Analisis Disparitas Dan Interaksi Struktur Spasial Di Timor Leste

ANALISIS DISPARITAS DAN INTERAKSI STRUKTUR SPASIAL
DI TIMOR - LESTE

LUCAS SOARES

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Disparitas dan
Interaksi Struktur Spasial di Timor-Leste” adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017


Lucas Soares
H152148091

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

RINGKASAN
LUCAS SOARES. Analisis Disparitas dan Interaksi Struktur Spasial Di Timor Leste. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan SRI MULATSIH.
Perencanaan spasial regional merupakan alat untuk mencapai tujuan
pembangunan secara umum. Pareto optimal perencanaan spasial merupakan prasyarat untuk terbentuknya keterkaitan, konektivitas, dan keterpaduan jaringan
yang dibentuk dari struktur perencanaan spasial dan efisiensi di pusat kegiatan
serta jaringan pembangunan spasial di Timor-Leste.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis ketimpangan
(disparity) pembangunan antar regional, mengkaji dan menganalisis keterkaitan
dan interaksi struktur spasial antar distrik serta merumuskan perwilayahan
pengembangan regional pusat kegiatan nasional (PKN) dan PKR berbasis struktur
spasial. Data yang digunakan terdiri dari infrastruktur, fasilitas publik dalam
kegiatan nasional dan pusat aktivitas distrik dan pusat – pusat kegiatan. Data
fasilitas publik diantaranya sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah lanjut,

rumah sakit umum, pusat kesehatan masyarakat, health posts, sisca (puskesmas
keliling), klinik, bank, pelabuhan, total private households, telepon, radio, TV,
motor, sepeda, motor, tractor, rice husker, rice mill, pasar, kantor pos, terminal,
gereja, toko dan supermarket, bandara, dan kadin, jumlah penduduk seluruh
distrik di Timor Leste, jarak antar wilayah dan biaya transportasi. Penelitian ini
menggunakan model analisis skalogram, gravitasi, serta analisis jarak dan biaya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, tingkat ketimpangan
pembangunan antar distrik di Timor Leste sangat tinggi disebabkan kurangnya
fasilitas publik dan kurangnya akses pelayanan umum yang ditunjukkan oleh 6
distrik dari 12 distrik yang memiliki hirarki 3, dan 4 distrik yang memiliki hirarki
2, serta 2 distrik yang memiliki hirarki 1. Ketimpangan yang terjadi di Timor
Leste sangat beragam, namun ada satu distrik yang memiliki ketimpangan yang
tinggi yaitu Liquica. Distrik dengan nilai interaksi wilayah terendah yaitu:
Viqueque, Lautem, Covalima, dan Manufahi, kemudian NIIAD yang cukup
signifikan adalah: Baucau, Ainaro dan Aileu. Tingkat interaksi yang lebih
signifikan yaitu: Liquiçá, Ermera dan yang paling kuat interaksinya adalah Dili.
Penelitian ini merekomendasikan pusat kegiatan nasional dan regional, di bagian
Utara (Dili) dan tiga pusat kegiatan regional yaitu Ermera di bagian Barat, Baucau
di bagian Timur, dan Manufahi di bagian Selatan Timor-Leste.
Disparitas spasial yang tinggi terjadi baik fasilitas publik (fasilitas

pendidikan, kesehatan, perekonomian) dan aksesbilitas (jarak dari Dili) serta biaya
transportasi yang cukup tinggi. Hasil tersebut dijadikan pertimbangan untuk
menentukan distrik sebagai pusat pertumbuhan dan pusat kegiatan, untuk
mengurangu disparitas antar distrik di Timor Leste, perhatian yang tinggi perlu
diberikan pada distrik hinterland dengan menambah dan melengkapi fasilitas
umum dan akses pelayanan jasa pada masyarakat.
Kata kunci: Disparitas, Hirarki, Interaksi, Skalogram, Struktur Spasial.

SUMMARY
LUCAS SOARES. Disparities and Spatial Structure Interaction in Timor-Leste.
Supervised by: ERNAN RUSTIADI and SRI MULATSIH.
Regional spatial planning not as a goals but as a tools to achieve general
goals or objectives of development. Pareto Optimal of spatial planning as a tools
for necessary of pre-conditions, interlinkages, connectivity and network which
composed of optimal spatial structure planning and efficiency in central activities
and regional development infrastructure network in Timor-Leste.
This research have three objectives: analysis development of disparities,
analysis of spatial linkages and interaction between district and to formulate
national and regional activities center with its hinterland in Timor-Leste. This
research use the data of public facilities like elementary school, junior high

school, senior high school, public hospitals, community health center, health
posts, sisca, private clinic, bank, port, total private households, telephone, radio,
TV, motor, tractor, rice husker, rice mill, market, post office, terminal, church,
supermarket, airport, chamber of commerce and industry, district population,
regional distance and transportation cost.
The result of research show that: First, the level of development disparities
between districts in Timor-Leste are very high because of lack of public facilities
and have a minimum access to public services as indicated by 6 districts from 12
categories are hierarchy 3, 4 districts are hierarchy 2 and 2 districts are hierarchy
1. Secondly, disparities in Timor Leste very diverse, but there is one district which
has high disparities is Liquiçá. Based on regional interaction level, Viqueque,
Lautem, Covalima and Manufahi districts were consider as the lowest than
districts with sufficients interaction are Baucau, Ainaro, and Aileu. Liquiçá and
Ermera were consider has high interaction and Dili has the highest interaction and
consider as national activity center in the north. Three regional activity center
(RAC) are Ermera in the west, Baucau in the east and Manufahi in the south of
Timor-Leste.
Most of regions are still have high spasial disparities, in term of public
fasilities (education, healthy, and economy), accessibility (far from Dili and high
transportation cost). The best solutions for spatial disparities reduction between

districts in Timor-Leste is giving full attention to increase the availability their
public facilities and access in social services to communities.
Keywords: Disparities, Hyrarchy, Interaction, Scalogram, Structure Spatial.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

ANALISIS DISPARITAS DAN INTERAKSI STRUKTUR SPASIAL
DI TIMOR-LESTE

LUCAS SOARES

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Bambang Juanda MS

PRAKATA
Terimakasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
pertolongan-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian ini mengambil
tema pembangunan regional dengan judul “Analisis Disparitas dan Interaksi
Struktur Spasial di Timor-Leste”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Ernan

Rustiadi, M. Agr dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc.Agr selaku komisi pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama proses penelitian
ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S
selaku dosen penguji luar ujian tesis dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, MSi selaku
perwakilan program studi atas saran dan masukannya demi perbaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc
selaku Ketua Program Studi PWD beserta para pengelola Program Magister pada
Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan yaitu Mbak
Puput Malahayati Sari serta seluruh dosen yang telah berbagi ilmu kepada penulis.
Ucapan terima kasih para teman-teman PPs-PWD yang telah memberi masukan
dan saran pada Kolokium dan Seminar. Khususnya pada Yufita Listiana, Tomi
dan Khaeri yang telah memberikan bantuan pemikiran, penulis sampaikan banyak
terima kasih.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Pemerintah Republik Demokratik Timor-Leste yang telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di
Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada kedua orang tua tercinta (Almarhum António dan Maria) beserta keluarga
besar Bili Besi Bili Manu di Loidahar-Liquiçá yang telah memberikan dukungan,

dan doa kepada penulis, terimakasih kepada Istri Anabela da C. Soares dan kedua
anak Noibot Rafaela da C. Soares dan Sócrates D. Soares yang telah memberikan
semangat hingga selesainya tesis ini.
Saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan Karya Ilmiah ini. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca serta bagi pemerintah Timor Leste dalam merencanakan
pembangunan yang lebih baik di masa depan.

Bogor, Februari 2017

Lucas Soares

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xv


DAFTAR LAMPIRAN

xvi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori Perencanaan Pembangunan
Kebijakan Pembangunan
Penataan dan Perencanaan Spasial
Politik Spasial pada Kebijakan Publik
Konsep Perencanaan Spasial
Konsep Ekonomi Geografi Baru (The New Economic Geography)

Pendekatan Alokasi Sumberdaya Secara Spasial
Indikator, Keberlanjutan dan Kinerja Pembangunan Regional
Kerangka Pemikiran (Conceptual Framework)

5
5
6
6
7
8
10
10
11
13

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Analisis Data
Merumuskan Pengembangan Regional PKN dan PKR berbasis struktur
spasial


15
15
15

4 GAMBARAN UMUM TIMOR-LESTE
Struktur Administratif Regional Timor-Leste
Jumlah penduduk dan Fasilitas di Timor-Leste
Kebijakan Pembangunan dan Perencanaan di Timor-Leste

19
19
20
25

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Disparitas Spasial Regional di Timor-Leste
Dinamika Hirarki Distrik-distrik Hasil Skalogram Dengan Peubah
Berbeda
Interaksi dan Keterkaitan Spasial Regional di Timor-Leste
Analisis Jarak dan Biaya
Rumusan dan Sintesis Perwilayahan Pengembangan Regional PKN dan
PKR Berbasis Disparitas dan Interaksi Spasial di Timor-Leste.

28
28

40

6 SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
SARAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

43
43
44

19

34
35
37

DAFTAR PUSTAKA

44

LAMPIRAN

47

RIWAYAT HIDUP

71

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Peubah fasilitas masing-masing skalogram
Struktur administrasi Timor Leste
Jenis transportasi dan kapasitas angkut
Hirarki Distrik berdasarkan hasil analisis skalogram 1
Hirarki Distrik berdasarkan hasil analisis skalogram 2
Distribusi hirarki distrik hasil analisis skalogram beda peubah
Analisis interaksi Dili dengan distrik lainnya
Nilai interaksi antar distrik berdasarkan peubah penduduk di Timor
Leste
Deskriptif data
Jarak antar distrik dalam Km
Biaya transport dari Dili ke masing-masing Distrik
Biaya tempuh antar Distrik US $
Analisis perwilayahan pengembangan regional

16
20
25
29
31
34
35
36
37
38
38
40
41

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Integrasi PPSS, PSSS, dan PASS dengan Penataan Institusi
(Institutional Arrangements)
Indikator pembangunan berkelanjutan menurut Friend (2000)
Sistematika penyusunan konsep-konsep indikator kinerja
pembangunan regional
Kerangka Pemikiran Penelitian
Sebaran penduduk berdasarkan Distrik
Kepadatan penduduk dari 12 Distrik pada tahun 2012
Jumlah fasilitas pendidikan di masing-masing Distrik
Rincian jumlah fasilitas pendidikan masing-masing Distrik
Peta pelabuhan regional di Timor Leste
Jumlah dan jenis transportasi darat per Distrik
Tahapan pada RPS (Rencana Pembangunan Strategis) Timor Leste
Peta hirarki skalogram 1
Peta wilayah skalogram 2
Peta hirarki skalogram 3
Peta migrasi antar distrik di Timor Leste
Peta hirarki skalogram 4
Persentase hirarki dengan metode skalogram
Peta biaya transportasi dari Dili ke 12 Distrik di Timor Leste
Peta waktu tempuh ke Dili (Pusat Kegiatan Nasional = PKN) di
Timor Leste
Peta hirarki
Skema PKN, PKR dan Distrik hinterland

3
12
13
14
21
21
22
22
23
24
27
30
32
32
33
33
34
39
39
42
43

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jumlah fasilitas pendidikan
2 Jumlah fasilitas kesehatan
3 Pertumbuuhan ekonomi
4 Aspek demografi berdasarkan urban/rural
5 Persentase rumah tangga dengan akses air minum aman
6 Persentase rumah tangga berdasarkan pembuangan limbah manusia
7 Persentase rumah tangga yang memiliki fasilitas
8 Jenis transportasi dan kapasitas angkut
9 Nilai angka interaksi berdasarkan peubah penduduk dan jarak
10 Hasil skalogram 1
11 Peubah skalogram 2
12 Hasil skalogram 3 (tidak ada peubah bernilai nol)
13 Hasil skalogram 3
14 Hasil skalogram 4 (peubah yang memiliki nilai nol)
15 Hirarki skalogram 4
16 Hirarki-skalogram, indeks pembangunan regional (IPR), karakteristik
dan kebijakan disparitas di Timor Leste

48
49
50
51
51
51
52
52
53
60
61
63
64
65
66
67

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan
berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku
sosial, dan institusi sosial, disamping akselerasi pertumbuhan ekonomi,
pengurangan ketimpangan pendapatan, serta pemberantasan kemiskinan (Todaro
dan Smith, 2012). Tujuan dari pembangunan adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara merata. Oleh karena itu dalam pembangunan
diperlukan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan distribusi pendapatan yang
merata. Seperti yang disampaikan oleh Santosa (2015) bahwa pertumbuhan
ekonomi dan pemerataan ekonomi merupakan dua tujuan pembangunan yang
seharusnya dapat dicapai secara bersamaan dalam proses pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi tanpa diikuti oleh pemerataan ekonomi akan
memperlebar jurang pemisah antara satu kelompok masyarakat dan kelompok
lainnya, sementara pemerataan ekonomi tanpa pertumbuhan ekonomi sama halnya
dengan meningkatkan kemiskinan suatu daerah (Rubiarko dan Sabda, 2013).
Demikian juga menurut pendapat Rustiadi et al. (2011) bahwa pembangunan yang
hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita akan
menimbulkan persoalan pembangunan yang kompleks. Dalam skala nasional,
pertumbuhan ekonomi yang cepat tanpa diimbangi dengan pemerataan, akan
menimbulkan ketimpangan wilayah. Ketimpangan wilayah (regional disparity)
tersebut juga diikuti oleh ketimpangan tingkat pertumbuhan penduduk serta
terjadinya perbedaan struktur ekonomi (Nurhuda dan Prasetyo, 2011).
Permasalahan pembangunan merupakan masalah yang kompleks. Pertanyaan
Acemoglu dan Robinson (2012) terkait isu pembangunan yang terjadi di Negaranegara di dunia yaitu: (1) Kenapa (Why) ada negara yang kaya dan lainnya tidak,
(2) Kenapa negara gagal (why nations fail)? (3) Kenapa ada negara yang gagal
untuk membangun dan ada negara yang berhasil membangun? (4) Kenapa ada
negara yang miskin dalam sumberdaya alam potensial dan negara yang kaya
dalam sumberdaya alam yang terbatas bahkan kecil? (5) Kenapa kemiskinan
terjadi ketimpangan (disparities) secara spasial antar regional, lokal dan antar
negara? (6) pertanyaan yang berkaitan dengan ke empat pertanyaan terdahulu
adalah: Kenapa ada negara yang maju dan berhasil dalam pembangunan melalui
penataan-kembali kelembagaan (re-arrangements institutional) sementara negara
lain tidak.
Di tingkat regional ketimpangan wilayah dicirikan oleh perbedaan tingkat
perkembangan aktivitas ekonomi dan sosial masyarakatnya. Aktivitas masyarakat
tersebut, tergantung pada ketersediaan fasilitas pendukung ekonomi (seperti Bank
dan pasar), fasilitas layanan sosial (sekolah, rumah sakit dan lainnya), fasilitas
layanan administrasi pemerintah, serta infrastruktur (jalan, alat transportasi dan
sebagainya). Oleh karena itu keterjangkauan masyarakat terhadap fasilitasfasilitas tersebut, menentukan tingkat pelayanan yang bisa diakses, sehingga
menentukan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
Menurut Andrade dalam Misra et al. 1978, seluruh pelayanan jasa pada
suatu wilayah (region) harus terletak pada lokasi akses yang mudah, tepat dan

2

sesuai pilihan (convenient choices location) populasi dimana mereka disain untuk
melayani (designed to serve) melalui jalan lintasan dan koridor (passage) fasilitas
tambahan untuk memperbaiki akses konsumen dan jasa-jasa pelayanan.
Timor-Leste merupakan negara yang baru merdeka (tahun 2002).
Pembangunan masih terkonsentrasi pada distrik tertentu, terutama Kota Dili.
Disparitas antar distrik di Timor-Leste relatif tinggi. Sebagian besar penduduknya
bekerja di sektor pertanian sebanyak 75% (Timor-Leste dalam angka, April 2015).
Sistem pertanian dilakukan secara tradisional dan untuk tujuan subsisten, karena
sulitnya akses untuk memasarkan output yang dihasilkan. Kendala pemasaran ini
menyebabkan tingginya ketimpangan antara distrik yang maju dengan distrik yang
tertinggal.
Ketimpangan antar distrik tersebut, perlu dikurangi melalui kebijakan
pembangunan fasilitas di distrik-distrik yang akan dijadikan sebagai pusat
pertumbuhan. Pemilihan distrik sebagai pusat pertumbuhan sangat penting agar
pembangunan fasilitas publik dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
menciptakan multipler effect yang besar. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis ketimpangan pembangunan antar distrik di Timor-Leste serta
interaksi struktur spasial antar distrik di Timor-Leste. Kedua indikator tersebut
menunjukkan tingkat perkembangan suatu distrik dan kekuatan interaksi
(ekonomi dan sosial) dengan distrik yang lainnya. Indikator ini selanjutnya
digunakan untuk merumuskan perwilayahan pengembangan regional di TimorLeste.
Seiring dengan berbagai persoalan realitas dan kompleksitas yang dihadapi
maka pembangunan didekati dengan tiga keterkaitan: (i) mengoptimalkan
keterkaitan model spasial antar potensi ekonomi intra dan antar regional untuk
berbagai kemajuan, (ii) membangun model spasial keterkaitan antar potensi
ekonomi intra dan antar regional dengan keterkaitan dan (iii) mempetakan
konfigurasi spasial berbagai potensi ekonomi regional dengan kekhasan-kearifan
lokal (Sitorus, 2014). Sitorus (2014) menegaskan bahwa semua realitas dan
kompleksitas didekati dengan basis data yaitu: (1) berbasis teori ilmiah atau
commonsenses yang kuat (make sense), (2) konsisten inter sektoral, inter regional
serta antara pusat dan daerah, dan (3) sampling berbasis variasi spasial dan
sumber keragaman utama.
Keputusan untuk mengintroduksi (memperkenalkan) praktek perencanaan
secara eksplisit pada suatu wilayah harus berkaitan dengan benefit yang diterima
(beneficial returns).
Organisasi dan evolusi dalam ruang pada suatu masyarakat hanya dapat
dipahami dalam konteks yang luas. Berbagai usaha untuk dikaitkan dengan pola
spasial akan menghasilkan gambar (image), mengabaikan (neglecting) refleksi
realitasnya (Friedmann and Alonso 1975). Akhirnya, Friedmann mendiskusikan
tiga konsep kekuatan dan dampaknya terhadap struktur spasial (spatial structure)
di negara berkembang: kekuatan poitik dalam membuat keputusan (decisionmaking power), pengendalian lingkungan (environmental control attendant) pada
inovasi dan kekuatan ekonomi dalam suatu konteks sosial multietnik yang hanya
dipahami dengan konteks interaksi spasial (spatial interaction). Selain itu, Alonso
(1975) juga mendiskusikan kasus biaya pengiriman dengan jarak (distance) yang
ditempuh dari suatu lokasi A ke lokasi B (dari lokasi pemukiman ke lokasi Bank)
dengan kata lain bagaimana memperhitungkan biaya transportasi (transportation

3

cost) dalam mobilisasi manusia dengan mobilisasi barang dan jasa antar regional,
antar kota-desa dan antar pusat-pusat kegiatan.
Perencanaan spasial regional bukan merupakan tujuan (goals) tetapi
merupakan alat (tools) untuk mencapai tujuan (goals) itu sendiri. Kebijakan
pembangunan regional sebagai alat (tools) yang memiliki keterkaitan
(interlinkages), konektivitas (connectivity), dan jaringan (network) meliputi
perencanaan struktur spasial optimal dan efisiensi dalam pusat-pusat kegiatan dan
jaringan prasarana pembangunan regional di Timor-Leste. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan umum (visi, misi dan tujuan) pembangunan yang telah
dirumuskan dan ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Strategik (RPS) 20112030. Perencanaan spasial optimal merupakan alat (tools) yang dibutuhkan
sebagai pra-syarat (necessary of pre-conditions).
Salah satu strategi kebijakan dalam perencanaan pembangunan regional
yang berbasis konsep perencanaan spasial sangat berkaitan dengan organisasi
spasial, dan perilaku ekonomi serta kelembagan (economic behavior and
institutions) dalam mewujudkan pembangunan ekonomi regional dalam
pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Untuk
mencapai tujuan pembangunan maka salah satunya dengan Rencana Anggaran
Strategik. Tahapan-tahapan dalam komponen tersebut dapat dilihat pada skema
gambar dalam Gambar 1.
Rencana Pembangunan
Strategik (RPS)
Penataan Institusi
RSS

RAS

Gambar 1 Integrasi PPSS, PSSS, dan PASS dengan Penataan Institusi
(Institutional Arrangements)
Perbedaan ketimpangan yang sangat besar dapat dilihat dari segi pendapatan
dan standar hidup yang terpisah (separate) dari pusat-pusat kegiatan nasional dan
regional. Pusat kegiatan nasional yang mempunyai akses sarana dan prasarana
umum termasuk fasilitas umum salah satunya Bank. Oleh karena itu, selain
kebijakan para perencana dan pengambil keputusan dalam pembangunan regional
untuk mengintegrasikan PPSS (Perencanaan Pembangunan Strategis-Sinergis),
PSSS (Perencanaan Spasial Strategis-Sinergis) perlu mempertimbangkan juga
faktor penataan kelembagaan (institutional arrangements factors) yang
mempunyai peran politik kebijakan perubahan dalam mengubah semua aspek
kehidupan yaitu aspek sosial budaya, aspek ekonomi dan aspek ekologi dalam

4

mewujudkan tujuan umum pembangunan yaitu perubahan dan reformasi
kesejahteran (welfare reform and changes).
Proses pembangunan yang melambat dan terhambat datang juga dari
permasalahan spasial yang belum memiliki keputusan politik dan kebijakan
publik. Kebijakan- kebijakan tentang pembagian wilayah teritorial secara
administratif yang jelas sehingga, menimbulkan potensi konflik. Dari mulainya
jaman penjajahan Portugal, Belanda, Jepang dan terakhir selama penggabungan
dengan NKRI selama 24 tahun serta mencapai kulminasi kemerdekaan penuh
pada tanggal 20 Mei tahun 2002. Selama perjalanan dan proses pembangunan
belum ada yang namanya Rencana Spasial Strategis Nasional (RSSN) maupun
Rencana Spasial Strategis Regional (RSSR) Provinsi dan Kabupaten. Perebutan
dan klaim terhadap hak kepemilikan (property rights) antara masyarakat terhadap
ruang, tanah dan lahan juga merupakan masalah yang tidak pernah ada solusi dan
kebijakan yang tepat. Hal ini dikarenakan belum ada keputusan politik dan
kebijakan serta aturan hukum bagi setiap warga negara untuk hak memiliki, hak
memanfaatkan, hak komersial, hak pengalihan, hak pemeliharaan dan hak lain
yang melekat secara hukum/legalitas.
Penyebab lainnya adalah belum adanya dokumen rencana spasial kota, belum
adanya undang-undang rencana strategis spasial regional yang berfungsi untuk
mengatur struktur dan pola spasial untuk pusat-pusat kegiatan dan jaringan
pembangunan regional seperti sistem hirarki perkotaan, hirarki jaringan jalan,
hirarki jaringan prasarana dan sebaran penduduk di pusat-pusat permukiman
perkotaan dan perdesaan. Permasalahan lainnya tidak adanya peraturan tentang
ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin pemanfaatan dan penatagunaan spasial agar
optimal dan efisien pengembangan regional.
Terkait perencanaan regional untuk pembangunan perdesaan terdapat tiga
tujuan penting yang teridentifikasi sebagai dasar kebijakan dalam perencanaan
spasial yang optimal yaitu (i) potensi pertumbuhan yang diutamakan (immediate
growth potential = IGP), (ii) potensi pertumbuhan masa depan (future growth
potential = FGP), dan (iii) potensi pertumbuhan rendah (low growth potential =
LGP) sebagai dasar kebijakan pembangunan regional di Timor-Leste. TimorLeste juga harus membangun tiga aspek lain yang merupakan jaringan kerja
(networking) untuk mendorong pengembangan regional dan sub regional
termasuk pengembangan perdesaan dan perkotaan melalui tiga kebijakan dan
strategi antara lain: (1) infrastruktur, (2) institusi, dan (3) intervensi sebagai
jawaban dalam tiga permasalahan utama dalam spasial yaitu: (1) kepadatan
(density), (2) jarak (distance), dan (3) pembagian (division).
Dili merupakan ibu kota negara Timor- Leste. Berbagai infrastruktur serta
pusat-pusat kegiatan juga berada di daerah tersebut, misalnya, lembaga keuangan,
bank, pelabuhan dan bandara. Timor-Leste memiliki tiga lembaga keuangan bank
dari negara asing yaitu Bank ANZ (Australian and Newzeland), Bank Mandiri
(Indonesia), dan Bank BNU (Portugal). Sedangkan bank sentral yang dimiliki
Timor-Leste ada dua yaitu Bank BCTL (Timor-Leste) dan Bank BNCTL (TimorLeste). Keberadaan lembaga keuangan tersebut di Dili, menggambarkan
terkonsentrasinya aktivitas yang terpusat di satu distrik dan tidak tersebar di 12
distrik lainnya. Hal ini juga disebabkan karena banyaknya infrastruktur yang
sudah terbangun di wilayah tersebut bila dibandingkan dengan distrik lainnya.
Kondisi perencanaan pembangunan yang hanya terpusat pada satu distrik saja

5

akan berdampak pada ketimpangan antar regional, ketimpangan antar perkotaan
dengan perkotaan dan antar perdesaan dengan perdesaan. Ketimpangan regional
yang terjadi salah satunya belum memiliki institusi perencanaan pembangunan di
masing-masing daerah (BAPPEDA), karena institusi ini yang menyusun rencana
tata ruang daerah. Oleh karena itu penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui
disparitas dan interaksi struktur spasial pembangunan regional di Timor-Leste
sangat diperlukan.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, antara lain:
1. Mengkaji dan menganalisis ketimpangan (disparity) pembangunan antar
regional di Timor-Leste.
2. Mengkaji dan menganalisis keterkaitan dan interaksi spasial antar distrik di
Timor-Leste.
3. Merumuskan perwilayahan pengembangan regional PKN dan PKR berbasis
struktur spasial.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Teori Perencanaan Pembangunan
Menurut Albert Waterson dalam Adisasmita (2010), perencanaan adalah
proses menentukan pilihan dari berbagai alternatif kegiatan untuk mencapai tujuan
masa depan, dengan melakukan evaluasi terus menerus agar pelaksanaannya tidak
menyimpang dari tujuan. Secara teoritis terdapat dua pertanyaan penting yang
berkaitan dengan perencanaan, yaitu (1) mengapa pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan regional berbeda secara spatial, dan (2) bagaimana membuat
konsep perencanaan spasial yang optimal dalam pengembangan regional.
Pertanyaan pertama menyangkut masalah struktur (ordo), konsep spatial
optimal dan pembangunan regional baik secara fisik maupun pola dan struktur
kegiatannya. Struktur spasial secara fisik berkaitan dengan spasial permukiman,
fasilitas-fasilitas produktif, jalur transportasi, tata guna tanah dan sebagainya.
Aspek-aspek ini diperlukan untuk menghitung keperluan investasi. Pola kegiatan
spasial meliputi arus modal, arus tenaga kerja, arus komoditas, dan komunikasi.
Aspek-aspek tersebut diperlukan untuk menunjang proses pembangunan.
Kegiatan ekonomi di kota metropolitan akan berkembang terus sepanjang masih
memberikan selisih manfaat-biaya yang cukup menarik. Manfaat-manfaat tersebut
akan berkurang seiring dengan semakin luasnya perkembangan kegiatan ekonomi,
menyebar keluar daerah metropolitan. Struktur spatial dari kegiatan ekonomi
terjadi karena interaksi pola fisik dan pola kegiatan ekonomi. Gejala-gejala
seperti kutub-kutub pertumbuhan, poros pembangunan, hirarki kota secara
fungsional, dan daerah pusat perdagangan merupakan beberapa contoh hasil
interaksi antara pola fisik dan pola kegiatan ekonomi. Hal ini dipengaruhi oleh
tingkat kemajuan teknologi dan tingkat produktivitas. Bila terjadi perubahan
teknologi dan tingkat produktivitas, maka struktur spatial kegiatan pembangunan
akan berubah pula.

6

Pertanyaan kedua menjelaskan alasan terjadinya perbedaan struktur spasial
melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama menekankan pada kepentingan
historis dan fokus pada pengembangan distrik tertentu. Pengembangan distrik
pada waktu yang lalu, digunakan untuk membuat proyeksi pembangunan masa
depan (tujuannya pembangunan regional yang berkelanjutan). Distrik lainnya
dianggap sebagai variable yang tidak dapat dikontrol (variabel eksogen).
Pendekatan kedua fokus pembangunan pada suatu negara (seluruh distrik sebagai
suatu kesatuan). Pola-pola ekonomi dan organisasi spasial yang terbentuk
mengikuti evolusi ekonomi nasional dan regional. Kelemahan pendekatan ini
adalah bahwa pemberlakukan kebijakan perencanaan spatial regional umumnya
untuk jangka waktu terbatas, sehingga memungkinkan terjadinya pergeseran
temporal antar regional yang berhubungan.
Kebijakan Pembangunan
Menurut Bank Dunia dalam Somik V. Lall dalam buku Reshaping
Regional Policy (Richardson et al, 2011) menyatakan bahwa pada strategi
pembangunan perlu mengidentifikasi program spesifik lokasi untuk mengurangi
kesenjangan antar wilayah. Program-program yang menurut Bank Dunia dapat
mengurangi kesenjangan adalah menyediakan jasa layanan masyarakat seperti
kesehatan dan pendidikan, pengembangan sosial, transportasi, air bersih dan
sanitasi, pengembangan perdesaan dan perkotaan, dan pengembangan sektor
swasta. Pendekatan spasial dapat digunakan untuk menentukan komposisi (jenis
dan jumlah) investasi publik yang dapat mempercepat integrasi ekonomi antara
wilayah maju dengan wilayah tertinggal.
Bank Dunia menekankan pada tiga macam networking antara regional dan
sub regional (atau antara perdesaan dengan perkotaan), yaitu: (1) infrastruktur, (2)
institusi, dan (3) insentif, untuk mengatasi tiga masalah utama dalam spasial yaitu:
(1) kepadatan (density), (2) jarak (distance), dan (3) spesialisasi (division).
Urbanisasi dapat menimbulkan masalah kepadatan penduduk. Dorongan untuk
melakukan urbanisasi adalah peluang memperoleh pendapatan yang tinggi di kota.
Urbanisasi bisa dicegah, jika kebijakan pembangunan memperhatikan dimensi
spasial dengan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan (kota) baru.
Penataan dan Perencanaan Spasial
Penataan Spasial (Ruang) adalah suatu proses perencanaan tata ruang
(spatial planning proces system) untuk pemanfaatan spasial dan pengendalian
spasial untuk memperoleh manfaat ekonomi optimum (Pareto Optimum).
Perencanaan spasial merupakan proses untuk menentukan struktur spasial dan
pola spasial yang meliputi penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang
(spatial planning).
Kebijakan dan strategi perencanaan spasial diperlukan karena manusia
sebagai makhluk berbudaya, mempunyai pemikiran dan keinginan yang tidak
sama. Keinginan antar individu terkadang bertentangan, sehingga menimbulkan
pemikiran yang berbeda tentang perencanaan, kebijakan politik (kebijakan publik)
dan pengaturan spasial. Kebijakan dalam perencanaan struktur spasial diperlukan

7

untuk mencapai tujuan pengembangan regional yaitu meningkatkan kualitas
lingkungan hidup.
Pengaturan spasial secara umum adalah pengaturan penggunaan lahan atau
dikenal dengan istilah land use planning. Perencanaan penggunaan lahan
merupakan perencanaan fisik yang paling utama dalam proses penataan spasial
(Rustiadi, 2006; Jayadinata, 1999).
Menurut Rustiadi et al. (2006), penataan spasial pada dasarnya merupakan
perubahan yang disengaja. Proses pembangunan dipahami melalui upaya-upaya
perubahan kearah kehidupan yang lebih baik, maka penataan spasial mempunyai
tiga urgensi, yaitu: (1) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip
produktivitas dan efisiensi atau Pareto Optimum), (2) alat dan wujud distribusi
sumberdaya (prinsip pemerataan, keseimbangan dan keadilan atau equity and
justice), dan (3) prinsip keberlanjutan (sustainability). Sasaran efisiensi (pareto
optimum) merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan
publik pemanfaatan spasial diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Spasial harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi
masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh
masyarakat. Perencanaan spasial juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik
lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan global
secara berkelanjutan (sustainable global prosperity).
Perencanaan spasial regional mencakup struktur dan pola pemanfaatan
spasial yang meliputi tata guna tanah lahan, air dan udara serta tata guna
sumberdaya alam yang mengatur penggunaan lahan agar dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tata guna lahan adalah pola
pemanfaatan lahan, baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan
yang meliputi persediaan peruntukan dan penggunaan lahan.
Penataan spasial bertujuan untuk terselenggaranya penataan spasial yang
berwawasan lingkungan, terselenggaranya penataan pengaturan pemanfaatan
spasial pada kawasan lindung dan budidaya sehingga tercipta pengaturan
pemanfaatan spasial yang berkualitas. Upaya penataan spasial ini juga dilakukan
untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan yang sangat penting dalam
kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Konsep penataan spasial dapat
mengarahkan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat termasuk dunia usaha. Selanjutnya dikatakan bahwa penataan spasial
bukanlah suatu tujuan melainkan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian
kegiataan penataan spasial harus dilakukan terus-menerus untuk mengarahkan
masyarakat dalam suatu regional dalam mencapai tujuan-tujuan pokoknya.
Politik Spasial pada Kebijakan Publik
Perencanaan spasial merupakan metode yang digunakan oleh sektor publik
untuk mengatur penyebaran penduduk dan aktivitas dalam spasial (Rustina 2009).
Menurut White et al (2003), politik spasial dan kebijakan publik dibuat untuk
tujuan devolusi (devolution), pembangunan (development), dan reformasi
kesejahteraan (welfare reform). Beberapa alasan pentingnya perencanaan spasial
adalah: 1. kondisi optimal (Pareto optimum) bagi satu individu, belum tentu
optimum bagi masyarakat; 2. Salah satu faktor spasial, yaitu atmosfir, merupakan
barang publik (public goods), dan 3. Spasial merupakan gabungan dari berbagai

8

komponen ekosistem, dimana fungsi ekologis masing-masing komponen
mempengaruhi keseimbangan dan kontinuitas dari suatu ekosistem.
Penyusunan spasial regional dilakukan oleh pihak pemerintah dan
masyarakat termasuk stakeholder merupakan pihak yang memutuskan secara
mayoritas dan menerima hasil dari produk RTR Regional (Jayadinata, 1999).
Budiharjo (1999) mengemukakan bahwa manusia memegang peranan
penting dalam mengatur pemanfaatan spasial. Spasial harus dipandang sebagai
upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan dan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam UUD 2002 RDTL pasal 139 ayat 1,
2, dan ayat 3 dinyatakan: (ayat 1) “sumberdaya diatas bumi, di dalam bumi, di
perairan (territorial water), continental platform dan zona ekonomi eksklusif,
yang penting untuk ekonomi, adalah asset (property) negara harus digunakan
sebagai wujud yang benar dan pemerataan (equity) untuk semua orang,
berdasarkan kepentingan nasional, (ayat 2) “syarat (kondisi) untuk
memanfaatkan sumber daya alam (SDA) tersebut yang dinyatakan dalam ayat 1
terdahulu harus sebagai cadangan keuangan wajib, berdasarkan perundangundangan, dan ayat 3 dinyatakan juga bahwa pemanfaatan sumber daya alam
tersebut harus dilihat saksama untuk keseimbagan ekologis (ecological balance)
dan menghindari kerusakan ekosistem tersebut)”.
Perencanaan spasial terdiri dari semua tingkat, mulai dari penatagunaan
tanah, termasuk perencanaan kota, perencanan desa, perencanaan regional,
perencanaan lingkungan, rencana spasial nasional, sampai pada tingkat
internasional seperti Uni Eropa. Salah satu definisi awal perencanaan spasial
diambil dari European Regional/Spatial Planning Charter (yang disebut juga
Torremolinos Charter), yang diadopsi pada tahun 1983 oleh konferensi MenteriMenteri di Negara Eropa yang bertanggung jawab atas regional planning.
Menurut hasil konferensi tersebut, “perencanaan tata ruang (spatial planning)
memberikan ekspresi geografis terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi sosial,
budaya, dan ekologis. Perencanaan tata ruang merupakan kombinasi antara ilmu,
teknik administrasi, dan kebijakan untuk pengembangan wilayah melalui strategi
pengorganisasian fisik ruang” (Rustina, 2009).
Pada umumnya penyimpangan terhadap rencana spasial stratejik (RSS)
regional justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berarti pemerintah
di tingkat pusat dan tingkat daerah sebagai penanggungjawab RSS dirasa kurang
konsekuen dalam membuat kebijakan pengembangan dan atau pembangunan
regional. Penyebab utama kurang efektifnya RSS regional yang diindikasikan
dengan berbagai penyimpangan, adalah kurang adanya koordinasi antar
pemerintah, masyarakat umum dan stakeholder. Bahkan seringkali dalam
perencanaan tidak melibatkan unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat
tidak terakomodasi di dalam RSS regional.

Konsep Perencanaan Spasial
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 analisis ekonomi
regional/kawasan dititik-beratkan pada pembahasan masalah lokasi dan spasial.
Masalah lokasi dari setiap kegiatan produktif terutama dalam pembangunan harus
dipertimbangkan dan dipilih secara tepat supaya kegiatan-kegiatan tersebut dapat

9

dilaksanakan secara efektif dan efisien. Penentuan dimana kegiatan-kegiatan
pembangunan tersebut akan dilakukan, menyangkut masalah spasial.
Konsep spasial ekonomi regional sangat penting dalam studi pengembangan
nasional, regional, sub regional dan perdesaan. Menurut perkembangan historis,
tata ruang (spatial) ekonomi mengalami perubahan dan pertumbuhan. Beberapa
kasus spasial dapat dikemukakan seperti terjadinya pemusatan kegiatan-kegiatan
industri dan urbanisasi ke kota-kota besar, terbentuknya pasar-pasar dan pusatpusat baru yang menimbulkan perubahan dalam wilayah-wilayah pelayanan dan
mungkin pula perlu dilakukan penyempurnaan dalam pembagian kawasan
pembangunan secara menyeluruh. Kasus-kasus di atas merupakan topik-topik
yang bersifat kontroversial karena mempunyai pengaruh yang mendasar terhadap
pengembangan spasial nasional, regional, sub regional dan spasial kawasan. Ahli
ilmu bumi, ekonomi, sosiologi, matematika, perencana dan para pengusaha
mempunyai pendapat atau gagasan yang berbeda-beda mengenai konsep spasial.
Jadi spasial mempunyai bermacam-macam pengertian (Adisasmita, 2010).
Konsep spasial menurut Adisasmita (2010) mempunyai pengertian yang
lebih bersifat operasional, misalnya dikaitkan dengan investasi modal, jaringan
transportasi, industri, parawisata, dan teknologi pertanian menciptakan
perkembangan baru, yang meliputi bahan-bahan material baru dan aturan-aturan
baru. Konsep spasial ekonomi regional dapat dibedakan dengan spasial geografis,
dimana para ahli geografis (ahli ilmu bumi) menempatkan manusia dalam
lingkungan alam, sebaliknya ahli-ahli ekonomi menganggap lingkungan sebagai
salah satu faktor yang mempengaruhi kegiatan-kegiatan manusia. Spasial
geografis merupakan tata ruang regional tiga dimensi, sedangkan spasial ekonomi
lebih kompleks dan bersifat multidimensional. Spasial ekonomi berbeda pula
dengan struktur spasial matematik, yaitu spasial matematik yang bersifat abstrak,
variabel ekonomi dinyatakan dalam simbol-simbol matematik, yang disusun
dalam formula statistik, dan tidak ada hubungannya dengan lokasi geografis. Jika
suatu spasial terbentuk semata-mata oleh variabel ekonomi, maka spasial tersebut
merupakan spasial matematik, artinya secara matematik dapat terjadi di manamana, akan tetapi sebaliknya spasial ekonomi merupakan aplikasi variabel
ekonomi di atas untuk memenuhi kebutuhan manusia pada suatu spasial geografis,
dan melalui suatu transformasi matematik dapat dijelaskan proses ekonomi.
Menurut Wegner (2001), terdapat tiga kategori model spasial, yaitu: model
skala, model konseptual dan model matematik. Model skala adalah model yang
merepresentasikan kondisi fisik yang sebenarnya, seperti data ketinggian. Model
konseptual adalah model yang menggunakan aliran dari komponen sistem yang
diteliti dan menggambarkan hubungan antar kedua komponen tersebut. Model
matematik digunakan dalam model konseptual yang merepresentasikan beberapa
komponen dan interaksinya dengan hubungan matematik. Pada pemodelan
spasial, kebijakan dan pembatasan penggunaan lahan dilakukan untuk simulasi
prediksi penggunaan lahan dengan beberapa skenario dan hasilnya digunakan
untuk merumuskan arahan kebijakan rencana penggunaan lahan termasuk arahan
kebijakan spasial secara umum. Skenario dan strategi yang digunakan dalam
model spasial serta perubahan penggunaan lahan (spasial) merupakan kombinasi
dari model kebutuhan penggunaan lahan (spasial) dan model kebijakan spasial.

10

Konsep Ekonomi Geografi Baru (The New Economic Geography)
Menurut istilah geografi, spasial regional sering diartikan sebagai suatu
regional yang mempunyai batas geografis, yaitu batas menurut fisik, sosial atau
pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah
dibawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata, 1999).
Konsep the new economic geografi (NEG) atau geografi ekonomi baru
(GEB) yang dikemukakan oleh Richardson et al (2011), membantu menjelaskan
fenomena dominasi kota Seoul pada perekonomian di Korea Utara. Pertumbuhan
ekonomi yang tidak terdistribusi secara spasial, menyebabkan padatnya bangunan
yang tidak tertata dan kemacetan di kota Seoul. Strategi untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan membangun kantor pemerintah yang
menyebar (dispersal), seperti yang dilakukan oleh Inggris.
Strategi pengembangan regional di Inggris telah mengalami pergeseran
dari “menciptakaan perbedaan” (growth pole theory), ke arah pemerataan dengan
menciptakan pusat-pusat pertumbuhan untuk memberdayakan ekonomi lokal.
Namun, demikian keseimbangan dalam pengembangan regional sulit dicapai
karena beberapa hal seperti perbedaan kepemilikan sumberdaya alam antar
regional, strategi pembangunan berbasis sektoral, perbedaan konsep pembangunan
(antara pembangunan fisik atau pembangunan sosial), perencanaan yang bersifat
top-down, ukuran (size) geografis yang berbeda, perbedaan kebijakan pajak usaha
dan kebijakan lainnya. Dalam dokumen resmi pada Deputy Prime Mister di
Inggris Raya (2004), ditetapkan prinsip-prinsip utama dalam strategi spasial
regional (RSS) dan PPS (Planning Policy Statement). Walikota sebagai
penanggungjawab untuk mempersiapkan strategi pengembangan spasial.
Pelaksanaannya didukung dengan kebijakan perencanaan, yang merupakan
turunan dari kebijakan perencanaan nasional.
Krugman (1991) yang selama ini menggunakan acuan pembangunan
ekonomi seperti konsep increasing returns to scale, efisiensi biaya transport,
perdagangan interregional versus internasional, jika dikombinasikan dengan
konsep GEB, menghasilkan model pembangunan regional yang ideal. Menurut
Richardson et al (2011), memberikan alasan penyebab gagalnya konsep kebijakan
pengembagan regional dan perencanaan spasial, antara lain: (a) inkonsistensi
kebijakan, (b) politik dan kebijakan spasial, dan (c) skala spasial.
Pendekatan Alokasi Sumberdaya Secara Spasial
Menurut Adisasmita (2010) prinsip alokasi sumberdaya secara spasial (tata
ruang) adalah untuk mencapai manfaat secara optimal dengan mempertimbangkan
kondisi lingkungan hidup. Alokasi spasial didasarkan pada empat prinsip yaitu
kesesuaian, kesinambungan sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
demokratisasi alokasi spasial, dan sinergi regional. Berdasarkan prinsip
kesesuaian (suitability), setiap kegiatan harus mempertimbangkan keserasian
dengan kapasitas spasial (lahan/ruang). Berdasarkan dari prinsip pemikiran
alokasi spatial optimum, kegiatan dapat dilaksanakan, baik langsung maupun
tidak langsung pada saat sekarang dan masa yang akan datang dengan diupayakan
dengan sebaik mungkin dan menghindari terjadinya berbagai konfilk kepentingan
diantara kegiatan-kegiatan dalam pemanfaatan spasial. Pemanfaataan spasial yang
serasi tidak hanya dilihat dari keserasian fisik, tetapi juga dari keserasian sosial

11

ekonomi. Artinya kegiatan pemanfaatan spasial harus dikaitkan dengan kegiatan
sosial-ekonomi penduduk di daerah baik di kawasan perdesaan maupun di
perkotaan. Prinsip kesinambungan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
(The Continuity of Natural Resources and Environment), artinya setiap kegiatan
(sosial dan ekonomi) disesuaikan dengan fungsi dan karakteristik regional
tersebut.
Prinsip demokratisasi alokasi spasial berarti bahwa pemanfaatan
sumberdaya regional direncanakan dengan melibatkan peran serta masyarakat
lokal (setempat), agar tidak menimbulkan perlawanan bagi sebagian besar
masyarakat. Prinsip sinergi regional (Regional Synergy) adalah bahwa kegiatan
pembangunan suatu regional harus memperhatikan interaksi fungsional antara
unit-unit regional dan sub regional/kawasan dengan regional sekitarnya.
Andrade (1978), menyarankan bahwa dalam Perencanaan Regional dan
Pembangunan Nasional penetapan lokasi aktivitas pelayanan di suatu wilayah
(region) mempertimbangkan akses dan kenyamanan (convenient) penduduk yang
akan dilayani. Perencanaan lokasi pelayanan memerlukan mempertimbangkan
efektivitas spasial secara rasional (rational locational planning) yaitu lokasi yang
potensial, efisien dan optimal, merata ke seluruh regional, sub-regional dan
perdesaan. Sebagai contoh efisien dan optimal adalah bahwa jarak sebuah bank
yang sebelumnya berjarak 40.7 km dapat dikurangi menjadi 22.7 km.
Menurut Faludi (2006) dan Sack (1986) mendefinisikan territoriality as „a
spatial strategy to affect, influence, or control resources and people, by
controlling area‟. Kebijakan regional adalah mempromosikan kohesi (cohesion)
ekonomi dan kohesi sosial. Kohesi adalah sebuah konsep yang menggaris-bawahi
harmonisasi pembangunan masyarakat dalam meenurunkan kesenjangan
pembangunan antar wilayah.
Indikator, Keberlanjutan dan Kinerja Pembangunan Regional
Setiap perencanaan pembangunan regional memerlukan batasan praktikal
yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat perkembangan
regionalnya. Secara umum tampaknya pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan
output produksi yang tinggi memang merupakan kinerja pembangunan yang
paling popular. Namun demikian, pertumbuhan perekonomian yang pesat
tersebut, jika disertai munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi
pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran, peningkatan jumlah keluarga di
bawah garis kemiskinan (disparitas kemiskinan antar regional), serta kerusakan
sumberdaya alam akan berdampak paradox dan mengarah pada kemunduran
pembangunan itu sendiri. Adanya permasalahan-permasalahan tersebut memaksa
para pakar pembangunan dan pakar perencanaan mulai mengkaji ulang tolok ukur
(indikator) tersebut bukan hanya output seperti GNP, tetapi harus disertai
beberapa tolok ukur lainnya.
Indikator adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan
tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena
itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur
serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik
dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan
berfungsi. Selain itu, indikator kinerja digunakan untuk meyakinkan bahwa hari

12

demi hari organisasi atau program yang bersangkutan menunjukkan kemajuan
dalam rangka menuju tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Secara umum, indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas
tentang apa, berapa dan kapan suatu pembangunan dilaksanakan, (2) menciptakan
konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari
kesalahan interpretasi selama kebijakan/kegiatan dan dalam menilai kinerjanya
dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja
organisasi/unit kerja (Rustiadi et al, 2011).
WCED (1987) dalam (Rustiadi et al, 2011), mendefinisikan konsep
pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan adalah pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan sekarang tanpa merusak kemampuan generasi yang akan
datang untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang
memberikan semacam ambang bagi laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta
sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Sedangkan Smith (2011) dalam (Rustiadi
et al, 2011), mendefinisikan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan
adalah pembangunan yang meminimalkan penggunaan sumberdaya dan
meningkatkan entropi bumi dalam pembangunan regional yang berkelanjutan
sepertidalam Gambar 2.
Ekologi

Budaya

Ekonomi

Gambar 2 Indikator pembangunan berkelanjutan
Dari berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat tiga kelompok
cara dalam menetapkan indikator pembangunan, yakni: (1) indikator berbasis
tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya, dan (3)
indikator berbasis proses pembangunan (Gambar 2). Indikator berbasis tujuan
pembangunan merupakan sekumpulan cara mengukur tingkat kinerja
pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan
tujuan-tujuan pembangunan yang disimpulkan dal