Dynamics of Decentralization Policy Development In Timor-Leste

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi Di Timor-Leste

Dynamics of Decentralization Policy Development In Timor-Leste

1.2 1.3 Lucio Borromeo de Araujo 1.3 , Sarwono , Siti Rochmah

1 Program Magister Jurusan Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

2 Kementerian Administrasi Negara Timor-Leste

3 Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap tentang dinamika pembuatan kebijakan desentralisasi di Timor-Leste yang meliputi beberpa aspek, yakni: pertama, isu desentralisasi yang berkembang di Timor-Leste; kedua, aktor-aktor yang berkepentingan dalam menanggapi isu desentralisasi; ketiga, dinamika isu desentralisasi menjadi agenda kebijakan; dan keempat, proses pembahasan agenda kebijakan desentralisasi menjadi Undang-Undang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, desentralisasi telah menjadi sebuah tuntutan masyarakat yang perlu segera direspon oleh pemerintah; kedua, orientasi aktor lembaga kebijakan telah memanfaatkan isu desentralisasi sebagai komoditas politik untuk memperjuangkan dan atau mempertahankan kekuasaan tertentu dalam tubuh pemerintahan; ketiga, sosialisasi, realisasi program pembangunan lokal, serta konsultasi dimanfaatkan sebagai cara-cara untuk menyusun agenda kebijakan, baik agenda sistemik dan agenda institusional; dan keempat, adanya intervensi dari kepentingan aktor resmi lain, sebagai akibat dari distribusi kekuasaan, menyebabkan penundaan pembahasan agenda kebijakan desentralisasi di parlemen nasional.

Kata kunci: Isu desentralisasi, Kepentingan Aktor, dan Agenda Kebijakan.

Abstract

This paper aims to reveal the dynamics of decentralization policy in Timor-Leste which includes aspects, namely: first, the growing issue of decentralization in Timor-Leste, secondly, actors with an interest in responding to the issue of decentralization; Third, the dynamics of decentralization issues on the agenda policy, and the fourth, the discussion of decentralization policy agenda into law. The results showed that: First, decentralization has become a demand of the people that need to be addressed by the government, the second on an actor-oriented institutions have made use of the issue of decentralization policy as a political commodity to fight and or maintain a certain power in the government; third, dissemination of information, the implementation of local development programs and consultation with the stakeholders, are methods to set the policy agenda, either for systemic agenda and the institutional agendas; and fourth, the intervention from the other formal actors due to distribution of power many cause a delay against the discussion of decentralization policy agenda in the national parliament.

Keywords: Issue of decentralization, interest of actors, and policy agenda

PENDAHULUAN  meningkat mengakibatkan pemerintahan yang tradisional tidak lagi mampu mengakomodasi

Desentralisasi telah menjadi pilihan dalam perubahan yang terjadi. Diperlukan pihak luar, penyelenggaraan pemerintahan di Timor-Leste; masyarakat dan pihak swasta, untuk membantu sebab sejak para pendiri negara (founding fathers) pemerintah dalam menyelenggarakan urusan- menyusun format negara, konsep desentralisasi urusan publik. Pemahaman baru akan arti telah diakomodasikan melalui Constituição da

pemerintah (dari government ke governance) República Democrática de Timor-Leste (Konstitusi

menandakan terbukanya partisipasi masyarakat RDTL). Hal ini sesuai dengan pasal 5, 63 dan pasal yang lebih besar dalam menentukan jalannya

72. [32]. Pilihan ini secara prinsip telah seirama

kata lain, untuk dengan

menghadapi berbagai bentuk perubahan yang Fenomena globalisasi yang ditandai dengan

terjadi, diperlukan manajemen pemerintahan tingkat perubahan yang radikal, perkembangan

yang responsif, akomodatif, dan partisipatif. teknologi yang pesat, tingkat pluralisme yang Pemerintahan yang sentralistik dipandang tidak

lagi mampu menjawab harapan-harapan

depan, sehingga muncul Alamat korespondensi:

masyarakat

ke

desentralisasi sebagai konsep yang diyakini Email

Lucio Borromeo de Araujo

: lucioaraujo19@gmail.com mampu menjawab harapan-harapan masyarakat Alamat : Rua Jacinto Candido-Colmera, Dili, Timor-Leste

tersebut.

Telp. : +670 3310079

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi di Timor-Leste (Araujo, et al.)

Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa (2000, h. 66) mengatakan bahwa, agenda alasan yang ideal tersebut di atas dapat langsung

kebijakan merupakan, “a set of political diimplementasikan. Masih diperlukan berbagai

controlversies that will be viewed as falling within jenis dan bentuk kebijakan publik yang secara

the range of legitimate concerns meriting the operasional mengatur lebih lanjut mengenai hal

attention by a decision making body ” [20]. ini. Pemandangan demikian ini didasarkan pada

Terkait dengan hal ini, Mantan Presiden pemikiran bahwa, kebijakan adalah inti sekaligus

Bank Dunia, Robert S. McNamara, yang ditulis merupakan dimensi utama dari administrasi

oleh Rondinelli (1983) dalam Cheema & Rondinelli publik; karena, sejatinya administrasi publik tidak

(1983, h. 77) mengatakan,

bisa eksis dalam kebijakan yang vakum.

are serious about Menyadari akan hal ini, maka sejak tahun

“if

governments

distributing the benefits of development more 2003,

equitably, than experience shows that there is Administrasi Negara (Ministério da Administração

a greater chance of success if institutions Estatal —selanjutnya disingkat MAE) telah bekerja

provide for popular participation, local dalam kerangka desentralisasi dan otonomi

leadership and decentralization of authority .” daerah. MAE dengan bantuan (support) United

Nation Development Program (UNDP) dan United Meskipun demikian, harus pula diakui Nation Capacity Development Fund (UNCDF), bahwa, dalam proses pembuatan kebijakan telah membentuk suatu tim kerja teknis lintas publik, selalu melibatkan proses politik, “siapa, kementerian atau Grupo Trabalho Técnico Inter- melakukan apa, dan untuk memperoleh apa.” ministerial (GTTIM), untuk melakukan studi

(2000) yang dikutip oleh analisis dan mengembangkan opsi bagi masa Kusumanegara (2010, h. 60) mengatakan, “para depan desentralisasi dan reformasi pemerintahan aktor baik yang berasal dari pemerintah maupun daerah. [32] nonpemerintah terlibat dengan persoalan nilai Beranjak

Bahkan Islamy

dalam proses kebijakan ” *19+. direkomendasikan

Berkaitan dengan pendapat yang terakhir pemerintah telah

pula mengujicobakannya, ini, Budi Prasetyo (2010), melalui penelitiannya melalui mekanisme local development program yang berjudul “Orientasi Aktor dalam Kebijakan (LDP), dan, berkat pengalaman dari pelaksanaan Publik (Analisis Perumusan Kebijakan Proyek LDP ini, tiga paket RUU untuk desentralisasi telah Pemberdayaan Masyarakat Pengelolaan Waduk dihasilkan, yakni: 1) Governo Local [pemerintah Dawuhan)”, mengungkap beberapa temuan daerah]; 2) Eleição Município [pemilu umum terkait dengan kepentingan aktor dalam proses untuk kota] dan 3) Divizão Territorial e pembuatan kebijakan publik, sebagai berikut: Administrativa

administratif], yang kesemuanya, sejak tahun agenda setting dan problem definition sebagai

bagian dari perumusan kebijakan merupakan 2009, telah diajukan kepada Parlemen Nasional tahapan penting untuk memahami dan (PN) untuk diagendakan pembahasannya lalu mengakomodasi eksistensi orientasi dan disetujui dan disahkan.

masing-masing aktor sehingga Sampai pada tahap pembahasan ini, diperoleh kepentingan publik yang merupakan nampaknya memicu suatu persoalan menarik perwujudan dari kepentingan semua aktor yang perlu dikaji, sebab sebelum sampai pada

masalah

yang berinteraksi;

kepada PN tadi, hanya satu RUU saja yang telah adanya perpaduan dari kepentingan publik

tahapan ini, ketiga paket RUU yang diajukan

yang didialogkan, akan menentukan gaya sempat dibahas dan telah disahkan menjadi UU kebijakan publik yang dirumuskan; (lei), yakni Lei No. 11/2009 tentang Divizão

akomodasi dan partisipasi Territorial e Administrativa. Sementara dua RUU

kualitas keseluruhan proses perumusan akan kualitas

penting lainnya justru belum sempat dibahas oleh akomodasi dan partisipasi keseluruhan proses PN. (baca: Maria Exposto dalam The Dili Weekly perumusan, akan memengaruhi penerimaan News, 17 Januari 2012). Pertanyaan yang stakeholder pada tahapan policy legitimation, kemudian dimunculkan adalah, mengapa PN disamping perlunya komitmen yang kuat di belum mengagendakan pembahasan terhadap

antara stakeholder;

kedua RUU lainnya tersebut?

Jawaban atas pertanyaan tersebut, ada dalam skala makro orientasi aktor sangat

memengaruhi proses perumusan kebijakan pada agenda di PN sendiri, sebab menurut Cobb & publik. Fenomena demikian ini kemudian Elder (1972) yang dikutip oleh Lester & Stewart

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi di Timor-Leste (Araujo, et al.)

diasumsikan dapat menimbulkan dinamika relevan untuk dikemukakan terkait dengan tertentu

kebutuhan dan tuntutan akan desentralisasi kebijakan publik. [27].

dalam setiap tahapan

proses

adalah pendapat Paddison (1983) yang dikutip Berdasarkan pada pemikiran tersebut di atas,

oleh Domai (2011, h. 116) bahwa, [14]

maka penelitian ini bertujuan untuk: “administrasi harus disebarkan menurut

geografi untuk tujuan penguatan pelestarian desentralisasi yang berkembang di Timor-

1. Mengetahui dan

mendeskripsikan

isu

tatanan, registrasi lahan, Leste;

hukum dan

pengadaan keuntungan bagi kas rakyat yang

dan untuk melakukan kebijakan

2. Menganalisis kepentingan aktor lembaga

membutuhkan,

segudang aktivitas lain yang tidak bisa desentralisasi;

dijalankan dari Ibukota.”

3. Menjelaskan berkembangnya

isu

Berkaitan dengan itu, bahkan P. King desentralisasi menjadi agenda kebijakan; dan (1982) dan Duehacek (1970) yang dikutip Smith

4. Menjelaskan proses pembahasan agenda (2012, h. 3) mengatakan, “negara-negara kecil kebijakan desentralisasi menjadi Undang- pun memiliki jenis pemerintahan daerah dengan Undang. kadar otonomi tertentu.” Pernyataan P. King dan

Duehacek ini memiliki relevansi yang signifikan

METODE PENELITIAN

apabila dikaitkan dengan kebutuhan untuk Penelitian ini termasuk jenis penelitian melaksanakan desentralisasi dan membentuk kualitatif

dengan desain

deskriptif,

yang

Municipal di Timor-Leste [30]. mengambil

Ministério

Menurut data sensus penduduk tahun Administração Estatal (MAE) atau Kementerian 2010, diperoleh informasi bahwa, mayoritas Administrasi Negara Timor-Leste. Data yang penduduknya merupakan masyarakat pedesaan dipergunakan dalam penelitian ini adalah data atau rural community, yakni 70,45% dan 46% dari primer yang diperoleh melalui hasil wawancara jumlah tersebut tergolong masyarakat yang mendalam dengan key informant dan hasil

berada dibawah garis observasi, serta telaah dokumen sebagai data kemiskinan. Keadaan ini tentu saja merupakan sekundernya. Untuk menganalisis data dan tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk informasi tersebut, penulis menggunakan model menentukan mekanisme pelayanan yang lebih interaktif, menurut Miles dan Huberman (2009), efektif untuk dapat mengurangi angka kemiskinan yang meliputi: reduksi data, penyajian data, dan tersebut. Selain itu, menurut observasi penulis, penarikan kesimpulan atau verifikasi [23]. tantangan lain yang turut menjadi perhatian

tingkat ekonominya

pemerintah adalah keadaan geografik. Keadaan

HASIL DAN PEMBAHASAN

geografik Timor-Leste yang tersusun atas gunung,

1. Isu Desentraslisasi Yang Berkembang di

bukit dan lembah, menyebabkan persebaran

Timor-Leste

penduduk menjadi tidak merata dan tidak jarang Suatu kebijakan publik, apapun bentuknya, ditemui adanya komunitas-komunitas kecil yang selalu bermula dari adanya isu yang memerlukan berkelompok dalam lokalitas tertentu dengan intervensi dari pemerintah. Nugroho (2003, h. 73) mengatakan bahwa, “dalam setiap kebijakan karakteristiknya berbeda-beda.

Keadaan demikian di atas, secara umum publik dimulai dari isu-isu publik yang dirasakan merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah oleh masyarakat luas dimana perlu dilakukan untuk menyediakan pelayanan publik yang dapat tindakan kebijakan publik ” *26+. Selanjutnya

masyarakat setempat secara Nawawi (2009, h. 113) mengata kan bahwa, “suatu

menjangkau

tersebut, menurut isu kebijakan (policy issue) lazimnya muncul perspektif kebutuhan administratif dan tuntutan karena, telah terjadi silang pendapat di antara politik, dapat menstimulasi adanya tuntutan para aktor mengenai arah tindakan yang telah masyarakat dan pemerintah setempat untuk atau akan di tempuh, atau pertentangan melaksanakan desentralisasi. Pendapat demikian pandangan mengenai karakter permasalahan itu didukung oleh Smith (2012, h. 74) yang sendiri ” *25+.

memadai.

Kenyataan

mengatakan bahwa, [30]

“tuntutan-tuntutan politik akan daya tanggap kebijakan

Berkaitan dengan proses

kebutuhan daerah tertentu dikedepankan tentu saja tidak terlepaskan dari dirasakan di semua tingkatan dalam hirarki adanya kebutuhan administratif dan tuntutan teritorial. Pemerintah kota mungkin merasa politik [29/30]. Beberapa isu yang mungkin

terhadap

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi di Timor-Leste (Araujo, et al.)

perlu secara administratif dan berguna secara termasuk desentralisasi. Abidin (2012, h. 101) politis untuk menciptakan institusi daerah

mengatakan, salah satu kemungkinan pilihan sebagai pengakuan atas kebutuhan khusus

pemerintah terhadap sebuah isu adalah [3]: dari lingkungan tertentu, terutama yang

“bertindak aktif jika masyarakat kurang dengan tingkat depriasi sosial dan ekonomi

matang, isunya penting, informasi cukup yang tinggi.”

tersedia, sedangkan penerimaan masyarakat tidak penting. Artinya, dalam masyarakat

Pendapat tersebut di atas, bersumber pada

kepentingan yang suatu keyakinan bahwa, desentralisasi dapat

mengakibatkan kesetaraan pembangunan kepada

pada perspektif Abidin pemerintah daerah dan masyarakat setempat, tersebut, maka pemerintah telah menempatkan baik secara ekonomi maupun politik. Dari sisi isu desentralisasi ini sebagai sesuatu yang penting, politik,

dan masyarakat menganggapnya sebagai sesuatu desentralisasi

yang baik tanpa ada suatu kepentingan apapun. pemerintah

Meskipun demikian, seiring dengan berjalannya keterampilan

dan kemauan

politik

para

waktu, masyarakat mulai sadar akan persoalan penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan pembangunan yang dihadapinya sendiri dan hal untuk mempertahankan integritas nasional [30]. ini telah menjadi diskursus panjang yang Sedangkan dari sisi ekonomi, Cheema & Rondinelli seharusnya memang dapat disigapi melalui (1983) menegaskan bahwa, desentralisasi dapat kebijakan publik. Keadaan demikian ini yang, meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam perspektif Smith (1985), disebut sebagai dalam penyediaan public good and services, serta tuntutan politik. Tuntutan politik ini muncul untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

kesenjangan dan/atau pembangunan ekonomi di daerah [13]. ketimpangan dalam penyediaan layanan publik Meskipun demikian, tujuan-tujuan tersebut yang dirasakan oleh masyarakat setempat, belum dapat diwujudkan secara nyata dalam sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. mekanisme penyelenggaran pemerintahan di Mengamati keadaan demikian di atas, Timor-Leste. Hasil penelitian membuktikan secara maka sebagian elit politik (partai politik tertentu) empiris bahwa, semenjak isu desentralisasi justru telah memanfaatkannya secara baik isu-isu digulirkan

karena

adanya

(tahun 2003) hingga saat

ini,

tentang desentralisasi ini untuk dijadikan bahasa penyelenggaraan pemerintahan masih dilakukan politik yang hangat dalam kampanye politiknya, secara terpusat (sentralistis). Akibatnya adalah sebagai upaya untuk memenangkan pemilihan masih

umum (pemilu). Dukungan masyarakat atas partai penyediaan layanan publik yang kesemuanya politik tertentu, yang menawarkan gagasan- terakumulasi menjadi kurangnya self of belonging gagasan desentralisasi ini, merupakan indikasi dan self of responsibility masyarakat atas bahwa, ada keinginan yang kuat dari masyarakat pembangunan yang diselenggarakan--selama ini-- terhadap pelaksanaan desentralisasi. di lingkungannya. Keadaan di atas, patut terjadi dalam sistem Kenyataan

tersebut di

atas, dalam

yang menganut prinsip perspektif Smith (1983) diinterpretasikan bahwa, demokrasi, seperti Timor-Leste [1]. Pada alasan dari sisi kebutuhan adminitratif, pemerintah ini, maka kebijakan publik dipahami sebagai memiliki suatu keinginan politik yang baik tindakan (politik) apa pun yang diambil oleh (political will) untuk melaksanakan desentralisasi, pemerintah pada semua level dalam menyikapi sebagai bentuk manifestasi akan diwujudkannya sesuatu permasalahan yang terjadi dalam konteks perintah kontitusi RDTL, yaitu untuk mendekatkan atau lingkungan sistem politiknya [1]. Dengan pemerintah

perilaku kebijakan (policy masyarakat dapat berpartisipasi secara lebih baik behavior) akan mencakup pula kegagalan yang terhadap proses penyelengaraan pemerintah [30]. tidak disengaja, dan keputusan yang disengaja Adanya keinginan politik pemerintah untuk untuk tidak berbuat sesuatu apapun [1]. Dalam desentralisasi

demikian maka

ini dapat

perspektif ini, pemerintah telah dengan sengaja mengalirnya isu tersebut. Hal ini dikarenakan, melakukan berbagai cara untuk mengalihkan pada

umumnya di negara-negara

sedang

masyarakat, yaitu diantranya, berkembang, apa lagi bagi sebuah negara baru melaksanakan decentralize development program seperti Timor-Leste, memang pemerintah harus (PDD). PDD merupakan paket pembangunan yang lebih aktif untuk mengembangkan isu-isu,

perhatiaan

dipercayakan

implementasinya kepada

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi di Timor-Leste (Araujo, et al.)

pemerintahan District, sebagai suatu mekanisme

2. Kepentingan

Aktor

Lembaga Kebijakan

untuk mempersiapkan kemampuan

District

terhadap Isu Desentralisasi yang Berkembang

sebelum memasuki era desentralisasi nantinya. Keterlibatan aktor atau pemeran serta Melihat realitas di atas, dan dengan

dalam proses kebijakan publik sangatlah penting mengacu pada pendapat Bachrach & Baratz

karena sebagai penentu isi kebijakan dan pemberi (1962); Heclo (1972), Abdul Wahab (2005, h. 32)

warna dinamika dalam setiap tahapan proses menerangkan bahwa, [1]

kebijakan. Menurut Lindblom (1980) yang dikutip “semisal, tindakan-tindakan tertentu yang

oleh Agustino (2008) bahwa, aktor pembuat dilakukan (baik secara sadar atau tidak),

sistem pemerintahan untuk

kebijakan

dalam

demokratis, merupakan interaksi antara dua aktor (constraints) tertentu agar publik atau

menciptakan

rintangan-rintangan

besar, yakni Inside Governemt Actors (IGA) dan masyarakat tidak dapat menyikapi secara

Outside Government Actors (OGA) [4]. Menurut kritis terhadap kebijakan pemerintah.”

perspektif ini, maka yang termasuk dalam IGA Lebih lanjut Hogwood dan Gunn (1986)

disini adalah lembaga pemerintah (dalam arti mengatakan, agar suatu kebijakan dapat disebut

eksekutif), sedangkan yang termasuk dalam OGA sebagai kebijakan publik, maka [dalam] derajat

adalah lembaga Parlamento Nacional (PN) sebagai tertentu ia haruslah diciptakan, dipikirkan atau

legislatif. Kedua aktor ini dalam konteks proses setidaknya, diproses melalui prosedur-prosedur

kebijakan publik di Timor-Leste memiliki peranan tertentu dan dibawah pengaruh atau kontrol

yang sangat penting, mulai dari sesuatu masalah pemerintah [17].

masih menjadi isu, kemudian menjadi agenda Berdasarkan pada beberapa perspektif

hingga proses pengambilan keputusan; namun yang dikemukakan di atas, nampaknya para

demikian, untuk kebijakan publik yang berbentuk ilmuwan tersebut telah menjustifikasi bahwa,

Undang-undang (Lei) baru dikatakan sah apabila pemerintah

telah mendapatkan persetujuan dari PN (pasal 95 mengisukan desentralisasi untuk dijadikan sebuah

telah berhasil

dengan

baik

Konstitusi RDTL) untuk kemudian diumumkan kebijakan publik.

pengesahannya (promulgação) oleh Presiden Berdasarkan

Republik (pasal 85 Konstitusi RDTL). maka dapat dirumuskan suatu pemahaman

pemandangan

demikian,

Masing-masing aktor tersebut di atas tentu bahwa, dalam masyarakat yang masih belum

sendiri-sendiri yang matang memerlukan inisiatif yang aktif dari

memiliki

kepentingan

mungkin tidak sama, termasuk dalam menanggapi pemerintah untuk meluncurkan isu-isu yang

isu desentralisasi. Adam Smith (1776) dalam relevan dan penting guna memperoleh respon

bukunya The Wealth of Nations yang dikutip oleh tertentu dari publik dalam upaya pembuatan

Fredericson, et.al. (2012, h. 192) mengatakan [15], kebijakan publik. Dalam perspektif ini, jika isu

“insight was that people acting in persuit of tersebut telah mendapatkan perhatian publik,

their own self-interest could, through the maka sepantasnya pemerintah harus lebih aktif

mechanism of the ‘invisible hand’, produce lagi untuk memprosesnya melalui prosedur-

collective benefits that profited all society .” prosedur tertentu yang diberlakukan, sebagai

Selanjutnya Abdul Wahab (1999, h. 97) tindak lanjutnya, yakni melalui penetapan

mengatakan bahwa, “faktor motivasi (termasuk kebijakan publik.

motivasi politik) dari aktor tertentu sangat akan Dalam konteks tersebut di atas, dalam

menentukan seberapa besar nilai trade off (harga kondisi yang normal, dikatakan oleh Nawawi

yang harus dibayar) oleh aktor yang lain bagi (2009)

dukungan politik yang diberikan ” [1]. disyaratkan bahwa isu dapat menjadi kebijakan

bahwa, memang

secara

implisit

Secara empirik, penelitian ini menemukan publik praktis harus “menembus” pelbagai pintu

bahwa, desentralisasi telah menjadi komitmen akses kekuasaan berupa saluran-saluran tertentu

bagi negara baru ini untuk dilaksanakan dalam (birokrasi dan politik) baik yang formal maupun

sistem pemerintahannya, yang tentu saja yang informal, yang sekiranya tersedia dalam

merupakan tanggung jawab pemerintah untuk sistem politik [25]. Pendapat ini (dalam perspektif

mengamanahkan perintah konstitusi RDTL. Wujud Nawawi) dikarenakan adanya modus kepentingan

dari komitmen pemerintah ini dapat dilihat pada yang berbeda dari aktor-aktor yang telibat dalam

dinamika isu desentralisasi yang berkembang proses

kabinet pemerintahan menimbulkan semacam “arena” atau ajang

kebijakan publik,

konstitusional I (2002-2006) hingga kabinet pertarungan kepentingan politik, baik yang

pemerintahan konstitusional IV (2007-2012), yang terselubung maupun terang-terangan.

masing-masing dimotori oleh dua partai besar

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi di Timor-Leste (Araujo, et al.)

yang berbeda, yakni partai Fretelin (yang memimpin pemerintahan I-III) dan partai CNRT dengan

kontitusional IV. Komitmen terhadap desentralisasi telah pula diterjemahkan ke dalam beberapa tujuan berikut:

a) untuk membangun

hubungan

pemerintah dengan

masyarakat

sehingga

pembangunan dapat berjalan lebih baik; b) memindahkan pelayanan yang lebih dekat dengan masyarakat; dan c) membentuk pemerintah daerah yang kuat, transparan, dan memotivasi partisipasi aktif dari semua masyarakat. Formulasi tujuan demikian, diinterpretasikan, mangandung nilai-nilai

transparansi dan akuntabilitas. Meski

demikian,

tujuan yang telah

dirumuskan tersebut nampaknya tidak dengan mudah dapat dilaksanakan. Dalam usahanya untuk membentuk kebijakan publik, yang dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman, dalam rangka untuk merealisasikan amanat Konstitusi tersebut, masih ditemukan adanya perbedaan- perbedaan pandangan dari aktor-aktor politik yang berkuasa dalam pemerintahan, baik dalam lembaga eksekutif maupun dalam lembaga legislatif. Ada kecenderungan bahwa, perbedaan- perbedaan tersebut lebih disebabkan oleh adanya faktor motivasi yang didasarkan pada keyakinan dari masing-masing aktor dalam memandang suatu persoalan, yang dianggap baik dan benar [1]. Dalam konteks demikian, konsep “invisible hand ” (menurut perspektif Adam Smith, 1776) patut dipersoalkan. Bahwa, ada motivasi-motivasi tertentu yang masih tersembunyi (hidden motive) yang patut dikemukakan [1].

Perbedaan pandangan

mengenai

desentralisasi ini sesungguhnya bermula dari adanya perbedaan persepsi atas penentuan pilihan opsi yang direkomendasikan oleh Grupo Trabalho Tecnico Inter-ministerial (GTTIM) atau kelompok kerja teknis inter-kementerian pada tahun 2003, tentang sistem pemerintahan daerah, terutama yang terkait dengan pembentukan daerah dan otonomi daerah. Perbedaan tersebut berkisar pada, apakah struktur pemerintahan daerah yang akan dibentuk nanti akan menganut pola minimal dan/atau pola maksimal, atau dalam istilah Muluk (2009, h. 61) dikenal dengan “efektivitas struktur” dan/atau “efisiensi struktur” [24]. Muluk, lebih lanjut menjelaskan bahwa, jika kadar efisiensi strukturalnya tinggi maka kadar demokrasi lokalnya rendah. Demikian pula, jika kadar efisiensi strukturalnya rendah maka kadar demokrasi lokal tinggi [24].

Pada masa

kabinet

pemerintahan konstitusional ketiga, yang dikendalikan oleh partai Fretelin, lebih memilih opsi ketiga untuk meletakkan struktur pemerintahan daerah pada tingkat kecamatan, sebanyak 31-35 Municipal dan membentuk beberapa struktur pemerintahan propinsi atau region. Preferensi ini dapat dipahami sebagai pilihan yang mengarah pada pembentukan pemerintah daerah yang menganut pola maksimal atau efektivitas struktur (dilihat dari perspektif demokrasi). Pilihan ini telah pula diikuti dengan upaya percontohan (pilot) tentang sistem pemerintahan lokal melalui mekanisme LDP serta beberapa upaya sosialisasi. Namun demikian, pilihan ini yang ideal (menurut perspektif pemerintahan Fretelin) ini nampaknya tidak bisa dilanjutkan seiring dengan berakhirnya masa bakti pemerintahan. Kemudian setelah pergantian kabinet pemerintahan, pada kabinet pemerintahan

konstitusional

keempat —yang diusung dari partai-partai koalisi yang diprakarsai oleh partai CNRT —justru preferensinya lebih mengarah

kepada pembentukan struktur pemerintah daerah dengan pola minimal, yaitu untuk mentransformasikan 13 Distrito yang ada saat

ini menjadi

daerah

otonom tanpa membentuk struktur pemerintah di atasnya.

Fenomena-fenomena demikian di atas, kemudian diasumsikan

telah menyebabkan dinamika interaksi aktor dalam lembaga PN, sebagai arena pertarungan kepentingan. Hal ini dimungkinkan karena, pada hakekatnya, Partai Fretelin, yang pada masa sebelumnya adalah partai pemerintah, kembali memposisikan diri di lembaga PN sebagai oposisi parlemen pada periode legislasi kedua (2007-2012). Beberapa argumen yang dimunculkan, terutama oleh partai oposisi PN, adalah bahwa, “Distrito belum siap dalam hal sumber daya manusia, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.” Pernyataan inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan bagi PN untuk menunda pembahasannya.

Perbedaan kepentingan tersebut, nampaknya tidak saja terjadi pada pilihan opsi yang ditawarkan oleh GTTIM tadi, namun dalam pemerintah (eksekutif) sendiri masih terdapat beberapa kementerian yang menyampaikan keengganannya untuk menyerahkan sebagian urusannya kepada daerah. Keengganan beberapa kementerian ini, tidak terlepaskan dari motivasi politik, yang dalam perspektif Abdul Wahab (1999), merupakan bargaining position atas nilai trade off (harga yang harus dibayar) untuk memberikan

dukungannya.

Pendapat ini dimungkinkan

melalui pernyataan seorang

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi di Timor-Leste (Araujo, et al.)

informan yang mengatakan, “jika saya berikan ini istimewanya. Sedangkan nilai-nilai politik —masih lalu saya harus dengan apa atau melakukan apa?”

Anderson —bahwa, Dinamika

menurut

perspektif

pembuatan keputusan (decision making) tersebut diasumsikan

lebih didasarkan pada keuntungan politik untuk kepentingan dalam arena PN untuk membuat

memperluas pengaruh-pengaruh politik atau keputusan [1]. Hal ini, menurut teori mobilisasi

untuk mencapai tujuan dan kepentingan dari sumber daya sosial, dijelaskan oleh Abdul Wahab

partai politik atau tujuan dari kelompok (1999, h. 101) bahwa, “setiap aktor akan berupaya

kepentingan yang bersangkutan. keras memaksimasi peluang mereka untuk

3. Isu

Desentralisasi Berkembang menjadi

mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik dengan cara memobilisasi sumber daya

Agenda Kebijakan

Suatu masalah atau isu akan masuk tersebut ” [1]. menjadi agenda kebijakan, bila hal ini telah Dalam perspektif teori mobilisasi sumber mendapatkan perhatian yang seksama dari daya sosial tersebut, kemudian Renn (1992)

(polcy maker), karena membacanya bahwa, ada indikasi penggunaan nyatanya, menurut Laster & Stewart (2000) sumber-sumber daya sosial oleh masing-masing bahwa, tidak semua masalah akan masuk menjadi aktor, baik pemerintah maupun PN, untuk agenda kebijakan. Agenda kebijakan menurut mencapai motivasinya. Sumber-sumber yang Birklend (2007) yang dikutip oleh Frisher, Milner & dibaca oleh Renn (1992) dari hasil penelitian ini Sidney (2007, h. 63) didefinisikan sebagai, “the lebih mengarah pada penggunaan sumber- process by which problems and alternative sumber kekuasaan. solutions gain or lose public and elite attention. ” Kekuasaan,

pembuat kebijakan

Untuk mendapatkan perhatian publik ini, Nawawi dioperasikan lewat sarana utama kewenangan (2009, h. 1) mengatakan perlunya tiga kegiatan untuk mencapai kepatuhan atas kesepakatan yang harus dilakukan dalam penyusunan agenda kolektif yang telah dicapai. Pemandangan ini lebih

kebijakan, yakni:

relevan diaktualisasikan

“(1) membangun persepsi di kalangan pemerintah (eksekutif), karena meskipun masih stakeholders bahwa sebuah fenomena benar- ada sebagian kementerian yang masih belum benar dianggap sebagai masalah; (2) membuat bersedia untuk menyerahkan urusannya kepada batasan masalah; dan (3) memobilisasi daerah

pada

kepentingan

namun, keputusan

kolektif

yang

dukungan agar masalah tersebut dapat masuk diputuskan

dalam agenda pemerintah.” [16] mengaharuskan perlunya kepatuhan, meskipun

bertentangan dengan keyakinannya. Sedangkan Melalui penelitian ini ditemukan bahwa, dalam badan legislatif, kekuasaan dioperasikan

pemerintah telah melakukan beberapa kegiatan melalui mayoritas kekuasaan parlementer yang

yang sekiranya dapat mendukung pembentukan mengusung pembentukan pemerintah. Hal ini

agenda desentralisasi, mulai dari 1) melaksanakan dapat berarti

local development program (PDL); 2) sosialisasi sesungguhnya terletak pada kesepakatan awal

bahwa, kekuasaan

tertinggi

kepada masyarakat dan para politisi di tingkat atau keputusan kolektif sebagai pemaksa perlunya

lokal; dan 3) melakukan workshop nasional kepatuhan, meskipun boleh jadi bertentangan

untuk memastikan dengan keyakinannya.

dikalangan

pemerintah

kesiapan pemerintah untuk desentralisasi. Jika demikian fenomena yang dijelaskan

Temuan di atas dapat dikelompokkan ke oleh Renn tersebut maka, Anderson (1975; 1979)

dalam dua perspektif pembentukan agenda, yaitu: yang dikutip oleh Islamy (2009) dan Winarno

pertama, adalah untuk membentuk systemic (2012), telah memposisikan kepentingan aktor-

agenda (agenda sistemik); dan kedua, adalah aktor

untuk membentuk institutional agenda (agenda pemerintah maupun PN, pada nilai-nilai organisasi

lembaga kebijakan

tersebut,

baik

institusional atau agenda pemerintah). (organization values) dan nilai-nilai politik (politics

Systemic agenda didefinisikan oleh Cobb & values). Nilai-nilai organisasi menurut perspektif

Elder (1972) yang dikutip Abidin (2012, h. 99) Anderson, dapat dijelaskan bahwa pemerintah

bahwa, “isu yang secara umum mendapat telah memaksakan pelaksanaan desentralisasi

perhatian dari masyarakat dan kalangan politisi kepada struktur pemerintahan dibawahnya untuk

dan berada dalam yuridiksi pemerintahan.” Agar menerima dan melaksnakannya, demi untuk

suatu masalah dapat masuk menjadi agenda mencapai kepentingan politiknya dalam rangka

sistemik, Cobb dan Elder (1972) yang dikutip oleh untuk mempertahankan kekuasaan dan hak-hak

Agustino (2008, h. 106) mengatakan, setidak-

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi di Timor-Leste (Araujo, et al.)

tidaknya isu tersebut telah memenuhi tiga telah menghasilkan tiga paket desain RUU tentang persyaratan, yakni:

desentralisasi, yang kesemuanya telah disetujui “pertama, isu itu memperoleh perhatian yang

oleh Dewan Menteri dan telah pula diajukan luas atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan

kepada PN, sebagai bentuk proposal RUU, untuk kesadaran publik; kedua, adanya persepsi dan

diagendakan pembahasannya lalu disetujui dan pandangan publik yang luas bahwa beberapa

kemudian disahkan menjadi Undang-undang. tindakan perlu dilakukan untuk memecahkan

Dalam konteks ini, mengingat pembuatan masalah tersebut; dan ketiga, terakhir, adanya

kebijakan dalam bentuk UU merupakan kegiatan persepsi yang sama dari masyarakat bahwa

yang melibatkan dua institusi yang berbeda, masalah

dalam hal ini pemerintah dan PN, maka tentunya kewajiban dan tanggung jawab yang sah

itu adalah

merupakan

suatu

agenda pemerintah harus pula mendapat pemerintah

perhatian atau memiliki persepsi yang sama dari menyelesaikan/mengatasinya.” [4]

untuk

kedua institusi tersebut. Dalam perspektif ini, Berdasarkan temuan penelitian ini, yang

Cobb & Elder (1972) yang dikutip oleh Nawawi jika didiskusikan dengan pendapat Cobb & Elder

(2009, h. 110) menyarankannya sebagai berikut: tersebut, maka berikut ini dikemukakan beberapa

1) Kelompok berusaha untuk memelihara dirinya kesimpulan, bahwa: pertama, kegiatan sosialisasi

suatu negara dengan merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk

sendiri

dalam

keseimbangan yang wajar, dan bila sesuatu menyebarkan isu secara luas kepada seluruh

yang mengancam kondisi ini, mereka akan stakeholder, termasuk masyarakat dan politisi

bereaksi.

lokal, sehingga dapat menimbulkan tanggapan

2) Kepemimpinan politik, apakah yang melatar- atau diskusi-diskusi umum dalam kalangannya.

pertimbangan mendapatkan Melalui kegiatan ini melahirkan suatu pendapat

belakangi

keuntungan politis atau perhatiannya memang bahwa, masyarakat dan pemerintah, bersama-

untuk kepentingan publik atau keduanya sama,

sangat mungkin dan dapat mempengaruhi desentralisasi dan pembentukan

telah sepakat

untuk melaksanakan

perubahan isu-isu menjadi agenda kebijakan. Kedua, pengalaman pelaksanaan PDL, yang

Municipal.

3) Konsekuensi beberapa kritis atau kejadian tadinya dimaksudkan sebagai sebuah pilot

yang besar atau luar biasa. program terhadap sistem kepemerintahan lokal,

4) Kegiatan semacam pemrosesan, demonstrasi, nampaknya juga telah menimbulkan diskusi-

serta perubahan menjadi perhatian dalam diskusi umum dalam kalangan masyarakat dan

agenda politik nasional yang utama. pemerintah. Kegiatan-kegiatan ini dapat dipahami

5) Masalah atau isu-isu di tingkat masyarakat bahwa, pemerintah telah berhasil membentuk

yang diliput oleh media masa secara besar- opini publik, yang dapat berarti bahwa isu

besaran sehingga dapat mempengaruhi opini desentralisasi telah menjadi agenda sistemik.

publik yang mampu mendorong perubahan ke Sedangkan

arah terbentuknya agenda kebijakan di level pesertanya hanya dalam kalangan pemerintah,

dimaksudkan sebagai sarana konsultasi untuk Berdasarkan pada penjelasan Cobb & Elder memastikan komitmen dari pemerintah, sebelum

tersebut, ditemukan bahwa, lobi-lobi yang agenda sistemik tadi berubah menjadi agenda

dilakukan oleh MAE terhadap PN sifatnya institusional, yang akan diputuskan kemudian

memang masih terbatas pada Komisi A PN yang melalui Concelho de Ministro (Dewan Menteri).

menangani bidang, salah satunya adalah, poder Cobb & Elder (1972) yang dikutip Abidin (2012, h.

local (kewenangan lokal). Konsekuensinya adalah

99) mengatakan, institutional agenda adalah: “isu bahwa meskipun agenda ini telah berhasil yang secara resmi menjadi perhatian serius dari

menjadi agenda di PN, nampaknya kesiapan SDM penguasa.” [25]. Terkait dengan pendapat Cobb &

dan kesiapan sumber daya lain justru menjadi Elder ini, secara empiris, harus diputuskan melalui

persoalan yang perlu disigapi melalui proses Dewan Menteri, maka agenda desentralisasi ini

pembahasan agenda menjadi UU. Menghadapi telah berhasil pula--dengan mudah--menjadi

kondisi demikian, memerlukan keterlibatan pihak- agenda

pihak luar (kepentingan aktor tidak resmi) untuk desentralisasi ini lebih bersifat top-down.

memperjuangkan isu ini dapat membuahkan Setelah isu tersebut masuk menjadi agenda

suatu keputusan kebijakan. pemerintah, maka langkah selanjutnya adalah

Dalam konteks ini, Frank Ficher dan John perumusan kebijakan. Pada tahap perumusan

Forester (1993) yang dikutip oleh Hajer dan kebijakan pemerintah, kembali melalui GTTIM,

Wagenar (2003) yang ditulis dalam Nugroho

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi di Timor-Leste (Araujo, et al.)

(2011, h. 361) menyampaikan suatu ungkapan pembuatan keputusan/kebijakan, yaitu “(a) bahwa,

adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar; (b) “.... and solid work in planning theory

adanya pengaruh kebiasaan lama (konsevatisme); demonstrated

(c) adanya pengaruh sifat-sifat pribadi; (d) adanya situations of conflict relied on interactive and

pengaruh dari kelompok luar; (e) adanya deliberative and giving reasons, exploring the

pengaruh keadaan masa lalu.”[18]. Di sisi lain implication of various value positions, and

Gerald E. Caiden (1971) yang dikutip oleh Islamy developing joint responsibility in concrete

(2009, h. 27) menyebutkan beberapa faktor yang situations. ” [26].

menyebabkan sulitnya membuat keputusan, Ungkapan

yaitu: “sulitnya memperoleh informasi yang pemerintah bahwa, jika agenda ini betul-betul

cukup, bukti-bukti sulit disimpulkan; adanya dikehendaki bersama antara pemerintah dan

pelbagai macam kepentingan yang berbeda masyarakat, maka saran yang dikemukakan oleh

mempengaruhi pilihan tindakan yang berbeda- Cobb & Elder tadi dapat dimanfaatkan sebagai

beda pula; dampak kebijakan sulit dikenali; kekuatan sumber daya untuk memperjuangkan

umpan balik keputusan bersifat sporadis; proses agenda ini, karena hal ini seharusnya sudah

perumusan kebijakan tidak dimengerti dengan menjadi tanggung jawab bersama.

benar- benar, dan sebagainya.” [18]. Bedasarkan pada analisis di atas maka

menemukan bahwa, dapat dirumuskan suatu pemahaman bahwa,

Penelitian

ini

meskipun secara empiris, telah ada aturan untuk merubah agenda sistemik menjadi agenda

formal —berupa regimento parlamento nacional institusional yang melibatkan dua institusi yang

(Peraturan PN) tentang proses legislasi umum — berbeda, memerlukan kesamaan persepsi. Untuk

yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menyamakan persepsi ini membutuhkan negosiasi

pembuatan keputusan, namun hal ini masih dapat melalui komunikasi yang harus dibangun secara

dipengaruhi oleh pengaruh dari kelompok atau serius

aktor luar (Nigro & Nigro, 1980), sebagai akibat (desentralisasi) yang sedang diperjuangkan dapat

dan terus menerus

sehingga

isu

dari apa yang disebut oleh Abdul Wahab (1999) memperoleh respon atau dukungan, tidak saja

dengan “pengaruh distribusi kewenangan.” [1]. untuk menjadi agenda kebijakan tetapi juga untuk

Pengaruh kelompok luar dalam perspektif pembuatan keputusan.

Nigro & Nigro di atas dapat dipahami sebagai kelompok atau individu yang berada di luar PN

4. Proses Pembahasan Agenda Kebijakan

(legislatif), tetapi memiliki kewenangan tertentu

Desentralisasi menjadi Undang-undang

mempengaruhi pembuatan Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, suatu keputusan, seperti, misalanya Presiden Republik Undang-undang (UU) baru dikatakan sah bila telah (PR). Secara normatif, keterlibatan PR dalam disetujui dan disahkan oleh legislatif. Dalam konteks pembuatan kebijakan publik dapat dilihat konteks pembuatan kebijakan publik di Timor-

yang

dapat

dari dua dimensi.

Leste, suatu proses legislasi yang berbentuk UU, Pertama, bahwa PR dapat dikategorikan harus mendapatkan persetujuan dari legislatif sebagai kelompok aktor dari luar PN, karena (Parlamento Nacional atau Parlemen Nasional, menurut Konstitusi RDTL dalam pasal-pasal 85 selanjutnya

disingkat PN)

kemudian akan

huruf (c), 88 ayat (1) dan pasal 114 regimento diumumkan pengesahannya atau dilegalisasi oleh parlamento nacional, PR baru dapat menunjukkan Presiden

untuk memveto atau pembahasan agenda sebelum mencapai suatu mengumumkan pengesahan (promulga) sebuah keputusan

intervensinya, yaitu

produk hukum yang telah disetujui dan ditanda- menyelimuti proses tersebut. Hal ini sesuai tangani oleh Ketua PN, dalam waktu 30 hari dengan pendapat Winarno (2012, h. 136) bahwa,

“... banyak faktor yang berpengaruh terhadap terhitung sejak tanggal diterimanya. Kedua, karena sistem politik yang dianut

para pembuat keputusan, seperti misalnya oleh negara baru ini berdasarkan pada prinsip tekanan-tekanan politik dan sosial, kondisi-kondisi pembagian kekuasaan (distribution of power) ekonomi, persyaratan-persyaratan prosedural, maka PR memiliki kewenangan atau kompetensi komitmen-komitmen sebelumnya, waktu yang

sempit, dan sebagainya.” [33] atas lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk lembaga PN. Kompetensi PR atas PN diatur dalam

Sejalan dengan Winarno, Nigro & Nigro

pasal 86 huruf (d) bahwa,

(1980) yang dikutip oleh Islamy (2009, h. 25-26) “rekere konvokasaun extraordinária ba mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi Parlamentu Nasionál, kuandu razaun todan

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi di Timor-Leste (Araujo, et al.)

kona-ba interese nasionál justifika .” *meminta

KESIMPULAN DAN SARAN

pertemuan luar biasa kepada Parlemen

Kesimpulan

Nasional, jika terdapat alasan-alasan tertentu Berdasarkan pada hasil pembahasan di yang dianggap

beberapa kesimpulan dapat kepentingan nasional].

mengancam/memberatkan

atas,

maka

dikemukakan sebagai berikut: Berdasarkan pada alasan normatif tersebut

1. Isu merupakan kesadaran dari pengambil di atas, maka dalam proses pembuatan keputusan

keputusan akan adanya suatu persoalan yang atas kedua RUU lainnya —yakni, RUU tentang

perlu diselesaikan melalui bentuk kebijakan pemerintah daerah dan RUU pemilihan umum

publik. Isu tentang desentralisasi di Timor- kota —yang masih hangat didiskusikan di PN,

Leste telah dikomunikasin secara top-down, harus diintervensi oleh PR dengan menggunakan

dari pemerintah kepada masyarakat sebagai kewenangannya yang diatur dalam pasal 86 huruf

mengamanahkan amanat (d) di atas. Dalam konteks ini bahwa, PR telah

upaya

untuk

konstitusi RDTL. Hal ini berarti bahwa mengundang seluruh ketua komisi dan fraksi PN

pemerintah memiliki political will untuk lebih serta pemerintah untuk mendengarkan pendapat-

pemerintah kepada pendapat

mendekatkan

rakyat/masyarakatnya, dan agar masyarakat mengumumkan penundaan pembahasan atas

dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses kedua RUU yang masih didiskusikan tersebut.

pembuatan keputusan. Namun demikian, Beberapa alasan

seiring dengan berjalannya waktu, nampaknya solusinya dapat diringkas seperti, “kita belum siap

yang dikemukakan

serta

isu tersebut telah berubah menjadi sebuah dari segi SDM dan fasilitas infrastruktur, baik

tuntutan, dari masyarakat kepada pemerintah, dalam jumlah maupun kualitasnya, sehingga

karena kesadaran masayrakat den pemerintah disarankan agar terlebih dahulu dilakukan

setempat akan adanya permasalahan dalam persiapan- persiapan yang lebih matang.”

pelayanan publik yang disediakan oleh Jika penjelasan di atas ditarik sedikit

pemerintah. Kenyataan ini berimplikasi pada kebelakang, maka intervensi PR ini lebih

partisipasi masyarakat atas disebabkan oleh karena adanya perbedaan

kurangnya

diselenggarakan di orientasi aktor yang cukup mewarnai proses

pembangunan

yang

wilayahnya, karena ketidaksesuaian antara pembuatan

harapan dan/atau kebutuhan masyarakat kepentingan aktor dalam PN dan di dalam

pembangunan yang pemerintah sendiri, yang kesemuanya berpegang

dengan

bentuk

diselenggarakan. Keadaan yang demikian teguh ada nilai-nilai (Anderson, 1979) maupun

inilah yang telah mendorong masyarakat dan sumber-sumber

pemerintah setempat untuk menuntut perlu sebagaimana yang telah pernah dijelaskan

daya sosial

(Renn,

segera dilaksanakan desentralisasi sesuai sebelumnya. Pergulatan kepentingan aktor dalam

dengan amanat konstitusi RDTL; pembuatan keputusan inilah yang kemudian —

2. Para aktor lembaga kebijakan belum memiliki meminjam Nigro & Nigro (1980) dalam perspektif

sama terhadap isu-isu Islamy (2009, h. 26) bahwa —“pihak-pihak yang

orientasi

yang

desentralisasi, meskipun hal ini telah menjadi bertikai kurang menaruh respek pada upaya

pilihan untuk dilaksanakan dalam sistem penyelesaian oleh orang dalam, tetapi keputusan-

pemerintahannya. Kenyataan ini semata-mata keputusan yang diambil oleh pihak-pihak yang

lebih disebabkan karena perbedaan orientasi dianggap dari luar dapat memuaskan merek a.”

dari masing-masing aktor yang berlandaskan [18].

pada nilai-nilai organisasi dan nilai-nilai politik Kenyataan dari intervensi PR tersebut di

yang kesemuanya bermuara pada upaya untuk atas

mempertahankan dan/atau memperebutkan pembahasan kedua RUU di PN hingga batas waktu

telah berimplikasi

pada

penudaan

kekuasaan politik tertentu dalam tubuh yang tidak ditentukan dan akhirnya harus

pemerintahan;

mengalami selang waktu (caduca). Hal in sesuai

3. Berkembangnya isu desentralisasi menjadi dengan pasal 95 Konstitusi RDTL bahwa,

agenda kebijakan telah dilakukan dengan “as proposta de lei caducam com a demição do

menggunakan cara-cara sosialisasi informasi Governo” [proposal UU yang diajukan kepada

tentang desentralisasi kepada masyarakat, PN dianggap kadaluarsa, tatkala periode masa

kampanye tentang pengalaman pelaksanaan bakti suatu kabinet pemerintahan berakhir.

local development program, dan konsultasi dengan seluruh kementerian pusat untuk memastikan

kesiapannya dalam rangka

Dinamika Pembuatan Kebijakan Desentralisasi di Timor-Leste (Araujo, et al.)

desentralisasi. Cara-cara ini diambil sebagai

untuk mengidentifikasi upaya untuk membangun persepsi serta untuk

tersebut bekerja

perihal, ragam, jenis dan tipe institusi yang menggalang dukungan dari para pemangku

kemampuan yang kepentingan

diperlukan,

tingkat

dipersyaratkan dan mekanisme implementasi; masyarakat, untuk tujuan menyusun agenda

(stakeholders),

termasuk

seraya melakukan persiapan-persiapan teknis kebijakan, baik agenda sistemik maupun

tertentu, seperti penyediaan infrastruktur agenda institusional;

dasar di tingkat lokal, disesuaikan dengan

tentu saja adalah desentralisasi di Parlamento Nacional lebih

4. Pembahasan tentang agenda kebijakan

kebutuhan;

serta

kemampuan sumber daya didominasi oleh pergulatan kepentingan aktor

menyiapkan