EKSPLORASI BIOLARVISIDA DARI TUMBUHAN UNTUK PENGENDALIAN LARVA NYAMUK Aedesaegypti DI SUMATERA SELATAN Erwin Nofyan, Hanifa Marisa dan Mustafa Kamal

  

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

  

EKSPLORASI BIOLARVISIDA DARI TUMBUHAN UNTUK

PENGENDALIAN LARVA NYAMUK Aedesaegypti DI

SUMATERA SELATAN

  

Erwin Nofyan, Hanifa Marisa dan Mustafa Kamal

Jurusan Biologi FMIPA Unsri

erw_biounsri @ yahoo.co.id. HP 08127889278

  

Abstrak. Penyakit demam berdarah dengue merupakan salah satu masalah kesehatan di

Indonesia. Propinsi Sumatera selatan merupakan salah satu propinsi endemik kasus deman

berdarah, dengan prevalensi cukup tinggi. Upaya pencegahan penyakit deman berdarah

dapat dilakukan dengan cara pengendalian populasi nyamuk Aedes aegypti. Untuk mengatasi

hal tersebut diatas diperlukan suatu pestisida alami yang lebih aman terhadap lingkungan.

  

Penelitian dilakukan secara survey di beberapa kabupaten di Sumatera selatan telah

menggunakan beberapa jenis tumbuhan untuk mengusir dan memberantas larva nyamuk,

selanjutnya dilakukan ekstraksi dan pengujian aktivitas larvasida dilaboratorium. Hasil

penelitian menunjukkan dari 12 jenis tumbuhan yang diuji diperoleh 3 jenis tumbuhan yang

berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber biolarvasida yaitu tumbuhan Babadotan,

Bunga kenanga dan rimpang lengkuas putih. Dari tumbuhan babadotan diperoleh fraksi aktif

berupa fraksi n-heksan dan etilasetat. Dari bunga kenanga diperoleh fraksi aktif berupa fraksi

n-heksan dan etilasetat, sedangkan dari rimpang lengkuas putih diperoleh fraksi aktif berupa

fraksi n-heksana. Fraksi fraksi aktif yang diperoleh dari ketiga jenis tumbuhan ini akan diuji

lebih lanjut dan dilakukan pemurnian pada tahun kedua.

  Keys words: Dengue fever, Aedes aegypti and biolarvasida PENDAHULUAN

  Menurut data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan dalam Syachrial (2006) jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) tahun 1999 sebanyak 1.509 dengan 489 kematian, tahun 2000 ada 1.890 kasus dengan 27 kematian, tahun 2001 ada 1.048 kasus dengan 23 kematian, tahun 2002 ada 1.406 kasus dengan 25 kematian dan tahun 2003 ada 1.511 kasus dengan 31 kematian. Nyamuk Ae. aegypti merupakan vektor utama penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.

  Penyakit ditularkan melalui gigitan Ae.

  Semirata 2013 FMIPA Unila

  dengue dalam tubuhnya (Soemarmo 1983 dalam Susanna et al. 1999).

  Wabah demam berdarah sering terjadi berulang-ulang hampir sepanjang tahun di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Winita 1994). Di daerah endemik benua Asia bagian tropis penting untuk membedakan

  ―host vector complex‖ di daerah pedesaan dan perkotaan (Soedarmo 1988). Upaya pencegahan penyakit deman berdarah dapat dilakukan dengan cara pengendalian populasi nyamuk Aedes aegypti. Upaya pengendalian populasi nyamuk Aedes

  aegypti telah banyak dilakukan, antara lain

  dengan cara kimia, cara fisik dan pengendalian hayati. Pengendalian nyamuk masih dititikberatkan pada penggunaan insektisida kimia, meskipun hal tersebut tidak ramah lingkungan dan sudah ada indikasi terjadinya resistensi nyamuk Aedes

  aegypti terhadap jenis insektisida tertentu.

  Bahkan nyamuk Aedes aegypti sudah ada kecenderungan toleran terhadap senyawa organofosfat yang terdapat di dalam insektisida.

  Untuk mengatasi hal tersebut diatas diperlukan suatu pestisida alami yang lebih aman terhadap lingkungan dan mempunyai

  aegypti betina yang mengandung virus

  

Erwin Nofyan, dkk: EKSPLORASI BIOLARVISIDA DARI TUMBUHAN

UNTUK PENGENDALIAN LARVA NYAMUK Aedesaegypti DI SUMATERA SELATAN

potensi meresistensi yang lebih rendah.

  Pestisida alami tersebut dapat diperoleh dari beberapa jenis tanaman, diduga senyawa metabolit yang dihasilkan tanaman tersebut dapat mengendalikan populasi nyamuk. Kandungan racun dari metabolit sekunder dapat memberi tekanan pada insekta, dengan mempengaruhi sistem saraf dan tingkah lakunya (Sharma et al, 1998).

BAHAN DAN METODE

  Pemilihan tanaman yang berpotensi sebagai bioinsektisida berdasarkan pada kandungan bahan metabolit sekunder yang terkandung pada suatu tanaman secara taksonomi dan pada tumbuhan yang sudah digunakan secara tradisional oleh masyarakat untuk pemberantasan nyamuk (etnobotani). Pada umumnya penelitian yang telah dilakukan berdasarkan pada aktivitas repelensi terhadap nyamuk dewasa.

  Penyakit demam berdarah masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Untuk mengatasi kedua penyakit ini diupayakan dengan mengendalikan jumlah vektornya yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk dengan menggunakan insektisida sintetik menimbulkan resistensi dan pencemaran lingkungan. Untuk itu diupayakan pengendalian dengan menggunakan bahan alami dari tumbuhan. Dalam penelitian ini akan diupayakan mencari bahan bioaktif larvisida yang berasal dari beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai pengendalian larva nyamuk Aedes aegypti.

  Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan di Sumatera Selatan yang berpotensi sebagai sumber biolarvisida, Menemukan bahan bioaktif larvisida yang berasal dari tumbuhan untuk mengendalikan larva nyamuk Aedes

  aegypti .Mengetahui pengaruh ekstrak

  tumbuhan uji terhadap perkembangan larva nyamuk Aedes aegypti. Mengetahui nilai LC

  50 dari bahan biolarvisida yang

  ditemukan terhadap larva nyamukAedes aegypti.

  Dilakukan survey pada masyarakat di lima kabupaten di Sumatera Selatan yaitu : Kabupaten Musi Banyuasin, Musi Rawas, Lahat, Muara Enim, Ogan Komering Ilir. Dilakukan studi literatur mengenai jenis jenis-jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan bioaktif Larvasida. Setelah diketahui jenis- jenis tumbuhan yang digunakan dilakukan pengambilan sampel.

  Ekstraksi

  Tumbuhan uji dikeringkan, kemudian digiling halus dengan menggunakan blender. Sebanyak 250 gram simplisia diekstraksi dengan cara maserasi (merendam) dengan menggunakan pelarut etanol selama 2x24 jam. Kemudian diuapkan dengan menggunakan pemanas air. Ekstrak yang diperoleh kemudian digunakan untuk pengujian. Ekstrak dari berbagai jenis tumbuhan akan diujikan aktivitas larvisidanya..

  Uji sebagai larvisida

  Menurut WHO (2005) pengujian larvasida nyamuk dilaboratorium dilakukan dengan menggunakan 4-5 lima derajat konsetrasi. Berdasarkan hal tersebut maka digunakan 4 derajat konsentrasi 1,25%, 2,5% 5% dan 10%. Masing-masing perlakuan 4 kali ulangan. Untuk pengujian efikasi ekstrak terhadap larva digunakan lima wadah gelas berukuran 300 ml. Berbagai tingkat konsentrasi ekstrak tumbuhan yang diujikan dimasukkan ke dalam masing-masing gelas yang berisi suspensi ekstrak, kemudian dimasukkan dua puluh lima ekor larva Aedes Aegypti instar III. Menurut WHO (2005) besar sampel untuk penelitian laboratorium pada

  

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

HASIL PENELITIAN

  Fraksinasi

  1

  1

  1

  1

  1

  1

  1

  1

  1

  1

  Rimpang jahe Lengkuas putih

  1 210 220 210 180 190 170 210 220 180 185 190 195

  2

  2

  2

  1

  4

  3 1,5 1,5

  2 1,8 1,9 1,8

  1

  Daun sirih Daun serai wangi

  Ekstrak yang diperoleh dalam tahap ekstraksi sebelumnya ditambahkan dengan metanol : air dengan perbandingan 3 : 7. Selanjutnya ditambahkan pelarut n-heksan sebanyak 1 liter secara bertahap. Setiap kali dimasukkan sebanyak 250 ml n-heksan (4 x 250 ml). Fraksi metanol dan n-heksan dipisahkan dengan corong pemisah. Fraksi metanol dilanjutkan dengan penambahan pelarut etil asetat sebanyak 1 liter secara bertahap. Setiap kali dimasukkan sebanyak 250 ml etil asetat (4 x 250 ml). Kemudian dipisahkan, sehingga dari proses fraksinasi diperoleh 3 fraksi yakni fraksi n-heksan, etil asetat, dan metanol. Ketiga fraksi kemudian diuapkan di rotary evaporator dilanjutkan di penangas air. Hasil akhir diperoleh bahan bioaktif berbentuk pasta untuk pengujian larva nyamuk Ae. aegypti, masing-masing fraksi akan diuji aktivitas insektidisidanya.

  5

  Dari survey dan pengambilan sampel yang dilakukan dibeberapa kabupaten di propinsi Sumatera selatan, diperoleh informasi 12 tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber biolarvisida. Ke

  12 tumbuhan diambil dan dibersihkan kemudian ditimbang berat basahnya seberat 1 kg, sampel dipotong potong, kemudian dijemur sehingga diperoleh simplisia kering dengan berat bervariasi. Simplisia kering kemudian di ekstraksi dengan menggunakan pearut etanol, maka diperoleh ekstrak etanol (Tabel 1).

  

Tabel 1. Data berat basah, berat kering dan berat ekstrak yang digunakan pada pengujian efikasi

larvisida

  No. Jenis tanaman Berat basah (kg) Berat kering (g) Berat ekstrak (g)

  1

  2

  3

  4

  6

  Semirata 2013 FMIPA Unila larvasida nyamuk adalah 25 ekor pada setiap kelompok perlakuan. Pengamatan dilakukan pada 6, 12, 18, 24 jam setelah larva kontak dengan ekstrak tumbuhan uji, kemudian dihitung berapa banyaknya larva yang mati, sampai semua larva mati. 2 jenis Tumbuhan yang mempunyai aktivitas paling kuat akan dilanjutkan pada tahun kedua untuk diisolasi bahan bioaktifnya.

  7

  8

  9

  10

  11

  12 Daun babadotan Daun euphorbia

  Daun jarak Kulit jeruk

  Daun jambu biji Bunga kenanga

  Biji nimba Buah pare

  

Erwin Nofyan, dkk: EKSPLORASI BIOLARVISIDA DARI TUMBUHAN

UNTUK PENGENDALIAN LARVA NYAMUK Aedesaegypti DI SUMATERA SELATAN

aegypti (Diptera: Culicidae)

  3

  12

  20

  67

  9 Buah pare

  8

  18

  19

  63

  10 Daun serai Wangi

  9

  10

  10

  33

  11 Daun sirih

  24

  8 Biji nimba

  20

  Berdasarkan hasil fraksinasi menggunakan pelarut N-heksan, Etil asetat, dan Metanol diketahui dari 800 gram simplisia daun Babadotan, didapatkan berat fraksi dan aktivitas larvasida seperti pada Tabel 3.

  Hasil Fraksinasi Dan Uji Larvasida Daun Babadotan

  Hasil pengujian aktivitas larvasida 12 jenis tumbuhan diperoleh 3 jenis tumbuhan yang paling berpotensi sebagai sumber bioaktif larvisida yaitu daun babadotan dengan persentase kematian 90 persen, bunga kenanga dengan persentase kematian 93 persen dan lengkuas putih dengan persentase kematian larva 90 persen. Ketiga jenis ini diteliti lebih lanjut untuk dipisahkan bahan bioaktifnya dengan cara fraksinasi cair cair (FCC) dengan pelarut n- heksan, etilasetat dan etanol, kemudian diuji aktivitas larvasidanya

  12 ekstrak yang diperoleh di uji kemampuan nya dalam membunuh larva nyamuk aedes agyptipti. Dari pengujian yang dilakukan diperoleh hasil seperti terlihat pada tabel 2. Pemberian ekstrak etanol dari beberapa jenis tumbuhan dapat membunuh larva nyamuk A. aegypti dengan kemampuan yang berbeda-beda tergantung pada kandungan kimia yang dimilikinya. Larva uji pada kontrol tidak terdapat kematian. Hal ini menunjukkan larva uji dapat hidup dengan baik pada media perlakuan, terlihat dengan tidak adanya mortalitas pada larva uji tanpa perlakuan. Berikut ini adalah hasil pengujian efikasi 12 jenis ekstrak tanaman terhadap mortalitas larva A. Aegypti.

  90 Keterangan n = 30 ekor n = populasi larva uji setiap perlakuan

  27

  6

  25

  63

  19

  21

  8

  12 Rimpang jahe

  83

  4

  93

  No. Jenis Ekstrak Rata-rata larva yang mati pada hari ke

  27

  50

  15

  11

  6

  3 Daun euphorbia

  90

  15

  4

  6

  2 Daun babadotan

  1 Kontrol

  III

  I II

  Persentase kematian larva (%)

  4 Daun jarak

  18

  28

  9

  21

  9

  7 Bunga kenanga

  76

  23

  19

  6 Daun jambu biji

  22

  80

  24

  20

  7

  5 Kulit Jeruk

  73

13 Lengkuas putih

  

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

  Semirata 2013 FMIPA Unila

  

No Pelarut Persen Berat (%) Aktivitas Larvisida (%)

  1 N-Heksan 7,67

  98

  2 Etil Asetat 6,85

  89

  3 Metanol 9,52

  Dari Tabel 3 menunjukan hasil fraksinasi dari daun bandotan sebanyak 800 gram diperoleh fraksi n-heksan seberat 61,4 gram (57,67%), fraksi etil asetat sebanyak 54,8 gram (6,85%), dan fraksi metanol sebanyak 76,2 gram (9,52%). Pelarut yang digunakan dalam proses fraksinasi mempunyai kemampuan untuk menarik senyawa yang terdapat di dalam simplisia secara berbeda- beda berdasarkan tingkat kepolarannya. Pada uji larvasida dari hasil fraksinasi dengan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol didapatkan hasil yaitu berupa diagram hasil pengamatan selama 12 jam dengan perlakuan 10 ppm dari tiap-tiap hasil fraksinasi. Pelarut yang digunakan dalam proses fraksinasi mempunyai kemampuan untuk menarik senyawa yang didapat di dalam simplisia secara berbeda- beda berdasarkan kepolaran.

  Fraksi n-heksan dari daun Bandotan memiliki kemampuan lebih kuat sebagai biolarvasida dibandingkan dengan etil asetat dan metanol, yaitu fraksi n-heksan mampu membunuh larva hingga 98% sedangkan fraksi etil asetat mampu membunuh larva membunuh larva 89% dan pada fraksi metanol persen mortalitas larva hanya 5%. Pada raksi n-heksan lebih efektif membunuh larva Ae.aegypti dibandingkan dengan fraksi etil asetat dan metanol. Hal ini dapat membuktikan bahwa pada fraksi n-heksan daun Bandotan memiliki efektifitas larvasida yang tinggi dibandingkan dengan fraksi etil asetat daun Bandotan. Efektivitas fraksi daun Bandotan memiliki hubungan yang erat dengan senyawa-senyawa yang dikandungnya. Sehinggga dapat dinyatakan semakin tinggi konsentrasi zat yang terkandung dalam suatu ekstrak maka akan semakin banyak terakumulasi dalam tubuh serangga uji sehingga menimbulkan efek yang semakin besar.

  Hasil Fraksinasi Dan Uji Larvasida Bunga kenanga

  Berdasarkan hasil fraksinasi menggunakan Pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol, diketahui dari 1500 gram simplisia bunga kenanga didapatkan hasil 121 gr ekstrak. Pelarut yang digunakan dalam proses fraksinasi mempunyai kemampuan untuk menarik senyawa yang didapat didalam simplisia secara berbeda- beda berdasarkan kepolaran.

  Tabel 4. Hasil Fraksinasi dan Uji Aktivitas Bunga Kenanga (Cananga odorata Hook) No Pelarut Persen Berat (%) Aktivitas Larvisida (%)

  1 N-Heksan 2,64 100

  2 Etil Asetat 1,02 83,3

  3 Metanol 3,20

  

Erwin Nofyan, dkk: EKSPLORASI BIOLARVISIDA DARI TUMBUHAN

UNTUK PENGENDALIAN LARVA NYAMUK Aedesaegypti DI SUMATERA SELATAN

  Dari hasil fraksinasi, dapat dilihat pada tabel 4 terdapat perbedaan berat yang dihasilkan dari masing-masing fraksi. Pada fraksi metanol, berat fraksi lebih besar dari fraksi n-heksan dan etil asetat. Ini menunjukan bahwa pada ekstrak bunga kenanga memiliki jumlah berat senyawa yang berbeda-beda pada tiap fraksi. Didalam fraksi kemungkinan terdapat senyawa kimia yang berbeda-beda sesuai dengan kepolaranya. Pada pelarut n-heksan menarik senyawa kimia yang bersifat non polar, pada pelarut etil asetat mampu menarik senyawa kimia semi polar, sedangkan pada pelarut metanol dapat menarik senyawa kimia yang bersifat polar. Hal ini sensuai dengan Munandar dalam Hernani (2007) yang menyatakan bahwa fraksi memiliki ciri-ciri yang sangat khas dan kompleks dari aspek fisik atau kimia dan mengandung kumpulan senyawa- senyawa dari berbagai golongan yang terlarut dalam pelarut yang sesuai.

  Pada uji larvasida dari hasil fraksinasi dengan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol didapatkan hasil yaitu berupa diagram hasil pengamatan selama 12 jam dengan perlakuan 0,1% dari tiap-tiap hasil fraksinasi. Pelarut yang digunakan dalam proses fraksinasi mempunyai kemampuan untuk menarik senyawa yang didapat didalam simplisia secara berbeda-beda berdasarkan kepolaran.

  Dari hasil pengamatan yang ada pada tiap fraksi ekstrak kenanga didapatkan hasil bahwa fraksi etil asetat memiliki kemampuan yang cukup baik sebagai biolarvasida, karena mampu membunuh larva hingga 100%. Sedangkan pada fraksi n-heksan hanya mampu membunuh larva 83,3%. Sedangkan pada fraksi metanol tidak dapat digunakan sebagai biolarvasida karena tidak dapat membunuh larva Ae.

  aegypti L. Menurut Kurniawan (2010) pada

  fraksi n-heksan dan etil asetat mengandung senyawa fenol. Pada senyawa fenol berperan sebagai larvasida melalui reaksi dari membran sel, inaktivassi enzim, dan inaktivasi fungsi materi genetik.

  Hasil Fraksinasi dan Uji Aktivitas Larvasida Lengkuas putih

  Berdasarkan hasil fraksinasi menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol diketahui dari 900 gram simplisia rimpang lengkuas putih (Alpinia

  galanga

  (L.) Willd), didapatkan berat fraksi seperti pada Tabel 5. Pada Tabel 5. didapatkan hasil fraksinasi dari rimpang lengkuas putih sebanyak 900 gram fraksi n heksan seberat 69,8 gram (7,75%), fraksi etil asetat seberat 53,1 gram (5,9%) dan fraksi metanol seberat 77,3 gram (8,58%). Pelarut yang digunakan pada proses fraksinasi mempunyai kemampuan untuk menarik senyawa yang terdapat di dalam simplisia secara berebeda-beda berdasarkan tingkat kepolarannya.

  Tabel 5. Hasil Fraksinasi dari Rimpang Lengkuas Putih (Alpinia galanga (L.) Willd)

No. Pelarut Persen Berat (%) Aktivitas Larvisida (%)

  1 N-Heksan 7,75 100

  2 Etil Asetat 5,9

  3

  3 Metanol 8,58

  3

  

Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013

DAFTAR PUSTAKA

  Dari hasil pengamatan pada tiap fraksi rimpang lengkuas putih, didapatkan hasil bahwa fraksi n-heksan mempunyai kemampuan yang cukup baik sebagai biolarvasida dibandingkan dengan fraksi etil asetat dan metanol, karena dapat membunuh larva hingga 100%. Sedangkan pada fraksi etil asetat dan metanol hanya dapat membunuh larva masing-masing sebesar 3%.

  KESIMPULAN

  Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Dari penapisan aktivitas larvasida yang dilakukan diperoleh 3 jenis tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber biolarvasida yaitu tumbuhan Babadotan, Bunga kenangga dan rimpang lengkuas putih.

  Dari tumbuhan babadotan diperoleh fraksi aktif berupa fraksi n-heksan dan etilasetat. Dari bunga kenanga diperoleh fraksi aktif berupa fraksi n-heksan dan etilasetat, sedangkan dari rimpang lengkuas putih diperoleh fraksi aktif berupa fraksi n- heksana

  Fraksi fraksi aktif yang diperoleh dari ketiga jenis tumbuhan ini akan diuji lebih lanjut dan dilakukan pemurnian pada tahun kedua.

  Hernani. 2007. Pemilihan Pelarut Pada Pemurnian Ekstrak Lengkuas (Alpinia galanga) Secara Ekstraksi. Jurnal Pascapanen. 4 (1): 1-8.

  Semirata 2013 FMIPA Unila Pada uji larvasida dari hasil fraksinasi menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol, maka didapatkan hasil berupa diagram batang pada pengamatan selama 12 jam dengan konsentrasi sebesar 0,005% dari masing-masing fraksi. Masing-masing pelarut pada proses fraksinasi mempunyai kemampuan yang berbeda-beda sesuai dengan kepolarannya dalam menarik senyawa yang terkandung pada simplisia.

  Syahcrial. Zainul., Martini, Santi., Yudastuti, Ririh, Huda, Hasan A. 2004.

  Tesis. Studi Populasi Nyamuk. Populasi Nyamuk Dewasa di Daerah Endemis Filariasis Studi di Desa Empat Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar Tahun 2004. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol 2, No 1 Juli 2005

  Soedarmo, S. S. P. 1988. Demam Berdarah Pada Anak. Universitas Indonesia.

  Jakarta. xv+236 hlm. Susanna et al. 1999. Potensi Daun Pandan

  Wangi Untk Membunuh Larva Aedes aegypti. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2(1): 228-231. Winita, R. 1994. Evaluasi Penggunaan

  Permetrin terhadap larva Aedes aegypti di Laboratorium dan Lapangan. Majalah Kedokteran Indonesia. 44(2): 25-28 hlm. WHO, 2005. Comunicable Desease Control

  Guidelines For Laboratory And Field Testing Of Mosquito Larvicides.

  Kurniawan, B. 2010. Uji fraksi Labu Merah (Cucurbita Moschata) Terhadap larva Aedes aegypti. Tesis Program pasca sarjana .Universitas Sriwijaya Pelembang. iii+60 hlm.