Pembahasan 1 Kolaborasi KPA dengan LSM-LSM Peduli Aids di Surakarta

commit to user 1. Outreach atau penjangkauan kepada komunitas pengguna narkoba suntik 2. Penyampaian KIE Komunikasi, Informasi, Edukasi 3. Konseling pengurangan resiko pribadi dan kelompok 4. Konseling tes sukarela 5. Layanan jarum suntik steril 6. Layanan kesehatan dasar 7. Pendidikan sebaya 8. Program substitusi oral Metadon, yaitu narkoba minum 9. Pelayanan rehabilitasi 10. Perawatan dan pengobatan HIV 11. Pencegahan infeksi atau sterilisasi jarum 12. Penghancuran alat suntik bekas Ada program dukungan bagi para pengguna narkoba suntik yang sudah positif HIV, yang dinamakan Kelompok dukungan orang dengan HIVAIDS, dimana setiap bulan ada pertemuan dan dihadiri tidak hanya para pengguna narkoba suntik tetapi juga para PSK, waria, masyarakat umum, dan lain-lain.

B. Pembahasan 1 Kolaborasi KPA dengan LSM-LSM Peduli Aids di Surakarta

Salah satu aspek terpenting dalam kolaborasi yang dilakukan KPA sebagai lembaga koordinator penanggulangan HIVAIDS di Kota Surakarta adalah kerjasama dengan LSM-LSM peduli Aids yang ada di Kota Surakarta. Hal ini dikarenakan sebagian besar yang menjadi commit to user kelompok sasaran penanganan HIVAIDS adalah orang-orang yang dianggap tidak biasa oleh masyarakat lain, contohnya yaitu para Wanita Pekerja Seks WPS, kaum waria, gay, lesbi, atau pengguna narkoba. Masing-masing LSM inilah yang menjadi ujung tombak sosialisasi dan penjangkauan efektif pada masyarakat populasi kunci yang merupakan target atau kelompok sasaran penanganan kasus HIVAIDS di Surakarta. Dalam penjangkauan, sangat sulit dapat berjalan efektif dan maksimal jika hal itu dilakukan oleh para anggota SKPD yang menggunakan pakaian dinas lengkap dengan semua atributnya. Maka dari itu, penjangkauan akan jauh lebih efektif jika dilakukan oleh para aktifis LSM yang tidak terikat atribut resmi sebagai abdi negara. Kolaborasi yang terjadi selama ini diantara KPA dengan LSM- LSM peduli Aids adalah antara lain adalah sebagai berikut : a Melaksanakan rapat koordinasi bulanan setiap satu bulan sekali untuk mengetahui perkembangan penanganan kasus HIVAIDS di masing-masing LSM. b Mengadakan kepanitiaan bersama pada saat ada acara tertentu, misalnya peringatan Hari AIDS sedunia atau malam renungan AIDS. c KPA mengadakan pertemuan atau pelatihan-pelatihan bagi para peer educator dan petugas lapangan baru yang dimiliki oleh LSM d KPA menyuplai kondom gratis kepada tiap LSM commit to user e Bersama-sama mengadakan mobile clinic sebagai upaya pendekatan untuk para korban HIVAIDS yang tidak atau belum bersedia periksa secara langsung ke klinik IMS ataupun VCT. f Mengadakan diskusi publik tentang kebijakan-kebijakan yang telah berjalan selama ini sebagai upaya penanggulangan HIVAIDS di Kota Surakarta mengenai kelebihan dan kekurangannya. Pihak LSM memberikan masukan-masukan bagi pihak KPA untuk kemajuan kolaborasi ke depan. g Setiap LSM memberikan laporan bulanan setiap tanggal 20 kepada KPA yang meliputi program yang dijalankan, orang-orang atau target yang berhasil dijangkau, laporan penggunaan kondom, laporan jumlah peer educator yang sudah berhasi ditraining dan laporan jumlah orang yang telah diantar periksa ke klinik IMS maupun VCT. 2 Bentuk Kolaborasi dan Efektifitas Kolaborasi Kolaborasi yang telah berjalan selama ini memang tertulis dalam Keputusan Walikota Surakarta nomor 443.2.0528-A12010 tentang pembentukan komisi, kelompok kerja Pokja dan sekretariat penanggulangan Acquired Immunodefisiency Syndrome Aids Kota Surakarta. Dalam surat keputusan tersebut telah tertulis jelas bagian keanggotaan dari masing-masing SKPD dan institusi lain. Namun dalam prakteknya di lapangan, kolaborasi yang selama ini berjalan belum dapat berjalan efektif dan maksimal diantara semua commit to user stakeholders yang terlibat, Kolaborasi yang tetap berjalan adalah kolaborasi antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids dan itupun masih sebatas kesepakatan informal. Koordinasi yang dilakukan masih berdasar kesadaran KPA dengan masing-masing LSM untuk sama-sama mengupayakan penurunan angka penularan HIVAIDS di Kota Surakarta sehingga tidak ada konsekuensi yang benar-benar mengikat antara KPA dengan semua LSM peduli Aids jika ada yang menyalahi kesepakatan informal yang sebelumnya telah dibuat. Berdasarkan kenyataan kolaborasi yang telah berjalan selama ini diantara pihak KPA dengan pihak LSM peduli Aids maka dapat diperjelas efektifitas kolaborasinya melalui analisa sebagai berikut : a Melaksanakan rapat koordinasi bulanan setiap satu bulan sekali untuk mengetahui perkembangan penanganan kasus HIVAIDS di masing-masing LSM. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada pihak masing-masing LSM, semuanya memberikan jawaban yang memiliki inti yang sama yaitu rapat yang selama ini berjalan hanya sekedar rutinitas saja. Bahkan terkadang pihak KPA tidak dapat secara rutin mengadakan rapat bulanan karena keterbatasan dana sehingga dari salah satu LSM harus ambil bagian menjadi tuan rumah rapat koordinasi bulanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Moh Slamet Raharjo selaku manajer program Yayasan Gessang : commit to user “Gessang pernah menanyakan ke KPA kog lama pak tidak ada pertemuan koordinasi, dia mengatakan tidak ada budget. Gessang menawarkan bagaimana kalau pertemuan dilaksanakan Gessang punya budget nih, sampai beberapa kali kita support dana KPA nya. Sampai seperti itu.” Selain itu, pada saat pertemuan bulanan yang datang sebagai wakil dari masing-masing anggota KPA sering berganti- ganti dan hanya merupakan pekerja tingkat bawah yang tidak mempunyai kapasitas cukup untuk memahami dan menjalankan sungguh-sungguh apa yang menjadi tanggungjawab mereka bersama. b Mengadakan kepanitiaan bersama pada saat ada acara tertentu, misalnya peringatan Hari AIDS sedunia atau malam renungan AIDS. Kepanitiaan untuk acara khusus misalnya peringatan Hari AIDS sedunia atau malam renungan AIDS dibentuk dari gabungan antara pihak KPA dengan LSM-LSM peduli Aids. Untuk ketua panitia, biasanya digilir. Seperti yang disampaikan oleh Rudi Tri Cahyono selaku psikolog divisi program Yayasan Kakak : “Biasanya 1 tahun sekali pada peringatan hari HIVAIDS kan kita ada kepanitiaan. Misalnya tahun ini ketuanya dari Kakak, nanti panitia yang lain dari semua pihak yang terlibat. Lalu kadang kita mengadakan konferensi pers bersama bahwa KPA dan jaringan LSM peduli AIDS telah menemukan fakta seperti ini, misal dari anak-anak nanti Kakak yang bicara, yang lain menambahi, jadi seperti itu, saling melengkapi. Hal ini sebenarnya sangat bagus sekali bisa ada seperti ini di Surakarta, jika bisa lebih optimal lagi.” commit to user c KPA mengadakan pertemuan atau pelatihan-pelatihan bagi para peer educator dan petugas lapangan baru yang dimiliki oleh LSM. Pertemuan dan pelatihan bagi para peer educator dan petugas lapangan baru ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja setiap LSM dalam melakukan penjangkauan pada kelompok sasaran mereka masing-masing. Melalui pertemuan dan pelatihan ini diharapkan semakin banyak orang yang terlatih untuk siap masuk lebih mendalam ke dalam kelompok sasaran dan mensosialisasikan bahaya HIVAIDS serta dapat menjangkau orang yang terindikasi terkena HIVAIDS untuk bersedia periksa ke klinik IMS ataupun klinik VCT. Semua trainer berasal dari KPA karena KPA sudah memiliki tenaga ahli di bidang masing-masing seperti pelatihan advokasi, monitoring dan evaluasi. d KPA menyuplai kondom gratis pada setiap LSM. Saat ini kebutuhan kondom bagi tiap LSM telah disuplai sepenuhnya oleh pihak KPA. Pihak KPA sendiri mendapat kondom dari lembaga donor internasional GF-ATM atau Global Fund-Aids Tubercolocis Malaria. Dengan adanya suplai kondom ini diharapkan pihak LSM tidak lagi kesulitan dalam menyediakan kondom bagi kelompok sasaran mereka masing-masing sehingga hal ini dapat menekan angka penularan HIVAIDS di Surakarta. commit to user e Bersama-sama mengadakan mobile clinic sebagai upaya pendekatan untuk para korban HIVAIDS yang tidak atau belum bersedia periksa secara langsung ke klinik IMS ataupun VCT. Program mobile clinic ini bekerjasama juga dengan pihak Dinas Kesehatan Kota Surakarta yaitu dengan cara pihak KPA dengan pihak LSM mendatangi kelompok sasaran secara langsung. Hal ini seperti yang biasa dilakukan di daerah timur Terminal Tirtonadi dimana banyak terdapat WPS. Pihak LSM SpekHam bersama pihak KPA mengadakan pemeriksaan kesehatan untuk para WPS. Hal ini dilakukan dalam rangka mengoptimalkan penjangkauan terhadap kelompok sasaran, dalam contoh ini adalah para WPS. Dengan adanya mobile clinic ini diharapkan para kelompok sasaran tidak perlu lagi merasa canggung atau malu karena pemeriksaan dilakukan di wilayah tempat tinggal mereka sendiri, tidak harus pergi ke puskesmas atau rumah sakit. Hanya saja, program mobile clinic ini memiliki kekurangan yaitu alat yang tersedia dalam mobile clinic tidak terlalu lengkap. Sehingga pemeriksaan yang dilakukan hanya bisa sampai pada keluhan infeksi menular seksual dan jika telah dinyatakan positif terkena Aids maka harus periksa lebih lanjut ke klinik VCT yang hanya ada di rumah sakit. commit to user f Mengadakan diskusi publik tentang kebijakan-kebijakan yang telah berjalan selama ini sebagai upaya penanggulangan HIVAIDS di Kota Surakarta mengenai kelebihan dan kekurangannya. Pihak LSM memberikan masukan-masukan bagi pihak KPA untuk kemajuan kolaborasi ke depan. Diskusi publik ini dilaksanakan secara insidentil sesuai keperluan sehingga tidak ada waktu yang pasti dalam pelaksanaannya. Diskusi publik yang dilakukan mengenai kinerja kolaborasi yang telah berjalan tetapi sangat disayangkan diskusi ini tidak membawa dampak berarti karena dari pihak KPA hanya sebatas menampung masukan-masukan dari pihak LSM karena dalam kenyataannya tidak ada perubahan yang berarti. g Setiap LSM memberikan laporan bulanan setiap tanggal 20 kepada KPA yang meliputi program yang dijalankan, orang-orang atau target yang berhasil dijangkau, laporan penggunaan kondom, laporan jumlah peer educator yang sudah berhasi ditraining dan laporan jumlah orang yang telah diantar periksa ke klinik IMS maupun VCT. Laporan bulanan ini merupakan hal yang wajib disampaikan oleh pihak LSM kepada pihak KPA. Setiap laporan yang telah diterima KPA selanjutnya akan direkap untuk dilaporkan kepada walikota sebagai ketua umum KPA. Namun beberapa LSM mengaku kecewa dengan adanya pelaporan rutin ke commit to user KPA ini karena pihak LSM-LSM inilah yang bekerja mencari dan mengumpulkan data, menjangkau para kelompok sasaran sampai di lapisan masyarakat terendah sedangkan pihak KPA hanya duduk manis menunggu datangnya laporan, tinggal merekapnya dan dilaporkan kepada walikota. Hal ini sesuai yang dikatakan Rudi Tri Cahyono sebagai psikolog divisi program Yayasan Kakak : “Meskipun KPA juga masih memiliki beberapa kelemahan ya, maksudnya mungkin selama ini KPA terlalu banyak tergantung dari teman-teman NGO. Karena kita yang merasakan, mereka hanya tinggal njaluk datamu, beres. Yang pontang-panting di lapangan kan kita. Jadi secara apa, mungkin peringatan juga bagi KPA harus berani lebih terjun kebawah lagi bukan hanya sekedar sosialisasi yang terjadi selama ini. Akhirnya nanti yang dapat nama kan KPA juga. “ Berdasarkan analisa diatas, dapat dilihat bahwa memang selama ini telah terjadi kolaborasi antara pihak KPA dengan LSM- LSM peduli Aids, hanya saja sesuai beberapa pendapat dari pihak LSM kolaborasi yang berjalan selama ini masih jauh dari harapan mereka. Efektifitas kolaborasi masih sangat kurang karena pihak LSM menilai pembagian peran kurang merata antara KPA dengan LSM bahwa pihak LSM lah yang bekerja keras mulai dari mencari dan mengumpulkan data di lapangan sampai dengan membujuk dan mengajak kelompok sasaran untuk mau periksa ke klinik IMS dan klinik VCT sedangkan pihak KPA tinggal menunggu data masuk ke kantor KPA. commit to user 3 Analisis Ukuran Keberhasilan Kolaborasi Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang efektifitas kolaborasi antara KPA dengan semua LSM peduli Aids maka perlu dikroscek dengan sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan collaborative governance. Faktor-faktor yang dipakai dalam menganalisa efektifitas kolaborasi antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids berasal dari teori DeSeve 2007 yang meliputi : a Networked Structure Dalam prinsip networked structure, jaringan tidak boleh membentuk hirarki karena justru tidak akan efektif, dan struktur jaringan harus bersifat organis dengan struktur organisasi yang se- flat mungkin, yakni tidak ada hirarki kekuasaan, dominasi dan monopoli; semuanya setara baik dalam hal kewajiban, tanggung jawab, otoritas dan kesempatan untuk aksesibilitas. Dalam realita kolaborasi yang berjalan selama ini antara KPA dengan semua LSM peduli Aids, ditemui masih terdapat hirarki kekuasaan dimana pihak KPA merupakan koordinator dari upaya penanggulangan HIVAIDS di Surakarta dan LSM sebagai penjangkau lapangan yang berinteraksi secara langsung dengan kelompok sasaran, yang terjadi selama ini pihak KPA dinilai oleh pihak LSM terlalu santai karena KPA bergantung pada pihak LSM yang mendapat bantuan dana dari lembaga donor. Selain itu, pada susunan keanggotaan Komisi Penanggulangan Aids terdapat ketua, commit to user wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris sampai anggota dimana dari hal ini dapat terlihat adanya hirarki kekuasaan dalam hal kewajiban, tanggung jawab dan otoritas dalam mengambil bagian penanggulangan Aids di Surakarta. Berdasar hasil wawancara dengan pihak KPA, yang terjadi selama ini hanya kolaborasi dengan LSM sajalah yang dapat terus berjalan sekalipun juga belum maksimal sedangkan kolaborasi dengan SKPD dan institusi lain yang terlibat hanya sebatas rapat koordinasi. Dari semua SKPD yang ada di pemerintahan Surakarta, masih sangat sedikit yang sudah benar-benar memiliki program penanggulangan Aids. Hal ini dikarenakan masih terbatasnya dana APBD yang dimiliki pemerintah kota Surakarta untuk membiayai seluruh program dan kegiatan penanggulangan Aids. Akibat dari keterbatasan dana ini adalah SKPD-SKPD yang sebenarnya merupakan anggota KPA dan memiliki kewajiban untuk mendukung upaya penanggulangan Aids menjadi pasif dan kurang memiliki tanggung jawab sehingga seolah-olah upaya penanggulangan ini menjadi tanggung jawab KPA dengan LSM- LSM peduli Aids semata. b Commitment to a common purpose Commitment to common purpose mengacu pada alasan mengapa sebuah jaringan harus ada. Alasan mengapa sebuah network harus commit to user ada adalah karena perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuan- tujuan positif. Berdasarkan kerjasama yang telah terjalin selama ini antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids, dapat dilihat bahwa telah ada alasan dan tujuan yang sama antara KPA dengan semua LSM peduli Aids dalam melakukan kolaborasi yaitu semakin tingginya angka HIVAIDS di Surakarta sehingga dibutuhkan kerjasama yang menyeluruh antara semua pihak yang terkait dan dianggap mampu untuk menanggulangi permasalahan HIVAIDS di Surakarta. Tujuan dari kerjasama ini adalah terjadinya penurunan angka penularan HIVAIDS di Surakarta. Tetapi yang perlu juga diperhatikan adalah yang terjadi selama ini komitmen dari masing- masing institusi dalam upaya penurunan angka HIVAIDS di Kota Surakarta belum mencapai visi dan misi yang bulat. Hal ini dapat dilihat dari komitmen LSM-LSM peduli Aids yang ada di Kota Surakarta yang tidak selalu tertuju untuk institusi pemerintah mengingat mereka lebih merasa bertanggung jawab pada lembaga donor yang selama ini telah membiayai semua aktivitasnya. Kurangnya komitmen pada tujuan-tujuan yang telah dicanangkan institusi pemerintah yang berkolaborasi untuk menurunkan angka HIVAIDS bisa dipandang sebagai perwujudan rendahnya efektivitas kolaborasi diantara KPA dengan LSM-LSM tersebut. commit to user c Trust among the participants Trust among the participants kepercayaan diantara para partisipan, didasarkan pada hubungan profesional atau sosial; keyakinan bahwa para partisipan mempercayakan pada informasi- informasi atau usaha-usaha dari stakeholders lainnya dalam suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Dalam sebuah kolaborasi sangat diperlukan kepercayaan diantara para partisipan, dan dalam kaitannya dengan kolaborasi KPA dengan pihak LSM berarti harus ada kepercayaan dari KPA bahwa informasi atau data yang disediakan LSM akurat, dan sejauh ini KPA terus mempercayai semua data LSM yang masuk ke KPA. Hal ini dapat diperkuat dengan penyampaian data-data LSM tersebut dalam laporan bulanan KPA kepada Walikota Surakarta. Selain itu, diperlukan juga kepercayaan dari pihak kelompok sasaran untuk mau masuk dan mengikuti setiap program yang dilaksanakan oleh KPA dan semua LSM peduli Aids. Menurut data dari KPA, estimasi nasional kasus HIVAIDS untuk kota Surakarta sebanyak 860 orang yang dideteksi terinveksi HIVAIDS. Sampai bulan Maret 2010, baru 365 orang yang berhasil dijaring. Ini berarti belum ada 50, atau baru sekitar 40. Berdasarkan kenyataan ini, berarti kepercayaan kelompok sasaran belum maksimal, masih banyak orang terdeteksi HIVAIDS yang harus periksa ke klinik IMS maupun klinik VCT. Maka dari itu, commit to user perlu kerjasama yang lebih intensif untuk menjangkau mereka agar bisa ditangani dengan jauh lebih baik. d Governance Governance yaitu termasuk: a. ada batas-batas siapa yang boleh terlibat dan siapa yang tidak boleh terlibat, b. aturan yang menegaskan sejumlah pembatasan perilaku anggota komunitas tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan hal-hal apa yang tidak seharusnya dilakukan, c. kebebasan menentukan bagaimana kolaborasi dijalankan, dan d. network management yang berkenaan dengan resolusi penolakantantangan, alokasi sumber daya, kontrol kualitas dan pemeliharaan organisasi. Konsep governance dalam kolaborasi KPA untuk menanggulangi HIVAIDS di Surakarta belum dapat diimplementasikan secara maksimal. Hal ini dikarenakan sikap saling percaya yang masih rendah antara KPA dengan LSM, dimana pihak LSM merasa bahwa KPA terkesan terlalu santai dalam mengkoordinir proses penanggulangan HIVAIDS dan membebankan semua pekerjaan penjangkauan kelompok sasaran kepada pihak LSM sehingga tidak ada rasa saling percaya untuk bersama-sama terjun sampai masyarakat tingkat bawah. Dalam penetapan siapa yang boleh dan tidak boleh terlibat memang sudah ada susunan yang jelas yang telah tertera pada keputusan walikota Surakarta nomor 443.2.0528-A12010 commit to user sehingga sudah ada batas-batas yang jelas pihak-pihak yang terlibat dalam upaya penanggulangan HIVAIDS di Surakarta. Di samping itu, juga sudah ada aturan main yang jelas dan kesepakatan bagaimana kolaborasi akan dijalankan tetapi hal ini hanya sebatas kesepakatan tertulis saja dimana dalam prakteknya di lapangan masih jauh dari harapan. Dalam network management, untuk menegaskan bahwa ciri sebuah kolaborasi yang efektif adalah jika kolaborasi itu didukung sepenuhnya oleh semua anggota network tanpa konflik dan pertentangan dalam pencapaian tujuan, ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang memenuhi persyaratan yang diperlukan dan ketersediaan sumber daya keuangan secara memadai dan berkesinambungan, terdapat penilaian kinerja terhadap masing-masing angota yang berkolaborasi, dan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing anggota untuk tetap adaptif dan berjalan secara berkesinambungan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing tanpa mengganggu kolaborasi itu sendiri. Maka berdasar hal tersebut diatas, kolaborasi yang berjalan selama ini antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids masih memiliki banyak kelemahan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya konlik dan pertentangan terkait dengan kurang aktifnya pelaku-pelaku kolaborasi yang lain yang mengakibatkan beban penanganan HIVAIDS seolah-olah menjadi milik KPA dengan commit to user pihak LSM semata. Dalam hal sumber daya manusiapun, masih dibutuhkan banyak tenaga penjangkau lapangan yang professional demi penanganan yang lebih baik, dalam hal sumber daya keuangan tampaknya merupakan masalah paling serius yang dihadapi dalam kolaborasi ini dimana pihak LSM sangat bergantung dengan lembaga donor luar negeri sedangkan tidak dapat ditentukan dengan pasti kapan dana itu akan terus diberikan kepada mereka. Sudah seharusnya pihak KPA sebagai institusi pemerintah segera mengambil alih semua pengeluaran dana penanganan HIVAIDS di seluruh LSM yang terlibat padahal kenyataannya dana APBD Kota Surakarta sangat kecil dan tidak mencukupi untuk melakukan hal tersebut. Sehingga yang terjadi selama ini pihak LSM lebih berfokus pada kepentingan dan eksistensi mereka sendiri dibanding menjalankan kolaborasi dengan visi dan misi yang sama dengan pihak KPA. e Access to authority Access to authority akses terhadap otoritas, yakni tersedianya standar-standar ketentuan prosedur yang jelas yang diterima secara luas. Bagi kebanyakan network, network-network tersebut harus memberi kesan kepada salah satu anggota network untuk memberikan otoritas guna mengimplementasikan keputusan- keputusan atau menjalankan pekerjaaanya. commit to user Kolaborasi KPA dengan semua LSM peduli Aids memang sudah jelas mengatur standar-standar ketentuan prosedur bahwa KPA berfungsi sebagai pihak koordinator yang akan mengatur semua program pemerintah Surakarta untuk penanggulangan HIVAIDS sedangkan pihak LSM berfungsi sebagai pihak penjangkau kelompok sasaran yang akan melaporkan pada KPA secara rutin dan membawa target masuk dalam pemeriksaan di klinik IMS dan klinik VCT. f Distributive accountabilityresponsibility Pembagian akuntabilitasresponsibilitas yakni berbagi governance penataan, pengelolaan, manajemen secara bersama-sama dengan stakeholders lainnya dan berbagi sejumlah pembuatan keputusan kepada seluruh anggota jaringan; dan dengan demikian berbagi tanggungjawab untuk mencapai hasil yang diinginkan. Jika para anggota tidak terlibat dalam menentukan tujuan network dan tidak berkeinginan membawa sumber daya dan otoritas ke dalam network, maka kemungkinan network itu akan gagal mencapai tujuan. Kolaborasi yang dijalankan selama ini telah berbagi tanggung jawab untuk mencapai hasil yang diinginkan yaitu penurunan angka penularan HIVAIDS di Surakarta, dimana pihak KPA sebagai pihak koordinator yang akan mengatur semua program pemerintah Surakarta untuk penanggulangan HIVAIDS commit to user sedangkan pihak LSM berfungsi sebagai pihak penjangkau kelompok sasaran yang akan melaporkan pada KPA secara rutin dan membawa target masuk dalam pemeriksaan di klinik IMS dan klinik VCT. Hanya saja, pihak LSM merasa terlalu terbebani dengan peran ini karena tidak dibantu secara maksimal oleh SKPD atau institusi lain yang sebenarnya terkait dan menjadi anggota KPA. Seharusnya, pihak KPA lebih tegas sebagai koordinator untuk membawa masuk seluruh anggotanya sehingga tugas dan kewajiban dalam penanganan HIVAIDS dapat jauh lebih merata dan semua anggota KPA sama-sama memiliki tanggung jawab sesuai dengan porsi dan lingkup fokus mereka masing-masing. g Information sharing Information sharing berbagi informasi yakni kemudahan akses bagi para anggota, perlindungan privacy kerahasiaan identitas pribadi seseorang, dan keterbatasan akses bagi yang bukan anggota sepanjang bisa diterima semua pihak. Kemudahan akses ini bisa mencapai sistem, software dan prosedur yang mudah dan aman untuk mengakses informasi. Selama ini information sharing sudah dijalankan yaitu melalui kerahasiaan klien HIVAIDS yang dijaga dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan pihak KPA, Drs. Prawoto Mujiyono selaku pengelola program KPA Surakarta : “Jadi gini, kita kembali berpulang pada asas konfidensial kerahasiaan klien dimana yang tahu tentang keadaan korban commit to user hanyalah korban itu sendiri dan konselor. Pihak KPA tidak tahu namanya, hanya disebut anonim. Jika didapati sudah positif terkena HIVAIDS maka akan ada manajer kasus yang selalu memantau keadaan kliennya termasuk kapan harus minum obat, kapan harus tes CD4 tes kekebalan tubuh dan segala macam. Tetapi tidak bisa dipaksakan mau berobat atau tidak, semua tergantung pada klien itu sendiri.” Selain itu, selama ini sharing informasi antara KPA dengan LSM sudah terjadi. LSM-LSM peduli Aids selalu menyampaikan informasi maupun data terkait dengan jangkauan lapangan yang berhasil mereka dapat, dimana data itu diolah oleh KPA kemudian diteruskan pada Walikota Surakarta sebagai laporan bulanan. Dari pihak KPA, selama ini juga selalu terbuka memberikan informasi tentang program-program atau training-training yang akan diselenggarakan oleh KPA dalam upaya penanganan HIVAIDS di Kota Surakarta. h Access to resources. Access to resources akses sumber daya, yakni ketersediaan sumber keuangan, teknis, manusia dan sumber daya lainnya yang diperlukan untuk mencapai tujuan network. Jika mungkin, maka pemerintah perlu menyediakan sumber daya keuangan dan atau sumber daya lainnya atau melalui kerjasama dengan lembaga- lembaga keuangan atau swasta lainnya untuk berinvestasi. Dalam penyediaan sumber daya, memang pihak KPA sudah mengupayakan semaksimal mungkin. Misalnya adanya trainer untuk pelatihan advokasi, monitoring dan evaluasi. Tetapi yang menjadi kendala terbesar adalah minimnya dana yang dimiliki commit to user pemerintah kota Surakarta dalam penanggulangan HIVAIDS. Menurut Moh Slamet Raharjo selaku manajer program Yayasan Gessang, dana yang dimiliki KPA masih sangat jauh dari cukup untuk dapat melaksanakan semua program penanggulangan HIVAIDS secara maksimal, seperti pernyataan berikut ini : “Ga ada kerjasama tertulis, ya karena jelas KPA sangat terbantu dengan adanya LSM, ga mungkin mereka sendiri yang turun ke lapangan sampai memberikan kondom, memberikan informasi HIVAIDS, mengantar orang ke klinik, itu yang dilakukan LSM. Padahal mereka ga support dana. Kalo dana LSM kan dari penyandang dana luar negeri seperti FHI, GF-ATM. Bayangkan, di Solo itu satu tahun dana APBD untuk HIV itu cuma 75 juta. Kalo Gessang satu tahun 1 miliar, kalo kita bekerja di beberapa kabupatenkota, kalo Solo ya sekitar 200 juta lah khusus untuk penanganan HIVAIDS orang Solo. Kan sangat jauh ketimpangannya.” 4 Tantangan Kolaborasi KPA dengan LSM-LSM Peduli Aids Berdasarkan semua uraian diatas, jelas terlihat bahwa pemerintah berusaha profesional dalam menangani kasus HIVAIDS di Surakarta melalui adanya Komisi Penanggulangan Aids Surakarta yang bekerjasama dengan banyak sekali pihak, dimana salah satunya adalah pihak LSM- LSM peduli Aids yang ada di Surakarta. Kolaborasi yang telah berjalan selama ini sudah cukup baik dengan adanya pembagian tugas dan tanggungjawab masing-masing pihak agar penanggulangan HIVAIDS dapat tertangani dengan lebih baik dan efektif. Namun dalam kenyataannya di lapangan, masih terdapat beberapa kekurangan dan kelemahan dalam kolaborasi yang berjalan selama ini. Pihak yang paling berperan aktif adalah LSM yang menjangkau kelompok sasaran sampai di commit to user tingkat paling bawah, sedangkan pihak SKPD dan institusi yang lain bersikap pasif dan menganggap itu bukan merupakan bagian dari tanggungjawab mereka sekalipun mereka masuk dalam daftar anggota KPA Surakarta. Pihak KPA pun sebagai lembaga koordinator tidak memberi ketegasan sikap terhadap masalah ini. Dari hal ini, yang menjadi kekhawatiran adalah pihak LSM tidak lagi responsif terhadap KPA dan tidak mau lagi terlibat masuk dalam jaringan peduli Aids Surakarta. Hal ini dikarenakan pihak LSM yang merasa dibebani terlalu besar sedangkan pemerintah tidak peduli dengan keberlangsungan LSM jika suatu saat tidak lagi didanai oleh lembaga donor luar negeri, seperti yang diungkapkan oleh Moh Slamet Raharjo, manajer program Yayasan Gessang : “Kesannya KPA dan Dinkes terlalu santai karena mereka bergantung dengan LSM-LSM yang mendapat bantuan lembaga donor luar negeri, seperti Global fund, FHI, HCPI itu mereka memberikan bantuan yang jumlahnya miliaran pada LSM sehingga APBD sangat minim sekali. Jadi yang bergerak di lapangan itu LSM-LSM. Mbok ya sekarang mulai dipikirkan bagaimana kalau suatu saat LSM itu tidak mendapat bantuan dari negara asing, apa yang terjadi, diharapkan kalau tidak ada lembaga donor ya pemerintah yang membiayai LSM. Sekarang bukti masyarakat tidak peduli pada HIV bisa dilihat dari budget yang ada, cuma 75 juta setahun dan dana itu di dinas kesehatan. Kalau di LSM itu setahun bisa ratusan juta untuk satu LSM pemerintah kog cuma segitu, kesannya itu kog kurang perhatiannya, apa yang terjadi ketika LSM ini tidak ada? Saya rasa sekarang ya KPA dan dinkes sudah harus mulai memikirkan keberlangsungan program HIVAIDS kalau founding tidak mendanai LSM-LSM itu. Terus terang LSM ini sangat tergantung pada lembaga donor, LSM ini tidak bisa bekerja dengan biaya sendiri sedangkan pemerintah tidak bisa diharapkan untuk bisa memberikan bantuan pada LSM. Misalnya dinas kesehatan, dana segitu hanya untuk survei, penyuluhan pelajar-pelajar, penyuluhan HIVAIDS, apa waktu peringatan 1 desember pada peringatan hari HIVAIDS, tidak ada dana yang diberikan pada LSM untuk menjalankan program itu ga ada. Jadi masih belum begitu mengena program KPA karena mereka mungkin merasa commit to user LSM punya program yang bagus dan punya dana. Jadi mereka terlena dengan LSM yang sudah bekerja dan mendapat dana dari asing. Mudah- mudahan saja lembaga donor dari asing masih membiayai LSM, tapi entah sampai kapan.” Ungkapan senada juga dikatakan oleh Ligik Triyogo selaku manajer program LSM Mitra Alam : “Tapi ada faktor pembatas kolaborasi itu yaitu ketika misalkan kita itu tidak lagi didanai donor, maka selesailah kolaborasi. Sedangkan pemerintah tergantung sekali pada LSM sedangkan LSM tergantung dengan lembaga donor. Katakanlah nanti kita sampai desember besok gak diperpanjang, habis. Padahal pemerintah punya layanan tapi gak ada yang mendorong kesana, gak laku. Nanti puskesmasnya sepi, VCTnya sepi dan masalah yang besar yang akan timbul adalah penyebaran virus HIVAIDS yang terus meluas dan tidak bisa tertangani.” Berdasarkan hal ini, maka kekhawatiran terbesar adalah keberlangsungan kolaborasi KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yang akan sulit berjalan dengan optimal jika pemerintah tidak segera turun tangan terkait dengan besarnya dana yang dibutuhkan untuk program penaggulangan HIVAIDS di Surakarta karena tidak bisa selamanya LSM akan menggantungkan hidup pada kebaikan lembaga donor internasional. commit to user 94

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kualitas dan efektivitas kolaborasi yang dilakukan KPA dengan LSM-LSM peduli Aids di Surakarta sangatlah bervariasi. Berdasarkan analisa delapan faktor pengukur keberhasilan kolaborasi dalam governance oleh DeSeve, peneliti menyimpulkan sebagai berikut : 1. Faktor networked structure, masih terdapat hirarki kekuasaan yang mana hal ini ditunjukkan dengan KPA sebagai lembaga koordinator dan LSM-LSM peduli Aids sebagai penjangkau kelompok sasaran. Selama ini yang terjadi adalah pihak LSM yang terjun sampai tingkat bawah sedangkan KPA tinggal menerima laporan bulanan dari masing-masing LSM tentang hasil jangkauan terhadap kelompok sasaran. Berdasar hal ini, pihak LSM mengeluhkan beban tanggung jawab yang harus mereka kerjakan. 2. Faktor commitment to a common purpose, sudah ada kesepakatan dan tujuan yang sama antara KPA dengan LSM-LSM peduli Aids yaitu semakin tingginya angka HIVAIDS di Surakarta sehingga diperlukan kerjasama yang menyeluruh untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Tujuan kerjasama ini adalah penurunan angka HIVAIDS di Surakarta. Tetapi pada kenyataannya, visi dan misi ini belum bulat. Hal ini dibuktikan dengan pihak LSM yang lebih bertanggung jawab