Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) Di Kalangan Remaja

HUBUNGAN POLA INTERAKSI DENGAN MOTIF
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN
ZAT ADIKTIF (NAPZA) DI KALANGAN REMAJA

QANITA WINDYANGGIVA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Pola
Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
(Napza) di Kalangan Remaja adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Qanita Windyanggiva
NIM I34100042

ABSTRAK
QANITA WINDYANGGIVA. Hubungan Pola Interaksi dengan Motif
Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) di Kalangan
Remaja. Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS.
Indonesia memiliki histori cukup panjang mengenai persoalan kenakalan anak dan
remaja yang kini telah memasuki titik rawan. Salah satu masalah yang
mengkhawatirkan adalah kasus penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik
individu dan karakteristik keluarga, pola interaksi remaja penyalahguna Napza,
menganalisis motif penyalahgunaan Napza, serta menganalisis hubungan pola
interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza. Penelitian ini menguji dua pola

interaksi yang dimiliki penyalahguna Napza, yaitu pola interaksi keluarga dan
pola interaksi pertemanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik pola
interaksi keluarga maupun pola interaksi pertemanan memiliki hubungan dengan
motif penyalahgunaan Napza.
Kata kunci: Napza, pola interaksi, motif penyalahgunaan Napza
ABSTRACT

QANITA WINDYANGGIVA The Relationship between The Pattern of
Interaction with The Motives of Drug Abuse among Adolescents. Supervised by
DJUARA P. LUBIS.
Indonesia has a fairly long history on the issue of child and adolescent
delinquency that has now entered the critical points. One of the worrying problem
is the case of drug abuse (narcotics, psychotropic and addictive substances). This
study aimed to describe the individual characteristics and family characteristics,
patterns of interaction adolescent drug abusers, analyze motives drug abuse, as
well as analyzing the interaction patterns of relationship with drug abuse
patterns. This study examines two patterns of adolescent drug abusers, there are
the family interaction patterns and friendship interaction pattern. The results
showed that both family interaction patterns and interaction patterns of friendship
has a relationship with drug abuse patterns.


Keywords: drug, patterns of interaction, motifs of drug abuse

HUBUNGAN POLA INTERAKSI DENGAN MOTIF
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN
ZAT ADIKTIF (NAPZA) DI KALANGAN REMAJA

QANITA WINDYANGGIVA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


v

Judul Skripsi : Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) Di Kalangan
Remaja
Nama

: Qanita Windyanggiva

NIM

: I34100042

Disetujui oleh

Dr Ir Djuara P. Lubis, MS
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :_____________________

PRAKATA

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
anugerah-Nya serta kesempatan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi
dengan sebaik-baiknya. Skripsi yang berjudul “Hubungan Pola Interaksi dengan
Motif Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (Napza) di
Kalangan Remaja” ini mengupas tentang hubungan pola interaksi yang terjalin di
kalangan remaja dengan motif remaja tersebut manyalahgunakan Napza.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Djuara P. Lubis, MS
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama
proses penulisan hingga penyelesaian Skripsi ini. Penulis juga menyampaikan
hormat dan terima kasih kepada Ibu Novarita Dwi Suryani dan Bapak Dwi Windu
Suryono selaku orangtua tercinta serta Akhmad Steivano dan Rury Narulita
Septari selaku kakak tersayang, yang selalu memberikan saran, masukan,

dukungan dan doa yang sangat bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan
Skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman suka
duka dan seperjuangan, Aufa, Chaca, Debby, Echa, Fifi, Jihan, Mutia, Raissa, dan
Uty yang telah memberikan dukungan, saran, dan ide-ide sehingga memberikan
pencerahan kepada penulis dalam penulisan Skripsi ini. Terimakasih juga penulis
ucapkan kepada Ghulam Halim Furqoni yang selalu menyuguhkan waktunya
untuk membantu penulis, Andika Sefri Mulya, Ka Jabbar, Ka Ochi, Eben, Ka
Herna, dan Ijal yang selalu memberikan support dalam penulisan Skripsi ini.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada mahasiswa Departemen
SKPM seluruh angkatan, khususnya SKPM 47, yang selalu menemani dalam
proses perkuliahan selama beberapa tahun ini dan memberikan pelajaran
bermakna kepada penulis. Tidak lupa terima kasih juga penulis ucapkan kepada
teman-teman HIMASIERA, khususnya divisi Broadcast, teman-teman UKM
MAX!! IPB, dan komunitas Stand Up Indo Bogor yang selalu memberikan
semangat kepada penulis.
Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan.

Bogor, Januari 2014


Qanita Windyanggiva

xi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Kegunaan Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA

5
Remaja
5
Perilaku Menyimpang
5
Penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif)
6
Pola Interaksi
8
Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Keluarga
8
Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Lingkungan Pertemanan
9
Motif
12
Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Napza
13
Kerangka Pemikiran
15
Hipotesis Penelitian

15
Definisi Operasional
16
PENDEKATAN LAPANGAN
19
Metode Penelitian
19
Lokasi dan Waktu
19
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
19
Teknik Pengumpulan Data
20
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
20
GAMBARAN UMUM
23
Profil Rumah Singgah PEKA
23
Program Rumah Singgah PEKA

24
Struktur Organisasi
26
KARAKTERISTIK PENYALAHGUNA NAPZA
27
Usia
29
Jenis Kelamin
29
Tingkat Pendidikan
29
Status Pekerjaan
30
Tingkat Penerimaan
30
Status Pernikahan Orangtua
31
Tingkat Pendidikan Orangtua
31
Tingkat Penerimaan Orangtua

31
POLA INTERAKSI PENYALAHGUNA NAPZA DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KARAKTERISTIK INTERNAL
33
Pola Interaksi
34
Pola Interaksi Keluarga
34
Hubungan Karakteristik Individu dan Karakteristik Keluarga dengan Pola
Interaksi Keluarga
35
Hubungan Usia dengan Pola Interaksi Keluarga
36
Hubungan Jenis Kelamin dengan Pola Interaksi Keluarga
38
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pola Interaksi Keluarga
38
Hubungan Status Pekerjaan dengan Pola Interaksi Keluarga
40
Hubungan tingkat penerimaan dengan pola interaksi keluarga
40

xii

Hubungan Status Pernikahan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga
42
Hubungan Tingkat Pendidikan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga
43
Hubungan Tingkat Penerimaan Orangtua dengan Pola Interaksi Keluarga
45
Pola Interaksi Pertemanan
46
Hubungan Karakteristik Individu dan Karakteristik Keluarga dengan Pola
Interaksi Pertemanan
47
Hubungan Usia dengan Pola Interaksi Pertemanan
48
Hubungan Jenis Kelamin dengan Pola Interaksi Pertemanan
49
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pola Interaksi Pertemanan
50
Hubungan Status Pekerjaan dengan Pola Interaksi Pertemanan
51
Hubungan Tingkat Penerimaan dengan Pola Interaksi Pertemanan
52
Hubungan Status Pernikahan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan
53
Hubungan Tingkat Pendidikan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan
54
Hubungan Tingkat Penerimaan Orangtua dengan Pola Interaksi Pertemanan
56
MOTIF PENYALAHGUNAAN NAPZA DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLA
INTERAKSI
58
Motif Penyalahgunaan Napza
58
Motif Organismis Penyalahgunaan Napza
58
Motif Sosial Penyalahgunaan Napza
59
Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Napza
60
Hubungan Pola Interaksi Keluarga dengan Motif Organismis Penyalahgunaan
Napza
61
Hubungan Pola Interaksi Keluarga dengan Motif Sosial Penyalahgunaan Napza 63
Hubungan Pola Interaksi Pertemanan dengan Motif Organismis Penyalahgunaan
Napza
64
Hubungan Pola Interaksi Pertemanan dengan Motif Sosial Penyalahgunaan Napza 66
PENUTUP
68
Simpulan
68
Saran
69
DAFTAR PUSTAKA
70
LAMPIRAN
72
RIWAYAT HIDUP
78

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5

6
7
8
9
10
11

12

13

14

15
16

17
18
19
20

Pola interaksi dan motif penyalahgunaan Napza
Kriteria pengukuran korelasi
Karakteristik individu dan karakteristik keluarga responden
penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase responden menurut pola interaksi keluarga
penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil
pengujian korelasi antara karakteristik internal dengan pola interaksi
keluarga responden penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA
tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut usia responden
penyalahguna Napza di di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut jenis kelamin
penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat
pendidikan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut status pekerjaan
penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat
penerimaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut status
pernikahan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA
tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat
pendidikan ayah penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun
2013
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat
pendidikan ibu penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun
2013
Jumlah dan persentase pola interaksi keluarga menurut tingkat
penerimaan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA
tahun 2013
Jumlah dan persentase responden menurut pola interaksi pertemanan
penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil
pengujian korelasi antara karakteristik internal dengan pola interaksi
pertemaanan responden penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA
tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut usia
responden, Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut jenis
kelamin penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat
pendidikan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut status
pekerjaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

13
21
28
33
34

35
37
37
38
39
41

42

43

44

45
46

47
48
49
50

xi

21
22

23

24

25

26
27
28

29
30
31
32

Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat
penerimaan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut status
pernikahan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA
tahun 2013
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat
pendidikan ayah penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun
2013
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat
pendidikan ibu penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun
2013
Jumlah dan persentase pola interaksi pertemanan menurut tingkat
penerimaan orangtua penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA
tahun 2013
Jumlah dan persentase responden menurut motif organismis
Penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase responden menurut motif sosial, Penyalahguna
Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Nilai koefisien korelasi dan signifikansi korelasi berdasarkan hasil
pengujian korelasi antara pola interaksi penyalahguna Napza di Rumah
Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase motif organismis menurut pola interaksi
keluarga penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase motif sosial menurut pola interaksi keluarga
penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase motif organismis menurut pola interaksi
pertemanan penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013
Jumlah dan persentase motif sosial menurut pola interaksi pertemanan
penyalahguna Napza di Rumah Singgah PEKA tahun 2013

51
52

53

54

55

57
58
60

61
62
63
65

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5

Jadwal pelaksanaan penelitian
Dokumentasi Kegiatan
Data output program Harm Reduction Rumah Singgah PEKA
Diagram output program Harm Reduction Rumah Singgah PEKA
Diagram perkembangan klien berdasarkan WHO-QO

71
72
74
75
76

xii

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Globalisasi bukan hanya membawa dampak positif, namun juga dampak
negatif berupa munculnya masalah-masalah sosial. Berbagai masalah sosial yang
melanda masyarakat Indonesia sejak abad 20 hingga saat ini berdampak pada
munculnya krisis pada semua aspek kehidupan manusia. Lesile dalam Hurlock
(1980) mengemukakan batasan mengenai masalah sosial sebagai suatu kondisi
yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sebagian besar warga masyarakat
sebagai sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai.
Nasution dan Nashori (2007) mengkategorikan masalah-masalah sosial ke
dalam beberapa kategori, yaitu (a) problema ekonomis berupa kemiskinan dan
pengangguran, (b) problema biologis berupa timbulnya berbagai penyakit, (c)
problema biopsikologis seperti kegilaan, stres, bunuh diri, dan penyakit saraf,
serta (d) problema kebudayaan antara lain perceraian, kejahatan dan kenakalan
anak dan remaja. Stark dalam Santrock (2012) membagi masalah sosial menjadi
tiga macam, yaitu konflik dan kesenjangan, perilaku menyimpang, serta
perkembangan manusia. Sarwono (2002) mengungkapkan perilaku menyimpang
(deviation) adalah semua tingkah laku yang menyimpang dari ketentuan yang
berlaku dalam masyarakat (norma agama, etika, peraturan sekolah dan keluarga,
dan lain-lain), namun jika penyimpangan itu terjadi terhadap norma-norma hukum
pidana hal ini dapat disebut sebagai kenakalan (deliquent).
Di Indonesia persoalan kenakalan anak dan remaja telah memasuki titik
rawan. Selain intensitasnya meningkat, kenakalan anak dan remaja sudah
mengarah ke kenakalan yang bersinggungan dengan perbuatan kriminal. Anak
dan remaja usia belasan tahun telah terlibat tidak hanya dalam kasus-kasus
perkelahian dan minum-minuman keras, tetapi juga kasus pencurian, perampokan,
perusakan atau pembakaran, seks bebas, bahkan penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif berbahaya atau Napza.
Berdasarkan survei bersama Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan
Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2008, penyalahgunaan
Napza di Indonesia menunjukkan tren meningkat. Besaran penyalahgunaan Napza
di Indonesia diperkirakan sekitar 3,1 sampai 3,6 juta orang. Bisnis Napza di
Indonesia sedang berjalan cepat menuju skala masif. Menurut perkiraan BNN,
volume perdagangan (jumlah uang yang dibelanjakan untuk membeli Napza)
mencapai Rp 15,4 triliun per tahun. Penelitian ini pun menghasilkan prevalensi
penyalahgunaan Napza pada tahun 2005 sebanyak 1,75 persen pengguna Napza
dari jumlah penduduk di Indonesia. Prevalensi itu naik menjadi 1,99 persen pada
tahun 2008. Hingga pada tahun 2012, diproyeksikan angka sudah mencapai 2,8
persen atau setara dengan 5,8 juta penduduk Indonesia. Kepala polisi daerah Jawa
Barat juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2008 kasus penyalahgunaan Napza
di Jawa Barat meningkat sebesar 173% dari tahun sebelumnya yang berjumlah
1.400 kasus kini menjadi 3.463 kasus. Pada akhir tahun 2012 lalu, BNN merilis
bahwa jumlah pengguna Napza di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke
tahun. (Sumber: www.bnn.go.id/)

2

Menurut Convention on the Rights of the Child (CRC) yang juga
disepakati Indonesia pada tahun 1989, setiap anak berhak mendapatkan informasi
kesehatan reproduksi, termasuk HIV/AIDS dan Napza serta dilindungi secara fisik
maupun mental. Realita yang terjadi saat ini bertentangan dengan kesepakatan
tersebut, karena telah ditemukannya anak usia tujuh tahun yang mengonsumsi
Napza jenis inhalan (uap yang dihirup). Anak usia delapan tahun sudah memakai
ganja. Kemudian, di usia sepuluh tahun anak-anak menggunakan Napza dari
beragam jenis, seperti inhalan, ganja, heroin, morfin, ekstasi, dan sebagainya.
Masyarakat di sejumlah kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota
Bogor, harus meningkatkan kewaspadaannya terhadap ancaman penyalahgunaan
Napza. Berdasarkan data Polisi Resort Kota (Polresta) Bogor pada tahun 2007
penyalahgunaan Napza di Kota Bogor tercatat sebanyak 133 kasus dan meningkat
di tahun 2008 menjadi 144 kasus. Adapun jenis penyalahgunaan Napza yang
terbesar adalah narkotika jenis heroin/putaw dan cara penggunaannya banyak
yang disuntikkan ke dalam intravena. Jumlah pengguna Napza suntik di Kota
Bogor, hingga Januari 2009 mencapai 4590 orang. Namun ternyata tidak hanya
masyarakat di kota-kota besar yang harus mewaspadai ancaman penyalahgunaan
Napza, Badan Narkotika Nasional pada tahun 2008 mencatatat bahwa Napza
sudah memasuki wilayah pedesaan sehingga diperlukan upaya penyalahgunaan
Napza.
Mayoritas para pencandu Napza berusia antara 11 sampai 24 tahun.
Artinya usia tersebut ialah usia produktif atau usia pelajar. Berdasarkan data
Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus pemakaian Napza oleh pelaku dengan
tingkat pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah 12.305. Penyebaran Napza
menjadi semakin mudah karena anak-anak usia SD juga sudah mulai mencoba
mengisap rokok. Tidak jarang para pengedar Napza menyusupkan zat-zat adiktif
(zat yang menimbulkan efek kecanduan) ke dalam lintingan tembakaunya.
Menurut hasil penelitian Siregar (2004), penyalahgunaan Napza di usia
produktif atau remaja diduga dipengaruhi oleh karakteristik individu dan
lingkungan sekitar, baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan
pertemanannya. Jensen dalam Sarwono (2002) menerangkan asal mula kenakalan
remaja dengan menggolongkannya ke dalam teori sosiogenik, yaitu teori yang
mencoba mencari sumber penyebab kenakalan remaja pada faktor lingkungan
keluarga dan masyarakat. Usia relatif muda para pecandu Napza (remaja) yang
merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang dan kenakalan ini
membuatnya mudah terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Pada umumnya
remaja-remaja saat ini lebih mengedepankan hubungan pertemanan dibandingkan
hubungan dalam keluarga. Hal tersebut kemudian mempengaruhi pola interaksi
yang tercipta, baik pola interaksi dengan keluarganya maupun pola interaksi
dengan teman sepermainannya.
Penelitian Safaria (2007) mengungkapkan bahwa penyalahgunaan Napza
yang kini kian marak menyerang remaja merupakan akibat pengaruh negatif
teman sebaya. Penelitian dari Emler (2001) dan Armistead, Forehand, Beach, dan
Brody (1995) yang dikutip Safaria juga mengungkapkan bahwa peran keluarga,
dalam hal ini pola orang tua, menjadi pembentuk harga-diri anak. Pola asuh yang
positif cenderung terdapat dalam keluarga yang harmonis. Sehingga ketika remaja
berada dalam lingkungan keluarga yang harmonis, mereka cenderung akan
mendapatkan banyak hal-hal positif diantaranya, dukungan orang tua, pujian

3

positif, kasih sayang yang memadai dan kedekatan emosional yang positif. Semua
dukungan positif tersebut akan membentuk harga diri anak menjadi positif juga.
Semakin meningkatnya jumlah penyalahguna Napza melahirkan Rumah
Singgah PEKA yang berdiri untuk menyelesaikan segala problematika dari
penyalahgunaan Napza, baik mengenai masalah ketergantungan Napza hingga
masalah-masalah psikologis dan sosial yang dirasakan penyalahgunanya. Rumah
Singgah PEKA Bogor memilih berdiri sebagai rumah rehabilitasi non profit
berbasis komunitas anti Napza. Rumah rehabilitasi non profit ditujukan untuk
penyalahguna Napza yang ingin sembuh namun tidak memiliki biaya atau berada
dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah dari berbagai daerah bahkan daerah
pelosok negeri ini. Basis komunitas anti Napza membuat siapapun yang masuk ke
dalamnya menjadi lebih dekat dan memiliki visi misi yang sama. Berdasarkan
uraian di atas, hubungan pola interaksi, baik dalam lingkungan keluarga maupun
pertemanan, dengan motif dari penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif khususnya di kalangan remaja dirasa relevan untuk dikaji dalam penelitian
ini dengan memilih Rumah Singgah PEKA sebagai tempat dilakukannya studi
kasus.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dibangun beberapa masalah penelitian
yang dapat dirumuskan oleh pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimana karakteristik individu dan karakteristik keluarga penyalahguna
Napza?
2. Bagaimana pola interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna
Napza?
3. Bagaimana hubungan karakteristik individu dan karakteristik keluarga
dengan pola interaksi remaja penyalahguna Napza di kalangan remaja?
4. Apa motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja?
5. Bagaimana hubungan pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza
di kalangan remaja?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan karakteristik individu dan karakteristik keluarga
penyalahguna Napza.
2. Mendeskripsikan pola interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna
Napza.
3. Menganalisis hubungan karakteristik individu dan karakteristik keluarga
dengan pola interaksi remaja penyalahguna Napza.
4. Menganalisis motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja.
5. Menganalisis hubungan pola interaksi dengan motif penyalahgunaan
Napza di kalangan remaja.

4

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pola
interaksi yang terbentuk pada remaja penyalahguna Napza dan melihat hubungan
antara pola interaksi dengan motif penyalahgunaan Napza di kalangan remaja.
Secara lebih khusus, penelitian ini akan bermanfaat bagi beberapa pihak, yakni:
1. Bagi akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk penelitianpenelitian selanjutnya yang sejenis. Peneliti selanjutnya juga diharapkan
dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan dari penelitian ini.
2. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk
mengetahui pola interaksi yang berkembang di kalangan remaja saat ini
dan motif-motif penyalahgunaan Napza pada remaja serta hubungan
diantara keduanya. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sebuah penilaian masyarakat mengenai kemungkinan
penyalahgunaan Napza pada remaja dan motif yang melatarbelakanginya,
khususnya pada remaja Bogor sehingga masyarakat dapat menghindari
kemungkinan-kemungkinan yang dapat mengarah kepada tindakan
penyalahgunaan Napza.
3. Bagi instansi terkait
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan dan
pemberi informasi relevan mengenai motif penyalahgunaan Napza di
kalangan remaja dan hubungannya dengan pola interaksi yang terbentuk.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Remaja
Istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari bahasa latin
“adolescere” (kata bendanya, adolescence yang berarti remaja) yang berarti
“tumbuh menjadi dewasa”. WHO memberikan definisi mengenai remaja yang
lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu
biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Secara lengkap definisi remaja adalah
suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual, masa
dimana individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identidikasi dari
anak-anak menjadi dewasa, serta masa dimana terjadi peralihan dari
ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih
mandiri.
Sarwono (2002) menyatakan batasan remaja di Indonesia yang mendekati
batasan PBB tentang pemuda yaitu dalam kurun usia 15-24 tahun. Hurlock (1980)
membagi periode masa remaja ke dalam tiga bagian, yaitu masa remaja awal pada
umur 10 atau 12 tahun sampai 14 tahun, masa remaja tengah umur 13 atau 14
tahun sampai 17 tahun, dan masa remaja akhir pada umur 17-21 tahun. Menurut
Santrock (2012), sebagian besar ahli mengklasifikasikan remaja menjadi dua
tahapan, yaitu remaja awal dan remaja akhir. Remaja awal merupakan mereka
yang tergolong dalam kategori usia 15-19 tahun, sedangkan remaja akhir 20-24
tahun.
Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa kanakkanak dan masa dewasa yang mengandung perubahan besar baik fisik, kognitif,
dan psikososial yang saling bertautan dalam semua ranah perkembangan. Pada
fase ini, remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya
dan hal ini memberikan dampak, baik pada bentuk fisik maupun psikis (Hurlock
1980).
Menurut Erick Erickson (2007) yang dikutip oleh Santrock, masa remaja
adalah masa terjadinya kritis identitas atau pencarian identitas diri. Karakteristik
remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering
menimbulkan masalah pada diri remaja. Hurlock (1980) mengemukakan masa
storm and stress dialami remaja pada umumnya, dimana terjadi pergolakan emosi
yang diiringi pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan psikis yang
bervariasi.
Perilaku Menyimpang
Ilmu psikologi mengenal perilaku-perilaku yang menyimpang dari
perilaku normal sebagai gejala dari gangguan mental. Menurut Sarwono (2009),
penyimpangan perilaku disebabkan oleh adanya kelainan psikis pada orang-orang
yang bersangkutan atau bisa juga disebabkan karena adanya stresor (sumber stres)
yang datang dari luar, atau perubahan sosial yang mengubah kriteria normal-tidak
normal. Perilaku menyimpang menurut Santrock (2012) salah satunya adalah

6

label kenakalan remaja (juvenille delinquent), yaitu remaja yang melanggar
hukum atau terlibat dalam perilaku yang dianggap ilegal.
Anggara (2012) mengemukakan jenis perilaku menyimpang terbagi
menjadi penyimpangan primer dan sekunder. Penyimpangan primer adalah suatu
pelanggaran atau penyimpangan yang bersifat sementara (temporer), sehingga
individu yang melakukan penyimpangan tersebut masih dapat diterima oleh
kelompok sosialnya, sebab pelanggaran terhadap norma-norma umum tidak
berlangsung secara terus-menerus. Sementara penyimpangan sekunder adalah
penyimpangan sosial yang nyata dan sering dilakukan sehingga menimbulkan
akibat yang cukup parah dan mengganggu orang lain.
Merton yang dikutip oleh Anggara (2012) menyebutkan bahwa
penyimpangan terjadi melalui struktur sosial. Menurut Merton struktur sosial
dapat menghasilkan perilaku yang konformis (sesuai dengan norma) dan sekaligus
perilaku yang dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan. Merton berpendapat
bahwa struktur sosial menghasilkan tekanan kearah anomie dan perilaku
menyimpang karena adanya ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan caracara yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Sarwono (2010),
perilaku menyimpang dikatagorikan ke dalam beberapa sektor yaitu DSM IV
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder), Psikopat,
Penyalahgunaan Napza, Gangguan seksual, dan Psikoterapi.
Penyalahgunaan Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif)
Istilah “Narkotika” berasal dari kata Yunani “narkoosis” yang
dikemukakan oleh Bapak Ilmu Kedokteran, Hipokrates, untuk zat-zat yang
menimbulkan mati rasa atau rasa lumpuh. Penyalahgunaan Napza dapat
menyebabkan ketergantungan dan kecanduan. Ketergantungan menurut Sarwono
(2009) adalah jika ambang toleransi orang yang bersangkutan terhadap zat-zat
berbahaya tersebut semakin tinggi, sehingga kebutuhan pemakaiannya semakin
besar, dan orang tersebut tidak dapat dengan mudah menghentikan pemakaian zat
tersebut dengan tiba-tiba, tetapi masih bisa dihentikan dengan cara-cara tertentu
atau bertahap. Contohnya seperti ketergantungan pada rokok atau tembakau.
Sementara Adiksi adalah jika zat-zat berbahaya mempengaruhi tubuh sedemikian
rupa sehingga tanpa zat tersebut tubuh tidak dapat berfungsi normal, bahkan
timbul rasa sakit yang luar biasa (sakau). Selain itu alcoholism (kecanduan
alkohol juga termasuk dalam penyalahgunaan Napza. Menurut Sarwono (2009)
kecanduan alkohol dapat menyebabkan kebangkrutan ekonomi dan sosial, seperti
rumah tangga hancur, di PHK, terlibat Kriminal, dan sebagainya.
Sarwono (2002) dan Anggara (2012) menyebutkan beberapa nama dan
jenis Napza yang populer bagi para penguna Napza, antara lain yaitu:
1. Tembakau
Didalam tembakau terdapat racun nikotin keras yang dapat merangsang
susunan saraf sehingga menimbulkan ketagihan. Selain nikotin, dalam
tembakau juga terdapat tar yaitu zat yang dapat mengakibatkan penyakit
kanker paru-paru.
2. Candu/madat atau Opium
Candu dan Opium berasal dari tumbuhan Paper somniferum. Tumbuhan ini
banyak dijumpai di Rusia, Meksiko, Iran, Turki, Cina, India, dan Afrika

7

Selatan. Buahnya memiliki getah dan getah tersebut yang kemudian dihisap
dan dijadikan sebagai candu. Narkotika jenis ini dinikmati menggunakan pipa
hisapan.
3. Morfin
Morfin adalah zat yang didapat dari candu. Morfin ditemukan oleh Setumur
berkewarganegaraan Jerman pada tahun 1805. Melalui proses kimia, morfin
dijadikan sebagai zat yang berfungsi menenangkan sistem urat saraf. Morfin
yang berbentuk tepung licin dan halus keputih-putihan atau kuning ini sangat
berbahaya karena dapat melemahkan denyut jantung dan tubuh.
4. LSD (Lusergic Acid Diethylamide)
LSD ditemukan oleh dokter berkewarganegaraan Jerman yang bernama Dr.
Albert Hoffman. LSD dapat menimbulkan halusinasi atau bayangan dengan
berbagai macam khayalan.
5. Alkohol
Alkohol apabila diminum pada awalnya menimbulkan perasaan riang
gembira dan banyak berbicara, namun lama-kelamaan tingkat kesadaran
menjadi menurun dan keseimbangan badan terganggu hingga mabuk.
Pemakaian alkohol secara berlebihan dapat menyebabkan kelumpuhan karena
radang saraf yang diakibatkan oleh pemakaian alkohol bersifat menimbulkan
gangguan susunan saraf.
6. Ganja atau Mariyuana
Ganja berasal dari tanaman bernama Canabis sativa. Tumbuhan tersebut
banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis dan tergolong tumbuhan
semak. Pemakaian ganja dilakukan dengan mengambil daun yang diiris-iris
dan dikeringkan seperti tembakau.
7. Shabu shabu
Shabu shabu adalah heroin kelas 2 yang dihisap dengan menggunakan suatu
alat khusus.
8. Ecstasy/Metamphenis
Ecstasy/Metamphenis adalah salah satu jenis Napza dalam bentuk pil yang
mengakibatkan kondisi tubuh memburuk dan tekanan darah semakin tinggi.
Gejalanya adalah suka bicara, rasa cemas dan gelisah, tak dapat duduk
dengan tenang, denyut nadi terasa cepat, kulit panas dan bibir hitam, tak dapat
tidur, bernapas dengan cepat, serta tangan dan jari selalu bergetar.
9. Putaw
Putau termasuk dalam heroin kelas 5 atau 6 yang merupakan ampas heroin.
Pemakaian putaw adalah dengan cara dibakar dan dihisap asapnya.
10. Kokain
Kokain berasal dari tumbuhan Erythroxylon coca. Dan termasuk golongan
semak dengan ketinggian 2 meter. Serbuk kokain berwarna putih dengan rasa
pahit yang berfungsi sebagai obat pembius sehingga sering digunakan pada
proses pembedahan (operasi).
Merujuk pada penelitian Nasution dan Nashori (2007) ditemukan bahwa
kebanyakan anak jalanan mengonsumsi Napza berupa minuman beralkohol untuk
membebaskan diri dari rasa kecewa. Sementara zat adiktif yang paling sering
dikonsumsi remaja dewasa ini berupa ganja. Hal ini dikarenakan ganja yang
paling mudah ditemukan menurut informan anak jalanan. Selain itu, pemilihan ini

8

juga dikarenakan penggunaan ganja yang tidak terlalu berbahaya bagi jiwa dan
syaraf pemakai.
Pola Interaksi
Steward dalam Fisher (1986) menungkapkan bahwa interaksi digunakan
untuk menyatakan komunikasi “dua-arah”. Sementara itu, Sarwono (2009)
menyebutkan hubungan manusia dengan manusia lainnya, atau hubungan manusia
dengan kelompok, atau hubungan kelompok dengan kelompok merupakan
interaksi sosial. Interaksi sebagai komunikasi dua arah mempunyai sistem umpan
balik yang tetap (built-in system of feed back), yang memungkinkan komunikator
mendapat umpan-balik atas pesan yang disampaikan.
Bungin yang dikutip oleh Harahap (2008) mengungkapkan proses
interaksi terjadi apabila ada pengirim (sender) yang mengirimkan informasi dan
ada penerima (receiver) yang melakukan seleksi, interpretasi dan memberikan
respon balik terhadap pesan dari pengirim. Prosesnya bisa berlangsung dua arah
(two-way) maupun proses peredaran atau perputaran arah (cyclical process).
Dalam proses interaksi setiap partisipasi memiliki peran ganda, dimana dalam
satu waktu bertindak sebagai sender, sedangkan pada waktu lain bertindak
sebagai receiver, terus seperti itu sebaliknya. Menurut Tunner dkk (1982) dalam
Fisher (1986) orang-orang yang saling berinteraksi akan mengembangkan aneka
ragam hubungan peran yang kemudian memunculkan corak yang tetap dalam
interaksi sosial, hal inilah yang kemudian membentuk pola interaksi.
Pola interaksi dapat diamati dengan melihat bagaimana interaksi individu
di dalam keluarganya maupun di dalam lingkungan pertemanannya. Pola interaksi
yang terbentuk pun akan bermacam-macam. Pola interaksi dapat digolongkan ke
dalam kategori rendah dan tinggi dilihat dari frekuensi interaksi dan isi interaksi
di dalamnya. Frekuensi menyatakan seberapa sering seseorang berinteraksi baik
dengan keluarganya maupun dalam lingkungan pertemanannya. Jenis komunikasi
pun berpengaruh dalam pola interaksi yang terbagi menjadi komunikasi langsung
(tatap muka) dan komunikasi tidak langsung.
Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Keluarga
Interaksi menunjuk pada hubungan yang khas yang terjadi antar anggota.
Kekhasan pada fakta manusia menginterpretasi atau mendefinisi tindakan satu
sama lain. Anggota keluarga bertindak melalui penggunaan simbol-simbol dengan
konsep kunci komunikasi. Kontrol sosial diperoleh melalui kasih sayang dan
keserasian antar anggota keluarga. Interaksi keluarga adalah tindakan kolektif dari
anggota keluarga. Interaksi keluarga sebagai kelompok primer tentu akan
memberikan dampak yang berbeda dengan interaksi keluarga pada keluarga yang
dikatagorikan sebagai kelompok sekunder. Dewasa ini, kontrol sosial dalam
keluarga menurut hasil penelitian Siregar (2004), Septiart (2002), Sugiharto
(2008), dan Mardiah (1999) termasuk dalam kategori rendah. Kurangnya kontrol
sosial dari keluarga menyebabkan seseorang lebih bebas memilih kelompok lain
di lingkungannya. Kelompok lain ini dapat membawa seseorang kepada hal-hal
yang positif, namun tidak sedikit kelompok yang justru membawa kepada hal-hal
negatif dan menjerumuskan baik secara sadar maupun tidak.

9

Menurut Mc Leod yang dikutip oleh Yuli (1995), pola interaksi dalam
keluarga terbagi menjadi empat, yaitu pola interaksi demokratis, pola interaksi
protektif, pola interaksi laissez faire, dan pola interaksi otoriter. Pola interaksi
demokratis adalah keadaan dimana di dalam pola ini baik anak maupun orang tua
mempunyai pengertian yang sama tentang peran yang diharapkan dari masingmasing pihak dalam kehidupan keluarga. Figur orang tua dalam pola interaksi ini
menjadi model peran maupun panutan bagi anak. Pola berikutnya adalah pola
interaksi protektif, pada pola ini orang tua cenderung melihat anak sebagai pribadi
yang harus dilindungi dan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa campur tangan
orangtuanya. Akibatnya anak menjadi tidak berkembang kemandiriannya dan
selalu bergantung pada dukungan orang tua. Pola interaksi laissez faire
menunjukkan baik anak maupun orang tua tidak peduli akan apa yang dilakukan
masing-masing sejauh kepentingan mereka tidak saling berbenturan. Di mata
anak, orang tua semacam ini adalah figur fisik yang melahirkan namun bukan
figur psikologis yang memberi kehangatan. Pola interaksi yang terakhir adalah
pola interaksi otoriter, dalam pola ini anak dianggap orang tua sebagai pihak yang
harus tunduk kepada perintah orang tua. Keterikatan orang tua dan anak tidak
didasari rasa hormat atau menghargai tetapi rasa takut karena orang tua dianggap
sebagai figur yang menumbuhkan rasa takut bukan rasa aman.
Pola interaksi yang digolongkan ke dala empat kategori tersebut kemudian
dapat dianalisis dengan menghubungkannya dengan hasil penelitiam Siregar
(2004), Septiart (2002), Sugiharto (2008), dan Mardiah (1999). Penelitianpenelitian tersebut menghasilkan kecenderungan pola interaksi keluarga yang
tingi terdapat pada jenis pola interaksi keluarga demokratis. Sementara untuk jenis
pola interaksi kelurga protektif, laissez faire, dan otoriter yang tinggi memiliki
kecenderungan menghasilkan pola interaksi keluarga yang rendah.
Hasil penelitian Harahap (2008) menyimpulkan bahwa pola komunikasi
dan sistem keluarga sangat mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap
penyalahgunaan Napza. Sistem keluarga dewasa ini lebih condong ke dalam
keluarga yang enmeshed (kaku), separated (terpisah), disangeged (tercerai berai)
sehingga menimbulkan keinginan seseorang mencari tempat dan kelompok baru
yang dapat memenuhi kebutuhan dirinya, khususnya kebutuhan psikologis dan
sosialnya. Hal ini juga menunjukkan pola komunikasi keluarga yang rendah atau
kurang baik dapat memicu penyalahgunaan Napza pada remaja. Siregar (2004)
dalam penelitiannya mengungkapkan penyebab penyalahgunaan Napza antara lain
adalah sebagai tindakan menentang orang tua. Kondisi sebagian besar keluarga
responden penelitian ini dirasa masih kurang mampu mendidik anaknya dengan
baik terlihat dari beberapa sifat orang tua responden yang sering bersuara keras,
emosi, kurang sabar, dingin dan acuh tak acuh. Hasil penelitian ini merujuk pada
keluarga dengan pola interaksi otoriter.
Penyalahgunaan Napza dan Pola Interaksi dalam Lingkungan Pertemanan
Individu melakukan interaksi dalam lingkungannya yang terwujud melalui
interaksi dengan lingkungan sosialnya seperti interaksi dengan teman sepermainan
atau interaksi dalam lingkungan sekolahnya, dan lain-lain. Menurut Asher dan Mc
Donald; Bukowski, Motzoi, dan Meyer dalam Santrock (2012), memiliki relasi
positif sangatlah penting terutama di masa kanak-kanak pertengahan dan akhir.

10

Memiliki relasi positif di masa kanak-kanak pertengahan dan akhir tidak hanya
memberikan hasil yang positif di masa itu tetapi juga terkait dengan relasi yang
positif di masa remaja dan dewasa. Relasi positif ini didapat melalui pola interaksi
yang positif pula. Namun kenyataannya di era globalisasi saat ini kebanyakan
relasi yang terbentuk di dalam interaksi dengan teman sepermainan adalah relasi
negatif. Terlihat dari munculnya perkelahian antar siswa, munculnya kelompok
pertemanan yang bersama-sama mencoba minuman beralkohol, mengonsumsi
obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya.
Menurut hasil penelitian Rubin, Bukowski, dan Parker dalam Santrock
(2012) semakin bertambah usia seseorang, ukuran kelompoknya menjadi
bertambah besar dan pemantauan dari orang dewasa terhadap teman sepermainan
berkurang. Seperti yang terlihat dalam penelitian Indiyah (2005) yang menyatakan
bahwa kelompok teman bermain dianggap paling penting dibanding apapun.
Pembuktian diri pun terjadi dalam kelompok ini. Menurut hasil penelitian
Puspitawati (2006), solidaritas sangat dijunjung tinggi oleh kelompok teman
bermain. Apapun akan dilakukan demi menjaga kelompok ini dan anggota
kelompok biasanya sangat mempertahankan posisinya di dalam kelompok
bermainnya.
Para ahli perkembangan Wentzel dan Asher dalam Santrock (2012)
membedakan lima status kawan sebaya yang dihasilkan dari interaksi dengan
teman sepermainannya, yaitu:
1. Anak-anak yang populer (popular children)
Merupakan kawan yang sering dipilih sebagai sahabat dan jarang tidak disukai
oleh kawan sebayanya.
2. Anak yang rata-rata (avarage children)
Anak-anak yang memperoleh angka rata-rata untuk dipilih secara positif
maupun negatif oleh kawan-kawannya.
3. Anak yang diabaikan (neglected children)
Anak-anak yang jarang dipilih sebagai sahabat namun bukan karena tidak
disukai oleh kawan sebayanya.
4. Anak yang ditolak (rejected children)
Anak-anak yang dipilih sebagai kawan terbaik atau sahabat oleh seseorang dan
secara aktif tidak disukai oleh kawan-kawannya.
5. Anak yang kontroversial
Anak yang sering dipilih sebagai kawan terbaik seseorang namun umumnya
tidak disukai oleh kawan sebayanya.
Seseorang yang populer memiliki sejumlah keterampilan sosial yang
membuat mereka disukai seperti dapat memberikan penguatan, mendengarkan
secara cermat, membina jalur komunikasi secara terbuka dengan kawan sebaya,
bahagia, mengendalikan emosi-emosi negatifnya, bertindak menurut caranya
sendiri, memperlihakan antusiasme dan peduli pada orang lain, serta percaya diri
tanpa bersikap sombong (Hartup dalam Santrock 2012). Dishion dan Piehler
dalam Santrock (2012) mengungkapkan munculnya masalah penyesuaian diri
pada seseorang yang ditolak. Pada umumnya anak-anak yang mengalami
penolakan akan terlibat dalam kenakalan remaja bahkan hingga putus sekolah.
Anak-anak yang mengalami penolakan ini pun kurang berpartisipasi di
lingkungannya.

11

Coie dalam Santrock (2012) mengungkapkan alasan mengapa anak yang
agresif dan ditolak kawan sebayanya memiliki masalah dalam relasi sosialnya.
Pertama, anak yang ditolak dan agresif cenderung lebih impulsif dan memiliki
masalah dalam mempertahankan atensi dan akibatnya mereka cenderung
mengganggu aktivitas yang sedang berlangsung di kelas dan dalam kegiatan
berkelompok. Kedua, anak yang ditolak dan agresif cenderung lebih reaktif secara
emosi. Mereka lebih mudah marah dan mungkin lebih sukar tenang sesudahnya,
kemudian mereka menjadi lebih mudah marah dan melakukan penyerangan baik
secara fisik maupun verbal. Ketiga, anak-anak yang ditolak kurang memiliki
keterampilan sosial yang diperlukan untuk berkawan dan mempertahankan relasi
yang positif dengan kawan sebaya. Ketiga alasan ini terbukti benar dan diperkuat
oleh hasil penelitian Indiyah (2005) yang mengungkapkan bahwa seseorang
melakukan penyalahgunaan Napza akibat hubungan dalam lingkungan
masyarakatnya kurang harmonis. Hal ini ditunjukkan dengan sikap masyarakat di
sekitarnya yang kurang bersahabat.
Menurut Hurlock (1980) ketika seseorang memasuki usia remaja, ia akan
menghabiskan lebih banyak waktunya bersama dengan teman-teman sebaya
sebagai kelompok, sehingga dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman
sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar
pengaruhnya dibandingkan dengan pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar
remaja mengetahui apabila ingin diterima di suatu kelompok maka ia harus
melakukan apa yang biasa dilakukan oleh anggota kelompok tersebut, termasuk
dalam mencoba mengkonsumsi minuman beralkohol, obat-obatan terlarang atau
rokok. Remaja cenderung mengikuti kebiasaan kelompoknya tersebut tanpa
mempedulikan perasaan mereka sendiri. Hal ini kemudian memunculkan minat
sosial. Minat sosial yang muncul pada remaja bergantung pada kesempatan yang
diperoleh remaja tersebut untuk mengembangkan minatnya dalam kelompok.
Menurut Berk dalam Ruhidawati (2005), kelompok teman sebaya
merupakan bentuk-bentuk kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai uik dan
memiliki standar perilaku dengan struktur sosial serta terdapat pemimpin dan
yang dipimpin. Bentuk-bentuk teman sebaya menurut Martin dan Stendler dalam
Ruhidawati (2005) yaitu:
1. Bentuk Good Kid atau dikenal dengan sebutan remaja kutu buku, remaja yang
termasuk kepada kelompok ini adalah remaja yang datang ke sekolah hanya
untuk belajar.
2. Bentuk Elite, merupakan bentuk kelompok teman sebaya yang dipimpin oleh
orang dewasa. Pada kelompok ini, selain melakukan kegiatan sekolah, remaja
juga melakukan kegiatan di luar sekolah.
3. Bentuk Gank, merupakan bentuk kelompok teman sebaya yang dibentuk dan
dipimpin oleh remaja itu sendiri, biasanya pada kelompok ini remaja tidak
menyenangi aktivitas yang berkaitan dengan sekolah sehingga mereka
terkadang melakukan aktivitas yang bertentangan dengan kepentingan
umum/sosial.
Kelompok pertemanan memiliki peranan yang sangat penting dalam
penyesuaian diri remaja dan sebagai persiapan bagi kehidupan di masa yang akan
datang, serta berpengaruh pula pada pandangan dan perilaku. Hal ini disebabkan
remaja sedang berusaha untuk membebaskan diri dari keluarganya dan tidak
tergantung kepada orang tuanya (Drajat dalam Ruhidawati 2005).

12

Merujuk pada penelitian Indiyah (2005) pada umumnya faktor penyebab
subjek melakukan penyalahgunaan narkoba cenderung positif disebabkan faktor
individu sebagai anggota gang dan identitas remaja. Yaitu, adanya kecenderungan
subjek memegang peran dalam kelompok bergaul, kecenderungan subjek
berkorban untuk kelompoknya, kecenderungan subjek ingin terpandang dalam
kelompoknya, kecenderungan subjek takut dikeluarkan dari anggota kelompok,
dan kecenderungan subjek menggunakan narkoba dibenarkan kelompoknya. Hasil
penelitian Jaji (2009) mengungkapkan pengaruh teman sebaya terhadap
penyalahgunaan Napza, pada umumnya penyalahgunaan ini karena dikenalkan
oleh teman, dan mengonsumsinya pun bersama-sama antara 3-5 orang. Perilaku
penyalahgunaan Napza pada remaja juga akibat sosialisasi atau interaksi remaja
dengan lingkungannya.
Motif
Motif, atau dalam bahasa Inggris “motive”, berasal dari kata movere atau
motion, yang berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Motif dalam psikologi
berarti juga rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu
perbuatan (action) atau perilaku (behavior). Menurut Sarwono (2009) motif
adalah instansi terakhir bagi terjadinya perilaku. Meskipun ada kebutuhan
misalnya, tetapi kebutuhan tersebut tidak menciptakan motif, maka tidak akan
terjadi perilaku. Hal ini disebabkan karena motif tidak hanya ditentukan oleh
faktor-faktor diri individu, seperti faktor-faktor biologis, tetapi juga dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosial dan kebudayaan. Rakhmat (2001) menyebutkan terdapat
motif sosiogenis yang sering juga disebut motif sekunder sebagai lawan dari motif
primer (motif biologis). Peranan motif sosiogenis dalam membentuk perilaku
sosial sangat menentukan, sehingga muncul berbagai klasifikasi dari motif
sosiogenis, salah satunya klasifikasi motif sosiogenis menurut Melvin H. Marx.
Marx dalam Rakhmat (2001) mengklasifikasi motif sosiogenis menjadi
sebagai berikut:
1. Motif-motif Organismis
- Motif ingin tahu (curiosity)
Motif ini mengacu pada keinginan untuk mengerti, menata, dan menduga.
Setiap orang berusaha memahami dan memperoleh arti dari dunianya.
Seseorang memerlukan kerangka rujukan (frame of reference) untuk
mengevaluasi situasi baru dan mengarahkan tindakan yang sesuai.
- Motif kompetensi (competence)
Motif ini mengacu kepada keinginan setiap orang untuk membuktikan
bahwa ia mampu mengatasi persoalan kehidupan apapun. Perasaan mampu
amat bergantung pada perkembangan intelektual, sosial, dan emosional.
- Motif prestasi (achievement)
Motif ini menjelaskan bahwa seseorang tidak hanya mempertahankan
kehidupan, namun juga ingin meningkatkan kualitas kehidupan dan juga
ingin memenuhi potensi-potensi dirinya.
2. Motif-motif Sosial
- Motif kasih sayang (affiliation)
Sanggup mencintai dan dicintai adalah hal essensial bagi pertumbuhhan
kepribadian. Seseorang ingin diterima di dalam kelompoknya sebagai

13

-

-

anggota sukarela. Kehangatan persahabatan, ketulusan kasih sayang,
penerimaan orang lain yang hangat amat dibutuhkan manusia.
Motif kekuasaan (power)
Motif ini menjelaskan tentang keinginan seseorang untuk mendominasi
orang lain. Keinginan mendominasi ini berkaitan dengan keinginan diakui
di lingkungan sosialnya.
Motif kebebasan (independence)
Motif ini menjelaskan keinginan seseorang untuk lepas dari keadaan
dimana dirinya diatur atau keadaan yang mengganggunya.
Hubungan Pola Interaksi dengan Motif Penyalahgunaan Napza

Tabel 1 Pola interaksi dan motif penyalahgunaan Napza
No

Peneliti/
Tahun

1

Siregar
(2004)

2

Indiyah
(2005)

3

Jaji (2009)

4

Nasution
dan
Nashori
(2007)

5

Septiart
(2002)

6

Puspitawati
(2006)

7
8

Sugiharto
(2008)
Harahap
(2008)

9

Sulistyorini
(2008)

10

Mahali
(2004)

11

Mardiah
(1999)

Pola Interaksi
Penyalahguna Napza
Lingkungan
Keluarga
Pertemanan
Mudah
terpengaruh
Otoriter
teman
individu
sebagai
Otoriter
anggota
gang
Mudah
terpengaruh
teman
individu
sebagai
anggota
gang
individu
Laissez
sebagai
Faire
anggota
gang
Laissez
Faire
solidaritas
dan
pertemanan
Otoriter
Laissez
Faire
Otoriter
Laissez
Faire
dan
Otoriter
Laissez
Faire
dan
Otoriter
Otoriter

Motif Penyalahgunaan Napza
Ingin
Tahu

Kompetensi





Kasih
Sayang

Kekuasaan

Kebebasan

















Mudah
terpengaruh
teman

Prestasi





Mudah
terpengaruh
teman



-





Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata pola interaksi keluarga yang
terbentuk dalam keluarga penyalahguna Napza adalah pola interaksi Otoriter dan
Laissez Faire. Pola interaksi keluarga Otoriter dikemukakan dalam penelitian
Siregar (2004), Indiyah (2005), dan Mardiah (1999). Berdasarkan hasil penelitian-

14

penelitian tersebut sebagian besar orang tua masih suka bersuara keras, emosi,
kurang sabar, dan dingin terhadap anak-anaknya. Berdasarkan hasil penelitian
Septiart (2002) pola interaksi keluarga yang ditemukan adalah pola interaksi
Laissez Faire. Keluarga cenderung acuh tak acuh dan kurang peduli terhadap
anggota keluarga lainnya ditunjukkan dengan orang tua yang tidak menjalankan
fungsi kontrol terhadap anak-anaknya. Gabungan pola interaksi Otoriter dan
Laissez Faire juga ditemukan dalam penelitian Puspitawati (2006), Harahap
(2008), Sulistyorini (2008), dan Mahali (2004). Sementara pola int