HUBUNGAN ANTARA PERILAKU PENcEGAHAN DAN KEPATUHAN BERoBAT PENDERITA TB DI INDoNESIA
HUBUNGAN ANTARA PERILAKU PENcEGAHAN DAN KEPATUHAN
BERoBAT PENDERITA TB DI INDoNESIA
1 Noor Edi Widya Sukoco AbstrAct background:
Indonesia constitutes the third highest of Tuberculosis (TB) cases after India and China. One of the
problem in TB control is still low of drug treatment compliance of TB patients. The objective of this study was to know the The objective of this study was to know the
relationship between TB disease prevention behaviors with treatment compliance of TB patients in Indonesia. Methods:
Data explored from National Basic Health Survey (Riskesdas) 2010. The data is designed to represent provinces. Design
of study is cross sectional. The population is all respondents of Riskesdas 2010, while samples were chosen aged ≥ 15 aged ≥ 15
years with Pulmonary TB, particularly the TB patients who was received medication and treated by health facilities. The with Pulmonary TB, particularly the TB patients who was received medication and treated by health facilities. The
number of samples are all 968 patients. Interviews were conducted by skilled interviewers. Data were processed by SPSS Interviews were conducted by skilled interviewers. Data were processed by SPSS
15 version. results: The behavior of respondents drying the wrong mattress have risk non-compliant treatment about g mattress have risk non-compliant treatment about
1.64 compared with the behavior of respondents drying the right mattress (OR = 1.64; P = 0.001; confidence interval (CI)=
1.21–2.22). Likewise, low education has risk non-compliant treatment in the amount of 1.62 compared with highly educated
respondents (OR = 1.62; P = 0.005; confidence interval (CI) = 1.15–2.27). Conclusion: The updated data signify that analysis
of drug adherence TB patients will show significantly in correlation between drug adherence with level of education, and
behaviour of dry mattress. key words: drug compliance, preventive behavior, tuberculosis AbstrAk latar belakang: Indonesia sebagai negara ketiga terbesar di dunia dalam jumlah penderita tuberculosis (TB) setelah
India dan Cina. Salah satu masalah besar dalam penanggulangan TB adalah tingkat kepatuhan berobat penderita yang
masih rendah. Tujuan dari penelitian ii adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku pencegahan penyakit TB dengan
kepatuhan berobat penderita TB di Indonesia. Metode: Data digali dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Data
didisain untuk mewakili Provinsi. Disain penelitian adalah potong lintang (cross sectional). Populasi adalah seluruh responden
Riskesdas 2010, sedang sampelnya dipilih yang berumur ≥ 15 tahun dengan mempunyai penyakit TB paru, dikhususkan ≥ 15 tahun dengan mempunyai penyakit TB paru, dikhususkan
yang menerima obat dan pengobatan dari fasilitas kesehatan. Wawancara dilaksanakan oleh pewawancara terlatih. Data
diolah dengan menggunakan SPSS versi 15. Hasil: Responden perilaku menjemur kasur salah mempunyai risiko tidak
patuh berobat sebesar 1,64 dibanding dengan responden yang berperilaku benar (OR = 1.64; P = 0.001; confidence interval (OR = 1.64; P = 0.001; confidence interval
(CI)=1.21-2.22). Sedangkan,variable pendidikan rendah mempunyai risiko tidak patuh berobat sebesar 1,62 dibanding Sedangkan,variable pendidikan rendah mempunyai risiko tidak patuh berobat sebesar 1,62 dibanding
responden yang berpendidikan tinggi (OR = 1.62; P = 0.005; confidence interval (CI) = 1.15-2.27). (OR = 1.62; P = 0.005; confidence interval (CI) = 1.15-2.27). kesimpulan: Dengan
menggunakan data yang lebih update menunjukkan bahwa kepatuhan berobat pendertita TB paru akan kelihatan bermakna
dalam hubungannya antara kepatuhan berobat dengan tingkat pendidikan dan perilaku menjemur kasur.Kata kunci: kepatuhan berobat, perilaku pencegahan, Tuberculosis (TB)
PENDAHULUAN TB control 2009 menyatakan bahwa terdapat 22
negara dikategorikan sebagai high burden countries Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit terhadap TB. Estimasi angka insidens TB di Indonesia infeksi kronis menular yang masih merupakan masalah merupakan masalah berdasarkan pemeriksaan sputum basil tahan asam kesehatan masyarakat tidak hanya di Indonesia,
(BTA) positif adalah 102 per 100.000 penduduk untuk 1 bahkan di dunia. WHO dalam Annual report on global
Peneliti Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat; Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan - Kementerian Kesehatan, Jl. Percetakn Negara 23 Jakarta Korespondensi: Email: nooredisukoco@yahoo.com Hubungan antara Perilaku Pencegahan dan Kepatuhan Berobat (Noor Edi Widya Sukoco)
yang sama estimasi prevalensi TB adalah 244 per 100.000 penduduk (WHO, 2010).
Indonesia sebagai negara ketiga terbesar di dunia dalam jumlah penderita TB setelah India dan Cina, berkomitmen mencapai target dunia dalam penanggulangan tuberkulosis. Strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO telah diimplementasikan dan diekspansi secara bertahap keseluruh unit pelayanan kesehatan dan institusi terkait. Berbagai kemajuan telah dicapai, namun tantangan program di masa depan tidaklah lebih ringan, meningkatnya kasus HIV dan Multi Drug Resistance (MDR) serta bervariasinya komitmen akan menjadikan program yang saat ini sedang dilakukan ekspansi akan menghadapi masalah dalam hal pencapaian target global, sebagaimana tercantum pada MDGs (Depkes, 2008).
Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, antara lain: pertama, dilihat dari prevalensi, hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk; kedua, dari segi kepatuhan, hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa penderita TB yang tidak lagi minum obat anti TB di perkotaan (90,1%) lebih besar daripada di perdesaan (88,9%); ketiga, dilihat dari segi penanggulangan melalui program DOTS, sampai tahun 2005, program Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara rumah sakit dan BP4/RSP baru sekitar 30% (Balitbangkes, 2005); keempat, dilihat dari proporsi penyebab kematian pada kelompok umur 15- 44 tahun menurut jenis kelamin, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor 2 (dua) baik pada laki-laki maupun perempuan; untuk laki-laki sebesar 11,1% setelah kecelakaan lalu lintas, sedangkan pada perempuan 7,7% setelah penyakit hati. (Riskesdas, 2007).
Masalah dalam penanggulangan TB adalah fakor perilaku dari penderita di mana tingkat kepatuhan berobat penderita yang masih rendah. Akibatnya Akibatnya jumlah penderita TB sulit diturunkan dan peluang resistensi obat semakin besar. Demikian juga dengan masyarakat lingkungan sekitar harus ada upaya pencegahan dengan cara memberikan motivasi kepada si penderita karena cara penularan penderita orang sekitarnya. Masalah ini dialami oleh sebagian besar negara yang masih bergelut dengan TB, termasuk Indonesia.
Berkaitan dengan perilaku penderita TB, dari hasil penelitian menunjukkan berbagai macam alasan mereka enggan untuk mengkonsumsi obat. Dari mereka yang berhenti minum obat, proporsi terbesar memberikan alasan utama karena sudah dinyatakan sembuh oleh tenaga kesehatan sebesar 52 persen. Berarti 48 persen dari mereka yang berhenti minum obat walaupun belum dinyatakan sembuh oleh tenaga kesehatan (nakes) yang memberikan gambaran angka drop out pengobatan. Dari mereka yang sudah dinyatakan sembuhpun ternyata 14 persen baru mengikuti pengobatan kurang dari 6 bulan. Sedangkan alasan-alasan utama responden tidak minum obat/ berhenti minum obat karena sudah merasa enak/tidak batuk darah (20 persen), tidak ada biaya berobat (14 persen) dan merasa tidak ada perubahan (7 persen). Hal ini kemungkinan merupakan faktor-faktor Hal ini kemungkinan merupakan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan berobat penderita TB (Balitbangkes, 2005).
METoDE
Riskesdas 2010 adalah penelitian yang menggunakan kerangka sampel Sensus Penduduk 2010, setiap daerah kabupeten diambil 25 BS dengan jumlah rumah tangga yang diambil adalah 70.000 rumah tangga, dan sampel hasil riskesdas ini sangat representatif untuk data provinsi dan nasional. Enumerator yang digunakan dalam pemilihan data tenaga kesehatan dengan pendidikan minimal D3 kesehatan.
Hubungan antar variabel yang akan diukur berupa variabel terikat yaitu kepatuhan (patuh dan tidak patuh) penderita TB dalam mengkonsumsi obat; sedangkan variabel bebas meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan, sikap, jenis kelamin, klasifikasi daerah perdesaan/ perkotaan, umur, kuintil, perilaku pencegahan TB oleh ART, keberadaan fasilitas pelayanan kesehatan, dan Jenis pelayanan yang berkaitan dengan TB.
Jenis penelitian Studi Non-intervensi, dan disain isain penelitian potong lintang (cross sectional). Populasi Populasi diambil dari seluruh responden yang termasuk dalam survei Riskesdas 2010, sedangkan sampel yang dipilih adalah individu yang berumur 15 tahun ke atas dan menderita TB. Untuk menegakkan diagnosa ada Untuk menegakkan diagnosa ada
Reference 0,77-1,16 0,61
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada variable sosial ekonomi, kelompok sosial ekonomi rendah mempunyai risiko 1,33 kali tidak patuh berobat dibanding dengan kelompok sosial ekonomi tinggi. Hal ini menunjukkan hubungan yang bermakna (p = 0,061).
Reference 0,94-1,31 0,221 Gabung perilaku penyebaran TB
Reference 0,87- 1,15 0,979 Perilaku penggunaan peralatan makan/minum
0,88 Reference 0,77-1,02 0,091 Perilaku menjemur kasur
1,02 Reference 0,86-1,22 0,811 Perilaku membuka jendela
Variabel Status TB oR crude 95% cI P Tidak (n = 1.891) Ya (n = 1.334) Perilaku meludah
2010)
Tabel 1. Perilaku responden penderita TB terhadap upaya penyebaran penularan TB (Data Riskesdas
Sedang pada responden berpendidikan rendah mempunyai risiko TB sebesar 1,61 kali dibanding
Tabel 1 menunjukkan beberapa perilaku penderita TB yang berkaitan dengan kebiasaan benar dan salah. Ada beberapa perilaku yang dilihat yaitu meludah, membuka jendela, menjemur kasur, dan penggunaan peralatan makan/minum. Mengenai kebiasaan penggunaan peralatan makan/ minum diasumsikan bahwa perilaku penggunaan peralatan makan/minum yang benar adalah yang tidak sepiring/segelas dengan orang lain. Dari tabel juga dapat dilihat bahwa penderita TB yang makan/ minum sepiring/segelas dengan orang lain ternyata memiliki kemungkinan sebesar 1,11 kali menderita TB dibandingkan dengan yang tidak makan/minum sepiring/segelas dengan orang lain.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 1 Januari 2011: 68–74
Jumlah seluruh responden dalam analisis ini yaitu 188.637. Dari jumlah tersebut, responden yang didiagnosis sakit TB oleh tenaga kesehatan selama hidupnya sebanyak 3.225 responden (1,7%). Sementara jumlah responden yang didiagnosis sakit TB oleh tenaga kesehatan dalam 1 tahun terakhir sebesar 1.334 responden (0,7%). Dari penderita TB dalam 1 tahun terakhir, sebanyak 1231 responden 968 responden sudah berhenti berobat, dengan alasan sudah selesai pengobatan (patuh = 744 responden), dan yang belum selesai pengobatan (tidak patuh = 224 responden).
HASIL
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dari penderita.
multivariate akan dilakukan uji regresi logistik untuk
independen dengan dependen; dan analisa
bivariate untuk menilai hubungan antara variabel
Seluruh data akan diolah dan dianalisis dengan eluruh data akan diolah dan dianalisis dengan program SPSS versi 15. Analisa univariate untuk melihat distribusi frekuensi dan nilai rerata; analisa
yang didiagnosa sakit TB oleh tenaga kesehatan selama hidupnya; kedua, responden yang didiagnosa sakit TB dalam 1 tahun terakhir, hal ini dimaksudkan untuk menghindari jawaban yang kemungkinan lupa. Penegakan kriteria responden yang sakit TB dari hasil diagnose nakes ini sangat penting untuk memperoleh akurasi jawaban responden.
- Benar - Salah 1.526 365 1.081 253 1,00
- Benar - Salah 1.179 712 792 542 1,00
- Benar - Salah 923 968 650 684 1,00 0,99
- Benar - Salah 1.442 449 1.042 .042 042 292 292 1,00 1,11
- Baik - Tidak 263 1.628 177 1.157 1,00 0,95
95% cI P Tidak Ya crude (n= 224 ) (n= 744 ) Sosial ekonomi
- Rendah 111 316 1,33 0,99–1,80 0,061
- Tinggi 113 428 1,00 Reference Pendidikan
- Rendah 168 481 1,61 1,15–2,26 0,005
- Tinggi 56 263 1,00 Reference Pekerjaan - Petani,nelayan,
42 154 1,10 0,80–1,70 0,676
- Buruh
- Wirausaha/pedagang 102 323 0,96 0,67–1,36 0,802
- PNS/ABRI
12 26 0,67 0,32–1,42 0,297
- Sekolah
3 21 2,24 0,62–8,08 0,218
- Tidak Bekerja 65 220 1,00 Reference Umur - 15–24 tahun
18 75 0,74 0,29–1,95 0,553
- 25–34 tahun 34 135 0,78 0,32–1,89 0,574
- 35–44 tahun 34 162 0,71 0,29–1,70 0,437
- 45–54 tahun 56 144 1,21 0,51– 2,87 0,666
- 55–64 tahun 46 135 1,06 0,44– 2,52 0,904
- 65–74 tahun
25 69 1,12 0,44–2,82 0,815
- 75th ke atas
11 24 1,00 reference Jenis Kelamin
- Perempuan 105 335 1,13 0,81- 1,57 0,489
- Laki-laki 119 409 1,00 reference Klasifikasi desa/kota
- Desa 130 388 1,28 0,94 - 1,75 0,113
- Kota 94 356 1,00 reference
responden yang mempunyai status pendidikan tinggi Pada perilaku responden yang tidak menjemur (p = 0,005). kasur minimal seminggu sekali (berperilaku menjemur
Selanjutnya tabel 3 menunjukkan hubungan antara kasur salah) mempunyai risiko sebesar 1,65 untuk fasilitas pelayanan kesehatan dengan kepatuhan tidak patuh berobat dibanding dengan responden berobat penderita TB. yang berperilaku benar (p = 0,001).
Satu hal yang perlu diketahui bahwa sajian pada Demikian juga pada variable gabungan perilaku tabel 3 di bawah adalah sajian bivariat dan ternyata (meludah, membuka jendela, menjemur kasur, dari hasil tersebut menunjukkan bahwa semua nilai penggunaan peralatan makan/minum sepiring/ p bernilai di atas 0,25. Jadi dapat disimpulkan bahwa segelas), pada responden yang berperilaku salah, variabel pada tabel 3 tidak ada yang masuk dalam mempunyai risiko terkena TB sebesar 1,64 kali analisis multi variat. dibanding responden dengan perilaku benar (tidak
Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan biasa meludah, meludah di kamar mandi, meludah di antara perilaku pencegahan penyakit TB dengan tempat ludah/kaleng, biasa membuka jendela kamar kepatuhan berobat penderita TB. Beberapa variabel tidur setiap hari, menjemur kasur dan atau bantal dan yang dianalisis adalah: perilaku meludah, perilaku atau guling kapuk secara teratur satu kali seminggu, membuka jendela, perilaku menjemur kasur, perilaku tidak menggunakan peralatan makan/minum sepiring/ penggunaan peralatan makan/minum. segelas dengan orang lain) (p = 0,047).
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 1 Januari 2011: 68–74
penderita TB
Patuh berobat oR Variabel 95% cI P Tidak Ya crude (n= 224 ) (n= 744)
Pengetahuan keberadaan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat
- Tidak Tahu
3 14 1,05 0,58–1,91 0, 865
- Tahu
221 730 1,00 reference Pengetahuan diagnosis TB pada faskes terdekat
- Tidak Tahu
27 90 0,89 0,50–1,59 0, 701
- Tahu
167 553 1,00 reference
- Tidak diketahui
30 101 Perilaku pemanfaatan yankes dalam 1 tahun terakhir
- Tidak
10 36 0,89 0,61–1,31 0,555
- Ya
177 605 1,00 reference
- Tidak diketahui
37 103 Perilaku pemanfaatan pemeriksaan diagnosis TB di yankes terdekat
- Tidak
92 300 0,98 0,67–1,41 0,896
- Ya
84 305 1,00 reference
- Tidak diketahui
48 139 Didiagnosis TB di
- RS Pemerintah
77 260 1,87 0,81–4,32 0, 141
- RS Swasta
28 67 1,19 0,44–3,22 0,736
- Puskesmas
71 304 1,56 0,68–3,57 0,292
- BP/Klinik/Praktik
48 113 1,00 reference
- Dokter Mendapatkan pengobatan TB di
- RS Pemerintah
57 225 0,47 0,16-1,34 0,159
- RS Swasta
25 49 1,78 0,54-5,90 0,347
- Puskesmas
79 357 0,43 0,16-1,18 0,100
- Praktik Dokter
44 76 2,06 0,85-5,01 0,109
- BP/klinik
22 37 1,00 reference Tabel 4. Variabel dominan yang memengaruhi kepatuhan berobat penderita TB
Patuh berobat Ajusted oR Tidak Ya 95% cI P (n = 224 ) (n = 744 ) Pendidikan Rendah 168 481 1,62 1,15- 2,27 0,005 Tinggi 57 263 1,00 Referensi Perilaku menjemur kasur Salah 133 350 1,64 1,21- 2,22 0,001 Benar
91 394 1,00 Referensi
Analisis yang terakhir yaitu analisis multivariate Uji Confounding dan Interaksi. Hasil analisis akhir (Tabel 4), menunjukkan bahwa dari beberapa hasil didapatkan bahwa responden berperilaku menjemur analisis bivariat yang telah diuraikan sebelumnya, kasur salah mempunyai risiko tidak patuh berobat maka variable yang dimasukkan kandidat multivariate sebesar 1,64 kali dibanding dengan responden yang berperilaku benar. Hal ini setelah dikoreksi dengan adalah yang mempunyai nilai p ≤ 0,25. Setelah semuanya masuk analisis multivariate, maka diadakan variable pendidikan. Hubungan antara Perilaku Pencegahan dan Kepatuhan Berobat (Noor Edi Widya Sukoco)
risiko tidak patuh berobat sebesar 1,62 kali dibanding responden yang berpendidikan tinggi. Hal ini setelah dikoreksi juga dengan variable perilaku responden dalam hal menjemur kasur.
PEMBAHASAN
Di dalam analisis lanjut ini, yang dimaksud dengan “Kepatuhan” adalah mendapat pengobatan TB sampai selesai 6 bulan atau lebih, sedangkan yang dimaksud dengan “tidak patuh” yaitu berhenti minum obat sebelum 2 bulan atau berhenti minum obat setelah 2–5 bulan. (Laporan Riskesdas, 2010).
Pada analisa bivariat antara kepatuhan berobat penderita TB dengan beberapa karakteristik, menunjukkan bahwa pada variable sosial ekonomi, kelompok sosial ekonomi rendah mempunyai risiko 1,33 tidak patuh berobat dibanding dengan kelompok sosial ekonomi tinggi. Hal ini menunjukkan hubungan yang bermakna. Sedang pada responden berpendidikan rendah mempunyai risiko TB sebesar 1,61 kali dibanding responden yang mempunyai status pendidikan tinggi.
Juli Soemirat 2000, dalam bukunya “Epidemiologi Lingkungan”, juga menyatakan bahwa sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap status gizi, kebiasaan, kualitas lingkungan, pengetahuan keberadaan sumber daya, sehingga efek agent terhadap berbagai status sosial akan berbeda pengaruh.
Dari beberapa variabel tersebut, ternyata variabel yang dominan untuk menjadikan seseorang tidak patuh berobat adalah variabel perilaku menjemur kasur dan variable pendidikan rendah. Variabel pendidikan rendah ini seseuai dengan penelitian Dwi Asih, 2004 mengenai kepatuhan hasil berobat pada penderita TB paru di Kabupaten Pekalongan. Demikian juga telah disebutkan dalam Grahacendikia, 2009 bahwa makin rendahnya pengetahuan dan pendidikan responden, maka makin rendah pula kesadaran responden tersebut betapa bahayanya penyakit itu terhadap dirinya dan lingkungannya, dan semakin rendah kesadaran untuk berobat secara tuntas (http://grahacendikia.wordpress.com/2009/04/02/ faktor-faktor-yang-mendukung-kepatuhan-berobat- penderita-tb-paru-di-wilayah-kerja-puskesmas-xx/). Mweemba dalam penelitiannya mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan ada hubungannya secara positif dengan perilaku kepatuhan penderita
Penelitian lain, dari sisi pendidikan Pengawas Minum Obat (PMO) dalam kaitannya dengan kepatuhan pasien menyebutkan bahwa tingkat pendidikan PMO dengan kepatuhan pasien TB paru berobat mempunyai hubungan positif yang secara statistik signifikan dengan kepatuhan berobat (Suhartono, 2010).
Perilaku menjemur kasur dengan kepatuhan berobat menunjukkan adanya hubungan yang signifikan, hal ini apabila seseorang tidak patuh berobat, maka akan menyebabkan penularan penyakit TB terhadap orang sekitarnya, dalam perilaku menjemur kasur pada analisa bivariat memperlihatkan risiko 1,65 tidak patuh, hal ini sangat berbahaya terhadap orang di sekitarnya, terutama kalau responden tersebut tidur sekasur dengan orang lain. Dan hubungan ini tetap bermakna dan malah sebagai varibel yang dominan dalam kepatuhan minum obat.
KESIMPULAN
Sebagian besar responden penderita TB di Indonesia sudah benar dalam berperilaku meludah, membuka jendela, dan penggunaan peralatan makan/ minum.
Kelompok yang cenderung untuk tidak patuh berobat adalah kelompok sosial ekonomi rendah, bersekolah dengan tingkat pendidikan rendah.
Risiko responden yang tidak patuh berobat terbesar pada kelompok responden yang berobat di praktik dokter, disusul dengan responden yang berobat di RS swasta.
Dari hasil analisa akhir secara multivariate telah didapatkan perilaku responden menjemur kasur salah dan berpendidikan rendah yang lebih mempunyai risiko tidak patuh berobat.
SARAN
Kepatuhan penderita TB menuju proses pengobatan sampai tahap penuyembuhan memang masih merupakan masalah yang harus terintegrasi dari berbagai pihak, pertama, dari pihak penderita TB sendiri harus disiplin dan mempunyai keyakinan kuat bahwa penyakit TB ini pasti bisa sembuh total; kedua, dari pihak keluarga penderita harus melakukan pengawasan ketat mengenai perilaku sehari-harinya dan lebih utama dalam minum obat; ketiga, dari Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 14 No. 1 Januari 2011: 68–74 Dwi Asih, Setyowati. 2004. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat pada
peduli dalam memberikan penyuluhan dan promosi
Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten
kesehatan terutama dari kalangan social ekonomi Pekalongan, Semarang: FK Undip. rendah dan pendidikan rendah.
Faktor-faktor yang mendukung kepatuhan berobat penderita TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Kepanjen.
DAFTAR PUSTAKA Tersedia pada: http://grahacendikia.wordpress.
com/2009/04/02/faktor-faktor-yang-mendukung- WHO. 2010. Global Tuberculosis Control 2009 Epidemiology kepatuhan-berobat-penderita-tb-paru-di-wilayah- Strategy Financing, Switzerland: World Health kerja-puskesmas-xx/, diunduh pada Kamis, 3 Pebruari Organization. 2011. Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Juli Soemirat. 2000. Epidemiologi Lingkungan, Yogyakarta:Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan kedua, Jakarta: Gajah Mada University Press. Depkes RI. 2010. Departemen Kesehatan RI.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS. 2010. Arnadottir, Thuridur. 2009. Tuberculosis and Public Health Jakarta: Badan Litbang Kesehatan.
Policy and Principles in Tuberculosis Control, Paris: Mweemba, dkk., 2008. Knowledge, Attitude and Compliance International Union Against Tuberculosis and Lung with Tuberculosis Treatment, Lusaka, Zambia, Medical Disease.
Journal of Zambia, Volume 35 Number 4. Alisjahbana, Bachti. 2007. Tuberculosis in Indonesia: Suhartono, 2010, Hubungan antara Tingkat Pendidikan
Host Response and Patient Care, Bandung: Dian PMO, Jarak Rumah dan Pengetahuan Pasien TB Rakyat.
Paru Dengan Kepatuhan Berobat (di Puskesmas Badan Litbang Kesehatan. 2005. Survei Prevalensi Kembang Janggut kabupaten Kutai Kartanegara). Tuberkulosis di Indonesia 2004. Jakarta: Badan Tersedia pada: http://pasca.uns.ac.id/?p=1126, Litbang Kesehatan. diunduh pada Kamis, 3 Pebruari 2011.