PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP. docx

PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP
PENYERANGAN POS POLISI MYANMAR DAN PENINDASAN
ETNIS ROHINGYA
Zaeda Zulfa
zaedazulfa@students.unnes.ac.id
Abstrak
Yangon – Otoritas Myanmar menjatuhkan vonis mati terhadap seorang pria
Rohingya. Putusan vonis mati ini berkaitan dengan penyerangan pos polisi di
perbatasan yang menewaskan 9 personel kepolisian Myanmar sehingga
memicu aparat negara untuk melakukan operasi besar-besaran terhadap
kelompok minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Dari operasi
pembersihan yang dilakukan pada Oktober 2016 mengakibatkan ratusan
warga Rohingya tewas dan puluhan ribu lainnya melarikan diri ke Bangladesh.
Laporan terbaru PBB menyebutkan bahwa pembunuhan massal terhadap
warga Rohingya di Rakhine juga dibarengi dengan pemerkosaan bergiliran oleh
tentara dan polisi Myanmar. Operasi pembersihan oleh aparat negara Myanmar
bertujuan untuk menemukan para pelaku penyerangan pos polisi di
perbatasan tersebut. Pemerintah Myanmar menduga bahwa dibalik serangan
itu adalah teroris Rohingya. Ada 14 terdakwa pelaku penyerangan pos polisi di
perbatasan dan salah satu terdakwa bernama Mamahdnu Aka Aulia di vonis
hukuman mati. Kepala Kepolisian Sittwe, Yan Naing Lett, menyebutkan

pengadilan setempat menjatuhkan vonis mati terhdapa pemimpin
penyerangan pos kepolisian di perbatasan Kotankauk. Sittwe merupakan ibu
kota Negara Rakhine. Vonis mati dijatuhkan pada Jumat (10/2) lalu. Yan Naing
Lett kepada AFP, Senin (13/2) menuturkan bahwa Mamahdnu Aka Aulia dijatuhi
vonis mati pada 10 Februari di pengadilan Sittwe atas dakwaan pembunuhan
disengaja. Pria tersebut
ikut serta dalam penyerangan dan memimpin
penyerangan dan merencanakan penyerangan bersama terdakwa lainnya.
Kendati demikian, militer Myanmar melakukan pengawasan ketat dengan
melakukan operasi di wilayah Rakhine, temapt kekerasan terhadap kaum
muslim khususnya Rohingya.
Kata Kunci : Vonis, serangan, Rohingya, polisi, PBB
PENDAHULUAN
Latar belakang
Rohingya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine di Burma.
Jumlah warga Rohingya sekitar 3 juta penduduk yang mendiami Rakhine. Etnis
Rohingya merupakan penduduk muslim yang mendiami di negara bagian
Rakhine atau dikenal juga sebagai negara Arakan pada abad ke-16. Etnis
Rohingya pada saat itu belum diketahui secara pasti jumlahnya oleh
pemerintahan Inggris. Pada 1872 dan 1911 Inggris melakukan survey untuk

menghitung jumlah penduduk muslim Rohingya. Dalam hasilnya tercatat
bahwa penduduk etnis Rohingya mengalami peningkatan dari 58.255 menjadi
178.647. Adanya peristiwa pembantaian Arakan menimbulkan perbedaan
keyakinan oleh etnis-etnis yang mendiami daerah itu. Pada 1982, pemerintah
Jendral ne Win memberlakukan hukum kewarganegaraan, etnis Rohingya tidak

diikutsertakan sebagai warga Myanmar di dalam Undang-Undang. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah penduduk
yang paling teraniaya di dunia. Mengutip keterangan dari media Republika, hal
tersebut diinyatakan sebagai berikut1 : “Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengatakan bahwa etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar merupakan
kelompok etnis minoritas yang saat ini paling merana di dunia. Ini dikarenakan
konflik kemanusiaan dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pengikut
Budha radikal di Myanmar”.
Dapat dilihat dengan jelas tidak ada kesetaraan dalam hidup
berdampingan dengan perbedaan keyakinan. Hilangnya prinsip kesetaraan
bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum, tidak ada produk hukum
yang berlaku untuk beberapa orang. Telah terjadi diskriminasi kaum minoritas
Rohingya, kekerasan dan penindasan dirasakan oleh kaum minoritas tersebut.
Pemerintah yang tidak mengakui adanya Rohingya semakin sulit memperoleh

hak asasinya untuk mendapat perlindungan. Penindasan terhadap etnis
Rohingya ini sudah termasuk ke dalam kejahatan genosida. Kejahatan genosida
merupakan sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap
satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat
punah) bangsa tersebut.2 Menurut Larry May, bahwa kejahatan etnic cleansing
melibatkan adanya suatu kebijakan yang disengaja oleh suatu grup/suku
tertentu untuk memindahkan secara paksa dan kekerasan atau diteror agar
penduduk sipil lainnya atau grup agama lainnya pindah ke wilayah geografis
tertentu.
Dengan tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar,
etnis Rohingya telah dirugikan, hak asasi untuk memperoleh pengakuan, hak
untuk melangsungkan kehidupannya dan lain sebagainya tidak bisa di
dapatkan dengan mudah, tidak ada jaminan hukum untuk melindungi warga
Rohingya dari ancaman luar. Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan
pemberian dari sang pencipta secara kodrati pada setiap individu makhluk
sampai melepasnya roh dari jiwa makhluk itu sendiri. Hak memberikan jaminan
moral dan dapat menikmati kebebasan manusia itu sendiri dari segala bentuk
perlakuan. Manusia mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi sehingga
perlu untuk diberikan penghargaan, pengakuan, perlindungan dan pemenuhan
HAM sebagai makhluk yang memiliki akal dan hati nurani.

Penggunaan kekerasan yang dilakukan karena konflik bersenjata
internasional atau bersenjata nasional membuat masyarakat internasional
melakukan pencegahan dan tindakan dengan cara penyelesaian damai terlebih
dahulu. Jika penyelesaian dengan kekeluargaan tidak kunjung usai konfliknya
maka digunakan intervensi kemanusiaan yang bersifat menghukum. Untuk
memberikan bantuan kemanusiaan dapat dilakukan tanpa harus memperoleh
keputusan dari organisasi dunia. Pemberian bantuan guna untuk mengurangi
penderitaan yang dirasakan, pemberian dapat berupa penyelamatan korban,
memberikan bantuan kebutuhan kehidupan sehari-hari. 3Sedangkan intervensi
11Dipresentasikan

pada “Seminar Nasional Rohingya dalam Perspektif Fotografi
Kemanusiaan dan HAM yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum
Humaniter dan HAM (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta,
tanggal 11 Februari 2014.
2Jawahir Thontowi, “Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim
Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional”, Pandecta, Volume 8.
Nomor 1. (Januari 2013), hlm. 42.
3 Ibid., hlm. 41.


kemanusiaan penggunaan kekerasan dengan cara pengiriman militer yang
dimaksudkan untuk menekan dan menghentikan tindakan kekerasan dan
dalam penyelenggaraannya harus dipertimbangkan melalui putusan atau
resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).
Kronologi Kasus
Pada Oktober 2016, Myanmar kembali tegang sebab telah terjadi
penyerangan pos polisi yang menewaskan 9 personel kepolisian Myamnar.
Pemerintah Myanmar menuturkan jika serangan pos polisi yang berada di
perbatasan sudah disusun dan dirancang oleh kelompok etnis Rohingya. Ada
ratusan militan etnis Rohingya yang melakukan penyerbuan pos polisi
pengamanan dekat perbatasan Bangladesh. Penyerangan dilakukan karena
dirasa telah terjadi diskriminasi minoritas Rohingya oleh pemerintahan
Myanmar. Perbedaan agama menyebabkan pula semakin tegangnya konflik
yang sedang terjadi. Kaum muslim minoritas berdampingan dengan penduduk
mayoritas Budha radikal di Myanmar yang kurang akur semakin memperparah
keadaan kaum Rohingya yang dikucilkan di daerah tempat tinggalnya.
Ratusan militan Rohingya diketahui telah menyerang tiga pos polisian
yang berada di perbatasan Bangladesh pada 9 Oktober. Untuk mencari para
pelaku dalam penyerangan dilakukan operasi pembersihan terhadap warga
Rohingya. Tanpa ada pilah-pilah aparat kepolisian dan militer membunuh

ratusan warga Rohingya dan sebagian lainnya melarikan diri ke Bangladesh
guna menyelamatkan nyawanya dari ancaman bahaya yang dilakukan oleh
pemerintah Myanmar. Laporan PBB terbaru menyatakan jika dalam operasi
pembersihan aparat kepolisian dan militer melakukan pembunuhan massal dan
pemerkosaan secara bergilir terhadap warga Rohingya.Setelah tertangkapnya
14 terdakwa penyerangan pos polisi, Kepala Kepolisian Sittwe Yan Naing Lett,
menyebutkan jika terdapat satu terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh
pengadilan setempat. Diduga pelaku tersebut bernama Mamahdnu Aka Aula
pemimpin serangan dan merencanakan penyerangan bersama terdakwa
lainnya. Mamahdnu dijatuhi hukuman mati pada 10 Februari di pengadilan
Sittwe atas dakwaan pembunuhan disengaja. Sedangkan 13 terdakwa lainnya
telah disidang namun belum dijatuhi vonis.
Adanya dugaan pelannggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan
militer, Kementrian Dalam Negeri Myanmar akan melakukan penyelidikan
depatemen guna mencari tahu dugaan kekejaman yang dilakukan aparat
keamanan negaranya. Sejak insiden penyerangan pos pengamanan di wilayah
tiga perbatasan Myanmar oleh sejumlah kelompok bersenjata militer Myanmar
melakukan pengawasan ketat dengan melakukan operasi di Rakhine, tempat
kekerasan terhadap kaum Muslim khususnya Rohingya yang juga ditempat itu
pula militer Myanmar melakukan pelanggaran HAM berat dengan cara

membabi buta secara sadis.4 Tindakan diskriminatif pemerintah Myanmar yang
tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara dilegalkan melalui
perangkat hukum, kemudian pembunuhan oleh aparat secara masif,
perampasan kebebasan, serta pemindahan secara paksa dapat dikategorikan
sebagai persekusi. Tindakan yang dilakukan pemerintah Myanmar dengan
kebijakan negara tidak adanya pengakuan warga negara semata-mata
ditujukan kepada etnis minoritas Myanmar saja.
Rumusan Masalah
Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, (Jakarta: PT
RAJAGRAFINDO, 2015), hlm 164.
4

1. Bagaimanakah hukum internasional memandang pemerintah Myanmar?
2. Bagaimana pertanggungjawaban hukum internasional dengan kasus
Rohingya?
Pandangan Hukum Internasional terhadap Pemerintah Myanmar
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasioanal (publik) adalah
keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan
atau personal yang melintasi batas negara-negara (hubungan internasional)
yang bukan bersifat perdata. Hukum internasional merupakan sistem hukum

yang berkaitan dengan hubungan antar negara yang memberikan pedoman,
aturan dan cara atau metode bagimana suatu sengketa dapat diselesaikan
dengan damai. Kasus yang menimpa warga Rohingya yang didiskriminasi oleh
negaranya sendiri menjadi perhatian oleh negara-negara lain. Sikap keji aparat
penegak hukum dengan melakukan cleansing etnic juga pemerkosaan sudah
dapat digolongkan ke dalam kejahatan berat. Dugaan masyarakat internasional
terhadap ethnic cleansing minoritas Muslim Rohingya dimulai pada bulan
Agustus 2012. 6Sebagaimana dikemukakan oleh Adam Jones, bahwa kelompok
minoritas tidak hanya karena mereka sebagai warga pendatang dari luar
(imigrant) atau keturunan kaum pendatang (descendant of immigrant) tetapi
hampir kebanyakan menjadi target kekerasan. Etnis minoritas Muslim Rohingya
yang lebih dulu menduduki Myanmar sebelum kemerdekaan negaranya malah
pemerintah Myanmar memperlakukan Muslim Rohingya dengan tidak
mengakui mereka sebagai warga negara dan menimbulkan persoalan hukum
dan HAM. Pemerintah Myanmar sudah melakukan tindakan diskriminatif
terhadap etnis minoritas Rohingya dan bertentangan dengan Konvensi Anti
Diskriminasi dan serta Konvensi Kewarganegaraan.
5

Tindak penyiksaan yang dilakukan polisi dan militer Myanmar bisa

termasuk ke dalam tiga unsur yaitu perbuatan yang dimaksudkan
mengakibatkan kesengsaraan secara fisik ataupun mental, dapat dilihat jika
Etnis Rohingya mengalami kekrasan, pembunuhan dan pemerkosaan yang
menimbulkan trauma berat bagi etnis Rohingya. Yang kedua yaitu adanya sikap
diam dari bejabat yang berwenang. Pemerintah Myanmar hanya diam tanpa
melakukan tidakan untuk mencegah lebih banyak korban berjatuhan, tidak ada
keputusan untuk mecabut UU Kewarganegaraan yang tidak mengakui adanya
etnis Rohingya. Ketiga, yaitu mens rea, penderitaan yang dilakukan secara
sengaja. Al yang esensial untuk membedakan anatar tindak penyiksaan biasaseperti tindak penyiksaan seorang anak oleh bapaknya dan penyiksaan yang
merupakan kejahatan internasional. Sebagai konsekuensi, Pemerintah
Myanmar telah melakukan kejahatan Internasional sebagi sebuah perbuatan
yang terpisah namun dapat dijangkau oleh hukum internasional.
Pada tanggal 1 Februari 1989 Konvensi Eropa mengenai Tindak
Penyiksaan mulai berlaku. Tujuan dari dibentuknya Konvensi ini adalah untuk
memberikan perlindungan kepada orang-orang yang terampas kebebasannya
7

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Buku 1 Bagian
Umum, (Jakarta: Binacipta, 1982), cetakan keempat, hlm.1.
6 Ibid., hlm. 41.

5

7 Pranoto Iskandar, Tindak Penyiksaan dan Hukum Internasiona, Pandecta
Volume 6. Nomor 2 (Juli 2011), hlm. 164.

dengan cara memperkuat perlindungan bagi mereka terhadap tindak-tindak
penyiksaan. Untuk mengawal tujuan ini Konvensi diberikan sebuah Komite
yang dapat melakukan kunjungan ke wilayah-wilayah yang telah menjadi
kewenangannya Di sini negara Myanmar berperan pasif atau kemungkinan
menjadi aktor dalam kasus penyiksaan terhadap Muslim Rohingya, Myanmar
dapat dimintakan pertanggungjawaban di depan hukum.
Dalam Statuta Roma, Mahkamah Konstitusi dapat menjalankan fungsifungsinya dan memenuhi tujuannya atas Wilayah suatu Negara Pihak dan
perjanjian khusus atas wilayah suatu negara. Kejahatan yang digolongkan ke
dalam Jurisdiksi Mahkamah yang diatur dalam pasal 5 mengenai kejahatan
yang paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secra
keseluruhan. Statuta yang berkenaan dengan kejahatan-kejahatan adalah
kejahatan genosida yang mecakup setiap perbuatan yang dilakukan dengan
tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok
nasional, etnis, ras atau keagamaan. Kedua kejahatan terhadap kemanusiaan
berarti salah satu dari perbuatan pembunuhan, pemusnahan, perbudakan dan

deportasi atau pemindahan paksa penduduk dilakukan sebagai bagian dari
serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok
penduduk sipil, dan dengan mengetahui adanya serangan itu. Ketiga,
kejahatan perang merupakan kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari
suatu rencana atau kebijakan atau sebagi bagian dari suatu pelaksanaan
secara besar-besaran dari kejahatan tersebut. Dan keempat kajahatn agresi.
Kasus kejahatan yang ditujukan kepada etnis Rohingya ini termasuk
kedalam kejaghatan terhadap kemanusiaan tapi juga bisa di golongkan ke
dalam kejahatan genosida karena memilki tujuan untuk menghancurkan etnis
Rohingya.
Para Ahli di Komisi DK PBB merumuskan bahwa pembersihan etnis
Rohingya mencakup kejahatan pembunuhan, penyiksaan, penangkapan dan
pemerkosaan serta penahanan sewenang-wenang oleh pengadilan juga
eksekusi tanpa putusan pengadilan terlebih dulu.

Tanggungjawab Hukum Internasional Terhadap Etnis Rohingya
Pemrintah Myanmar yang melakukan pembiaran kejahatan HAM berat
terhadap minoritas Rohingya telah mengundang organisasi internasional untuk
menyalurkan bantuan. Organisasi internasional seperti OKI telah mengirimkan
misi pencari fakta ke Myanmar, Ekmeleddin Ihsaroglu dengan merujuk pada
laporan HAM dunia, menunjukkan bukti terjadinya suatu penyiksaan dan
diskriminasi disponsori negara. Peran pemerintah yang terkesan lambat dalam
menangani kasus ini sangat disayangkan. Kasus ini menjadi perhatian bagi
seluruh negara-negara di dunia. Kewajiban internasional untuk melindungi,
menjamin dan memenuhi HAM yang fundamental bersifat erga omnes, menjadi
tanggungjawab bagi seluruh negara. Kewajiban internasional dapat bersumber
dari perjanjian internasional atau kebiasaan internasional.
8
Pemerintah Myanmar juga berkewajiban untuk mencabut atau
mengamandemenkan
peraturan
perundang-undangan
yang
bersifat
diskriminatif, khususnya Undang-Undang Kewarganegaraan (Citizenship Act)
tahun 1982. Diskriminasi sudah menjadi permasalahan serius bagi tiap individu
8 Ibid., hal. 165.

yang didiskriminasi karena perbedaan warna kulit, asal-usul, dan kepercayaan
yang dianutnya merupakan faktor-faktor diluar kekuasaan. Diskriminasi
merupakan perlakuan yang diberikan oleh negara atau pemerintah kepada
sejumlah orang atau komunitas secara tidak sama atas jaminan hak-hak dasar
dan hak-hak kebebasan dasar baik karena alasan perbedaan suku, agama, ras,
dan gender. 9Pasal 5 International Convention on the Elimination of All Form of
Racial Discrimination 1969 menyebutkan bahwa negara-negara pihak
berkewajiban untuk meghapus segala bentuk tindakan diskriminasi, dan wajib
memberikan jaminaj kepada setiap orang tanpa menbedakan ras, warna,
kebangsaan, asal usul, suku dan agama.
Pelanggaran HAM berat yang menewaskan banyak manusia dan
kehilangan harta bendanya mendorong untuk melakukan tindakan tindakan
intervensi kemanusiaan. Banyaknya jumlah korbanyang tewas baik disengaja
maupun tidak disengaja dari tindakan rezim pemerintah Myanmar atau negara
membiarkan peristiwa terjadi dan atau tiketidakmampuan negara untuk
melakukan tindakan sehingga negara gagal untuk menegakkan keadilan. Meski
tidak mudah, melakukan intervensi kemanusiaan juga ketika Oganisasi
Konferensi Islam menyelenggarakan pertemuan, yang dihadiri oleh lebih dari
40 utusan dari 20 anggota negara muslim mengenai pembahasan minoritas
rohingya di Myanmar sebagai anggota masyarakat dunia yang paling tertindas.
Peran Indonesia dalam menyikapi kasus pelanggaran yang terjadi pada
etnis Rohingya dengan tegas menolak secar konsisten segala bentuk
diskriminasi atas dasr agama, suku, dan ras serta lainnya. Sikap pemerintah
Indonesia dengan memberikan rasa kepeduliannya melalui diskusi multirateral
dan bilateral dengan pemerintah Myanmar. Indonesia yang penduduknya
paling banyak dihuni oleh orang-orang Muslim memberikan kepeduliannya atas
dasar kemanusiaan untuk membela orang-orang Muslim Rohingya dari
diskriminasi rusial. Hasil sementara dari kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB,
Navy Pilay 28 Juli menyerukan penyelidikan independen, disertai oleh
kunjungan Jean Quintana, yang tiba di Myanmar tanggal 29 Juli 2012. Temuan
dari Human Rights Watch ASEAN telah mengemukakan temuannya bahwa
pemerintah Myanmar tidak melakukan upaya pencegahan.
Masyarakat Rohingya merupakan kaum imigran yang datang ke Burma,
beberapa abad silam. Sebagian berpendapat, bahwa Rohingya berasal dari
bahasa Arab Rahama yang berasal dari kesultanan di Bengal. Dari postur tubuh
dan bahasa, mereka cenderung memiliki kesamaan tampilan fisik dan
kebahasaan dengan bangsa Bangladesh. Penggunaan bahasa mereka
berkaitan dengan bahasa Chitagonian yang digunakan kebanyakan orang
wilayah perbatasan bagian selatan Bangladesh. Secara geografis, wilayah
Arakan (Rakhine) kebanyakan mereka tinggal di wilayah berbatasan antara
Bangladesh dengan Arakan wilayah Burma Barat (Myanmar). Kehadiran mereka
di Arakan, Burma Barat telah berafiliasi dengan penjajahan Inggris. Pada zaman
Jepang, mereka terkucilkan karena tidak berkolaborasi dengan penduduk asli
Burma. Sebagian Rohingya menjadi imigran dari Pakistan merupakan
konsekuensi politis, sejak pemerintahan Ali Al-Jinnah. Sejak berdirinya Pakistan
tahun 1945-1948, mereka dikirim sebagai grup militer yang ditempatkan di
wilayah Arakan, di wilayah Pakistan Timur, atau Bangladesh yang saat ini
berbatasan dengan wilayah Burma.

9 Jawahir Thontowi. “Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim Rohingya Perspektif Sejarah dan
Hukum Internasional,” Pandecta, Volume 8. Nomor 1 (Januari 2013), hlm. 47.

Dalam konferensi dunia pertama untuk memberantas rasisme dan
diskriminasi rasial, negara-negar didesak untuk menghapuskan diskriminasi
karena latar belakang etnis atau kebangsaan diantara warga negaranya dan
melindungi serta meperomosikan hak asasi manusia etnis minoritas dan
kebangsaan.pemerintah Myanmar telah melakukan tindakan diskriminasi
terhadap etnis rohingya yang didasarkan atas ras, etnis warna kulit dan agama.
International Convention on the elimination of all forms of racial disriimation
memberikan perlindungan terhadap kebebasan dari diskriminasi. Harapan dari
konvensi ini adalah pemerintah Mynmar bisa mengambil langkah-langkah yang
bisa menghilangkan praktek diskriminasi. Perlindungan juga diberikan pada
pasal 27 International Convenant on civil and political rights, pasal ini
menjamin hak atas identitas nasional, etnis, agama atau bahasa dan hak untuk
mempertahankan ciri-ciri yang ingin dipelihara dan dikembangkan oelh
kelompok tersebut.
Tekanan Pemerintah Burma dan juga masyarakat asli Rakhien kepada
Rohingya semakin meningkat. Konflik horizontal antara masyarakat Rohingya
dengan suku asli Rakhien tidak pernah terselesaikan secara komprehensif.
Puluhan ribu orang Rohingya meninggalkan tempat, untuk menjadi pengungsi
yang menuju ke negara-negara yang layak menjadi tempat tujuan lebih aman.
Bangladesh termasuk negara yang paling dekat, tetapi tegas menolak
kehadiran pengungsi Rohingya karena alasan kepadatan penduduk (over
population). Sikap tersebut juga terlihat ketika Pemerintah Bangladesh
menolak bantuan asing mendirikan kamp penampungan pengungsi di wilayah
perbatasan. Sejak tahun 1978, sekitar 200 ribu orang mengalir menjadi
pengungsi ke Bangladesh, tahun 1991-1992 sekitar 10.000 orang lari menjadi
pengungsi ke Bangladesh, tahun 1992 sekitar 270.000 ke Bangladesh.
Tindakan kekerasan tersebut telah menjadi alasan sah mereka menjadi
pengungsi. Pemerintah Burma melakukan pembunuhan, atau pembersihan,
pengusiran dan perampasan harta kekayaan minoritas Rohingya.
Kebijakan pemerintah Myanmar yang diskriminatif tersebut, mengarah
pada meruyaknya tragedi kemanusiaan terhadap 3 Dalam Pasal 33 Ayat (1)
disebutkan bahwa “Tidak satu pun Negara Peserta dapat mengeluarkan atau
mengembalikan seorang pengungsi dalam cara apapun ke perbatasan wilayah
apabila kehidupan atau kebebasannya terancam karena alasan rasnya,
agamanya, kewarganegaraannya, keanggotaannya pada suatu kelompok sosial
tertentu atau pendapat politik tertentu”.
Kesimpulan
Kebijakan hukum dan politik pemerintah Myanmar terhadap suku
minoritas Rohingnya tampak timpang mengingat memiliki keterkaitan sejarah
dengan tumbuhnya negara-negara modern di-sub kontinen asia, yaitu Pakistan,
India, Bengal Bangladesh, dan juga Burma. Pertama, secara historis maupun
secara kebahasaan, minoritas Rohingnya lebih mendekati kepada asal usul
sejarah kekerabatan dengan masyarakat/ bangsa Bengal Bangladesh. Letak
kota Arakan (Rakhine) itu berada pada posisis perbatasan antara Burma dan
Bangladesh memperkuat dugaan diatas. Sehingga tidak terlalu sulit untuk
melacak bahwa minoritas Rohingnya memiliki hubungan kekerabatan dengan
Bangladesh. Kondisi tidak menguntungkan Rohingnya karena junta militer
Pemerintahan Myanmar tidak rela melepaskan kekuasaannya pada kekuatan
civil society. Kecurigaan masyarakat Rakhien pada Rohingya adalah jelas selain

didukung oleh faktor politik yang semula beraplikasi dari Inggris, tuntutan
otonomi menjadi bagian khusus. Tidak ikut serta dalam penandatanganan
dokumen pembentukan Negara Myanmar dan dugaan keterlibatan dengan
organisasi Al-Qaeda merupakan faktor penyebab timbulnya diskriminasi.
Kebijakan Pemerintah Myanmar terhadap minoritas Rohingnya, terbukti
melanggar hukum internasional, baik yang terkait dengan status hukum ysng
didasarkan pada UU Keimigrasian dan kewarganegaraan maupun pada upayaupaya untuk menutup akses kesejahteraan bagi minoritas Rohingnya termasuk
pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kesejahteraan. Secara sosial ekonomi
mereka menjadi masyarakat yang miskin, dan begitu mudah dapat dijadikan
obyek pengusiran, perampasan harta kekayaan mereka, termasuk juga
penyiksaan yang tidak didasarkan peraturan hukum. Tragedi sejarah hitam
penindasan terhadap minoritas Muslim Rohingnya tidak dapat disembunyikan.
Fakta tersebut mengindikasikan, praktek-praktek kekerasan dan pembunuhan
yang sistematis dan meluas. Penegasan pemerintah yang terlibat dan
membiarkan tindakan kekerasan itu berlangsung dan menempatkan minoritas
Rohingnya sebagai penduduk yang tidak berkewarganegaraan adalah bukti
pelanggaran terhadap konvensi anti-diskriminasi dan konvensi genosida. Upaya
untuk membebaskan Minoritas Islam Rohingya di Myanmar, negara-negara
yang tergabung di OKI, ASEAN telah memfasilitasi adanya kesepakatan untuk
memberikan tidak saja bantuan.

DAFTAR PUSTAKA
Dipresentasikan pada “Seminar Nasional Rohingya dalam Perspektif Fotografi
Kemanusiaan dan HAM yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum
Humaniter dan HAM (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta,
tanggal 11 Februari 2014.
Thontowi Jawahir, Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim
Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional, Pandecta, Volume 8.
Nomor 1. (Januari 2013), hlm. 41-51.
Sujatmoko Andrey, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, (Jakarta: PT
RAJAGRAFINDO, 2015)
Kusumaatmadja Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Buku 1 Bagian
Umum, (Jakarta: Binacipta, 1982), cetakan keempat.
Pranoto Iskandar, Tindak Penyiksaan dan Hukum Internasiona, Pandecta
Volume 6. Nomor 2 (Juli 2011),
Pada tanggal 1 Februari 1989 Konvensi Eropa mengenai Tindak Penyiksaan