I. Identitas Pasien - LAPSUS MYASTENIA GRAVIS SISKA REVISI

  

KUMPULAN TUGAS LAPORAN KASUS

JURNAL READINGDAN LAINNYA Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Saraf EARLY ONSET MYASTENIA GRAVIS Diajukan Kepada: Pembimbing: dr Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc Disusun Oleh: Siska Sulistiyowati 1620221168

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN

  

PENGESAHAN

  Laporan Kasus diajukan oleh Nama : Siska Sulistiyowati NRP : 1620221168 Program studi : Kedokteran Umum Judul kasus : Early Stage Myastenia Gravis Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

  Pembimbing dr Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.

  Disetujui di : Ambarawa Tanggal : 07 April 2018

  I. Identitas Pasien

  Nama : Nn.S Umur : 19 tahun Jenis kelamin : Perempuan Agama : Islam Alamat : Junggul, Bandungan Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : SMA Status : Belum Menikah No CM : 064xxx Tanggal Kontrol Poli RS : 27/03/18

  II. Data Dasar Dilakukan autoanamnesis pada 30 Maret 2018 pukul 10.00 WIB di rumah pasien.

  II.1 Keluhan Utama

  Kelopak mata kiri lebih turun dibandingkan kelopak mata kanannya

  II.2 Riwayat Penyakit Sekarang

  Sejak 8 tahun yang lalu pasien mengeluh kelopak mata kiri nya lebih turun dibandingkan kelopak mata kanannya. Awalnya kelopak mata kiri nya turun dan terasa berat jika sedang menonton tv dan rasa berat pada mata kirinya hilang dengan sendirinya., namun mata kirinya tetap turun dibanding mata kanannya. Awalnya kelopak mata kiri yang turun dibandingkan kelopak mata kanannya tidak mengganggu aktivitas sehari-hari dan belajar. Pasien juga merasa awalnya mata terasa gatal terutama jika sedang sedang bermain diluar ruangan dan rasa gatal pada mata kiri nya hilang dengan sendirinya. Pasien mengira hanya iritasi pada mata dan pasien tidak berobat ke dokter.

  Sejak 5 tahun yang lalu, pasien masih mengeluh kelopak mata kirinya semakin turun dibandingkan mata kanannya dan semakin terasa berat kelopak mata kirinya terutama jika menonton tv dan membaca terlalu lama. Keluhan membaik jika pasien menutup matanya selama kurang lebih 3 menit. Namun kelopak mata kiri nya tetap jatuh dibandingkan kelopak mata kanannya. Pasien merasa saat 5 tahun lalu kelopak matanya semakin turun dibandingkan 8 tahun lalu, namun pasien masih belum memeriksakan ke dokter karena belum mengganggu aktivitas sehari-harinya.

  4 hari SMRS pasien merasa kelopak mata kirinya semakin turun, semakin terasa berat dan pasien merasa ada benjolan dikelopak mata kirinya. Lalu pasien ke dokter kemudian diberikan obat tetes mata dan menurut dokter tidak ada benjolan dikelopak mata nya. Namun pasien merasa tidak ada perbaikan karena mata kirinya masih terasa berat dan mulai mengganggu aktivitasnya. Lalu pasien dirujuk ke poli saraf.

  3 hari yang lalu, pasien ke poli saraf di RSUD Ambarawa dengan keluhan kelopak mata kirinya semakin turun dibandingkan kelopak mata kanannya dan semakin terasa berat. Pasien menyadari kelopak mata sebelah kiri lebih turun hampir separuhnya dari kelopak mata kanan terutama ketika mata lelah karena banyak membaca, didepan komputer, menonton televisi dalam waktu yang lama atau saat siang hari dengan keadaan diluar panas dan pulih kembali setelah pasien beristirahat atau berwudhu namun tidak disertai penglihatan ganda. Dan keluhan nya sudah mengganggu aktivitas keseharian dan pekerjaannya. Dipoli dokter spesialis saraf menduga pasien menderita miastenia gravis, kemudian dokter memberikan obat mestinon tablet 2x1 dan mecobalamin 2x1 tablet.

  Pasien juga mengeluhkan 1 hari yang lalu, ketika ia berbicara terlalu banyak, semakin lama suaranya semakin serak, melemah dan bahkan menghilang tetapi pasien masih dapat memberikan jawaban dengan jelas, lalu pasien diam dan tidak berbicara selama beberapa jam kemudian dapat berbicara seperti biasa lagi. Menurut pasien keluhan tersebut timbul setelah minum obat mestinon, pasien juga merasa bagian perut dan punggung berkedut sebanyak 5x lalu kedutan hilang dengan istirahat.

  Saat dilakukan kunjungan dirumah pasien, pasien merasa berat pada kelopak mata kirinya berkurang, namun kelopak mata kirinya masih lebih turun dibandingkan kelopak mata kanannya. Pasien juga merasa tidak ada keluhan berbicara atau suara serak lagi. Pasien mengatakan setelah mengkonsumsi obat mestinon selama 2 kali, keluhan berat pada kelopak mata kirinya membaik namun kelopak mata kirinya masih turun dibandingkan yang kanan. Dan rencana kontrol lagi ke Poli Saraf RSUD Ambarawa hari Selasa tanggal 03 April 2018.

  Keluhan lain seperti sulit menelan, suara sengau, sulit mengunyah, sesak nafas, nyeri kepala berputar, mual-muntah, kelemahan anggota gerak, bicara pelo, tremor, kesemutan/kebas/kekakuan anggota gerak, sulit menelan, keringat berlebih, demam, batuk- batuk lama dan penurunan berat badan disangkal oleh pasien. BAK dan BAB tidak terdapat keluhan.

  II.3 Riwayat Penyakit Dahulu

   Kelainan pada timus : disangkal  Riwayat pneumonia : disangkal

  II.4 Riwayat Pengobatan

  Pasien Pasien mengatakan setelah mengkonsumsi obat mestinon selama 2 kali, keluhan berat pada kelopak mata kirinya membaik namun kelopak mata kirinya masih turun dibandingkan yang kanan.

  II.5 Riwayat Penyakit Keluarga

  1. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama : disangkal

  2. Riwayat kelainan pada timus : disangkal

  3. Riwayat Hipertensi, DM , keganasan : disangkal

  II.6 Riwayat pribadi dan Sosial Ekonomi Pasien tinggal dirumah bersama ayah, ibu, kakak, kakak ipar, dan keponakannya.

  Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk dengan higienitas yang cukup baik. Kesan ekonomi pasien cukup. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS. Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman keras dan bukan pengguna obat-obatan terlarang. Ayah pasien merokok. Pasien berprofesi sebagai wiraswasta. Pasien sehari-hari bekerja di toko tahu bakso.

  II.7 Anamnesis Sistem

  Sistem serebrospinal : tidak ada keluhan Sistem neurologi : kelopak mata kiri turun (+), penglihatan ganda (-), suara mengecil (+) Sistem kardiovaskular : tidak ada keluhan Sistem respiratorius : tidak ada keluhan Sistem gastrointestinal : tidak ada keluhan Sistem urogenital : tidak ada keluhan

  Sistem musculoskeletal : tidak ada keluhan Sistem integumen : tidak ada keluhan

  II.8 Resume Anamnesis

  Pasien perempuan berusia 19 tahun datang dengan keluhan kelopak mata sebelah kiri lebih turun dibandingan mata kanannya terutama saat terlalu lama membaca/menonton tv (+) dan membaik setelah istirahat atau berwudhu. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 8 tahun yang lalu dan saat ini kelopak mata kiri semakin turun dan semakin terasa berat serta menggangu aktivitas dan pekerjannya. Pasien juga megeluh suara serak dan makin mengecil ketika terlalu banyak berbicara (+) 1 hari yang lalu dan saat ini sudah membaik. Keluhan lain seperti penglihatan ganda, sulit menelan, suara sengau, sulit mengunyah, sesak nafas, pusing, mual-muntah, kelemahan anggota gerak, bicara pelo, tremor, kesemutan/kebas/kekakuan anggota gerak, demam, batuk-batuk lama, penurunan berat badan, konsumsi obat-obatan dalam jangka waktu lama disangkal oleh pasien. Dipoli dokter spesialis saraf menduga pasien menderita miastenia gravis, kemudian pasien diberikan obat mestinon tablet 2x1 dan mecobalamin 2x1 tablet. Pasien mengatakan setelah mengkonsumsi obat mestinon selama 2 kali, keluhan berat pada kelopak mata kirinya membaik namun kelopak mata kirinya masih turun dibandingkan yang kanan.

  III. Diskusi I

  Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan maka dapat didiagnosis secara klinis pasien mengalami miastenia gravis. Pada miastenia gravis awitan biasanya tidak jelas dan progresivitas relatif lambat. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien yang sudah berlangsung selama beberapa tahun. Keluhan pertama pasien adalah adanya keluhan pada mata yaitu kelopak mata kiri lebih turun, namun belum terdapat penglihatan ganda. Hal ini sesuai teori MG dimana pada 90% kasus, awal mulanya mengeluh kelemahan otot levator palpebrae (ptosis) dan otot ekstraokuler (diplopia). Ptosis kemudian akan diikuti dengan kesulitan menutup mata (dikarenakan kelemahan m.orbicularis oculi). Keluhan pada mata relatif lebih dirasakan mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya.

  Pada stadium selanjutnya akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan otot untuk bicara (pada 80% kasus). Setelah banyak bicara suara dapat menghilang dan menjadi sengau. Otot leher, gelang bahu dan panggul jarang terkena. Bila otot leher terkena, maka ada keluhan sulit untuk mempertahankan posisi tegak kepala. Pada kasus yang parah, semua otot terkena termasuk otot abdomen, interkostal,diafragma bahkan otot sfingter kandung kemih dan anus. Sifat kelemahan pada miastenia gravis bersifat fluktuatif, gejala bervariasi dari hari ke hari dan dari jam ke jam, biasanya akan membaik pada pagi hari atau saat istirahat dan memburuk pada saat siang/sore hari saat aktivitas. Hal ini sesuai dengan keluhan yang dialami pasien saat ini dimana semua keluhan seperti kelopak mata jatuh , suara serak dan mengecil saat jika beraktifitas namun pulih kembali setelah beristirahat. Selain itu riwayat pengobatan dimana pasien mempunyai responsi yang baik terhadap pemberian obat mestinon dapat memperkuat kecurigaan terhadap miastenia gravis. Sehingga pada kasus ini kecurigaan bahwa pasien mengalami miastenia gravis ditegakan atas dasar gambaran klinis yang khas dan responsi yang baik terhadap pemberian obat mestinon.

  IV. Miastenia Gravis

  IV.1 Definisi

  Miasthenia gravis (MG) adalah suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh rusaknya reseptor asetilkolin pada post sinaptik sehingga menganggu transmisi neuromuscular, ditandai dengan kelemahan otot secara fluktuatif yaitu kelemahan otot

  1,2

  memberat setelah aktivitas dan membaik dengan istirahat. Sedangkan krisis miastenik adalah salah satu kegawatan neurologi yang terjadi pada kasus-kasus MG. Krisis miastenik ditandai oleh kelemahan otot-otot bulbar dan otot pernafasan. Krisis miastenia adalah komplikasi MG yang paling berbahaya dan mengancam hidup yang memerlukan perawatan intensif. Krisis miastenia biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset MG (74%

  3,4 pasien) dan 15-20% pasien dengan MG akan mengalami krisis miastenia.

  IV.2 Epidemiologi

  Insiden MG bervariasi antara 1-9 kasus/1000 penduduk, sedangkan prevalensi MG diperkirakan antara 25-142 kasus/1000 penduduk. MG lebih banyak dijumpai pada wanita ketimbang pria. Usia puncak pada wanita yaitu 20-24 tahun dan 70-75 tahun, sedangkan pada

  2 pria 30-34 tahun dan 70-74 tahun.

  IV.3 Faktor Pencetus

  Sebuah studi menunjukan 38% kasus krisis miastenik dipresipitasi oleh adanya infeksi sebelumnya. Infeksi yang paling sering adalah pneumonia bakterialis. Kondisi lain yang dapat menyebabkan krisis miastenik antara lain penggunaan obat-obatan tertentu, pneumonia aspirasi, premenstruasi, stess fisik dan psikis, suhu ekstrim, nyeri, kurang tidur, dan kehamilan. Namun perlu diingat, sekitar sepertiga sampai setengah dari pasien dengan krisis

  3,4 miastenik tidak dijumpai faktor pemicunya.

  Kortikosteroid dapat digunakan dalam pengobatan MG, namun di sisi lain pengobatan awal dengan prednison dapat menyebabkan eksaserbasi krisis miastenik. Krisis miastenik yang disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid berkisar antara 9-18%.

IV.4 Patofisiologi

  Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati

  6 hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.

  Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat

  7,8 berlangsung lama.

  Gambar 1. Perbandingan NMJ normal dan NMJ pada MG

3 IV.5 Manifestasi Klinis

  1. Gejala utama MG adalah kelemahan otot yang selalu sebelumnya terjadi kelelahan otot akibat aktivitas kegiatan fisik atau latihan berulang yang akan membaik dengan istirahat atau tidur

  2. Kelemahan yang timbul bersifat intermitten/fluktuatif

  3. Distribusi kelemahan otot bervariasi, bisanya memiliki pola tipikal, yaitu craniocaudal dimulai dari otot-otot kranialis terutama kelopak mata dan otot ekstraokuler kemudian menyerang otot-otot ekstremitas yang dimulai dari proksimal dan bersifat asimetrik. Kelemahan juga dapat menyerang otot-otot pernapasan dan menyebabkan krisis miastenik

  4. Berdasar distribusi otot yang terkena : otot-otot penggerak kelopak mata, menyebabkan diplopia(41%) otot kelopak mata menyebabkan ptosis (25%) Otot lidah menyebabkan disatria (16%) Otot-otot ekstremitas bawah menyebabkan gangguan gerak flasid (13%) Kelemahan otot tubuh secara umum (11%) Otot menelan-bulbar : kesulitan menelan(11%) Otot-otot ekstremitas atas meyebabkan kelemahan yang bersifat flasid (7%) Otot-otot pengunyah (7%) Otot leher dan pernafasan akan menyebabkan gangguan nafas sampai gagal nafas.

  Gambar 2. Tanda dan gejala miasthenia gravis

IV.6 Klasifikasi

  1 IV.6.1 Klasifikasi Osserman (derajat keparahan penyakit)

  I. Miastenia Okuler hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)

  II. A. Miastenia umum derajat ringan : Progres lambat, biasanya pada mata , lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %).

  B. Miastenia umum derajat sedang : Progres bertahap dan sering disertai gejala-gejala okular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot rangka dan bulbar, tak terjadi krisis. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas. (25 %)

  III. Miastenia Fulminasi Akut : Progres yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan (terjadi krisis pernafasan). Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan angka kematian tinggi. (15%)

  IV. Miastenia berat yang berkembang lamban : Timbul paling sedikit 2 tahun sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis buruk. (10 %)

  IV.6.2 Klasifikasi Myathenia Gravis Foundation ( klinis )

  1 Tabel 2 . Klasifikasi Myasthenia berdasarkan klinis dari MGFA

8 Pasien Myasthenia Gravis dibagi menjadi enam subtipe berdasarkan gambaran klinis,

  IV.6.3 Klasifikasi berdasarkan onset

  onset kejadian, profil autoantibodi dan kelainan pada timus yaitu: Early onset Myasthenia Gravis: onset kejadian pada umur < 40 tahun, lebih sering mengenai wanita dibanding pria, dengan kelenjar timus pada umumnya mengalami hiperplasia dan adanya autoantibodi terhadap AChR. Hiperplasia timus ditemukan pada 50-60% pasien dari kelompok ini.

  Late onset Myasthenia Gravis: onset kejadian pada umur > 40 tahun, terutama menyerang pria, dengan kelenjar timus normal atau mengalami atrofi, autoantibodi terhadap AChR, titin dan reseptor ryanodine. Antistriational muscle antibodies (anti-titin dan reseptor ryanodine) ini dihubungkan dengan gambaran penyakit yang lebih berat.

  Tymoma associated Myasthenia Gravis: pada umumnya ditemukan pada umur 40-60 tahun, dengan kelenjar timus mengalami neoplasia, autoantibodi terhadap AChR, titin, reseptor ryanodine, dan KCNA4.

  Myasthenia Gravis with anti MuSK: umumnya menyerang kelompok umur < 40 tahun, predominasi wanita dan kelenjar timus normal.

  Seronegatif Myasthenia Gravis yaitu pasien Myasthenia Gravis yang pada pemeriksaan tidak ditemukan autoantibodi terhadap AChR dan MuSK. Subtipe ini ditemukan pada berbagai kelompok umur dengan kelenjar timus mengalami hiperplasia.

  Ocular Myasthenia Gravis

IV.6.4 Klasifiaksi berdasarkan Anti- AChR antibodies

  a. Seropositif

  Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak dari acquired autoimmune MG. Hampir 85% penderita generalized MG dan 50%-60% penderita ocular myasthenia menunjukkan hasil yang positif untuk anti-AChR antibody dengan radioimmunoassay.8 Antibodi AChR hampir selalu dijumpai pada pasien MG dengan timoma. Selain itu, pasien tymoma associated MG

  2+ +

  juga memiliki antibodi antivoltage gated K dan Ca , anti-Hu, antidihydropyrimidinase

  8 related protein 5, dan antiglutamic acid decarboxylase).

  b. Seronegatif

  Lebih kurang 15% pasien MG tidak ditemukan adanya antibodi AChR dan 40% di antaranya didapatkan adanya antibodi MuSK. Pada pasien-pasien ini pada umumnya didapatkan gejala kelemahan otot nafas, paralisis bulbar, kelemahan otot leher, namun jarang dijumpai adanya gangguan pada otot mata. MG yang tidak dijumpai adanya antibodi anti AChR dan anti

  8 MuSK disebut dengan MG seronegative. MG seronegatif hanya memiliki gejala mata saja.

  IV.7 Diagnosis

  IV.7.1 Anamnesis

  Awitan biasanya tidak jelas dan progresivitas relatif lambat. Biasanya diawali dengan mata, muka, rahang tenggorok dan leher. Tetapi ditemui juga yang mulai dengan ekstremitas. Sembilan puluh persen kasus, awal mulanya mengeluh kelemahan otot levator palpebrae (ptosis) dan otot ekstraokuler (diplopia). Ptosis kemudian akan diikuti dengan kesulitan menutup mata (dikarenakan kelemahan m.orbicularis oculi). Dan bisa juga ditemui suatu tanda Cogan twitch pada mata yang ptosis. Pasien biasanya datang ke dokter dengan keluhan pada mata yaitu melihat dobel atau kelopak mata sulit membuka. Keluhan pada mata relatif lebih dirasakan mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya. Pada stadium selanjutnya muncul akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan otot untuk bicara (pada 80% kasus). Setelah banyak bicara suara dapat menghilang dan menjadi sengau. Otot leher, gelang bahu dan panggul jarang terkena. Lebih sering terkena adalah m.erector

  

spinae. Bila otot leher terkena, maka ada keluhan sulit untuk mempertahankan posisi tegak

  kepala. Pada kasus yang parah, semua otot terkena termasuk otot abdomen,

  

interkostal,diafragma bahkan otot sfingter kandung kemih dan anus. Kelemahan yang timbul

  sering didahului emosional upset dan infeksi. Sifat kelemahan akan membaik pada pagi hari atau saat istirahat, kelemahan yang sedang atau berat bisa berlangsung sampai 1 bulan. Gejala pada mata (diplopia atau pandangan kabur) akan memburuk saat membaca lama, menonton

  7 TV, menyetir kendaraan atau mengunyah dalam waktu lama.

  IV.7.2 Pemeriksaan Fisik

  Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien MG meliputi otot yang terkena atau dicurigai terkena, antara lain :

  1. Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes positif).

  Ini terjadi karena kelemahan m. Levator palpebra akan terlihat bila pasien diminta untuk melihat ke atas selama 1 menit, kelemahan ini akan membaik setelah pasien diminta untuk menutup mata secara maksimal (Tes Wartenberg)

  Gambar 3. Tes Wartenberg

  2. Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan menghilang secara bertahap (tes positif).

  3. Diplopia stress test yaitu pasien diminta untuk melihat ke samping secara maksimal selama 30 detik, bila positif akan muncul gejala diplopia

  4. Red glass test yaitu gelas berwarna merah diletakan pada depan mata kanan dan sumber cahaya diletakan pada depan mata kiri, hal ini berfungsi untuk memeriksa apakah terdapat pandangan dobel

  5. Tanda Cogan yaitu tampak kedutan transien pada kelopak mata segera setelah pasien diminta untuk melihat ke bawah dan ke atas secara cepat

  6. Anggota gerak : penderita di suruh menggerakkan anggota gerak abduksi ke atas kira-kira 20 kali atau menggerakkan tangan ke arah mulut dan dibandingkan akan terjadi kelemahan

  Tes Prostigmine

  Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau

  2,6 subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.

  Tes Edrophonium

  Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama karena efektivitas tensilon sangat singkat. Efek sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat digunakan atropin. Tes dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas dalam waktu 30-45 menit setelah penyuntikan. Perbaikan kekuatan otot akan bertahan selama 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik.

  Gambar 4. Sebelum dan setelah tes edrophonium

  Ice test

  Prinsip dari pemeriksaan ini adalah fungsi otot pada pasien pasien MG akan membaik pada kondisi temperatur yang rendah. Hal ini disebabkan oleh aktivitas AChE akan turun

  2,6 pada temperatur yang rendah dan efek depolarisasi ACh akan meningkat pada NMJ.

  Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengkompres keloopak mata yang tertutup dengan es selama 2 menit. Hasil dianggap positif bila celah kelopak mata membuka lebih dari 2 mm

  2,6 daripada sebelumnya.

  Gambar 5. Sebelum dan setelah ice test

IV.7.3 Pemeriksaan Penunjang

9 Pemeriksaan Radiologi

   Chest x-ray dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

   Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.  MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak. Gambar 6 CT scan othoraks memperlihatkan massa pada bagian anterior mediastinum pada pasien dengan myasthenia gravis.

  Pemeriksaan antibodi anti AChR& anti MuSK

  Antibodi anti AChR dapat ditemukan pada 85% pasien dengan MG dengan gejala general dan 50% pada pasien MG okuler. Hasil yang positif merupakan diagnosis definitif MG, namun jika dijumpai hasil yang negatif kemungkinan MG belum dapat disingkirikan. Antibodi anti MuSK didapatkan pada 40% pasien dengan hasil pemeriksaan antibodi anti AChR yang negatif. Besar kecilnya kadar antibodi yang terdeteksi dalam serum tidak

  10 menggambarkan derajat keparahan penyakit MG.

  Selain pada MG, antibodi anti AChR yang positif juga dapat dijumpai pada pasien dengan systemic lupus erythematosus, inflammatory neuropathy, amyothropic lateral sclerosis, rheumatoid arthritis dengan pengobatan D-penicillamine, dan timoma tanpa gejala

10 MG.

  Single-fiber Electromyography (SFEMG)

  Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

  Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

  Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

  Gambar 7. Gambaran decrement pada EMG RNS

VI.7.4 Tata Laksana

  Manajemen terapi pada pasien Myasthenia Gravis harus disesuaikan dengan karakteristik dan berat ringannya penyakit yang dialami oleh pasien. Pendekatan managemen Myasthenia Gravis berdasarkan patofisiologinya yaitu dengan meningkatkan jumlah asetilkolin agar dapat berikatan dengan reseptor di daerah post sinaptik dengan menggunakan inhibitor asetilkolinesterase dan dengan menggunakan obat-obat immunosupresif sehingga menurunkan jumlah autoantibodi yang berikatan dengan reseptor asetilkolin. Empat prinsip dasar terapi Myasthenia Gravis yaitu: 1. Pengobatan simptomatik dengan menggunakan inhibitor asetilkolinesterase.

  Obat lini pertama untuk pengobatan simptomatik adalah dengan menggunakan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis parenteral 3-6 mg/4- 6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk mengunyah, menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida (prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4 jam/iv atau im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada Miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.

  2. Kortikosteroid Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek sampingnya dapat berupa: peningkatan berat badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum,

  2 katarak.

  3. Pemberian immunomodulating jangka pendek dengan plasmapheresis dan immunoglobulin intravena. Terapi ini diberikan pada keadaan khusus yaitu pada krisis miastenik dan pada preoperatif timektomi atau operasi-operasi lain. Prinsip terapi dengan plasmapheresis adalah menghilangkan autoantibodi yang bersirkulasi, kompleks imun dan mediator-mediator inflamasi lainnya. Plasmapheresis dilakukan empat sampai enam kali setiap selang sehari. Immunoglobulin intravena bekerja dengan menginterferensi ikatan Fc reseptor dengan makrofag, reseptor immunoglobulin dengan sel B dan pengenalan antigen oleh sel T. Immunoglobulin diberikan selama lima hari dengan dosis 0,4g/kg/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan

  5 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.

  4. Pemberian immunomodulating jangka panjang dengan glukokortikoid dan obat-obat immunosupresif lainnya. Prednison merupakan obat yang paling sering digunakan dengan dosis 0,75-1 mg/kg/hari atau dapat diberikan 60-100 mg setiap selang sehari (alternate days). Dosis prednison pada Myasthenia Gravis okuler lebih rendah yaitu 20-40 mg per hari. Obat immunosupresif lain yang dapat digunakan antara lain azathioprine, ciclosporin, cyclophosphamide, methrotrexate, mycophenolate mofetil,

  5 rituximab dan tacrolimus.

  5. Terapi pembedahan (timektomi), penatalaksanaan ini dianjurkan pada pasien dengan

  5 timoma.

  Penatalaksanaan nonfarmakologik pada pasien Myasthenia Gravis juga penting dilakukan yaitu dengan menghindari keadaan dan obat-obatan yang dapat mencetuskan Myasthenia Gravis. Rehabilitasi juga dapat dilakukan untuk

  5,6 meningkatkan kualitas hidup pasien.

11 IV.7.5 Diagnosis Banding Ptosis Unilateral

  1. Sindrom horner Sindrom Horner’s adalah suatu sindrom yang terdiri dari kelainan berupa masuknya bola mata, ptosis kelopak mata atas, kelopak mata atas sedikit naik, kontraksi dari pupil, penyempitan dari fissura palpebra, anhidrosis dan warna kemerahan di sisi wajah yang sakit, disebabkan oleh paralisasis saraf simpatis servikal. Disebabkan oleh adanya kerusakan atau gangguan pada jalur saraf simpatis. Lesi lesi yang menyebabkan sindroma Horner mengganggu serat serat preganglion ketika lesi lesi ini mendesak toraks bagian atas. Gejala klinis nya ptosis, miosis, enoftalmus dan anhidrosis

  2. Congenital Myasthenic Syndrome Adalah bentuk kelemahan yang paling mungkin muncul selama masa bayi dengan kelelahan, kesulitan mengisap dot, tidak aktif, dan penurunan tonus otot. Onset pada bayi dan anak-anak, antibody seronegatif dan tidak berespon terapi immunomodulatooy. Diagnosis generik dari CMS dapat dibuat atas dasar onset saat lahir hingga awal masa kanak-kanak, kelemahan yang melelahkan yang mempengaruhi terutama otot okular dan otot tengkorak lainnya, riwayat keluarga yang positif, dan respons EMG yang menurun atau EMG serat tunggal yang abnormal. Tes untuk anti-AChR dan anti-MuSK antibodi diindikasikan pada pasien sporadis setelah usia 1 tahun dan pada bayi artrogrypotic

  3. Periodic paralysis hypokalemia Kelainan yang ditandai dengan kadar kalium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Kelemahan biasanya terjadi pada otot kaki dan tangan, tetapi kadangkadang dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan otot untuk menelan, di mana kedua keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal.

  4. Early onset Myasthenia Gravis onset kejadian pada umur < 40 tahun, lebih sering mengenai wanita dibanding pria, dengan kelenjar timus pada umumnya mengalami hiperplasia dan adanya autoantibodi terhadap AChR. Hiperplasia timus ditemukan pada 50-60% pasien dari kelompok ini. Awalnya ptosis dapat muncul sebagai unilateral , sering bergeser dari satu mata ke yang lain, untuk akhirnya melibatkan dua kelopak mata (bilateral)

  5. Myasthenia Gravis with anti MuSK Umumnya menyerang kelompok umur < 40 tahun, predominasi wanita dan kelenjar timus normal.

  6. Lambert Eaton Myasthenic Syndrome Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, disertai gejala otonom, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada Miastenia gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan terjadi hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada Miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik

  2,8 tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

  V. Diagnosis Sementara Diagnosis klinik : ptosis unilateral, disfonia.

  Diagnosis topis : neuromuscular junction Diagnosis etiologi : autoimmune susp myasthenia gravis dd/ Early onset Myasthenia

  Gravis dd/ periodic paralysis hipokalemia dd/ lambert-eaton myasthenic syndrome (LEMS) dd/ Congenital Myasthenic Syndrome

  VI. Pemeriksaan Fisik

  Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 30 Maret 2018 pukul 10.00 WIB

  VI.1 Status Praesens :

  KU : tampak sakit ringan Kesadaran : compos mentis (GCS E4-V5-M6) Tanda Vital : TD100/80 mmHg RR20 x/menit

  HR67 x/menit T  36,4 Antropometri : BB  46 kg

  TB  155 cm BMI  19.16 (normoweight)

  VI.2 Status Internus

  Kepala : normocephal Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Leher : JVP tidak meningkat, kelenjar tiroid dbn Thoraks : tidak ada deformitas Pulmo dan Cor : sonor, vesikuler di seluruh lapangan paru, suara tambahan (-) Abdomen : hepar dan lien tidak teraba, supel, NT (-) Ekstremitas : edema (-), atrofi otot (-), deformitas (-)

  VI.3 Status Psikiatri

  Tingkah laku : normoaktif Perasaan hati : normoritmik Orientasi : dalam batas normal

  Kecerdasan : dalam batas normal Daya ingat : dalam batas normal

  VI.4 Status Neurologis

  Mata : pupil isokor 3 mm/ 3mm, refleks cahaya +/+, refleks kornea +/+, ptosis OS (-/+) . nervi craniales : parese N.III ,X Leher : meningeal sign kaku kuduk (-) Badan

  • Kolumna vertebralis : dbn
  • Sensibilitas : dbn
  • Vegetatif : dbn

  Nervus Cranialis N. I (OLFAKTORIUS) Lubang hidung Kanan Lubang hidung Kiri

  Daya Pembau N N

  N. II (OPTIKUS) Mata Kanan Mata Kiri

  Daya Penglihatan N N Pengenalan Warna N N Medan Penglihatan N

  Sulit dinilai karena mata kiri ptosis

  N. III (OKULOMOTORIS) Mata Kanan Mata Kiri

  Ptosis - + Gerak Mata Ke Atas + + Gerak Mata Ke Bawah + + Gerak Mata Ke Media + + Ukuran Pupil 3 mm 3 mm Bentuk Pupil Isokor Isokor Reflek Cahaya Langsung + + Reflek Cahaya Konsesuil + +

  • Strabismus Divergen - - Diplopia

  N. IV (TROKHLEARIS) Mata Kanan Mata Kiri

  • Gerak Mata Lateral Bawah Strabismus Konvergen - -
    • Diplopia

  N. V (TRIGEMINUS) Kanan Kiri

  Mengigit N N Membuka Mulut N N Sensibilitas Muka Atas N N Sensibilitas Muka Tengah N N Sensibilitas Muka Bawah N N

  • Reflek Kornea Trismus

  N. VI (ABDUSEN) Mata Kanan Mata Kiri

  Gerak Mata Lateral Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

  • Starbismus Konvergen - - Diplopia

  N. VII (FASIALIS) Kanan Kiri

  • Kerutan Kulit Dahi + + Menutup Mata + + Lipatan Nasolabial + Sudut Mulut +
    • Tik Fasial

  N. VIII (AKUSTIKUS) Kanan Kiri

  Mendengar Suara Berbisik Normal Normal Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan N.

IX KANAN KIRI (GLOSSOFARINGEUS)

  Arkus Faring Simetris Simetris Daya Kecap 1/3 Belakang Normal Normal Reflek Muntah Normal Normal

  • Sengau
  • Tersedak

  N. X (VAGUS) Kanan Kiri

  Arkus faring Simetris Simetris Reflek muntah Normal Normal

  Disfonia (-) karena sudah membaik Bersuara ketika diperiksa

  • Menelan

  N. XI (AKSESORIUS) Kanan Kiri

  kontur otot kontur otot tegas tegas dan

  Memalingkan Kepala dan konsistensi konsistensi keras, adekuat keras, adekuat

  Sikap Bahu Simetris Simetris Mengangkat Bahu Adekuat Adekuat

  • Trofi Otot Bahu

N. XII (HIPOGLOSUS)

  Sikap lidah Tidak ada Deviasi Artikulasi Cukup jelas Menjulurkan lidah Tidak ada Deviasi Fasikulasi lidah -

  VI.5 Motorik

  B B 4+ 4+ N N Eu Eu G B B K 4+ 4+ Tn N N Tr Eu Eu

  • – –
    • – – – + + RF RP Cl

  VI.6 Pemeriksaan Khusus

   Tes Wartenberg (-) kelopak mata kiri pasien berkedut dan pasien sering berkedip  Cogan lid twitch (+)  Tes counting (-) karena sudah perbaikan saat pemeriksaan

  VI.7 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium 27/03/2018 PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN DARAH RUTIN

  Hemoglobin 13.8 11.7 – 15.5 g/dL

  Leukosit 5.7 3.6 – 11.0 ribu Eritrosit 4.55 3.8 - 5.2 juta Hematokrit 42.6 35 - 47 % MCV 93.6 82 – 98 fl MCH 30.3 27 - 32 pg MCHC 32.4 32 -37 g/dL RDW 12.5 10 -16 % Trombosit 280 150 - 400 ribu Limfosit 1.2 1.0 – 4.5 Monosit 0.4 0.2 -1.0 Granulosit 4.1 2 - 4 Liimfosit% 20.5 (L) 25 - 40 % Monosit% 7.1 2 – 8 % Granulosit% 72.4 50 – 80 %

  Pemeriksaan Laboratorium 27/03/2018 PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN KIMIA KLINIK

  SGOT 18 0 - 35 U/L SGPT 11 0 – 35 IU/L Ureum 17.4 10 – 50 mg/dL Kreatinin 0.58 0.45 – 0.75 mg/dL Calsium 11 8.8-10.2 mg/dL Natrium 138 136-146 mmol/L Kalium 3.5 3.5-5.1 mmol/L Chlorida 103 98-106 mmol/L

VII. Diskusi II

  Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis, GCS 15 (E4M6V5) dengan tanda vital: TD: 100/80 mmHg, N: 67x/menit,

  o

  RR: 20x/menit, S: 36,4

  C. Pada pemeriksaan nervus cranialis diidapatkan adanya parese N.III ditandai dengan adanya ptosis pada palpebra kiri pasien, serta N.X ditandai dengan disfonia, namun pada pemeriksaan disfonia (-) karena sudah perbaikan. Hal ini sesuai dengan teori dimana pada MG keluhan yang paling sering terjadi adalah keluhan pada wajah yang mengenai otot eksta okular dan okular sehingga timbul manifstasi ptosis dan diplopia serta otot orofaringeal yang menimbulkan disfonia. Sehingga berdasarkan derajat keparahannya pasien termasuk kedalam kategori MG ringan stadium I yang ditandai dengan kelemahan otot okular yang semakin parah.

  Pada pemeriksaan counting test didapatkan hasil (-) dimana penderita disuruh menghitung 1-100 maka akan terjadi kelemahan suara menjadi serak dan menghilang secara bertahap, didapatkan (-) karena sudah perbaikan. Sedangkan pada test wartenberg (-) karena sudah dalam perbaikan namun saat pemeriksaan ini kelopak mata pasien berkedut dan pasien sering berkedip. Penderita diminta untuk memandang objek yang letaknya lebih tinggi antara kedua bola mata selama >30 detik maka akan terlihat ptosis dengan reaksi pupil tetap normal pada penderita MG namun kelemahan ini akan membaik setelah pasien diminta untuk menutup mata secara maksimal. Tanda Cogan (+) yaitu tampak kedutan transien pada kelopak mata segera setelah pasien diminta untuk melihat ke bawah dan ke atas secara cepat. Pemeriksaan khusus pada MG ini yang menunjukan hasil (+) dapat memperkuat diagnosis MG karena tes provokasi ini mencetuskan terjadinya kelelahan otot pada pasien. Hal ini sesuai dengan teori MG dimana keluhan biasanya diperberat oleh aktivitas dan membaik setelah pasien beristirahat.

  Pemeriksaan penunjang laboratorium elektrolit dilakukan untuk mencari penyebab kelemahan otot pada pasien sehingga dapat menyingkirkan diagnosis banding periodic paralysis hipokalemia karena pada pasien ini tidak ditemukan adanya penurunan kalium. Pemeriksaan daah rutin dilakukan untuk menyingkirkan adanya infeksi. Pada kasus disarankan pemeriksaan rontgen thoraks untuk mencari tahu ada tidaknya hiperplasia timus ataupun timoma dikarenakan myasthenia gravis sering terjadi bersamaan dengan timoma (15%) dan hiperplasi timus (65%). Kelenjar timus terdiri atas sel myoid yang mengandung AChR. Sel limfosit B dan T yang diproduksi kelenjar timus akan merusak AChR sehingga menimbulkan manifestasi kelemahan otot. Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks PA pada pasien ini tidak didapatkan adanya kesan hiperlasia timus maupun timoma. Hal ini terjadi dikarenakan foto toraks tidak sensitif untuk skreening timoma. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya timoma ukuran kecil sehingga terkadang perlu dilakukan CT-Scan thoraks untuk mengidentifikasi timoma pada semua kasus miastenia gravis. Oleh karena itu untuk dapat memperkuat diagnosis miastenia gravis sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan serologis antibodi anti AChR& anti MuSK, elektrofisiologi Single-fiber

  

Electromyography (SFEMG) & Repetitive Nerve Stimulation (RNS) dan bipsi

kelenjar timus.

  Periodic paralysis hipokalemia adalah Kelainan yang ditandai dengan kadar kalium (kalium) yang rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat episode kelemahan sampai kelumpuhan otot skeletal. Periodic paralysis hipokalemia dilemahkan karena pada pasien ini didaptkan hasil kalium yang normal. Lambert-eaton myasthenic syndrome (LEMS) adalah penyakit dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Lambert-eaton myasthenic syndrome (LEMS) dilemahkan karena Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, disertai gejala otonom. Sedangkan pada pasien ini tidak terdapat hiporefleksia dan gejala otonom. Sedangkan Early onset Myasthenia Gravis dipertahankan karena gejala nya seperti pada kasus ini yaitu awalnya ptosis unilateral lalu menjalar menjadi bilateral, namun pada kasus ini harus diobservasi lagi. Congenital Myasthenic Syndrome dipertahankan karena masih dibutuhkan pemeriksaan serologi.

VIII. Diagnosis Akhir

  Diagnosis klinik : ptosis unilateral Diagnosis topis : neuromuscular junction

  Diagnosis etiologi : autoimun susp miastenia gravis dd/ Early onset Myasthenia Gravis dd/ Congenital Myasthenic Syndrome

IX. Terapi

  1. Non Medikamentosa

   Tirah Baring  Edukasi keluarga mengenai penyakitnya Diagnosis pasien - Tata laksana yang akan dilakukan - Prognosis dari penyakit yang diderita pasien -

  2. Medikamentosa

   Mestinon tab 2x60 mg  Meticobalami 2x500 mg

  X. Plan

  1. Tes Prostigmin dan edrophonium (tensilon test)

  2. Rongten Thorax

  3. CT Scan thoraks

  4. Serologi ( antibodi anti AChR & anti MuSK )

  5. Elektrofisiologi (SFEMG & RNS)

  6. Biopsi timus

  XI. Prognosis

  Death : Ad bonam Disease : Dubia ad bonam Dissability : Dubia ad bonam Discomfort : Dubia ad bonam Dissatisfaction: Dubia ad bonam Distutition : Dubia ad bonam

  XII. Diskusi III

  Pada pasien ini diberikan AChEIs sebagai tata laksana medikamentosa yaitu piridostigmin (mestinon) 2x60 mg. Hal ini sesuai dengan teori dimana AChEIs masih merupakan pengobatan lini pertama pada tahap awal MG atau apabila dijumpai gejala yang masih ringan. Pasien ini termasuk kedalam MG derajat I sehingga pemberian AchEIs akan sangat bermanfaat. AchEIs bekerja dengan cara memperlambat degradasi ACh oleh AChE. AChEIs akan meningkatkan kadar ACh di celah sinaps dan dengan demikian akan mengkompensasi jumlah AChR yang sedikit. Namun, AChEIs hanya merupakan pengobatan simtomatik dan tidak mengobati penyebab utama MG.

Dokumen yang terkait

Idioms Used In Real Steel Movie - Digital Library IAIN Palangka Raya

2 4 9

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh variasi berat glukosa pada filtrat tomat (solanum lycopersicum (L) Commune) dan lama fermentasi acetobacter xylinum terhadap tingkat ketebalannata de tomato - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Penerapan metode eksperimen terhadap pokok bahasan bunyi untuk meningkatkan hasil belajar siswa mtsn 2 palangka raya kelas VIII semester II tahun ajaran 2013/2014 (studi eksperimen) - Digital Library IAIN Pala

0 0 10

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23

CHAPTER I INTRODUCTION - The effectiveness of anagram on students’ vocabulary size at the eight grade of MTs islamiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 10

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Penelitian Sebelumnya - Perbedaan penerapan metode iqro’ di TKQ/TPQ Al-Hakam dan TKQ/TPQ Nurul Hikmah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 26

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan model Problem Based Instruction (PBI) terhadap pemahaman konsep dan hasil belajar siswa pokok bahasan tekanan Kelas VIII Semester II di SMPN Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016 - Digital Library IAIN Pala

0 3 80