Hipotesis Model Pasar Input dan Pasar Output Kayu

2. Skenario Penerapan DR Dana Reboisasi dikenakan atas produksi kayu bulat dari hutan alam. Dalam simulasi ini akan dilakukan skenario kebijakan DR sesuai ketentuan berlaku, menghapus DR, menaikan DR 20 persen dan 25 persen dari kondisi saat ini. Kombinasi skenario simulasi kebijakan penerapan PSDH dan DR meliputi 9 skenario, yaitu 1 menghapus PSDH dan Penerapan DR aktual, 2 penerapan PSDH altual dan menghapus DR, 3 Menghapus PSDH dan DR, 4 penerapan PSDH 20 persen dan DR aktual, 5 penerapan PSDH aktual dan DR 20 persen, 6 penerapan PSDH 20 persen dan DR 20 persen, 7 penerapan PSDH 25 persen dam DR altual, 8 penerapan PSDH aktual dan DR 24 persen, 9 penerapan PSDH 25 persen dan DR 25 persen. Prosedur simulasi perhitungan kesejahteraan dilakukan dengan model parsial equilibrium, nonlinear program optimalization menggunakan SOLVER yang disediakan program EXCEL. Kajian penerapan skenario kebijakan PSDH dan DR pada penelitian ini dilakukan melalui simulasi penerapan 9 skenario kebijakan. Untuk melihat bagaimana pengaruh simulasi, maka dibandingkan dengan dampak dari penerpaan kebijakan PSDH dan DR pada saat ini. Perhitungan untuk mendapatkan kesejahteraan dihitung berdasarkan turunan rumus Marshalian, yaitu : ΔPS = [11+s] [P 1 S 1 -P S ] …………………………………………... 25 dimana: ΔPS = Perubahan surplus produsen s = Elastisitas penawaran terhadap harga P = Harga awal P 1 = Harga baru setelah penerapan kebijakan S = Kuantitas penawaran awal S 1 = Kuantitas penawaran baru setelah penerapan kebijakan ΔCS = [11+d] [P 1 D 1 -P D ] ………………………………………… 26 dimana: ΔCS = Perubahan surplus konsumen. d = elastisitas permintaan terhadap harga P = Harga awal P 1 = Harga baru setelah penerapan kebijakan D = Kuantitas permintaan awal D 1 = Kuantitas permintaan baru setelah penerapan kebijakan

3.5. Sumber dan Jenis Data

Data utama penelitian menggunakan data sekunder time series tahun 1995 sampai tahun 2009, dari statistik Kehutanan Indonesia, Badan Pusat Statistik dan laporan Food Association Organization FAO. Data selengkapnya yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 1.

IV. GAMBARAN UMUM

4.1. Produksi Kayu Bulat

Produksi kayu bulat Indonesia saat ini jumlahnya terus menurun. Pada tahun 2009 produksi kayu bulat dari hutan alam hanya mencapai rata-rata sekitar 5 juta m 3 per tahun. Produksi kayu bulat dari hutan alam pernah mencapai lebih dari 20 juta m 3 sebelum tahun 1998 dan lebih dari 10 juta m 3 pada periode tahun 1997- 2000. Pada masa lalu, satu perusahaan Hak Pengusahaan Hutan HPH bisa memiliki luas wilayah kelola ratusan ribu Ha, namun pada saat ini ada perusahaan yang yang hanya memiliki luas 10 000 Ha sampai 20 000 Ha saja. Sumber: Departemen Kehutanan, 2006a dan Departemen Kehutanan, 2007; Kementerian Kehutanan, 2011 Gambar 4. Produksi Kayu Bulat HPH Produksi kayu bulat sebagian besar berasal dari hutan produksi yang dikelola oleh perusahaan melalui sistem Hak Pengusaha Hutan HPH dan Hak Tahun Pengusaha Hutan Tanaman Industri HPHTI. Selain berasal dari HPH dan HPHTI, kayu bulat juga berasal dari hasil land clearing konversi hutan, produksi perum perhutani dan hutan rakyat. Saat ini produksi kayu bulat yang bersumber dari HTI menunjukan peningkatan dibanding kayu bulat dari sumber lainnya. Kayu bulat yang berasal dari HTI umumnya digunakan sebagai bahan baku untuk kebutuhan industri pengolahan pulp. Perkembangan produksi kayu bulat yang berasal dari selain HPH dapat dilihat pada Gambar 5. Sumber: Departemen Kehutanan, 2006a dan Departemen Kehutanan, 2007; Kementerian Kehutanan, 2011 Gambar 5. Produksi Kayu Bulat Non HPH Pada tahun 2005 produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam, hutan tanaman industri, izin sah lainnya, dan yang berasal dari areal konversi berjumlah 24.19 juta m 3 , dimana produksi dari HPH memberikan kontribusi sebesar 5.69 juta m 3 , HTI sebesar 12.82 juta m 3 , Perum Perhutani 0.76 juta m 3 , dan yang berasal dari konversiIPK sebesar 3.61 juta m 3 , serta dari Izin Sah Lainnya sebesar 1.31 juta m 3 . Produksi kayu bulat yang berasal daru HTI mulai menunjukan kenaikan setelah tahun 2003. Untuk kegiatan IPK juga masih cukup besar Juta m3 Tahun menghasilkan produk kayu pada tahun 2009 dan tahun 2010. Berdasarkan data FAO, produksi rata-rata kayu bulat Indonesia dalam rentang tahun 1975 sampai tahun 2009 berjumlah 34 juta m 3 FAO, 2011. Sebagai penyedia kayu bulat untuk kebutuhan industri pengolahan berbasis kayu, kualitas hutan menjadi faktor kunci penentu penyediaan kayu bulat. Luas penutupan hutan forest cover Indonesia mencapai sekitar 133.6 juta Ha atau sebesar 71 persen luas daratan Indonesia, dimana 60.9 juta Ha merupakan hutan alam produksi, terdiri dari hutan alam produksi primer sebesar 14.8 juta Ha 24.3 persen, hutan alam produksi sekunder 21.6 juta Ha 35.5 persen dan hutan tanaman seluas 2.4 juta Ha 3.9 persen, dan wilayah bukan-hutan seluas 18.4 juta Ha 30.2 persen. Sampai Juni 2005, jumlah perusahaan pemilik izin HPHIUPHHK sebanyak 281 unit, mengelola hutan 27.1 juta Ha yang kemudian mengalami peningkatan menjadi 303 unit dengan luas wilayah kelola 28.1 juta Ha pada Agustus 2006. Namun dari jumlah itu, yang aktif hanya sekitar 149 unit dengan luas 14.6 juta Ha. Adapun jumlah HPH IUPHHK yang tidak aktif beroperasi sejumlah 154 unit dengan luas 17.3 juta ha. Produksi kayu bulat yang dihasilkan pada tahun 2006 berasal dari 16 provinsi, dimana produksi terbesar dihasilkan oleh Provinsi Kalimantan Timur, sebesar 3.9 juta m 3 , dengan komposisi dari HPH sebesar 1.9 juta m 3 , IPK sebesar 1.4 juta m3, HTI sebesar 535 305 m3. Daerah Penghasil terbesar kayu bulat dari HTI yaitu Provinsi Riau sebesar 6.7 juta m 3 . Jumlah HPHIUPHHK dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan, dimana pada tahun 2008 jumlah HPH yang aktif beroperasi sebanyak 308 unit, mengelola areal seluas 26.1 Ha, kemudian pada tahun 2009 menurun jumlahnya menjadi 304 unit, mencakup luas areal kelola 25.7 Ha. Jumlah HTI mengalami peningkatan menjadi 165 unit pada tahun 2008 dan 206 unit pada tahun 2009. Dari 45 perusahaan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu IUPHHK Hutan Tanaman Kayu Pulp, sebanyak 12 perusahaan berkontribusi 73 persen dari total produksi. Sementara, dari 166 perusahaan IUPHHK-Hutan Tanaman Kayu Perkakas, hanya 32 perusahaan dengan luas tanaman masing-masing sekitar 9 000 Ha, berkontribusi sekitar 61 persen dari total produksi. Produksi kayu perkakas yang berasal dari hutan tanaman yang dikelola Perum Perhutani menurun sangat tajam pada periode 1994-2005, dari produksi sebesar 1.87 juta m 3 pada tahun 1994 menjadi 0.76 juta m 3 pada tahun 2005.

4.2. Industri Pengolahan Berbasis Kayu

Ekspor hasil hutan terbesar tahun 2006 adalah kayu lapis yang mencapai nilai US 1.5 milyar, dan kemudian disusul oleh ekspor pulp, sebesar US 1.1 milyar. Selain melakukan kegiatan ekspor hasil industri pengolahan kayu, Indonesia juga melakukan impor kayu bulat, dan impor terbesar mencapai sekitar US 542 juta. Pemerintah Indonesia sangat mendorong peningkatan pertumbuhan industri perkayuan. Data mengenai hasil industri perkayuan, menyebutkan bahwa produksi kayu gergaji sawn timber meningkat dari 4.8 juta m 3 pada tahun 1980 menjadi 7.1 juta m 3 pada tahun 1985. Hasil produksi kayu gergaji terbesar yaitu sejumlah 10.4 juta m 3 pada tahun 1989 dan kemudian produksi kayu gergaji menurun kembali menjadi 4.3 juta m 3 pada tahun 2005. Pada tahun 2008 produksi kayu gergaji 0.53 juta m 3 , dan pada tahun 2009 produksi kayu gergaji sebesar 0.71 juta m 3 , yang berasal dari IPHHK dengan kapasitas di atas 6 000 m 3 per tahun Kementerian Kehutanan, 2010. Hampir 90 anggota Indonesia Sawmill and Woodworking Association ISWA merupakan perusahaan Usaha Kecil Menengah UKM dan tidak mempunyai HPH. Jumlah perusahaan yang terdaftar di BRIK dan berorientasi ekspor saat ini berkisar 1 600 perusahaan, namun yang aktif dari tahun ke tahun menurun, dimana pada tahun 2006 hanya berjumlah 602 perusahaan. Total ekspor tahun 2006 berjumlah 2.3 juta m 3 dengan nilai US 1.29 milyar. Angka ini hampir sama dengana ekspor total tahun 2005 berjumlah 2.4 juta m 3 dengan nilai US 1,27 milyar. Negara tujuan utama ekspor woodworking adalah Jepang disusul China Kementerian Kehutanan, 2007. Produksi kayu lapis dan vinir juga mengalami peningkatan dari 1 juta m 3 pada tahun 1980 menjadi 8.3 juta m 3 pada tahun 1990. Puncaknya mencapai produksi sebesar 9.7 juta m 3 pada tahun 1997 yang kemudian turun menjadi hanya sebesar 4.7 juta m 3 pada tahun 2005. Asosiasi Panel Kayu Indonesia APKINDO mencatat bahwa jumlah anggotanya per 6 Oktober 2006 adalah 130 perusahaan, namun yang aktif hanya berjumlah 68 perusahaan dengan kapasitas produksi 6.1 juta m 3 tahun dimana hanya 19 unit yang berproduksi normal 1.54 juta m 3 tahun. Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan 2010, total ekspor kayu lapis tahun 2009 berjumlah 1.5 juta ton atau setara dengan 2.4 juta m 3 dengan nilai US 1.31 milyar. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan total ekspor pada tahun 2005, yaitu sebesar 2.2 juta ton atau setara dengan 3.4 juta m 3 dengan nilai US 1.37 milyar. Negara tujuan utama ekspor kayu lapis adalah Jepang, Amerika Serikat dan Inggris. Produksi pulp meningkat dari sekitar 0.5 juta ton pada tahun 1989 menjadi 3.1 juta ton pada tahun 1997, dan menjadi 5.4 juta ton pada tahun 2005 APKI, 2005. Total produksi hasil hutan lainnya yaitu woodworking, blockboard, particleboard dan chips berkisar antara 0.1 juta m 3 sampai 2.3 juta m 3 selama rentang tahun 1983-2005 Departemen Kehutanan, 2006b. Produksi pulp tahun 2009 mencapai 4.6 juta ton Kementerian Kehutanan, 2010. Data selengkapnya dari perkembangan industri pulp dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Simangunsong, at al. 2007 dalam Road Map Revitalisasi Kehutanan Indonesia, terdapat 10 pabrik pulp dan kertas yang terintegrasi dan 3 pabrik pulp tidak terintegrasi dengan total kapasitas terpasang 6.4 juta Adt air- dried ton pada tahun 2005, dan 86 persen dari kapasitas terpasang tersebut berlokasi di Sumatera. Sementara itu, 53 persen dari pabrik pulp dan kertas merupakan perusahaan swasta PMA Private Company Foreign Investments. Sumber: Food Agriculture Organization, 2011 Gambar 6. Perkembangan Industri Pulp Indonesia Periode Tahun 2000-2009 Tahun Total produksi pulp Indonesia pada tahun 2005 mencapai 5.4 juta Adt dengan jumlah ekspor sebesar 2.5 Adt. Sementara, jumlah impor pulp pada tahun tersebut adalah 0.89 juta Adt. Pada tahun 2005 tersebut, Indonesia merupakan negara produsen pulp nomor 9 dan produsen kertas nomor 12 di dunia. Selama periode tahun 2000-2005, kapasitas terpasang industri pulp meningkat dari 5.2 juta Adt pada tahun 2000 menjadi 6.4 juta Adt pada tahun 2005. Peningkatan kapasitas terpasang juga diiringi dengan peningkatan pemanfaatan kapasitas tersebut installed capacity utilization rate sebesar 6.6 persen, sehingga produksi pulp meningkat tajam pada periode tersebut, sebesar 33.8 persen. Lebih lanjut, meskipun konsumsi pulp meningkat dengan laju pertumbuhan yang rendah 7.7 persen namun karena impor juga meningkat sebesar 15.8 persen, maka ekspor pada tahun 2005 sebesar hampir dua kali lipat daripada ekspor tahun 2000. Pada periode tahun 2000 sampai tahun 2005 kapasitas terpasang industri pulp yang beroperasi di Indonesia sekitar 80 persen. Pada tahun 2005 kapasitas terpasang kemudian meningkat menjadi 84.8 persen. Pada tahun 2009 ekspor pulp dari Indonesia mencapai angkat 2.4 juta ton dengan nilai sebesar US 0.9 Milyar. Negara importir utama pulp Indonesia adalah China sebanyak 44 persen, diikuti Republic of Korea sebanyak 24 persen, Perancis sebanyak 7 persen, Italy sebanyak 6 persen, serta Jepang sebanyak 6 persen. Pada periode 1996-2003, sebanyak 73 persen dari pertumbuhan kapasitas industri pulp dunia merupakan kontribusi dari tiga negara, yaitu Brazil, Indonesia, dan China, meskipun kapasitas industri pulp dari tiga negara tersebut hanya 10 persen dari total kapasitas.

4.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi

Sejak awal tahun 1970-an, Hak pengusahaan hutan HPH merupakan penopang utama yang digunakan untuk memproduksi kayu bulat guna pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu bulat bagi industri berbasis kayu. Sejak saat itu, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970, perusahaan diberikan kewenangan untuk mengelola hak selama 20 tahun dan hak ini dapat diperbaharui kembali berdasarkan konsep hak pengusahaan utilization right Seve, 1999; Gautam, et.al, 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang merevisi ketentuan pemohon HPH yang selama ini banyak dikelola oleh perusahaan asing. Dengan konsep ini maka perusahaan diminta untuk mengelola areal pengelolaannya berdasarkan rencana jangka panjang Rencana Karya Pengusahaan HutanRKPH selama 20 tahun, rencana jangka menengah Rencana Karya Lima TahunRKL selama 5 tahun dan rencana jangka pendek Rencana TahunanRKT. Sistem pengelolaan hutan silvikultur pengelolaan hutan atau dikenal dengan nama Tebang Pilih Tanam TPTI, diperkenalkan sejak tahun 1989, dan menjadi dasar didalam pelaksanaan penebangan kayu dari hutan alam produksi. Atas dasar ini, maka perusahaan menggunakan rotasi penebangan selama 35 tahun, dengan melakukan penebangan pohon yang berdiameter setinggi dada diameter breath height lebih dari 50 cm. Sistem TPTI ini menggantikan sistem penebangan yang digunakan sebelumnya, Tebang Pilih Indonesia TPI. Sejak tahun 1985 dilakukan ekspansi industri pengolahan kayu, dan untuk menyediakan kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu di dalam negeri, pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat. Sejak saat itu pembangungan industri pengolahan kayu semakin meningkat. Surat Keputusan Tiga Menteri tanggal 8 Mei 1980 mengharuskan pemilik HPH untuk mengkaitkan diri dengan industri pengolahan kayu. Kondisi ini kemudian menciptakan perdagangan log secara internal dari pemilik HPH ke industri pengolahnya dalam satu kelompok group perusahaan. Kebijakan ini kemudian menyebabkan terjadinya penurunan ekspor kayu bulat secara bertahap dari tahun ke tahun hingga tahun terakhir PELITA III, sebesar 1.5 juta m3, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tidak diperbolehkan. Walaupun bisa bebas menjual kayu bulat ke perusahaan industri pengolah kayu, namun perusahaan HPH memprioritaskan kepada perusahaan industri kayu dalam satu perusahaan induk, dan apabila terdapat kelebihan produksi kayu bulat baru dijual ke perusahaan lainnya. Pada saat itu, walaupun tidak ada harga dunia untuk kayu bulat Indonesia, tetapi terdapat harga domistik yang belum sempurna Timotius, 2000. Untuk menghindari klaim internasional yang mengangap kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat dari Indonesia sebagai non-tariff barrier, pemerintah kemudian mencabut kebijakan tersebut pada tanggal 27 Mei 1992 dan menggantinya dengan menerapkan pajak ekspor yang tinggi prohibitive export tax sebesar USD 500 – USD 4 800 per m 3 kayu bulat, dan berlaku mulai Juni 1992 Simangunsong, 2004. Food Association Organization FAO dan Departemen Kehutanan melaporkan bahwa produksi hasil hutan utama Indonesia tahun 1980 adalah kayu bulat, diikuti kayu gergajian dan kayu lapis demikian pula dengan hasil hutan yang diekspor. Produksi kayu bulat menurun drastis pada tahun 1985, sementara produksi dan ekspor kayu gergajian dan kayu lapis meningkat sangat tajam pada tahun yang sama. Ekspor kayu lapis pada saat itu bahkan melebihi ekspor kayu gergajian. Sejak tahun 1985 Departemen Kehutanan tidak melaporkan data ekspor kayu bulat Simangunsong, 2004. Justianto 2005 menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, beberapa kebijakan pemerintah yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat, yaitu: 1. Pengurangan Jatah Produksi Tahunan dari Hutan Alam Soft landing; Kebijakan ini dilakukan dengan melakukan pengurangan Jatah Produksi Tahunan Annual Allowable CutAAC pada hutan alam secara bertahap, sampai pengurangannya sekitar 50 persen dari tebangan pada tahun 2002. Kebijakan ini mempunyai implikasi terhadap penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam dan mengurangi pasokan kayu bagi industri pengolahan kayu. Pengurangan AAC dimaksudkan agar industri pengolahan kayu dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi pengurangan pasokan bahan baku maka tidak mengakibatkan “shock landing” pada industri tersebut. 2. Pelarangan ekspor kayu bulat; Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah terhadap kayu bulat dengan terlebih dulu diolah melalui industri- industri pengolahan kayu domestik seperti industri kayu lapis, industri kayu gergajian, industri pulp dan industri kertas. Implikasi dari kebijakan ini adalah meningkatnya pasokan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu domestik. 3. Restrukturisasi sektor industri kehutanan; Restrukturisai industri kehutanan ditujukan untuk meningkatkan efesisensi dan efektifitas pengelolaan sumberdaya hutan yang meliputi restrukturisasi sub-sistem sumberdaya seperti