Sosiologi Sastra (1) sosiologi sosiologi sosiologi sosiologi

Sosiologi Sastra
Fatmawati
(fatmaburai@gmail.com)
A. Paradigma/Perspektif Sosiologi Sastra dan Keunggulannya
Sosiologi Sastra terdiri dari dua kata, yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi dan
sastra, keduanya, merupakan ilmu yang memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam
masyarakat akan tetapi memiliki hakikat yang berbeda (Ratna, 2003:2). Sosiologi
bersifat objektif kategoris yang membatasi diri pada apa yang terjadi (das sein atau
fakta) bukan apa yang seharusnya terjadi (das sollen atau harapan). Sedangkan karya
sastra bersifat evaluatif, subjektif dan imajinatif.
Damono (1979:7) memberi definisi terhadap sosiologi sastra sebagai telaah
objektif dan ilmiah tentang manusia di dalam masyarakat, telaah tentang lembaga, dan
proses sosial. Dengan kata lain, paradigma ini berusaha memahami karya sastra dengan
mempertimbangkan unsur-unsur di luar karya sastra yang berkaitan dengan
kemasyarakatan (sosial). Ratna (2003:2-3) memberikan 15 definisi terhadap Sosiologi
Sastra. Dari 15 definisi tersebut, definisi yang pertama dengan bunyi: “pemahaman
terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya”
menjadi prioritas utama. Hal ini berdasarkan sifatnya yang luas, fleksibel, dan tentatif
serta secara implisit telah memberikan intensitas terhadap peranan karya sastra. Ratna
menekankan pada adanya keseimbangan antara kedua komponen, yaitu sastra dan
masyarakat dan pada analisis terhadap unsur


(-unsur) karya seni sebagai bagian

intergral unsur (-unsur) sosiokultural. Berdasarkan dua definisi diatas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa sosiologi sastra merupakan paradigma dalam kajian sastra
yang berusaha melihat keterkaitan antara karya sastra dengan unsur-unsur sosial
kemasyarakatan.
Adanya keterkaitan antara sastra dengan masyarakat telah menjadi topik
pembicaraan sejak zaman Plato dan Aristoteles (Ratna, 2003:4). Menurut Plato, karya
seni merupakan tiruan (mimesis) yang ada dalam dunia ide. Ide Plato tersebut kemudian
mendapat penolakan dari Aristoteles. Bagi Aristoteles, seniman tidak semata-mata

meniru kenyataan, tetapi menciptakan dunianya sendiri. Sosiologi sastra baru diterima
sebagai ilmu yang berdiri sendiri pada abad ke-18 dan diperkenalkan pertama kali di
Indonesia pada tahun 1973 (Ratna, 2003:4-8).
Paradigma sosiologi sastra menawarkan kebaharuan dalam mengkaji karya
sastra. Paradigma ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan kajian teori-teori
sastra murni yang secara umum telah dimanfaatkan sehingga menjadikan kajian sastra
dengan paradigma sosiologi sastra menarik dilakukan. Sosiologi sastra tidak terpaku
pada kajian terhadap teks karya sastra namun berusaha mengaitkannya dengan

kenyataan sosial yang digambarkan oleh pengarang dalam karya tersebut. Ia membuka
belenggu bagi para peneliti dan memberi wilayah kajian yang jauh lebih luas.
Banyak pantangan dalam kajian teori-teori sastra umum yang justru
diperbolehkan bahkan disarankan oleh sosiologi sastra, diantaranya: (1) peneliti dapat
mengkaji karya sastra populer dan sastra lisan (cerita rakyat); (2) peneliti dapat
membahas pandangan dunia pengarang dan juga wana lokal dalam karya sastra; (3)
peneliti dapat mengkaji masalah yang berada di luar sastra seperti pengarang, pembaca,
penerbit, lingkungan dan komunitas; (4) sosiologi sastra bersifat multidisipliner
sehingga peneliti dapat mengkaji berbagai macam fenomena sosial masyarakat yang
terkandung dalam karya sastra seperti ekonomi dan politik serta memanfaatkan berbagai
macam teori.
B. Relasi dan Korelasi antara Sastra, Pengarang, dan Masyarakat
Terdapat tiga elemen utama dalam sosiologi sastra, yaitu sastra, pengarang dan
masyarakat. Sosiologi sastra memiliki gagasan bahwa sastra tidak lahir begitu saja tanpa
adanya persinggungan antara pengarang dengan masyarakat. Fenomena sosial di
masyarakat menginspirasi pengarang menulis karyanya dengan porsi yang berbedabeda. Hal ini dapat dilihat pada adanya perbedaan mencolok dari dua karya yang samasama menceritakan seorang penari perempuan dengan latar budaya dan waktu yang
berbeda. Sebagai contoh, kisah penari (ronggeng) di Banyumas pada masa pergolakan
komunis yang ditulis oleh Ahmad Tohari dan penari (tandak) di Madura pada masa
sekarang yang ditulis oleh Mahwi Air Tawar.


Herder (dalam Damono, 1979:19), seorang kritikus dan sastrawan Jerman,
berpendapat bahwa setiap karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan
geografis tertentu seperti iklim, lanskap, ras, adat istiadat, dan kondisi politik. Madame
de Stael (dalam Damono, 1979:20), seorang kritikus dan sastrawan Perancis, juga
mengungkapkan adanya keterkaitan antara sastra dengan lembaga sosial seperti agama,
adat istiadat, dan hukum serta sifat-sifat suatu bangsa. Oleh karena itu, karya sastra
tidak bisa dipisahkan dari pengarang, fenomena sosial di masyarakat serta masyarakat
pembaca yang menikmatinya karena ketiga elemen tersebut (sastra, pengarang, dan
masyarakat) memiliki hubungan timbal balik.

C. Tiga Klasifikasi Sosiologi Sastra
Dalam sosiologi sastra terdapat tiga klasifikasi (titik berat), yaitu sosiologi
pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca. Tiga klasifikasi tersebut
untuk membedakan sastra yang mengkaji konteks sosial pengarang, sastra sebagai
cermin masyarakat dan fungsi sosial sastra.
a. Sosiologi pengarang
Wiyatmi (2013:29) memaknai sosiologi pengarang sebagai salah satu kajian
sosiologi sastra yang memfokuskan perhatian pada pengarang sebagai pencipta karya
sastra. Pengarang dianggap sebagai makluk sosial yang memiliki ideologi dan status
sosial di masyarakat. Oleh karena itu, realitas yang digambarkan oleh pengarang dalam

karyanya merupakan buah pikirannya. Realitas tersebut memang tidak sepenuhnya
berdasarkan kenyataan akan tetapi perpaduan antara imajinasinya dengan realitas yang
ada.
Topik-topik dalam sosiologi pengarang dapat berupa ideologi sosial pengarang,
pandangan hidup sosial pengarang, pemikiran sosial pengarang, dan latar belakang
sosial budaya pengarang. Wilayah kajian sosiologi pengarang cukup luas. Oleh karena
itu, langkah awal yang perlu dilakukan dalam proses penelitian ini adalah menentukan
masalah atau topik yang akan dikaji dan menentukan pengarangnya. Langkah
selanjutnya adalah pengumpulan data. Data pada kajian sosiologi pengarang berupa teks

dan pengarang. Data primer dapat diperoleh dengan melakukan wawancara dengan
pengarang. Hal ini hanya berlaku apabila pengarang masih hidup. Namun apabila
pengarang sudah meninggal dunia, peneliti dapat mengumpulkan data sekunder dengan
membaca dokumen-dokumen terkait dengan kehidupan pengarang atau dengan teknik
penuturan kembali.
b. Sosiologi karya sastra
Sosiologi karya sastra mengkaji karya sastra dalam hubungannya dengan
masalah-masalah sosial yang ada dalam masyarakat (Wiyatmi, 2013:45). Model kajian
ini memiliki fokus perhatian pada isi karya sastra, tujuan, serta keterkaitannya dengan
masalah sosial masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Watt (dalam Damono,

1979:4) bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Karya sastra menyampaikan
realitas yang ada dalam suatu masyarakat.
Topik-topik kajian dalam sosiologi karya sastra adalah aspek sosiologis, aspek
historis dan aspek religius dalam sastra. Selain ketiga aspek tersebut, peneliti dapat
mengkaji berbagai isu politik, nilai didaktis, pemikiran filsafat serta warna lokal dalam
sastra. Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk melihat aspek
sosiologis yang ada di dalam karya sastra. Data pada model ini berupa teks.
Pengumpulan dan analisis data dimulai dari mengkaji unsur karya sastra dan unsur
dalam masyarakat kemudian menginterpretasikan hubungan antara keduanya (Wiyatmi,
2013:48).
c. Sosiologi pembaca
Sosiologi pembaca mengkaji karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca
(Wiyatmi, 2013:60). Kajian model ini fokus pada hubungan antara karya sastra dengan
masyarakat pembaca atau publiknya. Hal ini dikarenakan tidak semua karya sastra
dibaca dan disukai oleh semua kalangan usia, status sosial dan akademis. Setiap karya
memiliki publiknya masing-masing.
Topik-topik kajian dalam sosiologi pembaca lebih kepada fungsi sosial karya
sastra, oleh karenanya, sebagai contoh, peneliti dapat mengkaji fungsi sosial karya
sastra, pengaruh karya sastra dalam masyarakat, peranan sastra dalam masyarakat, atau


peranan novel bagi masyarakat. Data yang dikumpulkan dalam kajian sosiologi
pembaca berupa teks dan pembaca, yaitu karya sastra serta data yang dikumpulkan dari
pembaca karya tersebut.
D. Sosiologi sastra sebagai kajian interdisipliner
Sosiologi sastra bukan merupakan sebuah teori melainkan paradigma atau
perspektif yang digunakan untuk mengkaji karya sastra dengan kaitannya terhadap
masyarakat. Paradigma sosiologi sastra merupakan gabungan dari dua disiplin ilmu
yang berbeda, yaitu sosiologi dan sastra, sehingga paradigma ini perlu didukung oleh
teori-teori dalam kajian sastra serta teori-teori sosiologi (Ratna, 2003:18). Oleh karena
itu, paradigma ini bersifat interdisipliner atau multidimensional yang menggabungkan
dua teori masing-masing dari ilmu sastra dan ilmu sosiologi. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa dalam sosiologi sastra yang mendominasi adalah teori-teori sastra yang
didukung oleh teori-teori sosiologi sebagai komplementer (Ratna, 2003:18). Ada
berbagai macam model kajian teori dalam sosiologi sastra seperti model kajian teori
Marxisme, teori mimetik, teori struktural-genetik Lucien Goldman, teori hegemoni
Gramsci, dan lain sebagainya. Model-model kajian teori tersebut telah disesuaikan
dengan

perspektif

kajian


sosiologi

sastra

untuk

mempermudah

peneliti

memanfaatkannya sesuai dengan topik kajian masing-masing.

Referensi:
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Singkat. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra. Jakarta: Kanwa Publisher.