Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu

KARYA TULIS

KEKUATAN BAHAN SAMBUNG
PADA TIGA KOMBINASI KELAS KUAT KAYU

Disusun Oleh:
APRI HERI ISWANTO, S.Hut, M.Si
NIP. 132 303 844

DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2008

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya tulis mengenai “Kekuatan Bahan Sambung

Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu “.
Tulisan ini berisi tentang sambungan kayu.

Dalam tulisan ini dikupas

mengenai sambungan kayu dari kombinasi kayu rakyat terutama kayu nangka dengan
kayu-kayu komersil. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memberikan
tambahan informasi dibidang keteknikan kayu.
Akhirnya penulis tetap membuka diri terhadap kritik dan saran yang
membangun dengan tujuan untuk menyempurnakan karya tulis ini.

Desember, 2008

Penulis

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

DAFTAR ISI


Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.............................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................iv
PENDAHULUAN ............................................................................................1
KAYU RENGAS (Glutha renghas) .................................................................3
SAMBUNGAN KAYU ....................................................................................5
SIFAT MEKANIS KAYU SAMBUNGAN.....................................................7
REFERENSI .....................................................................................................10

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

DAFTAR TABEL

No

Keterangan


Halaman

1

Analisis Sidik Ragam Rata-rata Modulus of Elasticity (MOE)

8

2

Analisis Sidik Ragam Rata-rata Modulus of Rupture (MOR)

10

3

Hasil Uji Duncan Modulus of Rupture (MOR)

10


Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

DAFTAR GAMBAR

No

Keterangan

Halaman

1

Histogram nilai rata-rata Modulus of Elasticity (MOE)

7

2

Bentuk Kerusakan pada Sambungan Kayu


8

3

Histogram Nilai Rata-rata Nilai Modulus of Rupture (MOR)

9

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan zaman, perhatian masyarakat akan bahan-bahan
alami dari hutan telah meningkat. Dari segi lingkungan, barang-barang dari kayu
lebih disukai. Frick (2004) menyatakan bahwa dari segi manfaatnya bagi kehidupan
manusia, kayu dinilai mempunyai sifat-sifat utama yang menyebabkan kayu selalu
dibutuhkan manusia.
Kayu-kayu komersil menjadi suatu komoditas yang penting bagi kalangan

industri besar maupun kecil, namun seperti kondisi sekarang sulit untuk mendapatkan
kayu yang bermutu tinggi dan berkualitas. Melihat pemakaian kayu baik sebagai
bahan bangunan dan furnitur yang terus meningkat seiring dengan sulitnya
mendapatkan bahan baku dari hutan alam menyebabkan fokus pemanfaatan kayu dari
hutan alam beralih ke hutan rakyat dan perkebunan.
Kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) sebagai salah satu komoditas
kayu rakyat sekarang mulai diminati keberadaannya. Sebagai bahan baku konstruksi,
kayu ini memiliki kelemahan dalam hal ukuran panjangnya.

Melalui teknologi

sambungan kayu, permasalahan ini diharapkan dapat teratasi.
Perpaduan antara kayu buah-buahan yaitu kayu nangka dengan kayu-kayu
komersial seperti kayu rengas dan kayu damar laut menggunakan teknik sambungan
merupakan modifikasi teknis yang diharapkan dapat meminimalisasi penggunaan
kayu komersial tanpa mengabaikan aspek kekuatannya.

Kayu Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk)
Dari negeri asalnya, India Selatan, nangka (Artocarpus heterophyllus atau
Artocarpus integra) beremigrasi dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, tak

terkecuali ke Indonesia. Sampai saat ini, ada dua nama ilmiah yang disandang
tanaman nangka. Yang pertama adalah Artocarpus heterophyllus Lamk. Nama itu
muncul karena bentuk daun nangka pada saat itu masih bibit berbeda dengan setelah
dewasa. Pada waktu bibit banyak daun nangka yang bentuknya berlekuk, tetapi
setelah dewasa bentuknya utuh kembali. Kata heterophyllus sendiri menunjukkan
keadaan itu , hetero= berbeda, dan phyllus = daun Nama ilmiah yang lain yang
melekat pada tanaman nangka adalah Artocarpus integra. Di antara kedua nama

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

ilmiah tersebut, nama Artocarpus heterophyllus Lamk dianggap lebih valid
(Widyastuti, 1993).
Bailey (1962), mengemukakan klasifikasi nangka sebagai berikut :
Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio


: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Sub kelas

: Archichlomydeae

Ordo

: Urticales

Famili

: Moraceae

Genus, sp


: Artocarpus heterophyllus Lamk

Beberapa kerabat dekat nangka yang bernilai ekonomi dan termasuk dalam
famili yang sama yaitu cempedak (Artocarpus champeden), sukun (Artocarpus
insica), dan kluwih (Artocarpus communis). Di antara kerabatnya, cempedak
merupakan spesies yang paling dekat hubungannya dengan nangka (Widyastuti,
1993).
Di Asia Tenggara, nangka terutama dipelihara di pekarangan dan di kebun
buah campuran; pada tahun 1980-an beberapa kebun buahnya yang luas ditanamai
nangka sebagai tanaman tumpang sari dengan nangka. Di Indonesia lebih dari 30
kultivar di Jawa terdapat lebih dari 20 kultivar. Berdasarkan sosok pohon dan ukuran
buah nangka terbagi dua golongan yaitu pohon nangka buah besar dan pohon nangka
buah mini :
a) Nangka buah besar: tinggi mencapai 20-30 m; diameter batang mencapai 80 cm
dan umur mulai berbuah sekitar 5-10 tahun.
b) Nangka buah kecil: tinggi mencapai 6-9 m; diameter batang mencapai 15-25 cm
dan umur mulai berbuah sekitar 18-24 bulan.
Kayu nangka dianggap lebih unggul dari pada jati untuk pembuatan meubel,
konstruksi bangunan pembubutan, tiang kapal, untuk tiang kuda dan


kandang

sapi di Priangan), dayung, perkakas, dan alat musik. (Prihatman, 2000).
Heyne (1987) dalam Isrianto (1997), menjelaskan bahwa kayu nangka

di

Pulau Jawa banyak digunakan untuk membuat tiang bangunan, kentongan, lesung dan
bahan untuk meubel. Di Bali dan makassar kayu tersebut sering digunakan untuk
tiang-tiang rumah raja. Kayu nangka ini juga tidak disenangi serangga dan tidak pecah
kena pengaruh cuaca laut. Di daerah Sunda kayu ini karena tahyul tidak dipakai untuk

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

membangun rumah dan hanya digunakan untuk tiang kandang kuda atau kandang
sapi. Kayu ini mengandung bahan berwarna kuning yang disebut morine. Bahan ini
dapat diekstrak dari kayu tersebut dengan air mendidih atau dengan alkohol. Rebusan
bilah kayu nangka bila disaring dapat digunakan untuk memberi warna kuning pada
makanan.

Selanjutnya Heyne (1987) dalam Isrianto (1997), menjelaskan bahwa kayu
nangka mempunyai serat halus sampai agak kasar. Warna kayu nangka mengalami
perubahan warna dari warna kuning muda pada waktu kayu gubal menjadi kuning
sitrun pada kayu teras.
Menurut Burgess (1966) dalam Isrianto (1997), kayu nangka yang merupakan
famili Moraceae mempunyai struktur anatomi antara lain porinya tersebar secara tata
baur, 30-80 % berpori soliter dan sisanya bergabung secara radial. Porinya berbentuk
bulat sampai oval dengan jumlah pori sekitar 7-8 per mm persegi. Diameter tangensial
rata-rata adalah 200-360 mikron dan tidak ada tilosis namun sering kali ada endapan
(deposit). Jumlah parenkim kayu cukup sampai banyak dengan bentuk selubung
sampai aliform dan kadang-kadang bergabung serta berisi resin berwarna terang
sampai oranye. Jari-jari berukuran sedang sampai cukup lebar (50-150 mikron) dan
jumlahnya antara 4-6 per mm persegi, heteroseluler atau homoseluler, tidak ada silika.
Kemudian sel serabut mempunyai dinding yang tipis sampai cukup tipis. Saluran
radial terdapat pada jari-jari dan kadang-kadang terlihat titik-titik coklat pada bidang
tangensial.
Kayu nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) mempunyai berat jenis
maksimum 0,71 dan berat jenis minimum adalah 0,55 dengan berat jenis rata-rata 0,61
dan kelas kuat II – III (Anonymous, 1981 dalam Isrianto, 1997). Kemudian Heyne
(1987), menjelaskan bahwa kayu nangka mempunyai sifat-sifat kayu yang agak berat,
agak padat atau padat.

Kayu Rengas (Gluta renghas)
Kayu rengas termasuk famili anacardiaceae memiliki ciri-ciri antara lain
berwarna merah darah, kadang-kadang bercorak berupa garis-garis berwarna merah
tua kehitaman, mudah dibedakan dari gubal yang berwarna merah jambu sampai
hampir putih. Tekstur agak halus sampai agak kasar dan merata. Arah serat umumnya

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

berpadu dan kadang-kadang lurus. Permukaan kayu licin dan mengkilap indah. Getah
rengas yang terdapat dalam kulit dan saluran radial dapat menimbulkan gatal-gatal
bagi orang yang alergi, meskipun kayu itu telah kering. Kayu rengas memiliki
kekerasan sedang sampai keras (Mandang dan Pandit, 1997).
Bentuk pori umumnya oval, menyebar, sebagian soliter dan sebagian lagi
bergabung radial, yang terdiri dari 2-4 pori. Jumlah pori per mm2 sekitar 2-4 dan
diameter tangensialnya sekitar 115-210 mikron dan bidang perforasi sederhana.
Parenkim aksial paratrakeal keliling pembuluh dan apotrakeal berupa pita-pita
marginal yang teratur dan ini yang menyebabkan kayu rengas mempunyai riap
tumbuh yang cukup jelas. Kebanyakan jari-jari sempit (berseri satu) tapi sering juga
ditemukan jari-jari lebar dimana-mana di dalamnya terdapat saluran getah radial dan
komposisinya homoseluler. Saluran getah merupakan tanda yang khas pada kayu
rengas, pada permukaan tangensial di dalam jari-jarinya yang lebar nampak lubang
kecil sebesar ujung jarum (Pandit dan Ramdan, 2002). Kayu rengas memiliki berat
jenis minimum 0.59 dan berat jenis maksimum adalah 0.84 dengan berat jenis ratarata 0.69 dan termasuk dalam kelas kuat II (PKKI, 1961).

Kayu Damar Laut (Shorea falcifera Dyer ex Brandis)
Damar laut termasuk ke dalam famili Dipterocarpaceae. Memiliki habitus
yakni tinggi 20-50 m, panjang batang bebas cabang 10-35 m, diameter sampai 160
cm, banir dapat mencapai tinggi 3,5 m. Kayu teras berwarna coklat muda atau kuningcoklat muda yang lambat laun menjadi coklat tua. Kayu gubal berwarna lebih muda
dari kayu teras, tebal 2-12 cm, biasanya 4 cm. Tekstur kayu damar laut cukup halus
sampai kasar, umumnya agak kasar atau kasar. Arah serat lurus atau terpilin dan
berpadu. Permukaan kayu umumnya licin. Pada bidang radial kayu yang mempunyai
arah serat berpadu nampak bagian yang licin dan bagian yang kesat. Permukaan kayu
sedikit mengkilap sampai mengkilap. Pada bidang radial kayu yang mempunyai arah
serat berpadu nampak gambar berupa garis-garis. Pori sebagian besar soliter, sebagian
bergabung 2-4 dalam arah radial, kadang-kadang dalam gabungan tangensial atau
miring, berbentuk bundar atau lonjong, diameter 100-300 µ, frekuensi 2-10 per mm2,
kadang-kadang sampai 14 pori per mm2, banyak berisi tilosis, bidang perforasi
berbentuk sederhana. Parenkim termasuk tipe paratrakeal berbentuk selubung lengkap
atau tidak lengkap yang sering kali bergabung dengan parenkim yang tersebar atau
Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

parenkim apotrakeal yang berbentuk pita tangensial pendek. Jari-jari homogen, sempit
dan pendek, frekuensi 6-8 per mm, kadang-kadang berisi endapan berwarna coklat.
Saluran interselular hampir selalu lebih kecil dari pada pori, hanya terdapat dalam
arah aksial merupakan deretan tangensial panjang atau kadang-kadang pendek,
biasanya berisi endapan berwarna putih. Penyusutan sampai kering udara pada
S.leavis 1,5% (R) dan 3,1 (T); S.maxwelliana 1,7 % (R) dan 3,5 % (T).(Martawijaya.,
dkk 1981).

SAMBUNGAN KAYU
Sambungan adalah lokasi sederhana yang menghubungkan dua bagian atau
lebih menjadi satu dengan bentuk tertentu pada ujung perlekatannya (Parker, 1955
dalam Pranata, 2004). Komponen pembentuk sambungan adalah kayu yang akan di
sambung, alat sambung (Fastener), dan atau pelat sambung (connector plate).
Tujuan penyambungan kayu adalah untuk memperoleh panjang yang di
inginkan atau membentuk suatu konstruksi rangka batang sesuai dengan yang
diinginkan. Sebuah sambungan pada suatu konstruksi kayu merupakan titik terlemah
pada konstruksi tersebut (Surya, 1995 dalam Pranata, 2004). Oleh karena itu, dalam
melakukan penyambungan kayu, agar sambungan kayu awet dan kuat harus di
perhatikan hal-hal berikut :
1. Kayu yang akan di sambung harus merupakan pasangan yang cocok, tidak
longgar agar tidak saling bergeser dan tidak terlalu kencang
2. Penyambungan kayu juga tidak boleh merusak kayu tersebut seperti salah
dalam mengebor karena dapat menjadi awal pelapukan, salah dalam
menggergaji dan kayu juga tidak boleh di pukul langsung, tetapi harus

di

beri bantalan dahulu
3. Sesudah bentuk sambungan dibuat/ sudah jadi, terlebih dahulu pada
sambungan ini di beri bahan pengawet seperti meni atau ter. Tujuannya agar
tidak mudah lapuk karena daerah sambungan biasanya mudah kemasukan air.
4. Sebaiknya sambungan kayu terlihat dari luar agar mudah di kontrol dan di
perbaiki bila terdapat kerusakan.
Yap (1964) dalam Pranata (2004) menyatakan bahwa salah satu bidang yang
sangat besar peranannya dalam teknik konstruksi kayu yang rasional adalah
pengetahuan mengenai kemugkinan-kemungkinan sambungan dan alat-alat sambung.
Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

Menurut Yap (1964) dalam Pranata (2004), jika kekuatan kayu tanpa
sambungan dianggap sama dengan 100 % maka penggunaan alat sambung dalam
sambungan kayu mengakibatkan perlemahan, sehingga kekuatan kayu berubah
menjadi :
1. 50 % jika menggunakan alat sambung paku
2. Tetap 100 % jika menggunakan alat sambung perekat
Angka-angka taksiran kasar ini diperoleh berdasarkan perlemahan akibat
tempat (lubang) yang dibutuhkan untuk menenmpatkan alat-alat sambung. Jadi
jelaslah bahwa perekat dapat mencapai nilai terbesar karena penggunaanya tidak
merusak struktur kayu.
Tular dan Idris (1981) dalam Pranata (2004) mengatakan bahwa pada
konstruksi bangunan kayu akan timbul gaya-gaya yang bekerja padanya. Karena
sambungan merupakan titik terlemah dari suatu bentang tarik, maka dalam membuat
sambungan harus diperhitungkan cara menyambung dan menghubungkan kayu
sehingga sambungan dapat menerima dan menyalurkan gaya yang bekerja pada benda
tersebut.
Sambungan kayu tanpa alat-alat sambungan merupakan cara menyambung
kayu tertua. Semua gaya disalurkan dari kayu yang satu ke kayu yang lain.
Penggunaan alat-alat sambung sederhana seperti pengikatan, paku, pasak, kelam, atau
besi strip berfungsi sebagai pengaman pada titik letak sambungan tersebut (Frick,
2004).
Sambungan perekat merupakan sambungan bidang yang sangat kuat. Jangan
menggabungkan kekuatan sambungan perekat dengan alat sambungan yang lain
(misalnya lem dan paku). Pada saat sambungan menerima beban, sambungan perekat
langsung menerima beban tersebut, sedangkan alat sambungan yang lain baru
menerima beban penuh sesudah terjadi pergeseran sedikit (Frick, 2004).

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

SIFAT MEKANIS KAYU SAMBUNGAN
Modulus of Elasticity (MOE)
Berdasarkan hasil pengujian terhadap MOE di peroleh rata-rata tertinggi
sebesar 8533.25 kg/cm2 pada model sambungan dengan bahan sambung kayu nangka
dan terendah pada model sambungan dengan bahan sambung kayu rengas sebesar
6432.79 kg/cm2. Histogram nilai rata-rata MOE masing masing perlakuan di sajikan

(kgf/cm2)

Modulus of Elasticity

pada Gambar 1.
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0

8533.2
7592.3
6432.7

Nangka

Rengas

Damar Laut

Je nis Kayu Se bagai Bahan Sam bung

Gambar 1. Histogram nilai rata-rata Modulus of Elasticity (MOE)

Nilai MOE dari sambungan kayu ini tergolong rendah bila di bandingkan
dengan kayu solid tanpa sambungan, sehingga ketika di pergunakan sebagai kayu
struktur/bahan konstruksi akan menjadikan titik perlemahan. Keberadaan sambungan
pada kayu menyebabkan terputusnya ikatan antar serat sehingga hal ini akan
menjadikan suatu titik perlemahan bila di bandingkan dengan kayu solid utuh tanpa
sambungan. Meskipun demikian keberadaan suatu sambungan kayu tidak bisa di
hindarkan dalam suatu konstruksi mengingat adanya model / bentuk dan ukuran dari
suatu konstruksi yang harus melibatkan adanya sambungan kayu.
Beberapa hal yang di duga sebagai penyebab dari rendahnya nilai MOE pada
sambungan kayu dalam penelitian ini antara lain adanya cacat berupa mata kayu dan
miring serat serta beberapa cacat yang tidak bisa di lihat secara visual pada kayu yang
di pergunakan sebagai contoh uji, hal ini bisa di lihat dari kerusakan berupa patahnya
contoh uji pada daerah di luar daerah sambungan seperti di sajikan pada Gambar 2.

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

Gambar 2. Bentuk Kerusakan pada Sambungan Kayu

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam di peroleh bahwa variasi bahan
sambung tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hasil perhitungan tersebut
di dapatkan nilai F hitung yang lebih kecil dari F tabel pada taraf nyata

5 %.

Analisis sidik ragam rata-rata Modulus of Elasticity (MOE) di sajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis Sidik Ragam Rata-rata Modulus of Elasticity (MOE)
Sumber
Keragaman

DB

JK

KT

F.Hit

F.Tab 0.05

2
12
14

11069681
31082639
42152320

5534841
2590220

2.136823 tn

3.88

Perlakuan
Galat
Total
Ket : tn = Tidak Nyata

Modulus of Rupture (MOR)
Pada perhitungan Modulus of Rupture (MOR) di peroleh rata-rata tertinggi
pada model sambungan dengan bahan sambung kayu damar laut yaitu sebesar 336.225
kg/cm2 dan yang terendah yaitu kayu nangka dengan bahan sambung kayu rengas

Modulusof Rupture(kgf/cm2)

sebesar 257.06 kg/cm2. Histogram nilai rata-rata MOR disajikan pada Gambar 3.

400
350

336.2

320.4

300

257.06

250
200
150
100
50
0
Nangka

Rengas

Damar Laut

Je nis Kayu Se bagai Bahan Sam bung

Gambar 3. Histogram Nilai Rata-rata Nilai Modulus of Rupture (MOR)

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

Sambungan kayu dengan bahan sambung dari kayu damar laut memiliki nilai
MOR yang lebih tinggi di banding dengan bahan sambung kayu nangka dan rengas,
hal ini di sebabkan karena kayu damar laut memiliki berat jenis yang lebih tinggi di
bandingkan kayu nangka dan rengas. Hal ini sesuai dengan pendapat Pandit dan
Hikmat (2002) yang mengemukakan bahwa berat jenis berbanding lurus dengan MOR.

Bila di bandingkan dengan kayu solid tanpa sambungan, nilai MOR pada kayu
dengan sambungan ini lebih rendah hal ini di sebabkan karena keberadaan sambungan
kayu merupakan suatu perlemahan. Perlemahan ini di karenakan oleh berkurangnya
luas penampang netto pada kayu yang di sambung, terjadinya pemutusan serat-serat
kayu dan timbulnya geseran antara lapisan kayu pada saat menerima beban.
Meskipun penggunaan perekat dalam sambungan merupakan bahan pengikat yang
lebih baik dalam kaitannya dengan luasan permukaan kayu yang di sambung di
banding paku, baut dan pasak, namun tegangan-tegangan sekunder yang muncul pada
saat pembebanan tidak mampu di teruskan akibat adanya sambungan sehingga
menghasilkan kekuatan yang lebih rendah bila

di bandingkan dengan kayu solid

tanpa sambungan.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan bahan sambung
memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf nyata 5% terhadap keteguhan
patah (MOR), akan tetapi uji lanjut Duncan pada taraf nyata 5%, perbandingan antar
perlakuan (bahan sambung) tidak berbeda nyata hal ini menunjukkan bahwa MOR
dari ketiga perlakuan yang diberikan dapat dikatakan sama karena rentang nilai MOR
antara ketiga perlakuan tidak jauh perbedaannya. Hal ini disebabkan oleh adanya
perlemahan yang ada sehingga mengurangi nilai MOR netto yang dihasilkan. Selain
itu rentang nilai yang tidak terlalu jauh ini disebabkan oleh pra pengkondisian contoh
uji dan pengkondisian setelah perakitan. Analisis sidik ragam rata-rata dan Uji Duncan
pada taraf nyata 5% untuk MOR di sajikan pada TabeL 2 dan 3.
Tabel 2. Analisis Sidik Ragam Rata-rata Modulus of Rupture (MOR)
Sumber
Keragaman

DB

JK

KT

F.Hit

F.Tab 0.05

Perlakuan
Galat

2
12

17561.1
19744.2

8780.55
1645.35

5.336585 *

3.88

Total

14

37305.3

Ket : * = Berbeda nyata

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

Tabel 3. Hasil Uji Duncan Modulus of Rupture (MOR)
Kombinasi Kelas kuat
III + I
III + III
III + II

Rata-Rata
336.2252
320.4762
257.0604

Notasi
A
A
A

Ket: Notasi yang sama menandakan tidak berbeda nyata

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008

REFERENSI

Astanto, P. 2004. Telaah Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Jati Plus PERHUTANI dari
Beberapa Seedlot di KPH Ciamis pada Kelas Umur I. Skripsi Jurusan
Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tidak dipublikasikan.
Frick, H., dan Moediartianto. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Kayu. Kanisius,
Soegijapranata University Press. Jakarta.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Terjemahan). Volume II. Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor
Isrianto. 1997. Kajian Struktur Anatomi dan Sifat Fisik Kayu Nangka (Artocarpus
heterophyllus Lamk). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Mandang, Y.I.,dan I.K.N. Pandit, 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di
Lapangan. PROSEA. Bogor.
Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, K. Kadir, 1981. Atlas
Kayu Indonesia Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Pandit, I.K.N., dan H. Ramdan. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu sebagai
Bahan Baku. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
PKKI. 1961. Peraturan Kayu Konstruksi Indonesia NI-5. Departemen Pekerjaan
Umum. Dirjen Ciptakarya. Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan.
Jakarta.
Pranata, R. M. H. 2004 Pengaruh Bentuk Sambungan Terhadap Sifat Mekanis LVL
(Laminated Veneer Lumber) Produksi PT Putra Sumber Utama Timber
(PSUT). Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.
Widyastuti, Y.E. 1993. Nangka dan Cempedak (Ragam Jenis dan Pembudidayaan).
Penebar Swadaya. Jakarta.

Apri Heri Iswanto : Kekuatan Bahan Sambung Pada Tiga Kombinasi Kelas Kuat Kayu, 2008
USU e-Repository © 2008