MUZARA’AH DAN APLIKASINYA PADA PERBANKAN SYARI’AH
MUZARA’AH
DAN APLIKASINYA PADA PERBANKAN SYARI’AH
1 Afrik Yunari Abstract
Land is important in the agricultural sector. Islamic teachings suggest that if a
person has land, then he must utilize and cultivate it. The cultivation of
agricultural land can be done in various ways as has been taught by Islam as well
as by way of self-processed by those who have or by way of lending to others to
work on. In this case, Islam has a solution of agricultural land use with a system
that more shows the values of justice for both parties, namely by sharing profit
sharing system using muzara'ah system. This system in syariah bank can be
applied as one of financing in agriculture sector. However, in reality the
financing of muzara'ah in syar‟i banking is still very minimal because from the
point of view of the banking sector itself is less attractive to invest. Therefore, this
paper will discuss about muzara'ah and its application to syar‟i banking.Keywords: Muzara'ah, Syariah Banking Pendahuluan
Tanah atau lahan adalah hal yang penting dalam sektor pertanian. Ajaran Islam menganjurkan apabila seseorang memiliki tanah atau lahan pertanian, maka ia harus memanfaatkan dan mengolahnya. Pengolahan lahan pertanian tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagaimana yang telah diajarkan oleh Islam seperti halnya dengan cara diolah sendiri oleh yang punya atau dengan cara dipinjamkan kepada orang lain untuk digarap dengan menggunakan bagi hasil dalam sistem muzara‟ah.
Sebagai suatu kontrak kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Kerjasama ini memerlukan beberapa kesepakatan berupa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya aktivitas bagi hasil tersebut.
1 Dosen STAI Hasanuddin Pare Kediri
Dari latar belakang di atas, Islam mempunyai solusi pemanfaatan lahan pertanian dengan sistem yang lebih menunjukkan nilai-nilai keadilan bagi kedua belah pihak, yakni dengan cara kerjasama bagi hasil yang menggunakan sistem
muzara‟ah yang merupakan contoh kerjasama di bidang pertanian Islam. Oleh
k arena itu, tulisan ini akan membahas mengenai muzara‟ah dan aplikasinya pada perbankan syariah.
Pengertian Muzara’ah Muzara‟ah dalam arti bahasa berasal dari wazn mufa‟alah dari akar kata zara‟a yang sinonimnya: anbata, seperti dalam kalimat: “Allah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan: artinya Allah menumbuhkannya dan mengembangkannya”.
Muzara‟ah yang fi‟il madhi-nya: zara‟a seperti dalam kalimat: zara‟ahu –
muzara‟atan, artinya: ia bermu‟amalah (mengadakan kerja sama) dengan cara
muzara‟ah.Dalam pengertian secara istilah,
muzara‟ah adalah suatu cara untuk
menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama antara pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi di antara mereka berdua dengan perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian
2 atau berdasarkan urf (adat kebiasaan).
Pengertian
Muzara‟ah menurut para ulama, antara lain: 1.
Hanafiah Dalam istilah syara‟ muzara‟ah adalah suatu ibarat tentang akad kerja sama penggarapan tanah dengan imbalan sebagian hasilnya, dengan syarat- syarat yang ditetapkan oleh syara‟.
2. Malikiyah Sesungguhnya
muzara‟ah itu adalah syirkah (kerja sama) di dalam menanam tanaman (menggarap tanah).
3. Syafi‟iyah
2 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 391.
Muzara‟ah adalah transaksi antara penggarap (dengan pemilik tanah)
untuk menggarap tanah dengan imbalan sebagian dari hasil yang keluar dari tanah tersebut dengan ketentuan bibit dari pemilik tanah.
4. Hanabilah
Muzara‟ah adalah penyerahan tanah yang layak untuk ditanami oleh
pemiliknya kepada penggarap yang akan menanaminya, dan menyerahkan bibit yang akan ditanamnya, dengan ketentuan ia memperoleh bagian tertentu yang dimiliki bersama dalam hasil yang
3 diperolehnya, seperti setengah(separuh) atau sepertiga.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa
muzara‟ah adalah kerja sama
pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen.
Muzara‟ah seringkali diidentikkan dengan mukhabarah. Diantara keduanya
terdapat sedikit perbedaan sebagai berikut: 1.
Muzara‟ah : benih dari pemilik lahan.
4 2.
Mukhabarah : benih dari penggarap.
Landasan Hukum Muzara’ah Muzara‟ah hukumnya diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Abu Hanifah
dan Zufar, serta Imam Asy- Syafi‟i tidak membolehkannya. Akan tetapi, sebagian Syafi‟iyah membolehkannya, dengan alasan kebutuhan. Mereka beralasan dengan Hadits Nabi SAW:
ِةَعَراَزُمْلا ِنَع ىَهَ ن َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص ِالله َل ْوُسَر َّنَأ ُوْنَع ُالله َيِض َر ِكاَّحَّضلا ِنْب ِتِبَثَ ْنَعَو ِةَرَجاَؤُمْل ِبِ َرَمَأَو
Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW melarang untuk melakukan muzara‟ah dan memerintahkan untuk
5 3 melakukan muajarah (sewa-menyewa). (HR. Muslim) 4 Ibid., hal.393.
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001),
5 hal. 99.Ahmad Wardi Muslich, Fiqh …, hal. 394-395.
Menurut jumhur ulama, yang terdiri dari Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Malik, Ahmad dan Dawud Azh-Zhahiri, muzara‟ah itu hukumnya boleh. Alasannya adalah Hadits Nabi SAW:
ِوْيَلَع ُالله َلْوُسَر َّنَأ اَمُهْ نَع ُالله َيِضَر َرَمُع ِنْبا ِنَع ُجُرَْيَ اَم ِرْطَشِب َرَ بْ يَخ َلْىَأ َلَم اَع َمَّلَسَو .ٍعْرَزْوَأ ٍرََثَ ْنِم اَهْ نْم
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW melakukan kerja sama (penggarapan tanah) dengan penduduk Khaibar dengan imbalan separuh dari hasil yang keluar dari tanah tersebut, baik buah-buahan maupun tanaman.
6 Di samping itu, muzara‟ah adalah salah satu bentuk syirkah, yaitu kerja
sama antara modal (harta) dengan pekerjaan, dan hal tersebut dibolehkan seperti halnya akad mudharabah, karena dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya kerja sama tersebut maka lahan yang menganggur bisa bermanfaat, dan orang yang menganggur bisa memperoleh pekerjaan.
Rukun, Sifat, dan Syarat- Syarat Muzara’ah 1.
Rukun Muzara‟ah dan Sifat Akadnya Rukun
muzara‟ah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul, yaitu berupa
pernyataan pemilik tanah, “Saya serahkan tanah ini kepada Anda untuk digarap dengan imbalan separuh dari hasilnya”, dan pernyataan penggarap, “Saya terima atau saya setuju”. Sedangkan menurut jumhur ulama, sebagaimana dalam akad-akad yang lain, rukun
(Muttafaq „alaih)
„aqid, yaitu pemilik tanah dan penggarap, b.
Ma‟qud „alaih atau objek akad, yaitu manfaat tanah dan pekerjaan penggarap, c.
Ijab dan qabul.
Menurut Hanabilah, dalam akad
muzara‟ah tidak diperlukan qabul perkataan, melainkan cukup dengan penggarapan secara langsung atas tanah.
Dengan demikian qabulnya dengan perbuatan (bil fi‟li).
Adapun sifat akad
muzara‟ah menurut Hanafiah, sama dengan akad syirkah yang lain yaitu termasuk akad yang ghair lazim (tidak mengikat). 6 Ibid .
muzara‟ah ada tiga, yaitu: a. Menurut Malikiyah, apabila sudah dilakukan penanaman bibit, maka akad menjadi lazim (mengikat). Akan tetapi, menurut pendapat yang
mu‟tamad
(kuat) dikalangan Malikiyah, semua syirkah amwal hukumnya lazim dengan telah terjadinya ijab dan qabul. Sedangkan menurut Hanabilah,
muzara‟ah dan
musaqah merupakan akad yang ghair lazim (tidak mengikat), yang bisa dibatalkan oleh masing-masing pihak, dan batal karena meninggalnya salah
7 satu pihak.
2. Syarat-Syarat Muzara‟ah
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Abu Hanifah), berpendapat bahwa
muzara‟ah memiliki beberapa syarat:
a.Syarat Aqid 1) Mumayyiz, tetapi tidak disyari‟atkan baligh. 2)
Imam Abu Hanifah mensyaratkan bukan orang murtad, tetapi ulama‟ Hanafiyah tidak mensyaratkannya.
b.
Syarat tanaman Di antara para ulama‟ terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan menganggap lebih baik jika diserahkan kepada penggarap.
c.
Syarat dengan garapan 1)
Memungkinkan untuk digarap, yakni apabila ditanami, tanah tersebut akan menghasilkan. 2) Jelas. 3) Ada penyerahan tanah.
d.
Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan 1) Jelas ketika akad. 2) Diharuskan atas kerja sama dua orang yang akad. 3)
Ditetapkan ukuran di antara keduanya, seperti sepertiga, setengah, dan lain-lain. 4)
Hasil dari tanaman harus menyeluruh di antara dua belah pihak yang akan melangsungkan akad. Tidak dibolehkan mensyaratkan bagi salah satunya mendapatkan sekadar pengganti benih.
e. 7 Tujuan akad Ibid., hal. 395-396.
Akad dalam
muzara‟ah harus didasarkan pada tujuan syara‟ yaitu untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.
f.
Syarat muzara‟ah Dalam
muzara‟ah diharuskan menetapkan jangka waktu. Jika waktu
8
tidak ditetapkan, muzara‟ah dipandang tidah sah. Selain syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, hendaknya dalam akad perjanjian
muzara‟ah dibuat kesepakatan hitam di atas putih agar suatu saat nanti tidak ada perselisihan atau problem yang membuat akad tersebut fasid.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 282 yang berbunyi:
َدِب ْمُتْ نَ ياَدَت اَذِإ اوُنَمَآ َنيِذَّلا اَهُّ يَأ َيَ ِلْدَعْلِبِ ٌبِتاَك ْمُكَنْ يَ ب ْبُتْكَيْلَو ُهوُبُ تْكاَف ىًّمَسُم ٍلَجَأ َلَِإ ٍنْي
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah penulis di antara kamu menuliskannya
9 dengan benar”.
Bentuk- Bentuk Akad Muzara’ah
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bentuk muzara‟ah ada empat macam, tiga hukumnya sah dan yang satu hukumnya batal atau fasid. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Tanah dan bibit (benih) dari satu pihak, sedangkan pekerjaan dan alat-alat untuk bercocok tanam dari pihak lain. Dalam bentuk yang pertama ini muzara‟ah hukumnya dibolehkan, dan status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap tenaga penggarap dan benih dari pemilik tanah, sedangkan alat ikut kepada penggarap.
2. Tanah disediakan oleh satu pihak, sedangkan alat, benih, dan tenaga (pekerjaan) dari pihak lain. Dalam bentuk yang kedua ini, muzara‟ah juga hukumnya dibolehkan, dan status penggarap sebagai penyewa atas tanah dengan imbalan sebagai hasilnya.
3. Tanah, alat dan benih disediakan oleh satu pihak (pemilik), sedangkan benih dan pekerjaan dari pihak lain (penggarap). Dalam bentuk yang ketiga ini,
8 9 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 208.
Depag RI, Al-
Qur‟an dan Terjemahannya (Semarang: Aneka Ilmu, 2008), hal. 59. muzara‟ah juga hukumnya dibolehkan, dan status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap penggarap dengan imbalan sebagian hasilnya.
4. Tanah dan alat disediakan oleh satu pihak (pemilik), sedangkan benih dan pekerjaan dari pihak lain (penggarap). Dalam bentuk yang keempat ini, menurut Zhahir riwayat, muzara‟ah menjadi fasid. Hal ini dikarenakan andaikata akad itu dianggap sebagai menyewa tanah maka disyaratkannya alat cocok tanam dari pemilik tanah menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, sebab tidak mungkin alat ikut kepada tanah karena keduanya berbeda manfaatnya. Demikian pula apabila akadnya dianggap menyewa tenaga penggarap maka disyaratkannya benih harus dari penggarap, menyebabkan ijarah menjadi fasid, sebab benih tidak ikut kepada „amil (penggarap) melainkan kepada pemilik.
Operasional Akad Muzara’ah pada Perbankan Syariah
Sektor pertanian (agribisnis) yang merupakan basis pertumbuhan ekonomi pedesaan, sangat strategis dalam meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi kemiskinan. Akan tetapi, sampai saat ini para petani masih dihadapkan pada kesulitan pembiayaan untuk pengembangan usahanya. Kurangnya keberpihakan perbankan syariah pada sektor pertanian indikasinya jelas, bahwa pembiayaan bank syariah dalam sektor pertanian masih sangat minim. Begitu banyaknya skim-skim bank syariah yang beroperasi saat ini, namun faktanya pembiayaan bank syariah dalam sektor ini masih sangat sedikit dibanding dengan sektor lainnya. Dengan kata lain, sektor pertanian masih dipandang sebelah mata oleh perbankan syariah saat ini.
Hal ini dikarenakan dari sudut pandang perbankan sendiri sektor pertanian kurang menarik untuk berinvestasi. Karakteristik kegiatan usaha disektor pertanian yang penuh resiko, baik resiko produksi maupun jatuhnya harga telah menyebabkan rendahnya minat lembaga perbankan dalam mendanai pembiayaan disektor ini. Selain itu, minimnya pembiayaan disektor ini disebabkan besarnya resiko yang dihadapi perbankan, sebab pembayaran terhadap pembiayaan yang diberikan tidak secepat pembiayaan dalam sektor perdagangan. Jika pada sektor perdagangan intensitas hasil dapat dihitung dalam waktu yang relatif singkat, bisa per-bulan, per-minggu bahkan per-hari. Berbeda dengan pembiayaan pertanian yang menunggu waktu yang relatif lama, empat atau enam bulan.
Dalam khazanah hukum bisnis syariah, hukum Islam telah memberikan aturan khusus bagi penerapan kontrak kerjasama pengolahan lahan tersebut dengan cara khusus sebagaimana dalam akad
muzara‟ah.. Secara teknis, kontrak
muzara„ah tidak berbeda jauh dengan kontrak mudharabah. Hanya saja
muzara„ah berarti khusus untuk pengolahan lahan pertanian sebagai pengganti
dari produksi yang diatur oleh suatu aturan tertentu. Oleh karena itu, teknis pengaplikasian sistem ini dalam perbankan syariah hampir sama dengan sistem pembiayaan mudharabah.
Kondisi ini terjadi disebabkan terdegradasinya visi ekonomi syariah pada perbankan syariah, disamping ketidakmampuan perbankan syariah untuk menggali dan mendinamisasi konsep agribisnis syariah secara praktis di lapangan. Dengan demikian, menjadikan bank syariah sebagai bank yang hanya berorientasi
profit minded tanpa memperhatikan kesejahteraan merata akan mereduksi makna
kesyariahan, lebih dari itu akan mencederai ekonomi syariah itu sendiri.Lebih penting dari itu, bahwa sudah saatnya umat Islam menggali sistem ekonomi Islam dalam bidang agribisnis yang teruji secara konsep dan praktis. Belum maksimalnya pemberdayaan ekonomi di bidang pertanian menunjukkan bahwa terjadi kesalahan dalam melihat konsep pertanian negeri ini. Adagium ibarat “petani mati di lumbung” menandakan terjadi kesalahan besar manajemen pertanian di Indonesia. Tentu pembahasan konsep ini harus dilakukan secara komprehensif dari mulai sistem pertanian, manajemen pertanian hingga tata kelola swasta dan negara dalam bidang pertanian.
Apabila praktik
muzara‟ah dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang telah dikemukakan diatas, maka secara riil diterapkannya bagi hasil dengan menggunakan akad
muzara‟ah akan berdampak pada sektor
pertumbuhan sosial ekonomi, seperti saling tolong menolong dimana antara pemilik tanah dan yang menggarapnya saling diuntungkan serta menimbulkan
10
10 adanya rasa keadilan dan keseimbangan.Sohari S ahrani dan Ruf‟ah Abdullah, Fikih Muamalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hal. 218.
Berakhirnya Akad Muzara’ah Muzara‟ah terkadang berakhir karena telah terwujudnya maksud dan tujuan
akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi, terkadang akad
muzara‟ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan muzara‟ah, karena sebab-sebab
sebagai berikut: 1.
Masa perjanjian muzara‟ah telah habis.
2. Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya itu sebelum dimulainya penggarapan maupun sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen atau belum. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanfiah dan Hanabilah. Akan tetapi menurut Malikiyah dan Syafi‟iyah, muzara‟ah tidak berakhir karena meninggalnya salah satu pihak yang melakukan akad.
3. Akadnya udzur atau alasan, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak penggarap. Di antara udzur atau alasan tersebut adalah sebagai berikut: a.
Pemilik tanah mempunyai utang yang besar dan mendesak, sehingga tanah yang sedang digarap oleh penggarap harus dijual kepada pihak lain dan tidak ada harta yang lain selain tanah tersebut.
b.
Timbulnya udzur (alasan) dari pihak penggarap, misalnya sakit atau bepergian untuk kegiatan usaha, atau jihad fi sabilillah, sehingga ia tidak
11 bisa mengelola (menggarap) tanah tersebut.
Penutup Muzara‟ah merupakan kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik
lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil panen. Hukum dari
muzara‟ah diperselisihkan oleh para
fuqaha. Imam Abu Hanifah dan Zufar, serta Imam Asy- Syafi‟i tidak membolehkannya. Akan tetapi, sebagian Syafi‟iyah membolehkannya, dengan alasan kebutuhan. Adapun rukun dari
muzara‟ah menurut Hanafiah adalah ijab
dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, sebagaimana dalam akad-akad yang lain, rukun
muzara‟ah ada tiga, yaitu„aqid, ma‟qud „alaih, Ijab dan qabul.
Macam- 11 macam Muzara‟ah sendiri terdiri dari empat, tiga hukumnya sah dan yang
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh …, hal. 403-404. satu hukumnya batal atau fasid. Dalam aplikasinya di Perbankan Syariah, pembiayaan muzara‟ah saat ini masih sangat minim. Hal ini dikarenakan dari sudut pandang perbankan sendiri, sektor pertanian kurang menarik apabila dijadikan sebagai lahan untuk berinvestasi.
Daftar Pustaka
Antonio, Muhammad Syafi‟I.Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani. 2001. Depag RI. Al- Qur‟an dan Terjemahannya. Semarang: Aneka Ilmu. 2008. Muslich, Ahmad Wardi.Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah. 2013. Sahrani,
Sohari dan Ruf‟ah Abdullah. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Syafei, Rachmat.Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2001.