Era Orde Baru Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar 1. Era Orde Lama
tokoh lainya di Menes seperti Moh. Idjen dan KH. Abdul Wahid Sahari memperlihatkan kecenderungan politiknya di partai PPP.
75
Pada bulan September tahun 1973, KH. Uwes Abu Bakar berpulang kerahmatullah secara mendadak. Selanjutnya, MA pada perkembangannya
memiliki orientasi politik MA yang baru dan semakin radikal. Sifat pluralistik MA, akhirnya hilang setelah diganti oleh dua pemimpin yang terkenal sangat
radikal, yakni Muslim Abdurrahman yang pernah dipenjara beberapa bulan pada masa Soekarno karena kedekatannya dengan pemipin DITII, dan Nafsirin Hadi.
Setelah tidak ada pemimpin MA yang moderat yakni KH. Uwes Abu Bakar, untuk mengisi posisi Ketua Umum Pengurus Besar MA, selanjutnya dilaksanakan Rapat
Kerja Luar Biasa di Bandung. Pada kesempatan tersebut, memilih dan menetapkan Muslim Abdurrahman sebagai ketua umum yang sebelumnya
menjabat ketua satu, di Perguruan Madrasah MA Pusat Menes pada kongres 1966 di Menes, kepemimpinannya bertahan selama setahun karena meninggal
dunia. Kemudian, Nafsirin Hadi menggantikan posisi Muslim Abdurrahman
sebagai ketua umum. Menurut Didin Nurul Rosidin, bahwa Nafsirin Hadi dikenal sebagai figur yang kuat mendukung menerapkan hukum Islam dan menolak
mengamalkan ideologi Pancasila, menurutnya, tidak saja dilarang oleh agama tetapi membicarakannya juga haram.
76
Tahun 1975, MA melaksanakan Muktamar ke-XII di Asrama Haji Cempaka Putih Jakarta Pusat yang dibuka langsung oleh Menteri Agama RI, Prof.
75
Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin.
76
Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 84-86
Dr. Mukti Ali. Hasil Muktamar Nafsirin Hadi terpilih sebagai ketua umum PBMA. Terpilihnya Nafsirin Hadi sebagai tokoh penentang ideologi Pancasila
menghasilkan keputusan yang paradoks. Pertama, masuknya Pancasila menjadi salah satu ideologi MA dalam ADART. Kedua, kuatnya intervensi pemerintah
dan militer dalam mengontrol MA. Ketiga, adanya pengrekrutan tokoh-tokoh MA seperti M. Irsyad Djuwaeli dan yang lainnya menjadi pegawai pemerintah,
sedangkan Entol Burhani dan KH. Uyeh Balukiya merupakan aktor utama dibelakang inklusi Pancasila sebagai dasar idelogi organisasi. Keempat, adalah
dorongan kuat dari BM Diah yang memiliki posisi sebagai anggota Dewan Pengawas MA pertama yang diangkat pada kongres tahun1966.
77
Keputusan tersebut diatas, menimbulkan reaksi kekecewaan para peserta Muktamar yang kontra tidak setuju dengan melakukan walk out keluar dan
hanya meninggalkan sedikit peserta yang tersisa. Muktamar MA ke-XII selesai tanpa mengadakan resepsi penutupan. Disamping itu, peserta Muktamar
menyepakati dihilangkannya badan-badan otonom dan bagian-bagian susunan pengurus hasil Muktamar ke-XI dan hanya bidang Majlis Fatwa yang tersisa.
Sedangkan untuk para ketua terpilih menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum, Moh. Rifa’I Sekretaris 1, Moh. Idjen Sekretaris II, dan E.
Lukman Hakim Sekretaris III. Untuk jabatan bendahara ditetapkan BM. Diah yang waktu itu dinyatakan sebagai pembantu penyandang dana untuk kegiatan
kesekretariatan. Damanhuri, M. Nahid Abdurrahman dan Hasan Muslihat sebagai pembantu.
77
Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 84
Suksesi penerimaan Pancasila yang dimasukan kedalam ADART MA diikuti oleh perekrutan secara paksa wakil-wakil pemerintahan dalam
kepengurusan pusat MA. BM Diah yang berperan aktif dalam memaksa peserta kongres untuk menerima beberapa orang seperti Yahya Nasution dan H.
Burhanuddin yang keduannya orang-orang pemerintah atau Golkar. Inklusifisasi Pancasila kedalam ARART MA tidak dapat memperlemah para anggota MA.
Pertama, posisi tertinggi MA dipegang oleh orang-orang Muslim Abdurrahman dan Nafsirin Hadi radikal sebagaimana diterangkan diatas. Kedua, tumbuhnya
radikalisme pandangan politik MA dengan datangnya guru-guru muda MA tahun 1950-1960-an yang merupakan para aktivis seperti, Boman Rukmantara, Saleh
As’ad HMI, Abdul Salam Panji Gumilang al-Zaitun GPI dan Hudri Halim PII mereka seringkali memobilisasi siswa dan pemuda MA menentang
kebijakan-kebijakan Orde Baru sebagai “poros utama anti Orde Baru, Golkar dan Pancasila” di Menes.
Kemudian, sikap oposisi para pemimpin MA terhadap Orde Baru berdampak luar biasa pada eksistensi dan marginalisasi organisasi oleh
pemerintah, termasuk kegagalan untuk menyelenggarakan Muktamar ke-XIII di Lampung tahun 1980. Hal tersebut terjadi karena. Pertama, kurangnya komunikasi
antara pengurus MA di Provinsi dan Daerah. Kedua, banyaknya pengurus PBMA yang berpulang kerahmatullah, seperti KH. A. Syahroni ketua I, KH. M. Kholid
ketua IV, KH. Damanhuri anggota dan H. Yahya Nasution ketua III yang mengundurkan diri dari kepengurusan. Ketiga, adanya perbedaan pemahaman
keagamaan dan politik Islam dan negara di elit pengurus PBMA, sehingga 58
menyebabkan pemerintah Orde Baru tidak memberikan izin penyelenggaraan Muktamar di Lampung. Kecuali, MA bersedia bergabung bersama Golkar dengan
imbalan akan diberikan dana sebesar Rp. 250 Juta, namun dana yang dijanjikan pemerintah ditolak.
78
Hal tersebut, menimbulkan konflik diinternal MA yang puncaknya terjadi pemecatan M. Irsyad Djuawaeli sebagai Sekretaris Umum PBMA dan mengalami
pergantian sekjen sampai tiga kali antara lain oleh H. Nur Sanusi Lampung dan H. Abdul Sahari Menes. Karena dicopot dari posisinya di organisasi, M. Irsyad
Djuwaeli
79
memobilisasi massa pendukung dari tingkat daerah dan provinsi akar rumput bawah untuk menentang kepemimpinan ketua umum Nafsirin Hadi.
M. Irsyad Djuweli, yang mendapat dukungan penguasa Orde Baru untuk melakukan “kudeta” gaya kepemimpinan radikal Nafsirin Hadi dari posisi ketua
umum PBMA. Hal tersebut selain menjadi alasan kelompok “oposisi” juga kegagalan Nafsirin Hadi untuk melaksanakan Muktamar ke-XIII di Lampung dan
perbedaan orientasi politik PPP Nafsirin Hadi, Moh. Idjen, H. Nur Sanusi, H. Dhoifun Kepuh dan Golkar M. Irsyad Djuwaeli, Uyeh Balukiya, KH. Entol
Burhani, Imron Syuaidi, menyebabkan organisasi mengalami keadaan yang tidak menentu statis. Untuk menghidupkan kembali organisasi tokoh-tokoh MA yang
terdiri dari M. Irsyad Djuwaeli, KH. A. Syadli, M. Nahid Abdurrahman, H. Mubin
78
Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 75
79
M. Irsyad Djuwaeli, telah aktif di Golkar sejak tahun 1970-an dan meminta dukungan pemerintah Orde Baru dan tokoh-tokoh militer dibawah bendera GUPII seperti mantan Jenderal
Alamsyah Ratu Prawiranegara mantan Menteri Agama tahun 1978-1983 dan mantan Jenderal Ibnu Hartomo adik Ibu Tien Soeharto untuk melakukan “kudeta” kepemimpinan Nafsirin Hadi.
Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 87. Selanjutnya Lihat Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1
Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 36-37
Arshudin, H. Chowasi Mandala dan H. Aim, mereka menemui ketua umum untuk segera dilaksanakannya Muktamar ke-XIII, namun usulan tersebut kemudian
ditolak oleh ketua umum. Kemudian, dibentuklah panitia yang terdiri dari M. Irsyad Djuwaeli cs
untuk mempersiapkan pelaksanaan Muktamar ke-XIII di Menes, tanpa restu dari ketua umum Nafsirin Hadi.
80
Tahun 1980, Muktamar ke-XIII berhasil dilaksanakan di Menes dengan menetapkan KH. Entol Burhani sebagai ketua
umum baru menggantikan Nafsirin Hadi dan kembali naiknya M. Irsyad Djuwaeli sebagai sekretaris umum. Kuatnya intervensi Orde Baru dan Militer menyebabkan
ketua umum Nafsirin Hadi dan tokoh-tokoh anti pemerintah Orde Baru tidak bisa mengikuti acara Muktamar.
81
Tahun 1985, Muktamar MA ke-XIV di Jakarta, menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai ketua umum terpilih menggantikan KH. Entol Burhani.
Keputusan Muktamar memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai salah satu asas selain Islam yang dituangkan kedalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga ADART. Keputusan tersebut menimbulkan perpecahan di internal MA antara yang menerima dan menolak yang puncaknya terjadi pemecatan pengurus
PBMA seperti Moh. Idjen, KH, Abdul Wahid Sahari yang kemudian mendirikan
80
Sebelum Muktamar, Nafsirin Hadi telah memberikan surat keputusan kepada Entol Burhani atas nama ketua umum dengan mandat khusus untuk mengambil langkah-langkah penting
dalam persiapan Muktamar, surat itu salah satunya berisi penolakannya atas pelantikan kembali M. Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum PBMA dan penunjukan Muhammad Amin sebagai
ketua kedua. Namun, surat tersebut diabaikan oleh M. Irsyad Djuwaeli cs. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-
1998,”, h. 108
81
Penjagaan ketat yang dilakukan oleh militer di sekitar acara Muktamar ke-XIII di Menes menyebakan beberapa tokoh-tokoh MA yang di cap “pembangkang” pemerintah dicekal
dan di asingkan kemudian dipecat, walaupun mereka sudah berada disekitar Menes. Tetapi, tidak diperbolehkan memasuki atau mengikuti acara Muktamar sebagaimana yang dialami oleh Nafsirin
Hadi ketua umum. Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen.
madrasah al-Islah yang dikelola secara independen dan keluar dari struktur Perguruan MA-Pusat.
82
Menurut Syibli Sarjaya, keputusan Muktamar XIV 1985 merupakan keputusan paling berani dan kontroversial dalam sejarah perjalanan MA. Pertama,
penerimaan Asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi UU Keormasan No. 81 tahun 1985.
83
Kedua, MA secara tegas mendeklarasikan Soeharto sebagai ”Bapak Pembangunan”.
84
Ketiga, secara deklaratif mendeklarasikan dukungannya untuk mendukung Golkar dalam pemilihan umum tahu 1987.
85
Keempat, perekrutan tokoh-tokoh Golkar seperti, Alamsyah Ratu Prawiranegara Menteri
Agama tahun 1978-1983, Ibnu Hartomo dan Moes Joenoes menjadi Dewan Pembina, dalam struktur kepengurusan PBMA yang secara eksklusif lebih
diutamakan adalah orang yang berkedudukan pegawai pemerintahan atau pejabat seperti, Adam Malik dan BM. Diah yang posisi sebelumnya berada ditangan kiyai
dan tokoh “asli” MA. Secara makro, dinamika perjalanan organisasi pada perkembangannya dan
penyebarannya menggunakan fasilitas Partai Golkar di seluruh daerah-daerah di Indonesia. M. Irsyad Djuwaeli sebagai salah satu tokoh Partai Golkar
menginstruksikan berbagai pengurus Partai Golkar diberbagai daerah dan provinsi untuk mendirikan cabang-cabang madrasah MA dan pengurus MA. Pertama, MA
memanfaatkan pengaruh Alamsyah Ratu Prawiranegara dalam menarik
82
Wawancara Pribadi dengan KH. Abdul Wahid Sahari.
83
Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 38
84
Gelar Bapak Pembangunan merupakan bentuk apresiasi terhadap Presiden Soeharto atas pembangunan dalam bidang sosial budaya, ekonomi dan politik. Lihat. Deliar Noer, Islam,
Pancasila dan Asas Tunggal Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983, h. 76
85
Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 111
pemimpin-pemimpin besar regional untuk mendukung pendirian cabang- cabangnya didaerah mereka dengan diberikan bantuan keuangan. Kedua, MA
sebagai salah satu pendukung utama Partai Golkar, menggunakan jaringan partai untuk mempengaruhi basis di tingkat daerah tradisionalnya untuk memperkuat
Golkar. Ketiga, adalah menggunakan jaringan Departemen Agama sekarang Kemenag yang memberikan jaminan para pegawai lokal departemen tersebut
untuk membantu memperluas MA. Sedangkan untuk gedung atau kantor sementara bergabung MA dan Golkar di kantor Dewan Perwakilan Daerah
Partai Golkar.
86
Hal tersebut, sangat berbeda apa yang dilakukan oleh para senior MA Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin dalam pengembangan MA
diberbagai daerah dan provinsi dengan mengirimkan para alumni atau lulusan madrasah MA untuk mendirikan madrasah dan cabang-cabang MA di seluruh
Indonesia. MA pada Pemilihan Umum pemilu tahun 1987, sebagaimana hasil
Muktamar MA ke-XIV 1985 menyepakati untuk menyalurkan aspirasi politiknya di Partai Golkar. Walaupun secara deklararatif tidak tertulis, tetapi MA
siap mendukung dan memenangkan Golkar. Keputusan untuk menyalurkan aspirasi politiknya secara struktural di Partai Golkar telah memberikan
kesempatan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli dalam Pemilu 1992 menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR-RI.
87
Kemudian, pada Muktamar ke-XV tahun 1996 di Jakarta, kebijakan dan aspirasi politik MA yang diambil tidak jauh berbeda dari sebelumnya, dimana
86
Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen.
87
Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 78
Golkar menjadi pilihan untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Keputusan ini diambil dipengaruhi oleh kuatnya kecenderungan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli
sebagai fungsionaris Golkar dan untuk strategi dalam mendapatkan segala fasilitas maupun dana material, sehigga secara pragmatis tidak sulit dalam melakukan
mobilisasi massa MA untuk kepentingannya di Golkar.
88
Sedangkan, bagi mereka yang aktif di PPP dan non-politik menolak bergabung bersama Golkar kemudian
dikucilkan dan memilih untuk tidak aktif dalam organisasi MA, bahkan sebagian dari mereka keluar dan dipecat.
89
Pada pemilu tahun 1997, dukungan diberikan lewat kampanye-kampanye yang menggiring warga MA kepada Golkar diberbagai daerah dan provinsi.
Kampanye dilakukan selain terbuka juga terselubung dalam forum-forum seperti, pengajian, Majlis Ta’lim, pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah dan lain
sebagainya. Peristiwa tersebut, menandai kembalinya sikap politik yang mendua di satu sisi MA menyatakan independen dari partai politik manapun tetapi di sisi
lain justru seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ketergantungan Golkar.
Sejarah perjalanan MA dengan segala bentuk kemajuan dan kemundurannya. Secara kuantitas, pada kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli, MA
berhasil menyebarkan pengurus di daerah dan provinsi di Indonesia. MA sebelumnya berkembang di tiga wilayah seperti: Banten, Jawa Barat dan
Lampung. Berbagai terobosan dilakukan lewat “kendaraan Golkar” selain untuk
88
Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010
89
Diantara tokoh MA yang tidak setuju dengan kebijakan mendukung Golkar, diantaranya KH. Abdul Wahid Sahari Menes, Mohammad Idjen Menes dan tokoh-tokoh lain
nya. Mereka selain melakukan penentangan dan memberikan pemahaman pada warga MA bahwa apa yang dilakukan dalam politik praktis telah menyalahi Khittah dan misi didirikannya MA.
kepentingan pribadi dan kelompok, juga telah berpengaruh terhadap keberhasilan organisasi MA dalam pembangunan Universitas Mathla’ul Anwar UNMA,
sebagai satu-satunya milik MA di Indonesia yang berlokasi di Cikaliung Menes tahun 1993. Lembaga-lembaga pendidikan madrasah yang sebelumnya
menurunkan papan nama dan aktivitasnya dapat bangkit kembali secara perlahan- lahan, organisasi penunjang lainya mulai bangkit melakukan aktivitasnya, seperti
bangkitnya kembali organisasi pemuda melalui Generasi Muda Mathla’ul Anwar GEMA-MA, Muslimat Mathla’ul Anwar MMA dan kegiatan Majelis Fatwa.
90
90
Wawancara Pribadi dengan H. A. Shihabudin, Menes, 4 Agustus 2010.