Bacaan Roma 5 jumat agung

Bacaan Roma 5:6-11

Menjelang Jumat Agung tahun ini, kita akan merenungkan satu perikop tentang
teladan dan pengharapan penderitaan yang Kristus alami sebagai alasan mengapa
penderitaan karena nama Krist itu berharga. Ingatlah, setiap orang Kristen yang
sungguh-sungguh mau mengikut Kristus harus menyangkal diri, memikul salib dan
mengikut-Nya (Matius 16:24). Penderitaan adalah harga yang harus kita tanggung
di dalam mengikut Kristus. Meskipun demikian, sebagai anak-anak-Nya, kita dijamin
oleh-Nya bahwa di dalam penderitaan, penderitaan Kristus yang telah mengalahkan
maut menjadi pengharapan masa depan yang indah yang akan menanti kita
sekaligus teladan bagi penderitaan yang kita alami. Mari kita merenungkan kedua
poin ini di dalam ayat 6-11. Di dalam keenam ayat ini, Paulus membagi enam
prinsip penderitaan penebusan Kristus sebagai teladan dan pengharapan bagi kita
yang menderita karena nama Kristus.

Pertama, penderitaan Kristus ditujukan untuk orang-orang berdosa (lemah dan
durhaka). Di dalam ayat 6a, Paulus menguraikan, “Karena waktu kita masih lemah,
Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka…” Di dalam bagian ini, Paulus
langsung menunjukkan status dan kondisi kita yang berdosa. Pertama, kondisi
lemah. “Karena waktu kita masih lemah” Ini adalah kondisi kita ketika jatuh ke
dalam dosa. Dosa mengakibatkan kita lemah, tak bertenaga apapun untuk berbuat

sesuatu yang baik. Dengan kata lain, dosa mematikan keinginan kita untuk
menyenangkan Allah. Mengapa ? Karena dosa adalah ketidaktaatan terhadap
perintah-Nya atau menyelewengnya kita dari sasaran Allah. Alkitab mengajarkan
bahwa kita berdosa, dan itu harus kita amini dan sadari. Kesadaran tentang dosa
adalah titik awal nantinya kita bisa bertobat. Ketika kita tidak menyadari dosa ini,
kita tidak mengerti untuk apa kita bertobat dan lebih parah kita tidak mengerti
untuk apa Kristus mau mati bagi dosa-dosa kita. Kembali, semua status dan kondisi
kita yang berdosa ternyata menemui kebuntuan. Tidak ada seorangpun yang dapat
melepaskan kita (sekalipun para utusan Allah) dari status dan kondisi kita ini. Lalu,
adakah jalan keluarnya ? Puji Tuhan, Paulus di dalam ayat 6a menyatakan bahwa
bagi kita yang masih lemah dan durhaka ini, Kristus telah mati untuk kita. Kematian
Kristus menunjukkan bahwa ada pengharapan dan jalan keluar dari masalah yang
kita hadapi yaitu status dan kondisi kita yang berdosa. Selain pengharapan,
kematian Kristus juga harus menjadi teladan bagi kita yang harus terus-menerus
mematikan dosa di dalam diri kita.
Kedua, penderitaan Kristus ditentukan oleh Allah. Kalau kita kembali pada ayat 6,
pada enam kalimat terakhir, Alkitab LAI menyebutkan, “pada waktu yang
ditentukan oleh Allah.” Kalimat ini tidak dapat kita jumpai pada KJV yang hanya
menyebut “in due time”. ISV juga hanya menyebutkan, “at just the right time”


English Standard Version menyebutkan hal yang sama, “at the right time” Di sini,
LAI menambahkan kata “Allah” menunjukkan bahwa kematian Kristus bukan
ditentukan oleh manusia atau Kristus dapat disalib gara-gara Yudas menjual-Nya
(seolah-olah tanpa Yudas, Kristus tak mungkin disalib atau Allah Bapa “bingung”
memilih sarana lain untuk membuat Kristus disalib). Hal tersebut tidak pernah ada
dalam “kamus” Alkitab/Allah, karena Allah kita adalah Allah yang sejati yang
berdaulat yang merencanakan segala sesuatu dan kita mempercayai bahwa
rencana-Nya pasti berhasil karena Ia adalah Allah yang layak dipercaya (trustworthy God). Kalau kita mempercayai kepada “Allah” yang “plin-plan”, jujur, itu
bukan Allah yang diajarkan dan diberitakan oleh Alkitab, tetapi diajarkan oleh para
penganut postmodernisme, open theism, pluralisme, dan sejenisnya yang pura-pura
memakai plang “Kristen”! Kembali, ketika kita mengerti bahwa penderitaan Kristus
ditentukan oleh Allah, kita dapat belajar beberapa prinsip, yaitu pertama,
penderitaan Kristus menjadi pengharapan bahwa bukan karena kita yang minta
diselamatkan baru Allah menyelamatkan, tetapi Allah yang merencanakan
keselamatan, Dia jugalah yang menggenapinya di dalam Pribadi Kristus. Kedua,
penderitaan Kristus menjadi teladan bagi kita yang harus menyangkal diri bahwa
penderitaan yang kita alami itu juga atas kehendak Allah/diizinkan Allah untuk
menguji iman kita di dalam mengikut-Nya. Rasul Petrus di dalam 1 Petrus 4:14
mengajarkan, “Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab
Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu.” Kata “berbahagialah” di dalam ayat

ini sama dengan kata “berbahagia” yang diucapkan oleh Tuhan Yesus di dalam
Matius 5:3-11 (khususnya ayat 10) yang dalam bahasa Yunaninya makarios bisa
berarti “diberkatilah” (blessed). Khususnya di Indonesia, kita membaca banyak
berita bahwa banyak gereja dibakar, izin pembangunan gereja dipersulit dengan
berjuta alasan yang tidak masuk akal (tetapi kalau membangun tempat ibadah
agama mayoritas dipermudah, bahkan banyak yang tidak pakai IMB/Izin Mendirikan
Bangunan), dll. Itu semua adalah bentuk penderitaan yang harus ditanggung ketika
kita berkomitmen menjadi pengikut Kristus sejati. Menjadi orang “Kristen”
kampungan dan murahan (pseudo-Christians) itu mudah, karena tidak usah
memikul salib (kalau perlu meng“amin”i apa yang dicetuskan oleh para penganut
“theologi” kemakmuran bahwa orang “Kristen” adalah anak “raja” yang pasti kaya,
sukses, diberkati, sembuh, bahkan tidak pernah digigit nyamuk), tetapi kalau kita
sungguh-sungguh mau mengikut Kristus (the true Christians), kita harus rela
menanggung aniaya karena seperti Kristus yang telah difitnah, dianiaya, dll, kita
pun sebagai pengikut sekaligus murid-Nya pun harus mengalami hal yang sama,
selain itu karena kita harus menTuhankan Kristus bukan men”Tuhan”kan penguasa,
dan hal-hal palsu lainnya.

Ketiga, penderitaan Kristus ditujukan untuk menggantikan kita yang masih berdosa
-> substitusi (ayat 7-8). Poin ketiga ini kelihatannya sama dengan poin pertama,

tetapi pada poin ini saya menitikberatkan pada kematian Kristus yang

menggantikan (substitusi). Substitusi Kristus yang ditunjukkan oleh Paulus ini jauh
melampaui apa yang manusia kerjakan. Hal ini ditunjukkan Paulus dengan
membedakan konsep substitusi di dalam pengorbanan Kristus dengan tindakan
orang yang mau mati bagi orang yang baik. Tindakan pengorbanan Kristus adalah
tindakan yang mulia dan dimotivasi oleh cinta yang tanpa bersyarat yang tak
memerlukan balas jasa apapun dari siapapun juga (karena manusia yang olehnya
Kristus mati tidak memiliki daya/jasa baik yang cukup syarat untuk membalas kasih
Allah), sedangkan tindakan manusia berdosa adalah tindakan yang seolah-olah
kelihatan “berkorban”, tetapi sebenarnya mau meminta balas jasa (karena orang ini
mati bagi orang yang mati yang akan membalas jasanya). Paulus mengemukakan
hal ini di ayat 7 dan 8 dengan 3 tingkat pembanding obyek substitusi, yaitu: orang
baik, benar dan berdosa (mengutip pernyataan Pdt. Sutjipto Subeno). Pertama dan
kedua, orang baik dan benar. Pada ayat 7, Paulus berkata, “Sebab tidak mudah
seorang mau mati untuk orang yang benar--tetapi mungkin untuk orang yang baik
ada orang yang berani mati--.” Tingkat pertama, orang baik. “Orang yang baik”
dalam terjemahan KJV (dan banyak terjemahan Inggris) adalah a good man.
Beberapa tafsiran menghubungkan orang baik dengan kelakuannya yang baik, suka
memberi (dermawan), penuh belas kasih, dll. Dari penjelasan Adam Clarke dalam

tafsirannya Adam Clarke’s Commentary on the Bible, kita mendapatkan sedikit latar
belakang tradisi Yudaisme bahwa orang-orang Yahudi membedakan empat macam
orang, di mana orang macam ketiga dari empat macam orang tersebut disebut
orang yang baik (a just man) yang mengatakan, “What is mine, is thine; and what is
thine, let it be thine.” (milikku adalah milikmu, dan apa yang menjadi milikmu,
biarlah itu tetap menjadi milikmu.) Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa justru
untuk orang baik inilah, banyak orang yang berani mati, mengapa? Karena mereka
yang berani mati telah menerima sesuatu yang positif (bantuan) dari orang yang
memberi. Ini tetap adalah konsep penebusan versi manusia berdosa, yaitu kalau
saya sudah dapat sesuatu dari orang lain, maka saya baru dapat berkorban bagi
orang tersebut. Tingkat kedua, yaitu orang benar. “Orang yang benar” dalam
terjemahan KJV adalah a righteous man, dalam bahasa Yunaninya menggunakan
kata dikaios yang bisa berarti adil benar. Lalu, siapakah orang adil/benar yang
Paulus maksudkan ? Dari tafsiran Adam Clarke dalam Adam Clarke’s Commentary
on the Bible, orang macam pertama dari empat macam orang tersebut (lihat di atas
tentang sedikit penjelasan 4 macam orang) disebut orang yang adil (a just man)
yang mengatakan, “what is mine, is my own; and what is thine, is thy own.” (=apa
yang menjadi milikku adalah milikku ; dan apa yang menjadi milikmu, adalah
milikmu.) Adam Clarke mengatakan, “These may be considered the just, who render
to every man his due; or rather, they who neither give nor take.” (=Orang ini dapat

disebut orang adil, yang memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing;
atau lebih baik, mereka tidak memberi atau mengambilnya.) Orang benar/adil ini
sekilas lebih rendah kualitasnya dari orang baik (karena orang baik mau berkorban,
sedangkan orang benar/adil menyibukkan urusan keadilan), tetapi yang
diperhatikan di sini adalah konsep pengorbanan. Meskipun orang baik itu lebih
tinggi dari orang benar/adil, tetapi berkorban bagi orang benar/adil justru lebih sulit

daripada berkorban bagi orang baik. Mengapa? Karena orang yang berkorban bagi
orang benar/adil adalah orang yang berkorban bukan karena ia telah mendapatkan
sesuatu, tetapi ia menghargai orang benar/adil (meskipun tidak mendapatkan
sesuatu). Misalnya, para pejuang hak asasi manusia (seperti Martin Luther King, Jr.
di Amerika Serikat), kita yang di Indonesia tidak memperoleh manfaat apa-apa dari
perjuangannya, tetapi kita mengerti perjuangannya dan mungkin kita bisa rela
berkorban bagi orang ini. Tentang orang benar/adil ini, saya berani menyimpulkan
bahwa a just man sebenarnya adalah orang yang merasa diri “benar” dan “layak”,
tetapi sebenarnya tidak mampu. Mengapa saya berani mengambil kesimpulan
demikian? Karena seperti yang diungkapkan Clarke, a just man menunjuk kepada
orang yang selalu menuntut keadilan tetapi tidak mengerti sesuatu yang
melampaui keadilan yaitu kasih yang tanpa syarat (unconditional love). Kasih dan
keadilan tidak bisa dipisahkan, karena itu saling terkait. Bagi mereka yang seolaholah merasa diri “benar”, Tuhan melalui Paulus berkata bahwa itu adalah hal yang

sulit khususnya di dalam pengorbanan Kristus yang bersifat mengganti. Mengapa ?
Karena a just man selalu merasa diri “layak”, “tak berdosa”, dll lalu kalaupun ia
melakukan sesuatu yang salah/berdosa, maka ia dengan sombongnya akan
berjuang sendiri untuk melepaskan/keluar dari jurang kesalahan/dosa. Terhadap
orang inilah, Kristus sulit mau berkorban bagi/menggantikan posisi mereka. Tetapi
meskipun sulit, Kristus rela melakukannya karena kematian-Nya membuktikan cinta
kasih Allah kepada dunia yang jauh melampaui konsep keadilan manusia (Yohanes
3:16; Roma 5:8). Tingkat ketiga, orang yang telah berdosa. Kalau tingkat pertama
dan kedua masih mampu dilakukan oleh manusia, yaitu berkorban bagi orang baik
dan benar, maka tingkat ketiga ini tidak mungkin mampu dilakukan manusia
berdosa, mengapa? Karena tingkat ketiga ini hanya mampu dilakukan oleh Allah
sendiri. Di ayat 8, Allah melalui Paulus menyatakan, “Akan tetapi Allah menunjukkan
kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih
berdosa.” Di dalam terjemahan LAI, kita kurang menemukan keunikan perbedaan
waktu antara Kristus yang telah mati dan kita yang berdosa, tetapi di dalam
struktur bahasa Yunani, kita dapat mengerti perbedaan waktu ini. Pernyataan “kita
masih berdosa” menggunakan keterangan waktu Present (dapat diterjemahkan:
ketika kita sedang berdosa). Sedangkan pernyataan “Kristus telah mati”
menggunakan keterangan waktu Aorist yang berarti sesuatu yang sudah terjadi dan
tidak terulang lagi—identik dengan keterangan waktu Past Perfect di dalam bahasa

Inggris (dapat diterjemahkan: Kristus telah satu kali mati untuk selama-lamanya).
Berarti, ketika kita sedang/masih berdosa, Kristus telah menebus dosa kita dan mati
bagi kita. Ini menunjukkan bahwa kasih Allah tidak melihat/menunggu respon
manusia (karena manusia yang masih berdosa tidak mungkin bisa merespon kasih
Allah). Dengan kata lain, Arminianisme (pendiri: Jacobus Arminius) yang
mengajarkan bahwa Allah memilih manusia setelah Ia melihat siapa manusia yang
akan meresponi kebaikan-Nya, adalah salah dan tidak sesuai dengan Alkitab. Justru,
Allah memilih manusia dan mengutus Kristus untuk menebus dosa manusia jauh
sebelum manusia itu berdosa. Itulah kasih Allah yang jauh melampaui rasio
manusia berdosa yang terbatas yang hanya mau mengasihi dan berkorban bagi

orang-orang baik dan benar (dan tidak bagi orang-orang berdosa). Penderitaan
Kristus ini menjadi pengharapan bagi kita yang berada di dalam penderitaan bahwa
kita memiliki Kristus yang sudah menggantikan kita yang seharusnya berdosa. Apa
yang Kristus telah kerjakan pada waktu kita masih berdosa justru menyadarkan kita
bahwa sudah seharusnya kita tidak lagi arogan lalu berkata bahwa kita bisa
menyelesaikan dosa kita sendiri. Itu adalah tindakan atheis yang menghina karya
penebusan Allah. Kita sebagai umat pilihan-Nya yang telah ditebus harus terusmenerus bersyukur atas anugerah-Nya dan mengerjakan keselamatan kita (bukan
supaya kita diselamatkan/tidak kehilangan keselamatan) sebagai respon kita telah
ditebus dan diselamatkan untuk memuliakan Allah. Penderitaan Kristus juga dapat

menjadi teladan bagi kita sehingga kita rela berkorban/mati bagi orang-orang yang
kita kasihi (bahkan bagi orang-orang yang telah membenci kita dan sebaliknya)
demi Injil. Penginjilan tanpa dimotivasi dan bertujuan untuk mengasihi jiwa-jiwa
yang terhilang adalah penginjilan yang sia-sia. Sudahkah kita mengasihi jiwa-jiwa
yang terhilang dan membawanya kepada Kristus ?

Keempat, penderitaan Kristus meredakan murka Allah -> propisiasi (ayat 9). Pada
ayat 9, Tuhan melalui Paulus mengungkapkan, “Lebih-lebih, karena kita sekarang
telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.”
Tentang propisiasi atau peredaan murka Allah, Paulus sudah menjelaskannya di
dalam Roma 3:25, “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian
karena iman, dalam darah-Nya…” (KJV, “Whom God hath set forth to be a
propitiation through faith in his blood,…”) dan Yohanes menjelaskannya di dalam 1
Yohanes 4:10, “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah
yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian
bagi dosa-dosa kita.” (KJV, “Herein is love, not that we loved God, but that he loved
us, and sent his Son to be the propitiation for our sins.”). Semua kata “pendamaian”
di dalam kedua bagian ayat ini seharusnya diterjemahkan “peredaan murka Allah”.
Peredaan murka Allah yang Kristus kerjakan menjadi pengharapan bagi kita yang
seharusnya mati dan dikenai murka Allah akibat dosa, tetapi puji Tuhan, penebusan

Kristus di kayu salib sudah memenuhi syarat wujud keadilan dan kasih Allah bagi
manusia berdosa. Penderitaan Kristus ini juga menjadi teladan bagi kita yang harus
menderita karena nama Kristus supaya kita tetap memberitakan Injil sehingga
banyak orang diselamatkan dari murka Allah yang menyala-nyala. Penderitaan kita
karena nama Kristus seharusnya tidak memadamkan semangat kita dalam
mengabarkan Injil, melainkan justru mengobarkan semangat kita bahwa orangorang yang menganiaya kita harus diinjili agar mereka pada suatu saat atas
kehendak-Nya dapat bertobat dan kembali kepada Kristus serta diselamatkan dari
murka Allah yang dahsyat.

Kelima, penderitaan Kristus memperdamaikan kita dengan Allah -> rekonsiliasi
(ayat 10). Selain substitusi dan propisiasi, penebusan Kristus juga mendamaikan
kita yang dahulu adalah seteru/musuh Allah yang najis dan berdosa dengan Allah
yang Mahakudus, seperti yang dipaparkan Paulus di ayat 10, “Sebab jikalau kita,
ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebihlebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidupNya!”
Kata
“diperdamaikan”
dalam
KJV
adalah
reconcile

(=direkonsiliasikan/diperdamaikan). Kalau kita mengerti kata “musuh”, maka kita
seharusnya mengerti bahwa itulah status kita ketika kita masih berdosa. Kalau di
poin pertama, kita belajar tentang status dan kondisi kita yang jatuh ke dalam dosa
yaitu durhaka/tidak berTuhan dan lemah/tidak berdaya, maka di poin ini, kita belajar
tentang status kita dahulu yang “baru” yaitu musuh/seteru Allah. Kita disebut
seteru Allah karena kita melawan ketetapan-Nya. Bagi seorang musuh, kita sudah
seharusnya melawannya, hal yang sama juga dilakukan oleh Allah. Tetapi sekali lagi
karena kasih-Nya begitu besar, maka beberapa orang dari antara musuh-Nya yang
memberontak dipilih, dipanggil dan dibenarkan-Nya di dalam Kristus, sehingga
mereka beroleh anugerah-Nya untuk beriman di dalam Kristus. Bagi orang-orang
pilihan-Nya inilah, Kristus mati dan memperdamaikan mereka dengan Allah. Adalah
tidak masuk akal jika ada orang-orang yang tidak dipilih-Nya berani mengklaim diri
umat pilihan Allah lalu menyatakan diri dengan sombongnya bahwa Kristus juga
mati untuknya. Itu adalah ajaran yang aneh dan tidak sesuai dengan Alkitab.
Penderitaan Kristus ini menjadi pengharapan bagi umat pilihan-Nya yang berdosa
yaitu kita yang dahulu berdosa sudah diperdamaikan dengan Allah yang Mahakudus
melalui penebusan Kristus, sehingga kita diselamatkan oleh hidup Kristus dan kita
tidak usah takut (dalam pengertian takut yang berlebihan) menghampiri Allah.
Bukan berarti karena kita telah ditebus oleh Kristus, maka kita boleh sembarangan
menghadap Allah, lalu seenaknya sendiri menggunakan hal-hal yang tidak
bertanggungjawab di dalam ibadah. Itu namanya “anak-anak Allah” yang
keterlaluan/kelewatan (Jawa: nglunjak). Meskipun kita sudah ditebus oleh Kristus,
kita sebagai anak-anak-Nya tetap harus menghormati dan takut kepada-Nya,
karena Ia tetap adalah Allah dan Tuhan kita (sedangkan kita adalah manusia yang
terbatas), meskipun kita bisa/dapat tetap bersukacita ketika menghadap Allah.
Inilah paradoks di dalam ibadah Kristen: takut dan gentar terhadap Allah sekaligus
bersukacita. Penderitaan Kristus juga menjadi teladan bagi kita yaitu perdamaian
antara manusia dengan Allah di dalam Kristus adalah wujud perdamaian sejati
meskipun kita menderita aniaya. Sering kali di dunia ini, ketika ada orang yang
mengalami penderitaan, para pemuja “theologi” religionum/social “gospel” selalu
melontarkan kalimat “damai”, “gencatan sejata”, “toleransi”, dll supaya tidak
terjadi penderitaan dan penganiayaan. Apakah itu salah? Di satu sisi, benar, tetapi
di
sisi
lain,
inti
masalahnya
bukan
sekadar
penghentian
tindakan
penganiayaan/kekerasan/penderitaan, tetapi esensinya justru terletak pada
pendamaian antara manusia dengan Allah di dalam Kristus. Kalau manusia tidak
didamaikan kembali dengan Allah, maka manusia tak mungkin bisa berdamai
dengan sesamanya, karena masalah manusia yang paling serius adalah dosa, dan

bukan
hanya
sekedar
penderitaan/penganiayaan/dll.

ketidakseimbangan/ketidaktenteraman

atau

Terakhir, penderitaan Kristus membuat kita berbangga di dalam-Nya (ayat 11). Di
dalam ayat 11, Paulus mengungkapkan, “Dan bukan hanya itu saja! Kita malah
bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah
menerima pendamaian itu.” Kata “bermegah” bisa berarti bersukacita (joy/rejoice)
atau berbangga (boast). Bukan hanya substitusi, propisiasi dan rekonsiliasi,
penebusan dan penderitaan Kristus memberikan pengharapan kepada kita bahwa
meskipun kita mengalami penganiayaan, Roh-Nya yang Kudus membuat kita terusmenerus bersukacita di dalam Allah. Mengapa kita bisa bersukacita meskipun
penderitaan mengancam kita? Karena kita memiliki pengharapan yang kokoh di
dalam Kristus yang telah mengalami dan menang mengalahkan segala pencobaan,
sehingga Ia dinobatkan sebagai Imam Besar Agung (Ibrani 4:14-15). Selain itu,
penderitaan Kristus yang mengakibatkan kita bersukacita di dalam-Nya juga
menjadi teladan bagi kita untuk menyalurkan sukacita di dalam penderitaan ini baik
dengan berbagi kepada sesama, khususnya yang paling utama yaitu memberitakan
Injil. Sehingga ketika orang yang menganiaya kita tetap melihat kita bersukacita
bahkan masih memberitakan Injil, orang tersebut atas kemurahan-Nya akan
bertobat dan kembali kepada Kristus. Hal ini sudah dialami oleh Paulus yang tetap
memberitakan Injil kepada kepala penjara di Filipi meskipun dipenjara dan
mengalami penderitaan (Kisah Para Rasul 16:19-40). Maukah kita meneladani
Paulus dengan menjadi saksi Kristus bahkan di dalam penderitaan sekalipun ?

Setelah kita merenungkan keenam prinsip penderitaan Kristus yang menjadi
pengharapan sekaligus teladan bagi kita yang menderita, biarlah kita menjadikan
penderitaan Kristus bukan sekedar teori/rutinitas ketika kita memperingati Jumat
Agung, tetapi penderitaan Kristus menjadi titik pusat kehidupan keKristenan kita
dalam menapaki setiap penderitaan yang harhus ditanggung karena mengikut
Kristus. Soli Deo Gloria. Amin.