Iklim dan Topografi Deskripsi Tempat Penelitian

77 Dilahirkan menjadi anak laki-laki menurut kepercayaan budaya Lamaholot adalah anak yang siap menjadi penyambung tongkat estafet keluarga dan suku. Anak laki-laki menurut budaya Lamaholot, biasa disebut dengan julukan “ana suku” atau anak sukupewaris suku. Anak laki-laki menjadi anak yang dijaga, dilindungi, diperhatikan, diprioritaskan dan tidak tergantikan karena kelak ia akan berguna bagi keluarga dan sukunya. Seperti yang diungkapkan oleh orangtua, salah satu informan wawancara berikut : “Mengenai siapa yang lebih diperioritaskan dalam pendidikan tentunya anak laki-laki karena selain menjadi penopang kehidupan keluarga kelak, juga menjadi penyambung tongkat estafet suku, menjadi anak suku hanya diperuntukan kepada laki-laki oleh kerena itu laki-laki tet ap diutamakan”. SR, 16 Maret 2015 Hal yang sama disampaikan oleh orangtua, bahwa : “Jika disuruh memilih, anak laki-laki yang diutamakan dalam pendidikan karena ketika ia sudah bekerja ia akan berkontribusi kepada suku dan keluarga. Pendidikan anak lak-laki akan berdampak baik bagi suku, misalnya pada sumbangan material atau non material untuk perkem bangan suku”. RK, 14 Maret 2015 Hal ini juga didukung oleh tokoh masyarakat, bahwa : “Kebiasaaan adat tentunya memilih laki-laki untuk didahulukan dalam segala hal, termasuk kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dikarenakan setelah menikah, anak perempuan akan mengabdi sepenuhnya kepada keluarga suaminya Adat Lamaholot sehingga orangtua perempuan tidak lagi mempunyai hak kepada anak perempuannya. Oleh karena itu jelas jika orangtua lebih memprioritaskan anak laki-laki. Karena selain sebagai pewaris suku dan pelanjut kehidupan keluarga, laki-laki juga akan berkontribusi untuk perkembangan sukunya setelah ia bekerja lewat sumbangan material maupun non material. Misalnya untuk rehapitulasi rumah adat, dan pengumpulan dana untuk seremonial adat.” DP, 15 Maret 2015 Anak laki-laki ketika selesai mengenyam pendidikan, ia akan mempunyai tanggungan yang berat, selain untuk melanjutkan kehidupan 78 keluarganya juga akan bertanggung jawab penuh atas sukunya. Hal senada juga dijumpai pada hasil observasi lapangan kepada orangtua yang memiliki anak usia sekolah. Hasil observasi menunjukkan bahwa anak laki-laki ketika bangun pagi langsung bersiap ke sekolah sedangkan anak perempuan harus menyelesaikan terlebih dahulu pekerjaan rumah baru ke sekolah. Anak laki- laki pun difasilitasi oleh keluarga dengan sangat baik misalnya berangkat ke sekolah diantar oleh orang tua menggunakan sepeda motor, sedangkan anak perempuan berjalan kaki ke sekolah.

b. Implikasi Pemberian Kesempatan Pendidikan terhadap Anak

Perempuan Sistem budaya Lamaholot membudayakan bahwa anak perempuan pasca menikah, ia akan meninggalkan keluarga dan sukunya untuk seterusnya masuk ke suku dan keluarga suaminya. Pasca menikah, anak perempuan akan meninggalkan semua yang ia miliki kain sarung hasil tenunan, gelang, cincin dan semua milik yang diperolehnya dari orangtua dan masuk ke suku dan keluarga suaminya karena ia perempuan telah dipinang dengan mas kawin yang setimpal. Hal ini seperti yang diungkapkan salah satu tokoh masyarakat desa Waipukang, bahwa : “Sebagian besar masyarakat merasa rugi jika anak perempuan disekolahkan. Karena ketika ia menikah ia tidak mempunyai sumbangan buat keluarga dan sukunya.” DP, 15 Maret 2015 Sebagian besar orangtua merasa dirugikan jika menyekolahkan anak perempuan, demikian yang disampaikan informan di atas. Hal serupa juga diungkapkan oleh orangtua, bahwa : 79 “Saya kadang merasa rugi jika anak perempuan saya sekolahkan. Buat apa anak perempuan saya kasih sekolah kalau nanti dia tidak bisa bantu saya menghidupi keluarga ? prinsip saya begini, anak perempuan akan meniggalkan saya dan keluarga saya ketika ia menikah. Ia akan masuk dan mengabdi ke suku dan keluarga suaminya. Enak saja sudah saya biayai pendidikannya malah keluarga dan suku suaminya yang tuai hasilnya. Lagi pula sekalipun anak perempuan saya tidak disekolahkan, ia tetap mendatangkan harta untuk keluarga dan suku saya, berupa gading gajah sebagai hasil dari mas kawinnya.” PL, 19 Maret 2015 Hal senada juga disampaikan oleh pemerhati perempuan : “Menurut saya sebagian besar orangtua masih berpikiran bahwa ada kerugian jika menyekolahkan anak perempuan, karena selain anak perempuan merugikan orangtua dengan meninggalkan suku dan keluarga pasca menikah, juga jika tidak disekolahkan ia tetap menghasilkan harta buat keluarga me lalui mas kawin.” MO, 7 April 2015 Konsep berpikir seperti ini mengakibatkan anak perempuan selalu disubordinasikan. Berdasarkan hasil observasi kepada orangtua, menunjukkan bahwa anak perempuan dalam keluarga mengalami perlakuan yang tidak sama dilakukan orangtua kepada anak laki-laki. Anak perempuan selalu disubordinasi dalam hal pendidikan, mulai dari adanya kesenjangan fasilitas sekolah higga perlakuan orangtua terhadap pendidikan anak. Orangtua hanya memberikan fasilitas baik kepada anak laki-laki misalnya menggunakan sepeda ke sekolah, sebelum ke sekolah disiapkan sarapan, perlengkapan sekolah sudah disediakan oleh orangtua seragam sekolah, tas, alat tulis sehingga kerja anak laki-laki ketika bangun pagi adalah sarapan dan bersiap ke sekolah. Sedangkan anak perempuan ketika bangun pagi harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, menyiram dan membersihkan halaman rumah, menyiapkan perlengkapan sekolah sendiri, dan berangkat ke sekolah tanpa menggunakan alat transportasi apapun.