK (baca: Inkonstitusional). Penggunaan kosa kata “sah” atau
“konstitusional” dalam penulisan skripsi ini adalah sama. Hal itu karena
standar keabsahan yang digunakan adalah konstitusi, sehingga “sah”
sama
dengan
“konstitusional”,
“tidak
sah”
sama
dengan
“inkonstitusional”. Dengan demikian, jika ditemukan penggunaan kata
yang berbeda pada penulisan skripsi ini, tanpa mengurangi pemaknaan,
6
inkonstitusional sama artinya dengan tidak sah dan konstitusional sama
artinya dengan sah. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini dirinci lebih
lanjut sebagai berikut :
1. Menjelaskan efek keberlakuan Putusan MK terhadap badanbadan pemerintahan yang lain , termasuk kepada Mahkamah
Agung.
2. Menjelaskan status SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang
substansinya tidak sejalan dengan putusan MK No 34/PUUXI/2013.
D. Manfaat Penelitian
Melalui skripsi ini, penulis akan menjelaskan efek keberlakuan
Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang sejatinya mengikat kepada
semua orang sebagai hal penerapan prinsip erga omnes dalam hubungan
lembaga Negara Republik Indonesia.
E. Metode Penelitian
Penelitian yang hendak dilakukan oleh penulis adalah penelitian
hukum (legal research ). Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa:
“Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori
atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi”. 8 Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach ), pendekatan kasus
(case approach ), pendekatan konseptual ( conceptual approach ).
Pendekatan perundang-undangan karena bahan hukum yang digunakan
8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, h. 35.
7
adalah UUD NRI 1945, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kuhap, UU
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 5 tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU
Nomor 3 Tahun 2009. Pendekatan kasus karena penulis akan merujuk
pada putusan-putusan MK terkait Permohonan Peninjauan Kembali
dapat dilakukan lebih dari satu kali. Pendekatan konseptual dalam
penelitian ini karena merujuk pada pandangan sarjana dan doktrin
hukum. Ketiga pendekatan ini penulis gunakan untuk memberikan
kekuatan kedudukan Putusan MK menjadi peraturan yang megikat
seluruh warga negara maupun lembaga negara karena terdapat prinsip
Erga Omnes.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi menjadi 4 bab yaitu :
I.
Bab I PENDAHULUAN
Penulis hendak menguraikan mengenai latar belakang
masalah
yakni
alasan
permasalahan penelitian
keberlakuan
putusan
pemilihan
judul,
yang berkaitan
MK,
rumusan
gambaran
dengan
masalah,
efek
tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian.
II.
Bab II EFEK KEBERLAKUAN PUTUSAN MK
Penulis hendak menguraikan mengenai efek keberlakuan
putusan MK dengan mengacu pada prinsip Erga Omnes yang
menjadi dasar bahwa putusan MK tidak dapat dibaikan.
8
III.
Bab III IMPLIKASI SEMA NOMOR 7 TAHUN 2014
TERHADAP PUTUSAN MK NOMOR 34/PUU-XI/2013
Dalam bab ini, penulis akan menilai substansi atas terbitnya
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tidak sejalan dengan putusan MK
yang berarti isi SEMA bertentangan dengan putusan MK dan
efek keberlakuan putusan MK tidak dapat direalisasikan.
IV.
Bab IV PENUTUP
Dalam bab ini, penulis hendak menekankan tesis penulis bahwa
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 bertentangan denga putusan MK
Nomor 34/PUU-XI/2013 dan menyatakan kembali bahwa
SEMA tersebut inkonstitusional.
9
10
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 6 Maret 2014 Mahkamah Konstitusi (MK)
mengeluarkan putusan Nomor 34/PUU-XI/2013 yang amar putusannya
menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981
Tentang Hukum Acara Pidana inkonstitusional karena bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.1 Atas keluarnya putusan MK tersebut, amar putusan harus
dilaksanakan karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak
ada upaya hukum yang dapat ditempuh. 2
Keluarnya putusan ini karena adanya permohonan Peninjauan
Kembali atas kasus pembunuhan yang melibatkan Pemohon (Antasari
Azhar) dengan korban Alm.Nasrudin Zulkarnaen. Pemohon mendapatkan
status terpidana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan atas putusan
tersebut pemohon melayangkan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan
kembali dan diputus oleh MA (Nomor 117PK/Pid/2011) yang memutuskan
menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon.
Dengan keluarnya putusan MA tersebut , Pemohon tidak bisa mengajukan
1
Putusan MK Nomor 34 /PUU-XI/2013 , hal.89
Pada penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No.8 Tahun 2011 atas Perubahan UU No.24 tahun 2003
Te ta g Mahka ah Ko stitusi bahwa Putusa Mahka ah Ko stitusi bersifat fi al, yak i
putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang ditempuh.
2
1
permohonan peninjauan Kembali untuk kedua kalinya walaupun terdapat
novum (bukti baru) dikemudian hari yang dapat mengubah hasil putusan
sidang karena adanya pasal 268 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana.3
Alasan yang menguatkan dalam permohonan pengujian Pasal
268 ayat 3 UU nomor 1981 Tentang KUHAP adalah pendapat yang
dikemukakan Yusril Ihza Mahendra. Yusril beragumen bahwa “norma
yang dirumuskan oleh Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang hanya
membolehkan PK hanya satu kali dalam konteks perkara pidana
bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi”. Hal ini juga
bertentangan dengan konstitusi jika dikaitkan dengan norma Pasal 24
ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “kekuasaan kehakiman
merupakan
peradilan
kekuasaan
guna
yang
merdeka
menegakkan
hukum
untuk
dan
menyelenggarakan
keadilan”.
Dalam
melaksanakan tugasnya hakim dituntut harus dapat mewujudkan
keadilan tidak hanya terpacu pada peraturan perundang-undangan saja
melainkan dapat menciptakan hukum ketika suatu peraturan telah
lampau dan ketinggalan zaman. Hakim tidak dapat menegakkan
keadilan dengan sempurna ketika warga negara yang telah dijatuhi
hukuman mati dan seiring berjalannya waktu terdapat bukti baru atau
novum yang dapat menghapus atau meringankan hukumannya, maka
Pasal 6 ayat
UU No or Tahu
te ta g Kuhap e yataka bahwa Per i taa
Pe i jaua Ke bali atas suatu putusa ha ya dapat dilakuka satu kali saja.
3
2
warga negara tersebut tidak dapat mempertahankan haknya untuk
mendapatkan keadilan karena PK hanya dapat dilakukan satu kali saja.
Setelah
terdapat
berbagai
pertimbangan
akhirnya
MK
memutuskan untuk mengabulkan permohonan pemohon dengan
menyatakan bahwa pasal 268 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981
Inkonstitusional karena bertentangan dengan UU 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atas perkembangan yang timbul
akibat dari putusan MK, MA memberikan respon dengan menerbitkan
SEMA Nomor 7 Tahun 2014.
Pada tanggal 31 Desember 2014 MA Menerbitkan Surat edaran
Mahkamah Agung (SEMA) tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan
Kembali Dalam Perkara Pidana. MA menyatakan pada SEMA bahwa
permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1
(satu) kali. Dasar hukum MA mengeluarkan pernyataan ini terkait
Undang-Undang yang mengatur tentang peninjauan kembali tidak hanya
pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kuhap, melainkan terdapat pula
pada Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 3 Tahun
2009. Kedua pasal ini mempertegas bahwa permohonan peninjauan
kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. Berdasarkan keluarnya
SEMA tersebut maka jika terdapat permohonan peninjauan kembali
3
yang tidak sesuai dengan syarat pada isi SEMA diatas maka ketua
pengadilan negeri dapat menolak permohonan PK tersebut.
Jika melihat pada pasal 79 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 3 Tahun
2009, disebutkan bahwa “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih
lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-undang ini”. 4 Menurut penulis norma ini adalah dasar dimana
MA dapat mengeluarkan SEMA. Akan tetapi SEMA merupakan
keputusan yang bersifat intern dan tidak termasuk dalam jenis peraturan
perundang-undangan. Dalam bahasa teoritisnya, SEMA adalah tindakan
overriding terhadap putusan MK. Tetapi overriding disini hanya berlaku
internal ,karena SEMA hanya berlaku untuk lingkungan dibawah
yurisdiksi Mahkamah Agung, jadi SEMA bukan peraturan perundangundangan yang bersifat umum. Atas terbitnya SEMA tersebut
berimplikasi tidak dapat dijalankannya putusan MK menyangkut hak
terpidana untuk mengajukan kembali PK. Menurut penulis substansi
SEMA tidak konsisten dengan semangat putusan MK, oleh karena itu
yang ingin penulis permasalahkan ialah materi muatan SEMA
bertentangan dengan Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013.
4
Ketentuan lebih lanjut bagian Penjelasan pasal 79 UU No 14 Tahun 1985
4
Putusan MK memiliki efek keberlakuan yang disebut Erga
Omnes. 5 Implikasi dari Erga Omnes ialah mengikat bagi semua orang,
tidak
hanya
meliputi
pihak-pihak
berperkara
yaitu
pemohon,
pemerintah, DPR/DPRD ataupun pihak terkait akan tetapi semua
lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia.
Artinya MA juga terikat dalam tindakannya menerbitkan SEMA.
Terkait dengan terbitnya SEMA, MA tidak menghormati MK
selaku lembaga negara yang dibentuk untuk menjamin agar konstitusi
sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan dengan semestinya. 6
Dr.Rimdan menyatakan bahwa : “ kewenangan yang melekat pa da hakim
maupun
lembaga
kehakiman
yang
bersumber
langsung
dari
konstitusi,untuk mengadili dan memberikan putusan perkara bebas dari
pengaruh pihak manapun ". 7 Menurut penulis kewenangan hakim MK
dalam mengeluarkan putusan yang hakikatnya mengikat ke semua pihak
secara tidak langsung dirampas oleh MA dengan menerbitkan SEMA
ini.
Jika disimpulkan bahwa SEMA ini bertentangan dengan prinsip
Erga Omnes . Meskipun putusan MK bukan peraturan perundang-undangan
, akan tetapi sifatnya berlaku umum, berlaku untuk semua pihak. Atas dasar
prinsip Erga Omnes , seharusnya Putusan MK dapat berlaku tanpa
penentangan dari MA yang menghambat laju diberlakukannya putusan
MK tersebut. Dengan demikian atas terbitnya SEMA ini maka para
5
Asshiddiqie Jimly, Hukum Acara MKRI , KonstitusiPress, Jakarta, 2005. Hal 209.
Asshiddiqie Jimly, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi
Press,jakarta,2006. Hal.94
7
Rimdan,Kekuasaan Kehakiman,kencana, jakarta, 2012. Hal. 34
6
5
pencari keadilan yang sudah mengajukan peninjauan kembali terhalang
hak nya untuk kembali mengajukan PK. Dengan demikian skripsi ini
akan membahas keabsahan produk hukum SEMA yang substansi atau
materi muatannya bertentangan dengan putusan MK Nomor 34/PUUXI/2013.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi inti
dari permasalahan ini adalah :
Apakah status SEMA No 7 Tahun 2014 yang substansinya tidak
sejalan dengan putusan putusan MK No 34/PUU-XI/2013 sah ( legally
Binding ) ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keabsahan SEMA
yang substansinya bertentangan dengan putusan MK. Putusan MK
merupakan standar keabsahan dari tindak pemerintahan, baik dalam
bentuk melakukan pengaturan (legislasi dan regulasi), maupun dalam
bentuk kebijakan-kebijakan. SEMA a quo menurut penulis tidak sah,
tidak memiliki kualitas legally binding, karena bertentangan dengan
putusan MK (baca: Inkonstitusional). Penggunaan kosa kata “sah” atau
“konstitusional” dalam penulisan skripsi ini adalah sama. Hal itu karena
standar keabsahan yang digunakan adalah konstitusi, sehingga “sah”
sama
dengan
“konstitusional”,
“tidak
sah”
sama
dengan
“inkonstitusional”. Dengan demikian, jika ditemukan penggunaan kata
yang berbeda pada penulisan skripsi ini, tanpa mengurangi pemaknaan,
6
inkonstitusional sama artinya dengan tidak sah dan konstitusional sama
artinya dengan sah. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini dirinci lebih
lanjut sebagai berikut :
1. Menjelaskan efek keberlakuan Putusan MK terhadap badanbadan pemerintahan yang lain , termasuk kepada Mahkamah
Agung.
2. Menjelaskan status SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang
substansinya tidak sejalan dengan putusan MK No 34/PUUXI/2013.
D. Manfaat Penelitian
Melalui skripsi ini, penulis akan menjelaskan efek keberlakuan
Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang sejatinya mengikat kepada
semua orang sebagai hal penerapan prinsip erga omnes dalam hubungan
lembaga Negara Republik Indonesia.
E. Metode Penelitian
Penelitian yang hendak dilakukan oleh penulis adalah penelitian
hukum (legal research ). Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa:
“Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori
atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi”. 8 Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach ), pendekatan kasus
(case approach ), pendekatan konseptual ( conceptual approach ).
Pendekatan perundang-undangan karena bahan hukum yang digunakan
8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, h. 35.
7
adalah UUD NRI 1945, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kuhap, UU
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 5 tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU
Nomor 3 Tahun 2009. Pendekatan kasus karena penulis akan merujuk
pada putusan-putusan MK terkait Permohonan Peninjauan Kembali
dapat dilakukan lebih dari satu kali. Pendekatan konseptual dalam
penelitian ini karena merujuk pada pandangan sarjana dan doktrin
hukum. Ketiga pendekatan ini penulis gunakan untuk memberikan
kekuatan kedudukan Putusan MK menjadi peraturan yang megikat
seluruh warga negara maupun lembaga negara karena terdapat prinsip
Erga Omnes.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi menjadi 4 bab yaitu :
I.
Bab I PENDAHULUAN
Penulis hendak menguraikan mengenai latar belakang
masalah
yakni
alasan
permasalahan penelitian
keberlakuan
putusan
pemilihan
judul,
yang berkaitan
MK,
rumusan
gambaran
dengan
masalah,
efek
tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian.
II.
Bab II EFEK KEBERLAKUAN PUTUSAN MK
Penulis hendak menguraikan mengenai efek keberlakuan
putusan MK dengan mengacu pada prinsip Erga Omnes yang
menjadi dasar bahwa putusan MK tidak dapat dibaikan.
8
III.
Bab III IMPLIKASI SEMA NOMOR 7 TAHUN 2014
TERHADAP PUTUSAN MK NOMOR 34/PUU-XI/2013
Dalam bab ini, penulis akan menilai substansi atas terbitnya
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tidak sejalan dengan putusan MK
yang berarti isi SEMA bertentangan dengan putusan MK dan
efek keberlakuan putusan MK tidak dapat direalisasikan.
IV.
Bab IV PENUTUP
Dalam bab ini, penulis hendak menekankan tesis penulis bahwa
SEMA Nomor 7 Tahun 2014 bertentangan denga putusan MK
Nomor 34/PUU-XI/2013 dan menyatakan kembali bahwa
SEMA tersebut inkonstitusional.
9
10