atau undang-undangnya sebagai dasar hukum. Hakim yang memeriksa dan mengadili sengketa harus pula memahami dan menguasai serta menghayati bidang-bidang yang
bersangkutan di dalam prakteknya. Hal ini sukar diharapkan dari setiap hakim di peradilan umum dalam menyelesaikan perselisihan yang bersifat teknis, ekonomis
dan terasa pengadilan terlalu kaku. Karena hal tersebut di atas dibutuhkan cara penyelesaian sengketa yang lain di
luar pengadilan, berdasarkan suatu perjanjian antara pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada seorang wali atau lebih dikenal
arbiter, scheidsman, juru pemisah. Inilah yang disebut arbitrase atau perwasitan adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang berdasarkan
persetujuan pihak-pihak yang bersengketa, diserahkan kepada seorang wasit atau lebih.
2
B. Perumusan Masalah
Besarnya minat masyarakat khususnya kalangan dunia usaha untuk memanfaatkan lembaga arbitrase di dalam menyelesaikan sengketa haruslah
dicermati sebagai suatu langkah maju bagi tumbuh dan berkembangnya lembaga arbitrase. Dalam kegiatan ini kemampuan dan integritas para arbiternya sangatlah
menentukan nasib dan masa depan lembagainstitusi arbitrase itu sendiri.
Permasalahan-permasalahan yang akan diangkat di dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1988, h. 213.
Universitas Sumatera Utara
1. Bagaimana peranan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia ?.
2. Bagaimana proses pemeriksaan sengketa dalam arbitrase ?.
3. Bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia ?.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Adapun tujuan penulisan dari skripsi ini adalah sebagai berikut : a.
Untuk mengetahui peranan arbitrase dalam sistem hukum Indonesia. b.
Untuk mengetahui proses pemeriksaan sengketa dalam arbitrase. c.
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia. 2. Manfaat Penulisan
a. Secara Teoritis Guna menambah ilmu pengetahuan hukum perdata, khususnya bagi
mahasiswa dan masyarakat umum yang membutuhkan informasi mengenai pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
b. Secara Praktis Agar masyarakat mengetahui prosedur penyelesaian sengketa melalui
arbitrase hingga sampai pada tahap putusan dan penerapan UU No. 30 Tahun 1999.
D. Keaslian Penulisan
Adapun judul tulisan ini adalah Peranan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Perumahan Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 judul ini belum
pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli dan tidak
Universitas Sumatera Utara
ada judul yang sama. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Indonesia sebagai suatu negara dalam kelangsungannya selalu menuju kepada perkembangan yang dinamis dengan meningkatkan pembangunan di berbagai sektor
kehidupan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Salah satu yang menjadi perhatian dan perlu penanganannya adalah dalam sektor perumahan dan pemukiman
karena merupakan kebutuhan dasar hidup manusia di samping kebutuhan pokok lainnya seperti : sandang, pangan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lainnya.
Di samping sebagai tempat tinggal ataupun hunian rumah juga menunjukkan dan menjadi tolok ukur kesejahteraan dan kemakmuran dari suatu negara.
Pembangunan di bidang perumahan pemukiman diarahkan untuk meningkatkan kualitas hunian, lingkungan kehidupan, pertumbuhan wilayah dengan
memperhatikan keseimbangan antara pengembangan pembangunan rumah di pedesaan dan perkotaan, memperluas lapangan kerja serta menggerakkan kegiatan
ekonomi dalam rangka mewujudkan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa rumah atau tempat bermukim yang tepat keberadaan
seseorang secara formal sulit diakui sehingga dengan demikian rumah dan atau pemukiman merupakan pintu masuk ke dunia yang menjanjikan pemenuhan
kebutuhan dasar lainnya, bahkan keadaan perumahan dan pemukiman secara umum sering dianggap sebagai barometer taraf hidup suatu bangsa.
Universitas Sumatera Utara
Dalam GBHN ditekankan bahwa pembangunan sektor perumahan dan pemukiman dalam PJPT II lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan
keluarga dan masyarakat, menciptakan kerukunan hidup keluarga dan kesetiakawanan sosial masyarakat dalam rangka membentuk lingkungan serta
persemaian nilai budaya dan pembinaan watak anggota keluarga. Pada tingkat nasional perumahan adalah penting sekali tidak saja untuk
kesehatan dan kesejahteraan akan tetapi berkaitan dengan prinsip-prinsip politik sebagai kesempatan yang sederajat dan standar minimum, juga sebagai faktor vital
dari ekonomi nasional. Jadi perumahan dan pemukiman adalah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia yang dapat berfungsi sebagai sarana produktif keluarga dan
merupakan titik strategik dalam pembangunan manusia seutuhnya karena dengan pemenuhan kebutuhan dasar akan mempercepat pembangunan keluarga yang pada
akhirnya mempercepat pembangunan bangsa. Pada hakekatnya rumah atau pemukiman hanya dapat ditangkap secara baik
apabila ia dikaitkan dengan manusia yang menempatinya. Dengan demikian rumah merupakan pengejawantahan pribadi manusia. Rumah tidak dapat dilihat hanya
sebagai sarana instrumental belaka, melainkan juga dalam kaitan dengan hubungan struktural di atas suatu kawasan oleh karena itu makna dan fungsi rumah akan
mempunyai arti yang lebih luas yaitu sebagai perumahan : rumah sehat dalam suatu lingkungan pemukiman yang tertata baik. Sehubungan dengan itu upaya
pembangunan perumahan dan pemukiman terus ditingkatkan untuk menyediakan perumahan dengan jumlah yang makin meningkat dengan harga yang terjangkau oleh
Universitas Sumatera Utara
masyarakat terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tetap memperhatikan persyaratan minimum bagi perumahan pemukiman yang layak, sehat,
aman dan serasi. Perumahan mempunyai arti penting dan sangat menentukan bagi kehidupan
seseorang dalam membangun dan mengembangkan watak dan pribadinya oleh karena itu setiap warga negara Indonesia perlu diusahakan untuk dapat memperoleh dan
menikmati perumahan yang layak. Untuk merealisasikan hal tersebut kemitraan antara pemerintah dan badan usaha swasta, BUMN, koperasi, maupun masyarakat
luas merupakan kunci untuk suksesnya pembangunan perumahan dan pemukiman tersebut.
Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan pemukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk melakukan
pembinaan dalam wujud pengaturan dan bimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi,
berbagai aspek yang terkait antara lain : tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun pembiayaan,
kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diuraikan di atas bahwa kebutuhan masyarakat akan rumah dan
pemukiman yang layak, sehat, aman dan serasi khususnya masyarakat yang berpenghasilan rendah telah memotivasi pemerintah bahkan pihak-pihak swasta dan
masyarakat untuk merealisasikannya, didukung dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang sedang giatnya melaksanakan pembangunan khususnya di
Universitas Sumatera Utara
perkotaan dimana lahan yang tersedia semakin berkurang sebaliknya pertambahan penduduk semakin meningkat sehingga menimbulkan kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan akan perumahan dan pemukiman tersebut, di satu sisi negara kita masih mengalami kekurangan rumah terutama di daerah perkotaan dan juga masalah lain
belum terjaminnya kualitas rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan untuk ditempati.
Pembangunan perumahan pemukiman yang dibangun oleh pengembang atas dukungan dan kerjasama dengan pemerintah telah membuat tersedianya rumah bagi
masyarakat konsumen dan juga telah mempermudah konsumen untuk menjatuhkan pilihannya atas rumah tersebut. Atas tersedianya rumah tersebut tidak lepas dari
sarana dan informasi dalam hal pengalihannya kepada konsumen yang kemudian ditindaklanjuti dengan jual beli melalui akta yang telah dipersiapkan oleh
pengembang. Sebagaimana diketahui, pengembang melakukan pemasaran atas rumah yang
siap huni maupun rumah yang sedang dalam tahap pembangunan. Tak jarang konsumenpun banyak menjatuhkan pilihannya atas kedua hal tersebut. Terhadap
pilihannya tersebut konsumen diwajibkan untuk membayar sejumlah uang muka down payment sebagai tanda jadi dan selanjutnya disodori akta perjanjian
pengikatan jual beli PPJB. Untuk kepraktisan dari segi hubungan hukum antara pengembang dengan
konsumen, pengembang sebagai pihak yang lebih kuat kedudukannya menciptakan formulir-formulir standar yang mengikat yang disebut sebagai kontrak standar
Universitas Sumatera Utara
dimana isi dari klausula-klausula kontrak tersebut hanya memuat kepentingan- kepentingan pengembang saja sehingga tidak memuat keadilan untuk melindungi
konsumen perumahan. Sejumlah kendalapun ditemui dalam upaya perlindungan konsumen
perumahan baik yang timbul dari sikap pengusaha maupun dari pihak konsumen itu sendiri, antara lain :
1. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai
masalah perlindungan konsumen perumahan. Kenyataan yang ada selama ini, meskipun telah ada peraturan perundang-undangan mengenai konsumen yaitu
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, namun kenyataannya para developer pengembang belum melihat peraturan itu sebagai bagian dari perlindungan
konsumen perumahan dan menganggap ketentuan yang ada itu kurang jelas tentang apa yang harus dilakukannya. Demikian juga konsumen belum
memahami apa yang menjadi hak-haknya untuk dilindungi. 2.
Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman masih lemah dalam melindungi konsumen. Kenyataan yang dihadapi oleh konsumen
perumahan adalah bahwa ternyata undang-undang tersebut yang diharapkan dapat melindungi konsumen dirasakan masih kurang. Hal ini disebabkan karena
undang-undang tersebut lebih difokuskan pada pembangunan perumahan itu sendiri.
3. Minimnya kesadaran hukum konsumen disebabkan karena kurangnya
pengetahuan konsumen terhadap hak-haknya sebagai konsumen.
Universitas Sumatera Utara
4. Belum efektifnya pengawasan pemerintah terhadap kontrak baku yang ada.
5. Sulitnya beracara di pengadilan. Ketentuan tata cara beracara di pengadilan
sebagaimana telah ditetapkan belum menampung kepentingan konsumen baik dari hal biaya atau ongkos perkara, maupun dalam hal pembuktian sehingga
menimbulkan keengganan bagi konsumen untuk berperkara di pengadilan. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kebutuhan masyarakat
konsumen akan rumah dan pemukiman yang layak, sehat, aman dan serasi khususnya masyarakat berpenghasilan rendah telah memotivasi pemerintah dan pihak
pengembang swasta untuk merealisasikannya. Namun untuk memenuhi kebutuhan tersebut tak jarang selalu diikuti dengan masalah yang merugikan konsumen lewat
sikap pengembang dalam memasarkan produknya.
F. Metode Penelitian