Menolak Rangkap Jabatan

Menolak Rangkap Jabatan
Iding R. Hasan*
(Pikiran Rakyat, Selasa 12 Agustus 2014)

Keinginan Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) agar menteri-menteri yang
berasal dari kalangan partai politik (parpol) untuk melepaskan jabatannya di parpol patut
diapresiasi. Hal itu semata-mata agar para menteri tersebut dapat berkonsentrasi
sepenuhnya pada tugas-tugas kementerian tanpa terbebani oleh kepentingan-kepentingan
parpol.
Publik jelas memandang keinginan Jokowi tersebut sebagai sebuah langkah maju,
pasalnya hal itu, meski kerap diangkat ke publik, tetapi hanya berhenti menjadi wacana
tanpa pernah diwujudkan dalam kenyataan. Sementara parpol-parpol pendukung Jokowi
di pilpres kemarin tidak seragam menyikapinya. Nasdem dan Hanura secara tegas
mendukung, tetapi PKB menolak.
Meskipun kemungkinan besar keinginan Jokowi tersebut tidak mudah
dilaksanakan karena masih ada ketidaksepakatan di kalangan parpol pendukungnya,
tetapi tampaknya Jokowi akan didukung sepenuhnya oleh publik. Ini artinya, kalau PKB

tetap keukeuh dengan sikapnya, bukan tidak mungkin parpol ini akan mendapatkan
perlawanan publik. Tentu saja hal tersebut tidak akan menguntungkan secara politik bagi
parpol pimpinan Muhaimin Iskadar itu.


Bahaya Rangkap Jabatan
Mengapa gagasan seorang menteri agar melepaskan jabatannya di parpol mesti
didukung sepenuhnya? Pada kenyataannya, perangkapan jabatan di kementerian dan
parpol dalam praktik pemerintahan Indonesia selama ini justeru lebih banyak
menimbulkan sisi yang negatif. Setidaknya, ada tiga sisi negatif dari perangkapan jabatan
tersebut.
Pertama, kencenderungan untuk penyalahgunaan jabatan (abuse of power) jika
seorang menteri merangkap jabatan dengan di parpol. Kenyataan yang terjadi dalam
politik Indonesia memperlihatkan dengan jelas betapa kasus-kasus penyalahgunaan
jabatan seperti korupsi, misalnya, selalu berkaitan atau malah bersumber pada parpol.
Dengan kata lain, parpollah yang justeru menjadi muara korupsi tersebut.
Dalam situasi yang sedemikian rupa menteri-menteri yang berasal dari parpol
alih-alih membentengi kementeriannya dari kencenderungan korupsi justeru malah
menjadi pelakunya. Dalam konteks ini, seringkali seorang menteri menggunakan
berbagai fasilitas negara padahal tujuannya bukan untuk kepentingan negara, melainkan
parpolnya. Hal ini bisa dilakukan dengan dalih kunjungan kerja, pemberian bantuan
sosial dan sejenisnya. Maka, konflik kepentingan (conflict of interest) tidak dapat
dihindari lagi.


Kedua, bukan rahasia lagi bahwa kementerian-kementerian yang dipimpin oleh
menteri yang berasal dari parpol kerap menjadi “sapi perahan” atau “Anjungan Tunai
Mandiri/ATM” bagi parpol terkait. Tidak heran kalau sebuah pos kementerian dipimpin
kader Partai A, maka kebijakan-kebijakannya akan selalu menguntungkan partai tersebut.
Berbagai cara atau strategi pun dilakukan sang menteri agar aliran dana ke kas partainya
terus berlangsung.
Kasus korupsi yang melibatkan dua parpol pendukung Pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediona, yakni Demokrat dan PKS secara gamblang
menunjukkan kecenderungan tersebut. Yang pertama terkait dengan Kementerian Negara
Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang dipimpin kader Demokrat, sedangkan yang
kedua terkait dengan Kementerian Pertanian (Kementan) yang dipimpin kader PKS.
Ketiga, seyogianya saat seseorang ditunjuk menjadi menteri, ia tidak lagi
mereprsentasikan lembaga atau organisasi dari mana ia berasal. Sepenuhnya ia sudah
menjadi abdi negara yang bekerja hanya untuk kepentingan negara, bukan dirinya atau
kelompoknya. Karena itu, ia dituntut untuk dapat berkonsentrasi sepenuhnya pada
pekerjaannya

sebagai

menteri.


Konsekwensinya,

ia

harus

melepaskan

atribut

kepartaiannya.
Sementara kalau masih merangkap jabatan di partai, tentu menteri akan terpecah
konsentrasinya sehingga pekerjaannya tidak biaa optimal. Bagaimanapun, ia masih harus
memikikirkan pula kepentingan partainya. Apalagi kalau sudah mendekati waktu pemilu
berikutnya, menteri akan selalu disibukkan dengan urusan-urusan partainya seperti
sosialisasi, kampanye dan lain-lain sehingga kerap mengabaikan pekerjaannya sebagai
menteri.

Dari beberapa kecenderungan sisi negatif di atas, sudah saatnya praktik rangkap

jabatan menteri dalam politik Indonesia ditinggalkan. Kita sangat berharap jika pos-pos
kementerian

dibentengi

atau

dibebaskan

dari

atribut-atribut

parpol,

potensi

penyalahgunaan kekuasaan seperi korupsi dapat diminimalisasi atau bahkan diberantas
sama sekali.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk tidak mendukung keinginan Jokowi

agar para menteri yang berasal dari parpol bersedia melepaskan jabatan di parpolnya.
Kita pun sebagai publik, apapun preferensi politik kita pada saat pilpres kemarin, sangat
berharap kabinet yang akan dipimpin duet Jokowi-Jusuf Kalla (JK) nanti benar-benar
merepresentasikan kabinet profesional atau yang sering disebut dengan zaken cabinet.

*Penulis, Deputi Direktur Bidang Politik The Political Literacy Institute