BAB I PENDAHULAN 1.1. LATAR BELAKANG - Pengetahuan Lokal Petani Dalam Mengelola Padi Sawah di Pangaribuan

BAB I PENDAHULAN

1.1. LATAR BELAKANG

  Penelitian ini mengkaji tentang bagaimana petani dalam mengelola padi sawah di desa Pangaribuan melalui pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Tulisan ini menjadi menarik dimana seiring berjalannya waktu keberadaan kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur mulai redup, memudar, kehilangan makna substantifnya. Lalu yang tertinggal hanya kulit permukaan semata. Semakin tersingkirkan dengan masuknya berbagai teknologi dan berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat (Hotibin 2013:1).

  Pentingnya mengkaji kearifan lokal terutama di bidang pertanian, misalnya pengembangan komoditi pertanian yang kuat bukan hanya untuk ketahanan pangan agar tidak tergantung kepada impor, mendukung kedaulatan lokal juga mendukung komoditas lokal untuk berkembang (Wahyu dan Nasrullah 2011:3).

  Mayoritas warga masyarakat Pangaribuan hidup dari pertanian, khususnya padi sawah. Praktek pertanian padi ini telah berkembang secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang kemudian membentuk sistem pengetahuan dan tradisi bertani sendiri, seperti menjaga keberagaman jenis benih, persiapan lahan, persiapan benih, penanaman, perawatan, pemanenan, sampai pada pola konsumsi.

  Pertanian padi adalah sistem pengetahuan yang hidup dan menghidupi pemiliknya. Hampir semua produksi padi Pangaribuan dikonsumsi sendiri oleh masyarakat. Budaya menjual memang dilakukan pada keadaan terpaksa dan terdesak.

  Benih padi yang dihasilkan petani di Pangaribuan yang merupakan benih lokal yang mereka hasilkan sendiri. Petani biasanya sudah memisahkan terlebih dahulu antara padi yang akan disimpan sebagai pangan di lumbung dan benih yang akan dipakai dalam musim tanam berikutnya. Padi yang akan digunakan untuk benih dipilih secara teliti biasanya padi yang berisi dan bulirnya besar dan bagus, matang dan tidak tercampur dengan padi yang lain, serta membutuhkan ruang yang tidak lembab, dan disimpan di rumah.

  Yunita Winarto (2011:204), petani adalah aktor manusia dalam proses memproduksi benih lokal yang mempengaruhi proses berfungsinya sistem pembenihan lokal melalui pilihan atas varietas, serta praktik-praktik memproduksi dan menyeleksi benih.

  Penelitian terbaru dari International Institute For Invironment and Development (IIED), para petani telah terbiasa menggunakan tanaman lokal untuk mengendalikan hama dengan cara memilih varietas tanaman yang mampu mentolerir kondisi ekstrim seperti kekeringan dan banjir, menanam beragam tanaman untuk menghadapi ketidakpastian di masa depan pemuliaan varietas jenis baru secara lokal dilakukan berdasarkan ciri-ciri kualitas yang melindungi keanekaragaman hayati. Varietas benih lokal yang telah dikembangkan secara lokal lebih cocok dengan kondisi lokal, yang berlaku seperti tanah dan hama bahkan dengan perubahan iklim seperti kekeringan.

  Pola tanaman dan teknologi budidaya oleh masyarakat pangaribuan masih sangat sederhana dan mengandalkan tenaga kerja manusia. Kegiatan bersawah normalnya membutuhkan pertolongan dari pihak lain, apakah diberikan dalam sistem tolong-menolong, sistem upah. Dahulu masyarakat Pangaribuan dalam kegiatan bersawah menggunakan sistem gotong-royong. Masyarakat Pangaribuan sekarang ini kebanyakan menggunakan sistem upah. Bagi yang tidak sanggup membayar buruh mereka saling tolong-menolong karena kegiatan bersawah merupakan hal yang berat dilakukan jika seorang diri atau hanya keluarga saja.

  Imbas revolusi hijau tetap nyata di Pangaribuan ini yang ditujukan dengan kuatnya ketergantungan pada pupuk kimia, sekalipun pupuk organik masih digunakan masyarakat, namun pengetahuan lokal oleh petani di Pangaribuan

  1 masih tetap dipelihara dan diterapkan misalnya untuk membasmi hama .

  Membasmi berbagai hama oleh masyarakat Pangaribuan dengan menggunakan dedak dicampur minyak tanah, sirabun (abu pembakaran), daun kayu tambisu, orang-orangan, dan plastik yang mengelilingi petak tanaman padi. Yang melindungi tanaman padi hingga pada pemanenan, untuk mendapatkan hasil maksimal.

  Masyarakat Pangaribuan dengan sebaik-baiknya mengelola tanaman padi demi mempertahankan biaya kebutuhan sehari-hari dan mempertahankan kualitas padi mereka sendiri. Namun dalam mempertahankan kualitas dan memenuhi kebutuhan dimana zaman semakin berkembang dan biaya kehidupan juga semakin meningkat banyak ditawarkan peralatan-peralatan terhadap masyarakat

1 Arif Miharja, “Leuit”, wacana ELSPPAT, edisi 30, hal 28.

  untuk mempermudah pekerjaan mereka dengan semua itu timbullah masalah-

  2 masalah yang dihadapi masyarakat .

  Penulis ingin melihat pengetahuan yang seperti apa dan bagaimana

  3

  mereka dalam mengelola pertanian sejak masa produksi . Peneliti juga ingin melihat kendala-kendala yang seperti apa yang dihadapi oleh para petani dalam bertanam padi. Menurut Eric R. Wolf 1983:23, berupa: masalah abadi kaum tani adalah masalah mencari keseimbangan antara tuntutan-tuntutan dari dunia luar dan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya.

  Penduduk Indonesia secara umum mengkonsumsi beras yang dihasilkan oleh padi sawah sehingga perlu diketahui keadaan sawah di Indonesia. Dari data kementrian pertanian Indonesia 2011, total luas lahan pertanian Indonesia 70 juta Ha yang efektif untuk produksi pertanian 45 juta Ha produk pangan utama dihasilkan oleh sawah yang mencapai luas 8, 061 juta Ha terdiri dari sawah irigasi dengan luas 4,896 juta Ha dan sawah non irigasi dengan luas 3,16 Ha yang tersebar di 33 provinsi Indonesia. Luas lahan sawah cenderung kurang karena

  4 terjadi konversi lahan dan serangan .

  Proses bertani atau budidaya pertanian dalam hal tanaman padi menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Beras menjadi salah satu produk yang sangat penting, dikarenakan beras menjadi produk dalam 2 sembilan bahan pokok. Pertanian padi dan sistem pengelolaannya merupakan 3 Ibid.

  

Produksi adalah kegiatan yang menciptakan, mengolah, mengupayakan pelayanan, menghasilkan

barang dan jasa atau usaha untuk meningkatkan suatu benda agar menjadi lebih berguna bagi

4 kebutuhan manusia.

  

Badai Adra Sikumbang, “Kearifan Lokal Petani dalam Pengelolaan Padi Sawah di Nagaria

Kamang Hilir Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam Sumatera Barat” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Sutara, Medan, 2011). salah satu topik yang sedang hangat dibicarakan dimana pertanian hingga kini, masih merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia.

  Oleh karena itulah, persoalan pertanian menjadi isu penting di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Sejarah Nusantara kaya akan kearifan lokal bidang pertanian dan pengolahan bahan makanan. Berbagai kearifan lokal ini perlu digali kembali dan disesuaikan dengan kondisi saat ini untuk mengatasi krisis pangan yang tengah melanda Indonesia (Kompas, 16 Mei 2010).

  Pemerintah tentang pengamanan produksi beras nasional dalam menghadapi kondisi iklim ekstrim dengan target pelaku petani dengan kategori kontruksi presiden ditetapkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Upaya produksi beras dan antisipasi dan respon cepat untuk menghadapi kondisi iklim ekstrim.

  Menteri-menteri menetapkan kewenangan masing-masing dalam mengamankan produksi beras, seperti menteri pertanian, melakukan analisis resiko dampak iklim ekstrim terhadap produksi dan distribusi beras serta mendiseminasikan informasi kepada petani.

  Meningkatkan luas lahan dan pengolahan air irigasi untuk pertanian padi untuk mengantisipasi dan mengatasi kondisi iklim ekstrim, meningkatkan ketersediaan benih, pupuk dan pestisida yang sesuai, baik dalam jenis, mutu, waktu, lokasi, dan jumlah; meningkatkan tata kelola usaha tani, pengendalian organisme pengganggu tanaman, penanganan bencana banjir, dan kekeringan pada lahan pertanian padi; menyediakan dan menyalurkan bantuan benih, pupuk, serta bantuan biaya usaha tani, bagi daerah yang mengalami puso dan terkena bencana.

  Meningkatkan kinerja petugas lapangan dalam mengantisipasi dalam melaksanakan respon cepat dampak kondisi iklim ekstrim, meningkatkan alat dan mesin pertanian, baik dalam jumlah maupun mutu untuk mempercepat pengelolaan usaha tani padi.

  Meningkatkan kegiatan pasca panen untuk mengurangi kehilangan hasil dan penurunan mutu gabah/beras; memperkuat cadangan beras pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat; meningkatkan penganekaragaman konsumsi dan cadangan pangan, terutama dengan memanfaatkan sumber pangan lokal (INPRES NO.5, 2013).

  Sekalipun demikian kebijakan-kebijakan yang telah disarankan oleh pemerintah dalam meningkatkan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh petani padi tidaklah semakin membaik banyak masalah-masalah yang dihadapi oleh para petani seperti masyarakat yang menjalankan saran dari pemerintah menjadikan mereka menjadi bersifat pasif dan hanya menjadi pembeli dan tidak menggunakan dan mengaktifkan pengetahuan-pengetahuan yang mereka miliki yaitu yang diwariskan dan melalui pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Sejak tahun 1985 hingga sekarang, produk padi menurun. Bahkan seiring dengan krisis moneter yang merebak menjadi krisis ekonomi berkepanjangan, pemerintah hanya melakukan impor beras secara besar-besaran dari negara tetangga, seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam.

  Program modernisasi pertanian melalui BIMAS dan INMAS tersebut, alih-alih memberikan nilai tambah kepada para petani, justru semakin memperbesar utang petani, karena biaya produksi lebih tinggi dibandingkan harga jual hasil panen. Akibat keadaan tersebut, posisi petani semakin terpuruk kejurang kemiskinan dan “pemiskinan” yang lebih dalam.

  Data-data statistik sebelum krisis ekonomi terjadi memperlihatkan tingkat penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang cukup drastis, tinggal sekitar 20 juta orang. Setelah krisis ekonomi berlangsung setahun, jumlah penduduk miskin di Indonesia hampir mencapai lebih 80 juta orang.

  Menunjukkan pertumbuhan dan mental ekonomi yang dianggap “kuat” ternyata rapuh.

  Dampak sosial yang lebih parah adalah musnahnya sebagian kekayaan hayati petani, padahal aset tersebut merupakan kekayaan yang sangat bernilai bagi keberlangsungan hidup petani. Terjadinya erosi genetik untuk berbagai jenis padi tradisional disebabkan oleh sikap arogansi pemerintah yang melarang petani menanam berbagai varietas padi lokal, padahal berbagai penelitian menunjukkan bahwa jenis padi lokal terbukti lebih tahan terhadap serangan hama daripada varietas padi impor.

  Kerugian sosial dan ekologis adalah musnahnya predator dan tumbuhan lain disekitar areal persawahan. Bersamaan dengan itu, muncul pula hama tanaman khususnya hama padi yang lebih tahan terhadap obat pembasmi, seperti wereng dan tungro. Akibat penggunaan pestisida yang berlebihan untuk membasmi wereg dan tungro, keanekaragaman hayati dan kualitas ekosistem persawahanpun ikut menurun.

  Kajian ini mengenai pengetahuan lokal petani yang tidak terbatas pada apa yang mereka ketahui dan kembangkan dalam pengelolaan padi sawah. Perhatian terhadap pengetahuan lokal yang dipraktikkan petani juga penting untuk pembangunan pertanian.

  Pengetahuan yang di miliki oleh petani yang ingin ditekankan bagaimana proses belajar sangat terkait pada pengamatan dan pengalaman langsung, sedikit sekali hasil belajar formal (Yunita T. Winarto dan Ezra M. Choesin 2001:93), dan juga pengetahuan menjadi landasan utama berkembangnya potensi, talenta, kreativitas, dan jati diri petani.

  Sri Alem Br Sembiring (2005:86) mengemukakan bahwa salah satu hal yang seringkali terjadi dalam penerapan pengetahuan ilmiah oleh para ahli (scientist) kepada petani adalah diabaikannya pengetahuan-pengetahuan lokal dan kemampuan potensial mereka untuk berkembang. Pengetahuan petani cenderung dipandang sebelah mata dan dinilai ‘kampungan’ atau tidak mengikuti perkembangan zaman.

  Kenyataannya dengan kearifan dan pengetahuan lokal bencana alam yang terjadi bisa diminimalisir baik materi maupun immateri. Meskipun pengetahuan lokal tersebut banyak diperdebatkan dalam dunia keilmiahan (reason), tetapi dari beberapa kejadian, pengetahuan lokal (unreason) tersebut tidak dapat diabaikan

  5 keberadaannya .

  Kearifan dan kebijakan yang bersifat lokal mengenai kebertanian yang peduli pada sesama manusia dan alam semesta telah dihancurkan oleh pertanian yang berorientasi kepada penggemukan modal dan juga sekarang ini banyaknya 5http://ardhilusti.blogspot.com/2013/04/kearifan-budaya-lokal.html. 27 Agustus 2014 tulisan telah melaporkan bahwa petani-petani senantiasa sebagai inovator yang secara terus menerus bereksperimen (percobaan). Pertanian pun bergeser dari corak subsisten kepembentukan usaha tani dan masyarakat moderen akan menunjukkan persoalan yang semakin kompleks, dengan munculnya ide-ide baru

  6 dan tehknologi yang semakin canggih .

  Kalau manusia primitif dan tradisional banyak menghadapi kendala yang irasional, dewasa ini mereka kembali menemui jalan buntu justru ditengah-tengah struktur masyarakat modern yang serba rasional. Percobaan yang berkelanjutan ini dilakukan petani juga dikarenakan mereka menghadapi kondisi ketidakpastian akan iklim, harga pasaran, serangan hama, dan penyakit. Ketidakpastian ini juga merupakan suatu persoalan lain yang harus dipikirkan petani untuk mengatasinya.

  Kondisi ketidakpastian ini akan berhubungan langsung dengan hasil panen atau pendapatan mereka.

  Perubahan dari kondisi ketidakpastian ini membutuhkan penanganan yang baru, dari hasil telaah tersebut menunjukkan bahwa petani juga memiliki daya yang patut diperhitungkan. Diharapkan terwujudnya rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan melalui pengakuan, penghormatan, dan perlindungan atas hak-hak masyarakat setempat. Sangat diutamakan berperan adalah rakyat petani itu sendiri. Hal yang paling baik adalah mempertahankan posisi mereka, hak-hak mereka, misalnya melalui konsep-konsep pemberdayaan yang lazim dilakukan pihak LSM.

6 Op.Cit.

1.2. Tinjauan Pustaka

  Kearifan budaya lokal (local wisdom) merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya, bersumber dari nilai- nilai agama, adat istiadat, petuah nenek-moyang, atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya.

  Sistem kearifan lokal dalam bidang pertanian merupakan suatu pengetahuan yang utuh berkembang dalam budaya atau kelompok etnik tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsisten sesuai kondisi lingkungan yang ada (Francis wahono, dkk 2005: 80).

  Kearifan lokal dapat juga didefinisikan dengan berbagai cara tergantung bagaimana kita melihat kearifan lokal itu sendiri. Pakar ilmu-ilmu sosial menangkap perilaku pola hidup masyarakat tradisional dengan mendefinisikannya menjadi kearifan lokal.

  Mereka mengatakan, kearifan budaya lokal adalah cara dan praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman dan interaksi mendalam akan lingkungan tempat tinggalnya. Kearifan budaya lokal berasal dari masyarakat untuk masyarakat yang dikembangkan dari generasi ke generasi, menyebar, menjadi milik kolektif, dan tertanam di dalam cara hidup masyarakat setempat. Masyarakat memanfaatkan tata atur kearifan lokal untuk

  7 menegaskan jati diri dan bertahan hidup .

7 Badai Adra Sikumbang, “Kearifan Lokal Petani dalam Pengelolaan Padi Sawah di Nagaria

  Kamang Hilir Kecamatan Kamang Magek Kabupaten Agam Sumatera Barat” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Sutara, Medan, 2011).

  Pengertian kearifan lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia (Sartini 2006:111), kearifan lokal diderivasi dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan; dan lokal (local) atau setempat. Jadi menurut beliau, gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

  Kementrian pertanian (2012) mengartikan kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma-norma, nilai-nilai dan budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam waktu cukup lama.

  Pengetahuan yang tertuang dalam norma-norma dan nilai-nilai tersebut dapat dikatakan sebagai hukum adat, karena hal yang mengidentifikasi kearifan lokal adalah hukum-hukum adat yang berkembang sesuai dengan perkembangan pengalaman empiris masyarakat hukum adat, sehingga hukum adat tidak hanya norma-norma dan nilai-nilai yang menyejarah, tapi juga kesepakatan-kesepakatan baru berdasarkan pengalaman empiris yang mungkin saja kesepakatan yang masih relatif baru dibuat oleh para pendukung.

  Menurut Ali Ridwan (2007) kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama- sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai.

  Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak hanya sekedar sebagai acuan tingkah laku seseorang tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat.

  Sartini (2006:112), mengatakan bahwa kearifan budaya lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan budaya lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan budaya lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan budaya lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus- menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

  Irene Tarakamita dan Maria Yuni Megarini Canyono (2013:4), kearifan budaya lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya.

  Suhartini (2009:1) kearifan local merupakan tata nilai atau perilaku hidup

masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara

arif. Maka dari itu pengetahuan lokal bukanlah sesuatu yang terberikan dalam

bentuk yang relatif tetap, melainkan bersifat luwes dengan batas-batas ruang dan

waktu yang tidak jelas. Dengan adanya kontrak antar berbagai masyarakat, sulit

untuk mengatakan lagi bahwa pengetahuan X adalah milik masyarakat X; atau

  

sebaliknya, masyarakat Y adalah mereka yang memiliki pengetahuan Y.

Pengetahuan terbentuk dan dimodifikasi dalam praktek keseharian yang bisa

melibatkan berbagai pihak di luar masyarakat yang bersangkutan, walau

prosesnya tidak akan selalu cepat untuk masing-masing individu.

  Suhartini (2009:2) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk

pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau

etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas

ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan

diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia

terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.

  Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu kesatuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta. Nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam.

  Lubis (2012:3) menyatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal yang diwariskan dan ditumbuh kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya.

  Setelah melihat beberapa uraian pengertian kearifan lokal diatas tulisan ini ingin melihat kearifan lokal petani Pangaribuan dalam mengelola padi sawah berupa gagasan dan nilai-nilai yang terbentuk sebagai keunggulan budaya demi mencapai hasil yang maksimal dalam pembangunan daerah.

  Masyarakat Pangaribuan mayoritas adalah bertani, khususnya padi sawah. Manfaat kearifan lokal yang mereka pakai adalah sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka, khususnya dalam bidang pertanian. Petani Pangaribuan mengelola pertanian mereka dengan menggunakan pengetahuan lokal yang mereka miliki, sehingga dapat mengelola lahan dengan baik, seperti mengetahui kapan mengelola lahan, melakukan pembibitan, menanam padi, mengantisipasi hama yang mengakibatkan kegagalan panen, dan juga sampai pada pemanenan.

  Noor (2007:4) dalam Badai Sembiring 2011, mengatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan konsep yang lebih luas yang merujuk kepada pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu dalam waktu yang lama. Dalam pendekatan ini tidak penting masyarakat tersebut lama atau tidak tinggal dalam wilayah tersebut yang paling penting adalah bagaimana mereka beradaptasi dan berinteraksi dalam lingkungannya.

  Dalam Muhamat Noor, Jhonson menjelaskan (2008:3), pengetahuan

  

indigenous adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok

  masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan inovasi atau uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan masukan internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru setempat. Oleh karena itu pengetahuan indigenous ini tidak

  8 dapat diartikan sebagai pengetahuan kuno, terbelakang, statis atau tak berubah .

  Dalam uraian pendapat Jhonson di atas dapat kita simpulkan bahwa pengetahuan tentu berkaitan dengan teknologi yang akan digunakan oleh masyarakat dalam mengelola pertanian mereka.

  Penggunaan teknologi yang tidak tepat guna dapat mengganggu keseimbangan alam seperti perubahan iklim, krisis air bersih, pencemaran udara, dan berbagai krisis ekologi lainnya, oleh sebab itu kita perlu kembali mengembangkan dan

  9 melestarikan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat pedesaan .

  Hal ini sesuai dengan pendapat Suhartini bahwa kearifan lokal ikut berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya. Namun demikian kearifan lokal juga tidak lepas dari berbagai tantangan seperti: bertambahnya terus jumlah penduduk, teknologi modern dan budaya, modal besar serta kemiskinan dan kesenjangan. Adapun prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat, inovasi teknologi, permintaan pasar, pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati di lingkungannya serta berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta peran masyarakat lokal (Suhartini 2009:1).

  8 9 http://kubuskecil.blogspot.com/2014/02/pengertian-kearifan-lokal.html. 15 September 2014

http://fika-fatia.blogspot.com/2012/05/pentingnya-kearifan-lokal-masyarakat_07.html. 1 Oktober

2014

  Dalam tulisan ini peneliti akan mengulas tantangan-tantangan seperti apa yang dihadapi oleh kearifan lokal masyarakat sebagai akibat kemunculan teknologi.

  Pemikiran filosofis dari teknologi yang dilakukan Quintanalla (1998) tersebut, adalah bentuk dari tercerabutnya nilai-nilai dalam kebudayaan manusia sekaligus terpisahnya teknologi dari ibu kandungnya, yaitu sains.

  Winarto (2007), mengatakan bahwa petani di Kabupaten Indramayu memiliki nilai-nilai kemandirian dalam pemuliaan tanaman. Petani Indramayu memiliki pengetahuan lokal yang masih diterapkan, tetapi tidak menutup diri dalam mempelajari pengetahuan dari teknologi baru yang berkembang dalam pertanian untuk digabungkan dalam pengelolaan lahan pertanian untuk memaksimalkan pendapatan.

  Kehidupan seperti zaman ini para petani harus dengan sekuat tenaga dalam merawat tanaman padi guna meningkatkan kualitas dan kuantitas panen padi untuk memaksimalkan pendapatan. Namun untuk mencapai kesuksesan manusia tidak pernah luput dari kegagalan dan masalah-masalah untuk mendapatkan hasil terbaik yang telah di impikan setiap orang, termasuk petani Pangaribuan yang tujuannya juga untuk meningkatkan sektor pertanian Indonesia.

  Ketua Umum Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor (HA-IPB) Bambang Hendroyono, menyatakan sektor pertanian di Indonesia hingga kini masih dihadapkan pada persoalan klasik untuk dapat meningkatkan produktivitas beras nasional. Hal ini dikatakan Bambang, dalam Musyawarah Daerah HA-IPB di Bandar Lampung, Minggu (6/4), bersamaan dengan pengukuhan kepengurusan HA-IPB Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lampung. Setidaknya, kata Bambang, ada dua persoalan klasik yang dihadapi sektor pertanian. Pertama, konversi lahan (pertanian) yang setiap tahunnya mencapai 100.000 hektar. "Kedua, kecenderungan perilaku generasi muda di pedesaan yang tidak lagi tertarik ikut serta dalam kegiatan pertanian padi karena dianggap tidak menarik," kata

  10 Bambang dalam siaran pers yang diterima JPNN .

  Persoalan itu sangat disayangkan karena faktanya hampir 90 persen rakyat Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Bahkan, selama hampir tujuh dekade Indonesia merdeka, secara dramatis kebijakan pemerintah telah menjadikan beras sebagai pengganti keragaman bahan makanan

  11 pokok rakyat Indonesia .

  Oleh karena itu peneliti ingin mengulas persoalan-persoalan yang di hadapi petani di Pangaribuan yang akhirnya dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, yang mengakibatkan merosotnya sektor pertanian Indonesia.

1.3. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah dalam penelitian ini “pengetahuan lokal petani dalam mengelola padi sawah di desa Pangaribuan”. Rumusan masalah dapat diuraikan dalam pertanyaan penelitan berikut ini:

  10

http://www.jpnn.com/read/2014/04/06/226639/Pertanian-di-Indonesia-Masih-Hadapi-Masalah-

11 Klasik-. 15 September 2014 ibid

  1. Bagaimana pengetahuan petani Pangaribuan dalam mengelola pertanian khususnya tanaman padi?

2. Bagaimana sumber-sumber pengetahuan tersebut diperoleh?

  3. Kendala-kendala seperti apa yang dihadapi oleh para petani dalam pengelolaan tanaman padi?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Tujuan penelitian ini ialah untuk memberikan gambaran tentang tinjauan antropologi mengenai kearifan lokal dalam pengelolaan padi sawah oleh petani di desa Pangaribuan. Bagaimana masyarakat memperoleh pengetahuan tersebut, mengetahui kendala-kendala yang dihadapi petani dalam pengelolaan tanaman padi.

  Setiap penelitian diharapkan memberikan manfaat baik untuk masyarakat luas, peneliti maupun warga masyarakat setempat. Tersedianya data-data penelitian mengenai pengetahuan lokal suatu masyarakat diharapkan mampu memberikan gambaran dan masukan dalam pembangunan pertanian di daerah setempat dan di Indonesia pada umumnya.

  Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya kesadaran yang lebih besar mengenai kehidupan petani yang tidak hanya di jadikan objek namun sebagai subjek, untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5. Metode Penelitian

  Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif dalam mengumpulkan data-data penelitian, yang akan diperoleh dari tetua adat, masyarakat setempat, yang dianggap dapat memberikan informasi kepada peneliti sesuai dengan yang dibutuhkan peneliti tersebut.

  Menurut Lexy j. Moleong penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang terjadi dan dialami oleh subjek penelitian diantaranya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Dalam memanfaatkan berbagai metode kualitatif berupa pengamatan, wawancara dan studi kepustakaan. Metode kualitatif yang bersifat deskriptif untuk dapat menggambarkan keadaan masyarakat Pangaribuan. Penelitian ini juga bersifat etnografi yang bertujuan memahami pengetahuan lokal yang dimiliki petani dalam mengelola padi sawah.

  Dalam panelitian ini peneliti mengumpulkan data-data primer dan sekunder untuk memperoleh data primer yang dibutuhkan peneliti. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Observasi

  Pengamatan dilakukan peneliti dengan cara turun kelapangan, mengamati kegiatan masyarakat setempat, mengamati semua aktivitas petani dalam mengelola sawah mulai dari proses pembajakan hingga pemanenan, juga pengetahuan-pengetahuan seperti apa yang petani terapkan dalam mengelola sawah tersebut.

  Teknik observasi dapat digolongkan menurut tehnik observasi yang berstruktur dan yang tidak berstruktur. Observasi yang dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang masyarakat yang sebenar-benarnya baik tindakan, percakapan, tingkahlaku dan dilakukan dengan keterlibatan peneliti secara langsung dalam kehidupan masyarakat yang diteliti seperti kegiatan, percakapan dan percakapan dan pekerjaan mereka. Bentuk observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah observasi partipasi. Yang dimaksud dengan observasi partisipasi adalah pengumpulan data dengan observasi terhadap objek yang diamati dengan hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan.

2. Wawancara

  Wawancara yang dilakukan yaitu teknik wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan terlibat langsung dalam kehidupan sosial yang lebih lama.

  Model wawancara yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang digunakan untuk menemukan informasi yang bukan baku atau informasi tunggal. Pertanyaan yang diajukan tidak disusun lebih dahulu, tetapi disesuaikan dengan keadaan dan ciri yang unik dengan informan. Pelaksanaan tanya jawab mengalir seperti percakapan sehari-hari. Wawancara tidak terstruktur bersifat bebas dan santai, dengan memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada informan untuk mengemukakan keterangan-keterangan yang sifatnya umum. Karena disini posisi penulis sebagai peneliti dan juga sebagai pekerja yang turut mengerjakan aktivitas pertanian penulis melakukan wawancara seperti percakapan biasa sehari- hari sehingga tidak membuat informan yang penulis wawancarai merasa bosan takut dengan penulis.

  Wawancara penulis mulai dengan petani-petani yang sedang bekerja di sawah juga masyarakat yang juga petani padi sawah yang sedang bersantai di halaman rumah peneliti memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bercerita-cerita dengan mereka sekaligus untuk mendapatkan informasi tentang pengelolaan padi sawah.

  Informan yang terdapat dalam skripsi ini berjumlah 28 (duapuluh delapan) orang yang berprofesi sebagai petani. Informasi-informasi yang diberikan semua informan menurut penulis sangat relevan dan real sesuai dengan kondisi pertanian yang terjadi saat ini di Pangaribuan dan hal ini sangat mendukung skripsi ini.

  Sementara studi kepustakaan diperoleh melalui studi kepustakaan, dokumentasi, bacaaan dari sumber online/internet, dan sumber lain yang di anggap relevan dengan masalah dan topik penelitian.