Era Orde Baru Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar 1. Era Orde Lama

tokoh lainya di Menes seperti Moh. Idjen dan KH. Abdul Wahid Sahari memperlihatkan kecenderungan politiknya di partai PPP. 75 Pada bulan September tahun 1973, KH. Uwes Abu Bakar berpulang kerahmatullah secara mendadak. Selanjutnya, MA pada perkembangannya memiliki orientasi politik MA yang baru dan semakin radikal. Sifat pluralistik MA, akhirnya hilang setelah diganti oleh dua pemimpin yang terkenal sangat radikal, yakni Muslim Abdurrahman yang pernah dipenjara beberapa bulan pada masa Soekarno karena kedekatannya dengan pemipin DITII, dan Nafsirin Hadi. Setelah tidak ada pemimpin MA yang moderat yakni KH. Uwes Abu Bakar, untuk mengisi posisi Ketua Umum Pengurus Besar MA, selanjutnya dilaksanakan Rapat Kerja Luar Biasa di Bandung. Pada kesempatan tersebut, memilih dan menetapkan Muslim Abdurrahman sebagai ketua umum yang sebelumnya menjabat ketua satu, di Perguruan Madrasah MA Pusat Menes pada kongres 1966 di Menes, kepemimpinannya bertahan selama setahun karena meninggal dunia. Kemudian, Nafsirin Hadi menggantikan posisi Muslim Abdurrahman sebagai ketua umum. Menurut Didin Nurul Rosidin, bahwa Nafsirin Hadi dikenal sebagai figur yang kuat mendukung menerapkan hukum Islam dan menolak mengamalkan ideologi Pancasila, menurutnya, tidak saja dilarang oleh agama tetapi membicarakannya juga haram. 76 Tahun 1975, MA melaksanakan Muktamar ke-XII di Asrama Haji Cempaka Putih Jakarta Pusat yang dibuka langsung oleh Menteri Agama RI, Prof. 75 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. 76 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 84-86 Dr. Mukti Ali. Hasil Muktamar Nafsirin Hadi terpilih sebagai ketua umum PBMA. Terpilihnya Nafsirin Hadi sebagai tokoh penentang ideologi Pancasila menghasilkan keputusan yang paradoks. Pertama, masuknya Pancasila menjadi salah satu ideologi MA dalam ADART. Kedua, kuatnya intervensi pemerintah dan militer dalam mengontrol MA. Ketiga, adanya pengrekrutan tokoh-tokoh MA seperti M. Irsyad Djuwaeli dan yang lainnya menjadi pegawai pemerintah, sedangkan Entol Burhani dan KH. Uyeh Balukiya merupakan aktor utama dibelakang inklusi Pancasila sebagai dasar idelogi organisasi. Keempat, adalah dorongan kuat dari BM Diah yang memiliki posisi sebagai anggota Dewan Pengawas MA pertama yang diangkat pada kongres tahun1966. 77 Keputusan tersebut diatas, menimbulkan reaksi kekecewaan para peserta Muktamar yang kontra tidak setuju dengan melakukan walk out keluar dan hanya meninggalkan sedikit peserta yang tersisa. Muktamar MA ke-XII selesai tanpa mengadakan resepsi penutupan. Disamping itu, peserta Muktamar menyepakati dihilangkannya badan-badan otonom dan bagian-bagian susunan pengurus hasil Muktamar ke-XI dan hanya bidang Majlis Fatwa yang tersisa. Sedangkan untuk para ketua terpilih menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum, Moh. Rifa’I Sekretaris 1, Moh. Idjen Sekretaris II, dan E. Lukman Hakim Sekretaris III. Untuk jabatan bendahara ditetapkan BM. Diah yang waktu itu dinyatakan sebagai pembantu penyandang dana untuk kegiatan kesekretariatan. Damanhuri, M. Nahid Abdurrahman dan Hasan Muslihat sebagai pembantu. 77 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 84 Suksesi penerimaan Pancasila yang dimasukan kedalam ADART MA diikuti oleh perekrutan secara paksa wakil-wakil pemerintahan dalam kepengurusan pusat MA. BM Diah yang berperan aktif dalam memaksa peserta kongres untuk menerima beberapa orang seperti Yahya Nasution dan H. Burhanuddin yang keduannya orang-orang pemerintah atau Golkar. Inklusifisasi Pancasila kedalam ARART MA tidak dapat memperlemah para anggota MA. Pertama, posisi tertinggi MA dipegang oleh orang-orang Muslim Abdurrahman dan Nafsirin Hadi radikal sebagaimana diterangkan diatas. Kedua, tumbuhnya radikalisme pandangan politik MA dengan datangnya guru-guru muda MA tahun 1950-1960-an yang merupakan para aktivis seperti, Boman Rukmantara, Saleh As’ad HMI, Abdul Salam Panji Gumilang al-Zaitun GPI dan Hudri Halim PII mereka seringkali memobilisasi siswa dan pemuda MA menentang kebijakan-kebijakan Orde Baru sebagai “poros utama anti Orde Baru, Golkar dan Pancasila” di Menes. Kemudian, sikap oposisi para pemimpin MA terhadap Orde Baru berdampak luar biasa pada eksistensi dan marginalisasi organisasi oleh pemerintah, termasuk kegagalan untuk menyelenggarakan Muktamar ke-XIII di Lampung tahun 1980. Hal tersebut terjadi karena. Pertama, kurangnya komunikasi antara pengurus MA di Provinsi dan Daerah. Kedua, banyaknya pengurus PBMA yang berpulang kerahmatullah, seperti KH. A. Syahroni ketua I, KH. M. Kholid ketua IV, KH. Damanhuri anggota dan H. Yahya Nasution ketua III yang mengundurkan diri dari kepengurusan. Ketiga, adanya perbedaan pemahaman keagamaan dan politik Islam dan negara di elit pengurus PBMA, sehingga 58 menyebabkan pemerintah Orde Baru tidak memberikan izin penyelenggaraan Muktamar di Lampung. Kecuali, MA bersedia bergabung bersama Golkar dengan imbalan akan diberikan dana sebesar Rp. 250 Juta, namun dana yang dijanjikan pemerintah ditolak. 78 Hal tersebut, menimbulkan konflik diinternal MA yang puncaknya terjadi pemecatan M. Irsyad Djuawaeli sebagai Sekretaris Umum PBMA dan mengalami pergantian sekjen sampai tiga kali antara lain oleh H. Nur Sanusi Lampung dan H. Abdul Sahari Menes. Karena dicopot dari posisinya di organisasi, M. Irsyad Djuwaeli 79 memobilisasi massa pendukung dari tingkat daerah dan provinsi akar rumput bawah untuk menentang kepemimpinan ketua umum Nafsirin Hadi. M. Irsyad Djuweli, yang mendapat dukungan penguasa Orde Baru untuk melakukan “kudeta” gaya kepemimpinan radikal Nafsirin Hadi dari posisi ketua umum PBMA. Hal tersebut selain menjadi alasan kelompok “oposisi” juga kegagalan Nafsirin Hadi untuk melaksanakan Muktamar ke-XIII di Lampung dan perbedaan orientasi politik PPP Nafsirin Hadi, Moh. Idjen, H. Nur Sanusi, H. Dhoifun Kepuh dan Golkar M. Irsyad Djuwaeli, Uyeh Balukiya, KH. Entol Burhani, Imron Syuaidi, menyebabkan organisasi mengalami keadaan yang tidak menentu statis. Untuk menghidupkan kembali organisasi tokoh-tokoh MA yang terdiri dari M. Irsyad Djuwaeli, KH. A. Syadli, M. Nahid Abdurrahman, H. Mubin 78 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 75 79 M. Irsyad Djuwaeli, telah aktif di Golkar sejak tahun 1970-an dan meminta dukungan pemerintah Orde Baru dan tokoh-tokoh militer dibawah bendera GUPII seperti mantan Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara mantan Menteri Agama tahun 1978-1983 dan mantan Jenderal Ibnu Hartomo adik Ibu Tien Soeharto untuk melakukan “kudeta” kepemimpinan Nafsirin Hadi. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 87. Selanjutnya Lihat Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 36-37 Arshudin, H. Chowasi Mandala dan H. Aim, mereka menemui ketua umum untuk segera dilaksanakannya Muktamar ke-XIII, namun usulan tersebut kemudian ditolak oleh ketua umum. Kemudian, dibentuklah panitia yang terdiri dari M. Irsyad Djuwaeli cs untuk mempersiapkan pelaksanaan Muktamar ke-XIII di Menes, tanpa restu dari ketua umum Nafsirin Hadi. 80 Tahun 1980, Muktamar ke-XIII berhasil dilaksanakan di Menes dengan menetapkan KH. Entol Burhani sebagai ketua umum baru menggantikan Nafsirin Hadi dan kembali naiknya M. Irsyad Djuwaeli sebagai sekretaris umum. Kuatnya intervensi Orde Baru dan Militer menyebabkan ketua umum Nafsirin Hadi dan tokoh-tokoh anti pemerintah Orde Baru tidak bisa mengikuti acara Muktamar. 81 Tahun 1985, Muktamar MA ke-XIV di Jakarta, menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai ketua umum terpilih menggantikan KH. Entol Burhani. Keputusan Muktamar memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai salah satu asas selain Islam yang dituangkan kedalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ADART. Keputusan tersebut menimbulkan perpecahan di internal MA antara yang menerima dan menolak yang puncaknya terjadi pemecatan pengurus PBMA seperti Moh. Idjen, KH, Abdul Wahid Sahari yang kemudian mendirikan 80 Sebelum Muktamar, Nafsirin Hadi telah memberikan surat keputusan kepada Entol Burhani atas nama ketua umum dengan mandat khusus untuk mengambil langkah-langkah penting dalam persiapan Muktamar, surat itu salah satunya berisi penolakannya atas pelantikan kembali M. Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum PBMA dan penunjukan Muhammad Amin sebagai ketua kedua. Namun, surat tersebut diabaikan oleh M. Irsyad Djuwaeli cs. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916- 1998,”, h. 108 81 Penjagaan ketat yang dilakukan oleh militer di sekitar acara Muktamar ke-XIII di Menes menyebakan beberapa tokoh-tokoh MA yang di cap “pembangkang” pemerintah dicekal dan di asingkan kemudian dipecat, walaupun mereka sudah berada disekitar Menes. Tetapi, tidak diperbolehkan memasuki atau mengikuti acara Muktamar sebagaimana yang dialami oleh Nafsirin Hadi ketua umum. Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen. madrasah al-Islah yang dikelola secara independen dan keluar dari struktur Perguruan MA-Pusat. 82 Menurut Syibli Sarjaya, keputusan Muktamar XIV 1985 merupakan keputusan paling berani dan kontroversial dalam sejarah perjalanan MA. Pertama, penerimaan Asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi UU Keormasan No. 81 tahun 1985. 83 Kedua, MA secara tegas mendeklarasikan Soeharto sebagai ”Bapak Pembangunan”. 84 Ketiga, secara deklaratif mendeklarasikan dukungannya untuk mendukung Golkar dalam pemilihan umum tahu 1987. 85 Keempat, perekrutan tokoh-tokoh Golkar seperti, Alamsyah Ratu Prawiranegara Menteri Agama tahun 1978-1983, Ibnu Hartomo dan Moes Joenoes menjadi Dewan Pembina, dalam struktur kepengurusan PBMA yang secara eksklusif lebih diutamakan adalah orang yang berkedudukan pegawai pemerintahan atau pejabat seperti, Adam Malik dan BM. Diah yang posisi sebelumnya berada ditangan kiyai dan tokoh “asli” MA. Secara makro, dinamika perjalanan organisasi pada perkembangannya dan penyebarannya menggunakan fasilitas Partai Golkar di seluruh daerah-daerah di Indonesia. M. Irsyad Djuwaeli sebagai salah satu tokoh Partai Golkar menginstruksikan berbagai pengurus Partai Golkar diberbagai daerah dan provinsi untuk mendirikan cabang-cabang madrasah MA dan pengurus MA. Pertama, MA memanfaatkan pengaruh Alamsyah Ratu Prawiranegara dalam menarik 82 Wawancara Pribadi dengan KH. Abdul Wahid Sahari. 83 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 38 84 Gelar Bapak Pembangunan merupakan bentuk apresiasi terhadap Presiden Soeharto atas pembangunan dalam bidang sosial budaya, ekonomi dan politik. Lihat. Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983, h. 76 85 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 111 pemimpin-pemimpin besar regional untuk mendukung pendirian cabang- cabangnya didaerah mereka dengan diberikan bantuan keuangan. Kedua, MA sebagai salah satu pendukung utama Partai Golkar, menggunakan jaringan partai untuk mempengaruhi basis di tingkat daerah tradisionalnya untuk memperkuat Golkar. Ketiga, adalah menggunakan jaringan Departemen Agama sekarang Kemenag yang memberikan jaminan para pegawai lokal departemen tersebut untuk membantu memperluas MA. Sedangkan untuk gedung atau kantor sementara bergabung MA dan Golkar di kantor Dewan Perwakilan Daerah Partai Golkar. 86 Hal tersebut, sangat berbeda apa yang dilakukan oleh para senior MA Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin dalam pengembangan MA diberbagai daerah dan provinsi dengan mengirimkan para alumni atau lulusan madrasah MA untuk mendirikan madrasah dan cabang-cabang MA di seluruh Indonesia. MA pada Pemilihan Umum pemilu tahun 1987, sebagaimana hasil Muktamar MA ke-XIV 1985 menyepakati untuk menyalurkan aspirasi politiknya di Partai Golkar. Walaupun secara deklararatif tidak tertulis, tetapi MA siap mendukung dan memenangkan Golkar. Keputusan untuk menyalurkan aspirasi politiknya secara struktural di Partai Golkar telah memberikan kesempatan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli dalam Pemilu 1992 menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR-RI. 87 Kemudian, pada Muktamar ke-XV tahun 1996 di Jakarta, kebijakan dan aspirasi politik MA yang diambil tidak jauh berbeda dari sebelumnya, dimana 86 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen. 87 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 78 Golkar menjadi pilihan untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Keputusan ini diambil dipengaruhi oleh kuatnya kecenderungan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli sebagai fungsionaris Golkar dan untuk strategi dalam mendapatkan segala fasilitas maupun dana material, sehigga secara pragmatis tidak sulit dalam melakukan mobilisasi massa MA untuk kepentingannya di Golkar. 88 Sedangkan, bagi mereka yang aktif di PPP dan non-politik menolak bergabung bersama Golkar kemudian dikucilkan dan memilih untuk tidak aktif dalam organisasi MA, bahkan sebagian dari mereka keluar dan dipecat. 89 Pada pemilu tahun 1997, dukungan diberikan lewat kampanye-kampanye yang menggiring warga MA kepada Golkar diberbagai daerah dan provinsi. Kampanye dilakukan selain terbuka juga terselubung dalam forum-forum seperti, pengajian, Majlis Ta’lim, pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah dan lain sebagainya. Peristiwa tersebut, menandai kembalinya sikap politik yang mendua di satu sisi MA menyatakan independen dari partai politik manapun tetapi di sisi lain justru seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ketergantungan Golkar. Sejarah perjalanan MA dengan segala bentuk kemajuan dan kemundurannya. Secara kuantitas, pada kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli, MA berhasil menyebarkan pengurus di daerah dan provinsi di Indonesia. MA sebelumnya berkembang di tiga wilayah seperti: Banten, Jawa Barat dan Lampung. Berbagai terobosan dilakukan lewat “kendaraan Golkar” selain untuk 88 Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010 89 Diantara tokoh MA yang tidak setuju dengan kebijakan mendukung Golkar, diantaranya KH. Abdul Wahid Sahari Menes, Mohammad Idjen Menes dan tokoh-tokoh lain nya. Mereka selain melakukan penentangan dan memberikan pemahaman pada warga MA bahwa apa yang dilakukan dalam politik praktis telah menyalahi Khittah dan misi didirikannya MA. kepentingan pribadi dan kelompok, juga telah berpengaruh terhadap keberhasilan organisasi MA dalam pembangunan Universitas Mathla’ul Anwar UNMA, sebagai satu-satunya milik MA di Indonesia yang berlokasi di Cikaliung Menes tahun 1993. Lembaga-lembaga pendidikan madrasah yang sebelumnya menurunkan papan nama dan aktivitasnya dapat bangkit kembali secara perlahan- lahan, organisasi penunjang lainya mulai bangkit melakukan aktivitasnya, seperti bangkitnya kembali organisasi pemuda melalui Generasi Muda Mathla’ul Anwar GEMA-MA, Muslimat Mathla’ul Anwar MMA dan kegiatan Majelis Fatwa. 90 90 Wawancara Pribadi dengan H. A. Shihabudin, Menes, 4 Agustus 2010.

BAB IV MATHLA’UL ANWAR DALAM KONSTELASI POLITIK

NASIONAL PASCA ORDE BARU

A. Realitas Politik Mathla’ul Anwar Pasca Orde Baru

Runtuhnya rezim Orde Baru ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, yang kemudian digantikan B.J. Habibi sebagai Presiden keempat Republik Indonesia RI, dan selanjutnya digantikan Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden dalam Sidang Umum Majlis Permusyawaratan Rakyat SU MPR tanggal 20 Oktober tahun 1999. Kemudian, proses transisi ke arah demokratisasi yang lebih otentik di Indonesia yang sebelumnya terpenjarakan selama 32 tahun rezim Soeharto. 91 Perubahan politik di Indonesia di era reformasi khususnya kebebasan ekspresi politik yang diwujudkan dengan adanya sistem multipartai pada pemilihan umum pemilu tahun 1999 langsung, secara luber jurdil jujur, adil, bebas, dan rahasia. Selain itu, kekuasaan negara dan ideologi Pancasila di era reformasi tidak lagi menjadi momok yang menakutkan bagi organisasi masyarakat ormas dan partai politik yang sebelumnya secara ketat dikontrol oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Proses hegemoni ideologi Pancasila tidak hanya ditempuh melaui cara-cara legalistik, tetapi juga melalui sistem pendidikan. Penataran P4 91 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan Antar Umat., ed. Idris Thaha Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Cet: 1, 2002, h. 20 65 pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila adalah program yang disponsori negara untuk mendidik seluruh lapisan masyarakat memahami ideologi dan interpertasi resmi negara untuk menjamin keseragaman pemahaman Pancasila sebagai ideologi negara. Organisasi masyarakat ormas atau keagamaan merupakan salah satu bentuk pengorganisasian masyarakat sipil yang berlandaskan pada prinsip demokrasi, kemitraan, keswadayaan, dan partisipasi publik. Selain itu, ormas sebagai wadah dalam menyalurkan aspirasi kepedulian, kesadaran sosial dan politik masyarakat. Ormas-ormas nonpolitik memiliki peran penting sebagai penengah dan jembatan untuk kepentingan antara masyarakat pada satu pihak dengan negara pada pihak lain. Menurut Azyumardi Azra 92 dan Bachtiar Effendi 93 bahwa organisasi sosial keagamaan di era reformasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama NU, Mathla’ul Anwar MA, al-Washliyah, Perti, Persis, Nahdlatul Wathan, Darud- Dakwah wal-Irsyad, al-Khairat, Hidayatullah dan lain sebagainya, mengalami penurunan dan kehilangan daya tarik terhadap peranannya dalam merespon masalah-masalah keumatan dan kebangsaan. Jika pada masa Orde Baru, organisasi keagamaan atau kultural dilarang terlibat dalam politik praktis justeru sangat besar kontribusi sosialnya seperti pembangunan madrasah, pesantren, rumah sakit dan bidang-bidang sosial yang lainnya. Selain organisasi keagamaan mengalami penurunan dalam bidang kultural juga terjadinya demoralisasi para elit 92 Azyumardi Azra, “Islam: Politik dan Kultural,” artikel diakses pada 12 Agustus dari http: www.uinjkt.ac.idindex.phpsection-blog28-artikel834-islam-politik-dan-kultural-.pdf 93 Bachtiar Effendi, “Tokoh Agama Tak Lagi Didengar,” artikel diakses pada 12 Agustus dari http:www.koran-jakarta.comberita-detail.php?id=47286 organisasi keagamaan yang terjebak dalam kepentingan politik praktis dalam konstelasi politik Nasional, Daerah maupun Provinsi yang menyebabkan adanya stigmatisasi buruk terhadap eksistensi organisasi keagamaan. Hal tersebut, sebagaimana yang terjadi secara realitas pada organisasi Mathla’ul Anwar MA sebagai salah satu organisasi keagamaan atau kultural pendidikan, dakwah dan sosial mengalami penurunan dalam merespon permasalahan keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Terlebih, para elit MA masih menyatakan dukungannya kepada Partai Golkar beberapa bulan setelah lengsernya Soeharto. Karena, proses konsolidasi yang dilakukan oleh organisasi MA terperangkap dalam skenario reformasi semu yang diperankan para elitnya. Dimana adanya proses dualisme antara kepentingan kultural dan politik, karena tidak ada upaya dari para elit MA untuk menarik diri dan menjaga jarak dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru dan Golkar. 94 Untuk menjaga independensi organisasi agar tidak terjebak pragmatisme politik, Muktamar MA ke-XVI pada 26-30 Oktober 2001 di Bojolali, Jawa Tengah. 95 Organisasi MA menegaskan perjuangannya dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial sebagai fokus gerakannya untuk meningkatkan mutu dan 94 Tahun 1998, MA mengeluarkan statemen moral untuk memaafkan dosa-dosa Soeharto dan menghukum mereka yang menyakitinya, yang ditanda tangani M. Irsyad Djuwaeli dan Usep Fathudin Golkar. Tahun 1999, sejumlah madrasah MA diberbagai daerah di Banten Selatan seperti Pandeglang, Ujung Jaya, dan cabang Madrasah MA di Indramayu dan Cirebon menghentikan operasinya, akibat ketua umum Irsyad Djuwaeli tidak responsif terhadap aspirasi dana pendamping biaya operasional pendidikan. Tahun 2000-2003 para elit MA mendukung pembentukan Partai Karya Peduli Bangsa PKPB. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” Disertasi Leiden University: T.pn., 2007, h. 152-156. Selanjutnya lihat. “Tutut, Siapa Capres Yang Bakal Kau Contreng,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http:www.indonesia-monitor.commain index.php? option=com_content task=viewid=1494Itemid=33 95 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996, h. 48 kualitas kehidupan bangsa dan negara dengan keputusan “untuk tidak berafiliasi lagi dengan partai politik apapun”, dan menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai ketua umum MA untuk ketiga kalinya periode 2001-2005. Keputusan Muktamar tersebut, secara kelembagaan memberikan kebebasan terhadap pilihan politik dan menumbuhkan optimisme para kader dan warga MA khsususnya di Daerah Menes-Banten dan wilayah lainnya dalam menyalurkan aspirasi politiknya tanpa diskriminasi dari para elit MA tidak seperti di era Orde Baru. Nilai-nilai keterbukaan dan independensi yang diperjuangkan walaupun tidak seratus persen, merupakan sesuatu yang positif bagi perkembangan dan kemajuan organisasi MA dalam medistribusikan para kader untuk menggunakan “kendaraan” manapun sebagai alat penyalur aspirasi politiknya yang sesuai dengan ADART yang menyatakan tidak boleh membawa kepentingan pribadi dan partai politik kedalam organisasi MA, tetapi sebaliknya untuk kepentingan organisasi MA. 96 Menurut Ali Nurdin, 97 perubahan paradigma organisasi MA di era reformasi selain memberikan peluang organisasi untuk menata dan melakukan instrospeksi diri yang sebelumnya afiliasi para elitnya terpusat di partai Golkar. Pertama, perubahan orientasi politik MA sebelumnya mengalami ekslusivisme politik dan stigmatisasi negatif ketika segala keburukan Orde Baru yang disandarkan pada Golkar berdampak pada MA sendiri. Kedua, menumbuhkan semangat dan memperkuat inklusivisme organisasi, para anggota MA diberikan keleluasan untuk aktif dipartai politik manapun yang sesuai dengan hati 96 Wawancara Pribadi dengan Ketua PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim. Menes, 7 Agustus 2010. 97 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin, Ciputat, 20 Mei 2010. nuraninya, terutama yang memperjuangkan kesejahteraan dan tegaknya keadilan. Ketiga, menjaga eksistensi organisasi yang bergerak dalam bidang kultural. Namun, menurut Mohammad Zen, 98 walaupun organisasi MA menyatakan independen mandiri tanpa adanya ketergantungan dan tidak lagi berafiliasi dengan partai politik. Tetapi, secara realitas tidak ditunjukan oleh ketua umum M. Irysad Djuwaeli dan tokoh-tokoh lainnya yang masih mendominasi untuk membawa kepentingan diri dan kelompok Golkar di atas kepentingan organisasi MA. Misalnya, seperti yang terjadi pada acara perayaan Hari Ulang Tahun HUT MA ke-87, dan Rapat Kerja Nasional rakernas Pengurus Besar Mathla’ul Anwar PBMA tanggal 28-30 Mei 2004 di Bandar Lampung. Kebijakan-kebijakan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli yang dinilai terlalu “politis” memaksakan kehendaknya dengan memutuskan dan mendeklarasikan diri tetapi secara organisasi tidak secara sepihak membawa organisasi MA untuk menyalurkan aspirasi politiknya yang kemudian menginstruksikan kepada pengurus MA yang ada di daerah dan provinsi untuk menjadi pendukung tim sukses pasangan Presiden dan Wakil Presiden H. Wiranto dan Salahuddin Wahid pada pemilihan umum pemilu tahun 2004. 99 Keputusan tersebut, selain menimbulkan reaksi keras dari para pengurus MA yang berbeda partai maupun non partai yang diakibatkan oleh sikap kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli yang dinilai otoriter dan arogan, bahkan tidak segan-segan melakukan pengusiran 98 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. 99 Kebijakan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli selain mengajurkan pilihan politiknya untuk pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid, juga memberikan waktu orasi politik Wiranto pada acara Rekernas dan HUT MA ke-87 di Lampung. Sehingga membuat para peserta kecewa dengan sikap Ketua Umum yang dinilai hanya mementingkan karir politiknya.