Profil Ekspresi Gen Penyandi Sitokin/Kemokin Pada Pbmc (Peripheral Blood Mononuclear Cells) Manusia Sehat Yang Dipapar Virus Dengue

PROFIL EKSPRESI GEN PENYANDI SITOKIN/KEMOKIN
PADA PBMC (Peripheral Blood Mononuclear Cells) MANUSIA
SEHAT YANG DIPAPAR VIRUS DENGUE

SITI WARNASIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Profil Ekspresi Gen
Penyandi Sitokin/Kemokin pada PBMC (Peripheral Blood Mononuclear Cells)
Manusia Sehat yang Dipapar Virus Dengue adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Siti Warnasih
NIM G851120041

RINGKASAN
SITI WARNASIH. Profil Ekspresi Gen Penyandi Sitokin/Kemokin pada PBMC
(Peripheral Blood Mononuclear Cells) Manusia Sehat yang Dipapar Virus
Dengue. Dibimbing oleh I MADE ARTIKA dan R. TEDJO SASMONO.
Dengue merupakan salah satu penyakit arbovirus terpenting dunia. Penyakit
ini disebabkan oleh virus dengue yang memiliki empat serotipe, yaitu DENV-1,
DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Pemahaman mengenai patogenesis dengue
belum sepenuhnya diketahui. Telah dilaporkan bahwa ada keterlibatan antara
faktor imun pejamu dan faktor virus. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa
konsentrasi sitokin/kemokin dalam darah meningkat signifikan selama infeksi dan
faktor virus terlibat pula dalam keparahan penyakit. Karakterisasi profil ekspresi
gen pejamu sebagai respon terhadap infeksi serotipe virus dengue yang berbeda
dapat memberikan masukan untuk pemahaman patogenesis dengue. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui profil ekspresi gen penyandi sitokin/kemokin sebagai
protein imun yang dilepaskan oleh Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC)

pejamu yang telah dipapar virus dengue.
Empat serotipe virus dengue isolat Indonesia digunakan dalam penelitian ini.
Keempat serotipe diwakili oleh masing-masing 3 galur virus, yang dilakukan
propagasi dan pengukuran titer virusnya terlebih dahulu sebelum digunakan untuk
infeksi pada sel PBMC. Sel PBMC diisolasi dari darah donor sehat dengan teknik
sentrifugasi gradien ficoll. Quantitative real-time RT-PCR digunakan untuk
menentukan tingkat ekspresi gen penyandi sitokin/kemokin dari sel PBMC yang
terinfeksi virus dengue. Tiga gen penyandi sitokin/kemokin yaitu IP-10, IL-10,
dan MIP-1 diketahui berperan dalam patogenesis penyakit dengue. Pengukuran
tingkat ekspresi sitokin/kemokin menunjukkan bahwa virus dengue serotipe
DENV-2 menyebabkan peningkatan ekspresi gen penyandi kemokin IP-10 dan
MIP-1 pada 48 jam pasca infeksi yang lebih tinggi dibandingkan serotipe lain.
Sedangkan virus dengue serotipe DENV-4 menyebabkan peningkatan ekspresi
gen penyandi sitokin IL-10 dan kemokin IP-10 pada 72 jam pasca infeksi yang
lebih tinggi dibandingkan serotipe lain. Ekspresi gen penyandi sitokin/kemokin
lebih bergantung pada galur virus dibandingkan serotipe virus. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk lebih mengetahui patogenesis penyakit dengue.
Kata kunci: dengue, quantitative real time RT-PCR, sel PBMC, sitokin/kemokin

SUMMARY

SITI WARNASIH. Expression Profiles of Cytokine/Chemokines-encoding Genes
in PBMCs (Peripheral Blood Mononuclear Cells) of Healthy Human Infected
Dengue. Supervised by I MADE ARTIKA and R. TEDJO SASMONO.
Dengue is one of the world's most important arbovirus diseases. Dengue is a
disease caused by dengue virus, which have 4 serotypes i.e DENV-1, DENV-2,
DENV-3, dan DENV-4. Dengue pathogenesis is not yet fully understood. It has
been reported that there is involvement of the host immune factors and viral
factors. Several studies have shown that concentrations of cytokines/chemokines
in blood are significantly increased during infection and viral factors are also
involved in disease severity. Therefore, characterization of host gene expression
profiles in response to dengue virus infection of different serotypes could provide
input for understanding the pathogenesis of dengue. The purpose of this research
was to determine the expression profiles of the cytokines/chemokines genes
(mRNA) as immune protein that are released by Peripheral Blood Mononuclear
Cells (PBMCs) (host gene) upon infection of dengue viruses.
Four dengue serotypes of Indonesia isolates were used in this study. Each
serotype is comprised of 3 strains. Dengue viruses were propagated and plaque
assay method was used for measuring virus titer. PBMCs were isolated from
blood of healthy donors by ficoll gradient centrifugation techniques. Quantitative
real time RT-PCR was used to quantify expression levels of cytokine/chemokineencoding genes from PBMCs infected with dengue virus. Three

cytokine/chemokine-encoding genes i.e IP-10, IL-10, and MIP-1 known to
involved in dengue pathogenesis. Measurement of the expression levels of
cytokines/chemokines showed that the dengue virus serotype 2 caused an increase
in the expression of IP-10 and MIP-1 genes at 48 hours post-infection, which
was higher than that of other serotypes. On the other hand, dengue virus serotype
4 caused an increase in the expression of IL-10 and IP-10 genes at 72 hours postinfection, which was higher than the other serotypes. Expression of
cytokine/chemokines-encoding genes is dependent of the strain of virus but not
serotype-dependent. Further research is needed to better determine the
pathogenesis of dengue disease.
Keywords: chemokines, cytokine, dengue, PBMCs, quantitative real time RTPCR

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PROFIL EKSPRESI GEN PENYANDI SITOKIN/KEMOKIN
PADA PBMC (Peripheral Blood Mononuclear Cells) MANUSIA
SEHAT YANG DIPAPAR VIRUS DENGUE

SITI WARNASIH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biokimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr drh Maria Bintang, MS


Judul Tesis : Profil Ekspresi Gen Penyandi Sitokin/Kemokin pada PMBC
(Peripheral Blood Mononuclear Cells) Manusia Sehat yang
Dipapar Virus Dengue
Nama
: Siti Warnasih
NIM
: G851120041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Ketua

R Tedjo Sasmono, PhD
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Biokimia

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr drh Maria Bintang, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Januari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat,
berkah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga,
sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Tesis ini berjudul : Profil
Ekspresi Gen Penyandi Sitokin/Kemokin pada PBMC (Peripheral Blood
Mononuclear Cells) Manusia Sehat yang Dipapar Virus Dengue. Kegiatan
penelitian yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains

pada Departemen Biokimia ini dilakukan dari bulan September 2013 hingga
November 2014 bertempat di Laboratorium Dengue, Lembaga Biologi Molekuler
Eijkman, Jakarta.
Penulis telah banyak menerima bantuan, bimbingan, dan dukungan dari
berbagai pihak selama masa studi hingga penyusunan tesis ini. Pada kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga
kepada:
1. Dr. Ir. I Made Artika, M.App.Sc selaku Pembimbing I dan R. Tedjo Sasmono,
Ph.D sebagai Pembimbing II sekaligus Kepala Laboratorium Dengue Lembaga
Eijkman atas bimbingan, waktu, tenaga yang dicurahkan kepada penulis
selama masa studi, penelitian, dan penyusunan tesis.
2. Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS selaku Ketua Program Studi Biokimia
sekaligus penguji pada ujian tesis dan Dr. Laksmi Ambarsari, MS sebagai
perwakilan Program Studi Biokimia yang telah meluangkan waktu dan
memberi masukan yang sangat berarti pada penulisan tesis ini.
3. Seluruh staf pengajar dan tenaga kependidikan Program Studi Biokimia yang
telah memberikan banyak ilmu dan bantuan.
4. Benediktus Yohan, M.Biomed; Febrina Meutia, M.Si; Rahma Fitri Hayati,
M.Si; dan dr. Winda Yulia, M.Biomed yang telah banyak memberikan bantuan
dan masukan kepada penulis selama melakukan penelitian.

5. Ade Heri Mulyati, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Kimia UNPAK yang selalu
memberi motivasi agar penulis segera lulus.
6. Kedua orang tua dan keluarga atas cinta kasih dan motivasi yang selalu
diberikan. Terkhusus kepada suami tercinta Fahrul Rozi, ST dan putri
kesayangan kami Aqila Siti Fachrunnisa atas rasa cinta yang tulus, kesabaran,
pengertian, perhatian, dan dukungan yang sepenuh hati dalam mendampingi
penulis menyelesaikan pendidikan ini.
7. Teman-teman seperjuangan Biokimia 2012 atas semangat, persahabatan,
silaturahmi, dan kebersamaan yang begitu indah.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang secara
langsung maupun tidak langsung telah memberikan bantuan kepada penulis
selama melakukan penelitian dan penyusunan tesis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, Februari 2015
Siti Warnasih

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
3

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

3

3 METODE
Bahan
Lokasi dan Waktu Penelitian
Prosedur Penelitian
Analisis Data

12
12
12
13
16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

17

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

29
29
29

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
1 Sekuen primer yang digunakan pada quantitative real time RT-PCR
2 Titer virus hasil pengukuran plaque assay
3 Titer virus setelah penyeragaman

16
18
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Genom virus dengue
Siklus hidup virus dengue
Patogenesis virus dengue
Galur sel yang digunakan pada penelitian
Contoh plak pada pengukuran titer virus dengan metode plaque assay
Proses isolasi PBMC dengan sentrifugasi gradien ficoll
Hasil plak uji keberadaan virus dengue pada sel PBMC
Laju pertumbuhan setiap galur virus dengue dengan uji ELISA
Laju pertumbuhan setiap serotipe virus dengue dengan uji ELISA
Deteksi gen sitokin/kemokin dengan RT-PCR
Profil ekspresi 3 gen sitokin/kemokin setiap galur virus dengue
Profil ekspresi 3 gen sitokin/kemokin setiap serotipe virus dengue

4
6
8
17
18
19
20
22
23
23
25
26

DAFTAR LAMPIRAN
1 Reaksi dan kondisi RT-PCR untuk pembuatan cDNA sel PBMC yang
dipapar virus dengue
2 Reaksi dan kondisi PCR untuk deteksi gen sitokin/kemokin dan -aktin
3 Kondisi reaksi quantitative real time RT-PCR untuk pengukuran
ekspresi gen sitokin/kemokin
4 Hasil pengukuran RNA total dengan Spektrofotometer Nanodrop
5 Volume RNA dan nuclease-free water pada reaksi RT-PCR
6 Nilai OD450 pada pengukuran protein NS1 dengan ELISA reader
7 Nilai CT dan Tm pada pengukuran dengan quantitative real time RTPCR
8 Hasil perhitungan ekspresi gen sitokin/kemokin pada PBMC yang
dipapar virus dengue (berdasarkan galur virus)
9 Hasil perhitungan ekspresi gen sitokin/kemokin pada PBMC yang
dipapar virus dengue (berdasarkan serotipe)
10 Contoh perhitungan ekspresi gen IP-10 sampel D1-025 24 jam

37
38
39
40
41
42
43
48
49
50

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit dengue ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Gubler
1998). Penyakit dengue merupakan penyakit yang penyebarannya paling cepat di
antara penyakit dengan vektor nyamuk lainnya, dengan 50 sampai 100 juta kasus
Demam Dengue (DD) dan 500.000 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)/
Sindrom Renjatan Dengue (SRD) setiap tahun (Savage et al. 1998; Sariol et al.
2007). Menurut data WHO diperkirakan lebih dari 50 juta kasus infeksi virus
dengue terjadi tiap tahunnya dengan jumlah rawat inap sebesar 500.000 dan angka
kematian lebih dari 20.000 jiwa di dunia. Tahun 2006 di Indonesia didapatkan
laporan kasus dengue sebesar 106.425 orang dengan tingkat kematian 1,06 %. Di
Amerika Selatan, dari awal tahun 2013 sampai bulan Juni 2013 telah terjadi
868.653 kasus dengue, 8.406 kasus dengue berat, dan 346 kematian akibat dengue
(Case Fatality Rate/CFR sebesar 0,04 %) (PAHO/WHO 2013).
Masalah penyakit dengue bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk
bersamaan dengan infeksi penyakit lain, seperti flu atau demam tifoid. Penyakit
DBD disebabkan oleh virus dengue dengan serotipe DENV-1, DENV-2, DENV-3,
DENV-4 (Henchal dan Putnak 1990). Dalam masing-masing serotipe, terdapat
pula pembagian galur virus berdasarkan subtipe atau genotipe (Holmes dan
Twiddy 2003).
Patogenesis dengue hingga kini masih belum dipahami secara menyeluruh.
Hal ini dikarenakan mekanisme yang menyebabkan manifestasi klinis dengue
bersifat multifaktorial. Faktor utama yang menjadi penyebab adalah faktor pejamu
dan faktor virus (Halstead 2008).
Patogenesis infeksi dengue dan keterlibatan respon imun yang terjadi baik
pada fungsi perlindungan maupun pada mekanisme terjadinya penyakit terbukti
sangat kompleks dan sulit dipahami (Stephenson 2005). Beberapa mekanisme
telah dikaitkan dengan manifestasi dengue berat meliputi penyakit kompleks imun,
mediasi sel T, antibodi yang bereaksi silang dengan endotelium vaskuler,
enhancing antibodies, komplemen, dan produknya, berbagai mediator terlarut
termasuk sitokin, dan virulensi virus. Saat ini mekanisme yang sering dianut
adalah enhancing antibodies dan sel T memori pada infeksi dengue sekunder
yang berakibat terjadinya badai sitokin (Basu dan Chaturvedi 2008; Pang et al.
2007).
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa konsentrasi sitokin dan mediator
lain meningkat signifikan selama infeksi dan diasosiasikan dengan keparahan
penyakit (Fink et al. 2007). Kadar plasma interleukin-1 beta (IL-1 ), IL-2, IL-4,
IL-6, IL-7, IL-8 , IL-10, IL-13, IL-18, tumor growth factor-1 beta (TGF-1 ),
tumor necrosis factor alpha (TNF-α), dan interferon gamma (IFN- ) telah
dibuktikan meningkat pada pasien dengan infeksi dengue berat, terutama pada
pasien SRD (Bozza et al. 2008; Martina et al. 2009).
Respon seluler in vitro terhadap infeksi virus dengue telah digunakan untuk
memahami interaksi antara virus dan host/pejamu (Warke et al. 2003). Induksi
terhadap ekspresi berbagai sitokin/kemokin secara in vitro juga telah diamati pada

2
infeksi dengue terhadap berbagai galur sel primer (primary cell lineages) maupun
established cell lines (Noisakran et al. 2010). Beberapa jenis sel yaitu peripheral
blood mononuclear cells (PBMC) dari pasien dengue, monosit, makrofag, sel mast,
umbilical vein endothelial cells (HUVEC), dan sel human primary hepatocytes
telah dipaparkan dengan virus dengue dan menunjukkan ekspresi berbagai sitokin
(Avirutnan et al. 1998; Warke et al. 2003; Huang et al. 2000; Chen dan Wang
2002; King et al. 2002; Becerra et al. 2009; Dewi et al. 1998) .
Beberapa penelitian telah mengindikasikan bahwa bukan hanya faktor
pejamu yang terlibat dalam patogenesis infeksi dengue, tetapi faktor virus pun
menentukan hal tersebut (Rico-Hesse 1990; Rico-Hesse et al. 1997; Leitmeyer et
al. 1999; Pryor et al. 2001). Namun, sebagian besar penelitian hanya difokuskan
pada infeksi dengue dari pasien yang telah terinfeksi. Oleh karena itu, maka perlu
melakukan penelitian secara in vitro atau ex vivo dengan melakukan infeksi
berbagai galur virus terhadap kultur primer PBMC manusia sehat yang belum
pernah terinfeksi virus dengue.
Pada penelitian sebelumnya, Yohan (2011) melakukan pengukuran kadar 26
sitokin/kemokin dalam supernatan galur sel A549 (sel model in vitro) yang
dipapar dengan berbagai serotipe/genotipe virus dengue galur Makasar dan virus
dengue galur referensi memperlihatkan peningkatan ekspresi tujuh
sitokin/kemokin, yaitu: Eotaxin, G-CSF, IFN-αβ, IL-6, IL-8, IL-15, dan IP-10.
Beberapa galur virus menginduksi sitokin dan kemokin dengan jumlah yang lebih
rendah dibandingkan dengan galur yang lain. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan profil ekspresi sitokin/kemokin pada galur sel model A549 in vitro
lebih bergantung pada galur virus daripada serotipe/genotipe tertentu.
Hasil penelitian tersebut menjadi masukan bahwa ada perbedaan ekspresi
gen pejamu pada jalur in vitro. Tetapi pada penelitian itu belum dilakukan
pengukuran terhadap profil ekspresi pada masing-masing sitokin/kemokin. Oleh
karena itu, pada penelitian ini diteliti profil ekspresi masing-masing
sitokin/kemokin yang terjadi pada jalur ex vivo dengan menggunakan PBMC yang
diisolasi dari individu sehat.
Profil ekspresi sitokin/kemokin dapat dilakukan dengan mengukur tingkat
protein maupun gen penyandinya (mRNA). Rathakrishnan et al. 2012 mengukur
profil ekspresi sitokin pada tingkat protein dengan menggunakan uji bead berlabel
fluoresensi. Pengukuran profil ekspresi sitokin pada tingkat protein pada tingkatan
tertentu kurang valid, hal ini dikarenakan protein (sitokin) tertentu akan selalu
naik levelnya karena akan diekspresikan secara terus menerus. Selain itu protein
bersifat stabil, yaitu setelah beberapa hari masih ada sehingga sulit untuk
menentukan profil ekspresinya. Oleh karena itu, pada penelitian ini diteliti profil
ekspresi sitokin pada tingkat gen penyandinya (mRNA) dengan menggunakan
quantitative real time RT-PCR.
Pengukuran mRNA sitokin dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti
Northern Blot, RNase protection assays, in situ hybridization dan quantitative
reverse transcription–polymerase chain reaction (RT–PCR). RT-PCR kuantitatif
(quantitative real time RT-PCR) adalah satu-satunya metode yang memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk mengukur ekspresi mRNA dalam
jumlah yang rendah (Yin et al. 2001).

3
Perumusan Masalah
Patogenesis penyakit dengue belum dapat dijelaskan dengan pasti. Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan beratringannya penyakit diantaranya tergantung pada faktor virus dan host/pejamu.
Penggunaan sel model infeksi in vitro untuk mengkarakteristik pengaruh
infeksi virus dengue terhadap respon imun telah diteliti sebelumnya. Berdasarkan
penelitian tersebut disimpulkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi
sitokin/kemokin yang dapat digunakan sebagai faktor prediksi untuk menyatakan
tingkat keparahan penyakit dengue. Demikian pula model infeksi pada jalur ex
vivo menunjukan hasil yang sama. Berdasarkan pada penelitian-penelitian
tersebut, ekspresi sitokin/kemokin kebanyakan diteliti pada tingkat protein dan
belum diteliti profil ekspresi sitokin/kemokin pada tingkat mRNA. Oleh karena
itu, perlu dilakukan studi untuk mempelajari pengaruh paparan berbagai serotipe
virus dengue terhadap profil ekspresi mRNA sitokin/kemokin pejamu.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor virus
terhadap respon imun pejamu dengan mengkarakterisasi profil ekspresi gen
penyandi (mRNA) sitokin/kemokin PBMC manusia sehat yang dipapar berbagai
galur virus dengue yang dapat dijadikan sebagai penanda keparahan penyakit.
Tujuan khusus penelitian adalah membandingkan kinetika profil ekspresi
gen penyandi sitokin/kemokin PBMC manusia sehat antar galur dan serotipe
virus dengue dan mengetahui hubungan antara laju pertumbuhan virus dengue
pada PBMC dengan profil ekspresi gen penyandi sitokin/kemokinnya.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai
pemahaman patogenesis penyakit dengue.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Virus Dengue
Infeksi oleh virus dengue dapat menyebabkan manifestasi klinis yang
berjenjang, yaitu Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD), dan
Sindrom Renjatan Dengue (SRD). Demam Dengue ditandai oleh kenaikan suhu
tubuh 38-41˚C yang diikuti gejala lain yang tidak spesifik. Manifestasi yang lebih
berat, yaitu DBD dan SRD, ditandai dengan kebocoran kapiler dan
trombositopenia (Leitmeyer et al. 1999; Gubler 1998).

4
Virus dengue merupakan salah satu virus yang termasuk dalam famili
Flaviviridae. Virus ini memiliki empat serotipe, yaitu: DENV-1, DENV-2,
DENV-3, dan DENV-4. Virion dengue merupakan partikel sferis dengan diameter
nukleokapsid 30 nm dan ketebalan selubung 10 mm, sehingga diameter virion
kira-kira 50 nm. Genom virus dengue terdiri atas asam ribonukleat berutas
tunggal, panjangnya kira-kira 11 kilobasa. Genom Flavivirus pada Gambar 1
terdiri atas satu open reading frame (ORF) yang mengkode poliprotein tunggal
yang diapit oleh 5’ dan γ’ non-coding region (NCR). Urutan gen penyandi
poliprotein tersebut adalah 5’-C-prM-E-NS1-NS2A-NS2B-NS3-NS4A-NS4BNS5-γ’. Poliprotein tunggal tersebut terdiri atas tiga protein struktural dan tujuh
protein non-struktural. Tiga protein struktural tersebut yaitu C (capsid), prM/M
(membrane), dan protein E (Envelope). Sementara itu, tujuh protein non-struktural
terdiri atas NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5 (Henchal dan
Putnak 1990; Gubler 1998).

Gambar 1 Genom virus dengue. Proses kotranslasi dan proteolisis menghasilkan 3
protein struktural dan 7 protein non-struktural. UTR, untranslated
region. Dikutip dari Guzman et al. 2010.
Protein C merupakan protein kecil dengan berat molekul 6-12 kDa yang
tersusun atas 112 sampai 127 asam amino. Protein C merupakan protein virus
pertama yang disintesis selama translasi dan memiliki muatan positif kuat karena
mengandung banyak residu asam amino lisin (lys) dan arginin (arg). Sifat protein
C tersebut dipercaya berperan untuk menetralkan muatan negatif pada molekul
RNA virus. Protein prM merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul
18,1-19,1 kDa dan merupakan prekursor untuk protein M. Protein M memiliki
berat molekul 7-9 kDa yang tersusun atas 75 asam amino dan diduga berperan
untuk mengontrol aktivitas fusi (Henchal dan Putnak 1990; Chang 1997).
Protein E yang berupa glikoprotein, merupakan komponen protein utama
pada permukaan virus dan merupakan antigen determinan utama pada partikel
virus. Berat molekul protein E yaitu 55-60 kDa yang tersusun atas 494-501 asam
amino. Protein E mempunyai epitop penting yang berhubungan dalam beberapa
aktivitas biologis, antara lain ikatan dengan reseptor, induksi antibodi spesifik
untuk proses netralisasi sebagai perlindungan respon imun, hemaglutinasi eritrosit,
mediasi fusi antara virus dan membran yang spesifik pada pH asam, dan perakitan
virus (Chang 1997; Lindenbach et al. 2007).
Protein NS1 yang disekresikan bersirkulasi dan terakumulasi pada serum
pasien penderita dengue. Antigen NS1 diekspresikan oleh keempat serotipe virus
dengue dan dapat dideteksi sampai 9 hari pertama demam (Alcon et al. 2002).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Flamand et al. (1999), diketahui protein
NS1 memiliki struktur heksamer. Protein NS1 diketahui berperan penting dalam
viabilitas virus dan berfungsi sebagai kofaktor untuk tahap awal replikasi virus
dan berkolerasi dengan efisiensi replikasi.

5
Berdasarkan Avirutnan et al. (2007), diketahui NS1 terlarut dalam plasma
yang disekresikan oleh sel yang terinfeksi akan berikatan kuat pada sel endotelial
dan fibroblas yang tak terinfeksi. Antigen NS1 yang berikatan pada sel endotelial
yang tidak terinfeksi tersebut menginduksi terbentuknya kompleks imun dan
dihipotesiskan berperan dalam mekanisme kebocoran plasma yang terjadi selama
infeksi virus dengue yang berat. Hingga saat ini, mekanisme pengikatan NS1
dengan membran plasma masih menjadi perdebatan.
Siklus hidup virus dengue ditunjukkan pada Gambar 2, virus dengue
memasuki sel inang dengan cara berikatan pada reseptor spesifik permukaan sel
inang. Virus kemudian masuk ke dalam sel inang melalui proses endositosis yang
dimediasi reseptor. Kondisi lingkungan yang asam pada endosom memicu
dimerisasi yang bersifat irreversibel pada protein E, sehingga menghasilkan fusi
antara envelope virus dan membran sel. Nukleokapsid kemudian dilepaskan ke
sitoplasma dan terjadi disosiasi antara protein C dan RNA genom, serta replikasi
RNA genom (Mukhopadhyay et al. 2005).
Pada saat genom dilepaskan ke sitoplasma, +ssRNA virus ditranslasi
menjadi poliprotein tunggal oleh protease virus dan inang. Replikasi genom
terjadi di membran intraseluler, sedangkan perakitan partikel virus terjadi di
permukaan retikulum endoplasma (RE). Partikel virus yang belum matang
dibentuk di dalam lumen RE. Partikel yang tersusun atas protein E dan prM,
membran lipid, dan nukleokapsid tersebut tidak dapat menginduksi fusi dengan
sel inang, sehingga bersifat non-infeksius karena protein prM memerlukan proses
lebih lanjut. Partikel kemudian diteruskan ke trans Golgi dan terjadi pemecahan
prM yang menyebabkan partikel menjadi matang dan bersifat infeksius (Qi et al.
2008).
Partikel subviral juga dibentuk di RE tetapi hanya mengandung glikoprotein
dan membran, tidak memiliki protein C dan RNA genom, sehingga partikel
tersebut bersifat non-infeksius. Virus yang sudah matang dan partikel subviral
dilepaskan dari sel inang melalui proses eksositosis (Mukhopadhyay et al. 2005).
Dalam kaitannya dengan patogenesis, protein virus dengue menginduksi
respon imun secara spesifik. Imunogen utama untuk menginduksi antibodi
netralisasi adalah protein E, walaupun epitop netralisasi telah diidentifikasi pula
pada protein M (Beasley dan Barret 2010). Glikoprotein E pada permukaan virion
dengue bertanggungjawab untuk perlekatan virus, fusi dengan membran, dan
perakitan virus (Gubler 1998; Chen 1996). Perubahan pada gen pengkode protein
E dapat mempengaruhi antigenisitas, perlekatan, dan tingkat replikasi virus
(Leitmeyer et al. 1999). Telah dilaporkan bahwa substitusi asam amino pada
posisi E-390 berakibat pada reduksi luaran (output) virus dari kultur monocytederived macrophage (Pryor et al. 2001). Protein NS1 dilaporkan menginduksi
antibody-mediated cellular cytotoxicity dan antibodi terhadap NS1 dapat
memediasi proteksi pasif pada model hewan coba tikus dan primata. Target utama
untuk cell-mediated immunity adalah protein NS3 walaupun epitop sel T juga
telah diidentifikasi pada protein E, M, NS1, dan NS2A (Beasley dan Barret 2010).

6
Virus matang
Infeksi virus
Pematangan virus
Fusi dan
pemecahan virus

Translasi poliprotein,
pemindahan ke RE dan pengolahan
Perakitan virus
Replikasi
genom virus

Gambar 2 Siklus hidup virus dengue. ER, Endoplasmic reticulum; TGN, transGolgi network. Dikutip dari Mukhopadhyay et al. 2005.
Epidemiologi dan Evolusi Molekuler Virus Dengue
Virus dengue adalah virus dengan genom untaian tunggal, virus RNA
(famili Flaviviridae) yang terdiri dari empat serotipe antigen yang berbeda yaitu
DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Setiap serotipe secara genetik
memiliki perbedaan. Meskipun infeksi secara umum (terutama infeksi primer)
simptomatik sama, seluruh tipe virus ini berhubungan dengan demam dengue,
dan demam adalah gejala minor. Infeksi primer menghasilkan imunitas jangka
panjang terhadap infeksi sekunder dengan serotipe lainnya. Hal ini meningkatkan
resiko dalam kebanyakan hasil dari reaksi silang antibodi dan sel T yang
meningkatkan tingkat infeksi dan secara langsung melibatkan patofisiologi
demam berdarah dengue (Carrington et al. 2005).
Lanciotti et al. (1994) telah membandingkan sekuen protein E pada empat
serotipe virus dengue. Hasilnya diketahui bahwa DENV-1 dan DENV-3 memiliki
hubungan evolusi yang lebih dekat dibandingkan dengan serotipe lainnya.
Keragaman genetik bersifat lebih terbatas dalam setiap serotipe tetapi masih
memungkinkan terdeteksinya kluster dari varian, yang disebut dengan genotipe
(Holmes dan Twiddy 2003; Rico-Hesse et al. 1997). Keragaman genetik virus
dengue
menyebabkan
sulit
untuk
mengevaluasi
virulensi
dan
transmisi/penyebaran relatif dari setiap genotipe meskipun kedua faktor tersebut
merupakan determinan penting untuk epidemiologi (Rico-Hesse 2010).
Perbandingan antara genotipe virus dan informasi epidemiologi dapat mengamati
hubungan antara laju transmisi yang lebih tinggi dan peningkatan insiden infeksi
dengue berat (DBD dan SRD) dengan kelompok virus tertentu (Rico-Hesse et al.
1997).

7
Genotipe tertentu memiliki laju transmisi yang lebih tinggi secara global di
dunia dan dapat menggantikan genotipe lain pada beberapa benua. Demikian pula
beberapa genotipe diasosiasikan dengan DBD sementara genotipe lain tampaknya
hanya menyebabkan DD (Cologna et al. 2005).
Patogenesis Virus Dengue
Virus dengue dapat menyebabkan penyakit melalui dua mekanisme.
Mekanisme pertama yaitu virus menginfeksi kemudian membunuh sel pada organ
target. Infeksi virus dengue menyebabkan efek simptomatik yang mengakibatkan
malfungsi organ. Mekanisme kedua yaitu virus tidak menyebabkan efek
simptomatik yang parah tetapi respon imun inang terhadap virus menyebabkan
malfungsi organ. Secara normal, respon imun bertujuan sebagai mekanisme
proteksi inang terhadap keberadaan virus. Namun, respon imun pada kondisi dan
tingkat tertentu dapat menyebabkan penyakit. Hal tersebut bergantung pada jenis
organ yang terkena dampak respon imun dan tingkat respon imun. Peristiwa saat
respon imun dapat menyebabkan penyakit disebut dengan imunopatogenesis
(Kurane dan Ennis 1997).
Vaughn et al. (2000) membuktikan bahwa kecepatan replikasi virus dengue
yang tinggi dalam tubuh pasien berkorelasi positif dengan peningkatan keparahan
penyakit dengue. Virus dengue terutama akan menginfeksi sel dendritik lokal,
yaitu sel Langerhans dan keratinosit setelah inokulasi ke dalam dermis (Martina et
al. 2009; Fink et al. 2006). Sel Langerhans mengekspresikan DC-SIGN (dendritic
cell specific ICAM3-grabbing non-integrin receptor), suatu molekul lektin yang
mengikat virus dengue dengan cara berinteraksi dengan glikoprotein E virus
(Navvaro-Sanchez et al. 2003). DC-SIGN memediasi proses masuknya virus dan
tahapan ini memungkinkan berlangsungnya tahapan selanjutnya, yaitu infeksi dan
replikasi virus, serta lepasnya virion baru dari sel. Migrasi sel Langerhans ke
nodus limfatik regional juga memungkinkan presentasi antigen virus ke sel T.
Virus dengue menyebar juga melalui darah (viremia primer) dan
menginfeksi makrofag jaringan pada beberapa organ, terutama makrofag pada
limpa. Efisiensi replikasi virus pada sel dendritik, monosit, makrofag, sel
endotelium, sel stromal bone marrow, dan sel hati secara kolektif menentukan
viral load dalam darah. Viral load ini merupakan faktor resiko penting untuk
pembentukan manifestasi penyakit berat (Martina et al. 2009). Infeksi virus pada
makrofag, hepatosit, dan sel endotelium mempengaruhi kondisi hemostatik dan
respon imun terhadap virus dengue. Sel terinfeksi sebagian besar mati melalui
proses apoptosis dan sebagian kecil melalui mekanisme nekrosis. Nekrosis
mengakibatkan dihasilkannya produk-produk toksik yang mengaktivasi koagulasi
dan sistem fibrinolitik. Hemopoiesis juga mengalami supresi yang bergantung
pada tingkat infeksi pada sel stromal bone marrow dan kadar IL-6, IL-8, IL-10,
dan IL-18 (Martina et al. 2009; Nachman dan Raffi 2008).
Pada saat yang sama, infeksi menstimulasi pembentukan antibodi spesifik
dan respon imun seluler terhadap virus dengue. Produksi antibodi IgM yang
bereaksi silang dengan sel endotelium, trombosit, dan plasmin mengakibatkan
peningkatan permeabilitas vaskuler dan koagulopati. Pada infeksi sekunder,
antibodi IgG yang terbentuk dan bersifat non-netralisasi kemudian mengikat virus
yang heterolog (berbeda serotipe dari virus pada infeksi primer) dan

8
menyebabkan peningkatan infeksi virus terhadap antigen presenting cells (APC)
sehingga kemudian mengakibatkan peningkatan viral load. Mekanisme tersebut
dikenal sebagai antibody-dependent enhancement (ADE) (Halstead dan O’Rourke
1977).
ADE terjadi ketika antibodi bersifat heterotipe dan non-netralisasi terdapat
pada pejamu dan berasal dari infeksi virus primer. Antibodi ini kemudian
berikatan dengan partikel virus dengue yang berasal dari infeksi sekunder oleh
virus dari serotipe yang berbeda. Antibodi tersebut tidak dapat menetralisasi virus
baru yang menginfeksi dan sebaliknya kompleks antara antibodi dan virus yang
terbentuk melekat ke reseptor Fc R pada monosit yang bersirkulasi. Fc R tipe I
maupun tipe II memediasi terjadinya ADE (Littaua et al. 1990). Perlekatan
kompleks virus-antibodi pada Fc R memfasilitasi infeksi pada sel-sel yang
semula tidak terinfeksi saat tidak adanya antibodi. Hasil akhir dari proses ini
adalah terjadinya replikasi virus yang mengarah kepada potensi terbentuknya
manifestasi penyakit yang lebih berat (Whitehead et al. 2007).
Viral load yang tinggi menyebabkan stimulasi berlebih terhadap sel T yang
bersifat reaktif silang. Sel-sel tersebut menghambat bersihan (clearance) virus dan
memproduksi sitokin dan mediator terlarut lainnya dalam jumlah besar (badai
sitokin) yang mengakibatkan perubahan pada sel endotelium dan mengarahkan
pada koagulopati dan kebocoran plasma (karakteristik pada SRD) seperti terlihat
pada Gambar 3 (Bozza et al. 2008). Tingkat produksi sitokin dan mediator terlarut
dalam serum pasien dapat dikorelasikan dengan tingkat keparahan penyakit akibat
infeksi dengue (Bozza et al. 2008; Dejnirattisai et al. 2008).

Faktor
koagulasi
Peningkatan
platelet

Hemokonsentrasi
Aktifasi endotel

Trombositopenia

Permeabilitas vaskuler
Kebocoran plasma

Manifestasi
pendarahan

Hipotensi/
Syok

Gambar 3 Patogenesis virus dengue. DENV, virus dengue; Mono/DC, monosit/sel
dendritik; NK, sel Natural Killer; CTL, sel cytotoxic T lymphocyte; DIC,
disseminated intravascular coagulation. Dikutip dari Bozza et al. 2008.
Profil sitokin yang diidentifikasi pada pasien dengan infeksi dengue dapat
menjadi alat bermanfaat untuk karakterisasi pola respon imun dan dapat
membimbing dalam identifikasi kelompok pasien dengan resiko untuk
berkembang ke arah manifestasi klinis berat (Dejnirattisai et al. 2008;
Srikiatkhachorn dan Green 2010). Konsentrasi berbagai sitokin dan mediator lain

9
meningkat secara signifikan selama infeksi dan diasosiasikan dengan keparahan
penyakit (Fink et al. 2006).
Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC)
Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC) adalah sel darah putih yang
memiliki inti tunggal berbentuk bulat, terdiri atas sel limfosit T, sel limfosit B, sel
natural killer (NK), dan monosit (Delves et al. 2006). Sel-sel ini merupakan
komponen penting dari sistem kekebalan tubuh yang terlibat dalam imunitas
humoral dan seluler. Sel mononuklear banyak digunakan dalam penelitian dan
aplikasi klinis seperti dalam bidang mikrobiologi, virologi, onkologi,
pengembangan vaksin, transplantasi dan biologi regeneratif, dan toksikologi.
Jumlah PBMC darah vena manusia sekitar 1,27 ± 0,4 juta sel/ml darah
menggunakan sentrifugasi gradien Ficoll dengan viabilitas 97,1 % ± 1,0 %
(Nilsson et al. 2008). Beberapa penelitian melaporkan bahwa virus dengue dapat
terdeteksi dalam kelompok sel ini (Scott et al. 1980).
Metode Pengukuran Protein NS1
Replikasi virus dengue dapat diketahui dengan mengukur konsentrasi
antigen NS1. Deteksi antigen NS1 virus dengue umumnya dilakukan dengan
metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan uji dot blot.
Konsentrasi antigen NS1 yang tinggi dapat membentuk kompleks imun yang
dapat dideteksi dalam serum pasien pada fase akut, baik pada infeksi primer
maupun sekunder, hingga 9 hari setelah gejala awal (Shu dan Huang 2004).
ELISA merupakan metode yang umum digunakan karena mampu
diaplikasikan pada jumlah sampel banyak dengan volume sampel yang sedikit,
seperti pada kasus dengue (Wang 2006). Uji ELISA relatif lebih sederhana dan
ekonomis. Namun, uji tersebut tidak mampu memperbanyak antigen organisme
infeksius seperti pada teknik kultur, atau asam nukleat seperti pada PCR. Oleh
karena itu, diagnosis dengan uji ELISA memiliki sensitifitas lebih rendah
dibandingkan teknik lainnya (Campbell dan Landry 2006).
Uji ELISA merupakan teknik pengujian serologi yang didasarkan pada
interaksi atau ikatan spesifik antara antigen dan antibodi. Interaksi antibodi dan
antigen tersebut ditandai menggunakan suatu enzim yang terikat pada antibodi
atau antigen spesifik. Uji ELISA memiliki beberapa jenis diantaranya direct
ELISA, indirect ELISA, sandwich ELISA dan competitive ELISA. Namun
sandwich ELISA memiliki sensitivitas tertinggi di antara jenis ELISA lainnya
tetapi membutuhkan waktu dan biaya yang lebih banyak (Campbell dan Landry
2006; Wang 2006).
Pada sandwich ELISA antibodi yang digunakan ada dua macam, yaitu
antibodi primer sebagai antibodi penangkap dan antibodi sekunder sebagai
antibodi pendeteksi. Sandwich ELISA lebih banyak dimanfaatkan untuk
mendeteksi keberadaan antigen multivalen yang kadarnya sangat rendah pada
suatu larutan. Sandwich ELISA memiliki tingkat sensitivitas tinggi terhadap
antigen yang diinginkan sebagai hasil interaksi antigen tersebut dan kedua
antibodi (Murphy et al. 2008).

10
Pada sandwich ELISA mikrotiter plate diisi dengan antibodi penangkap
sehingga antibodi tersebut menempel pada dinding mikrotiter yang telah dilapisi
oleh polistiren atau polivinil. Antigen kemudian ditambahkan sehingga akan
membentuk kompleks antibodi-antigen, lalu ditambahkan antibodi sekunder yang
telah dilabel dengan enzim. Substrat organik kemudian ditambahkan sehingga
akan terlihat perubahan warna substrat pada sampel yang positif mengandung
antigen, tetapi tidak pada sampel negatif. Intensitas perubahan warna tersebut
mengindikasikan banyaknya antigen yang terdapat pada sampel dan dikuantifikasi
menggunakan spektrofotometer atau plate reader (Murphy et al. 2008; Kudesia
dan Wreghitt 2009).
Sitokin/Kemokin pada Infeksi Virus Dengue
Sitokin adalah glikoprotein nonstruktural berukuran kecil yang berfungsi
sebagai protein caraka (messenger proteins) antar sel dan terlibat dalam berbagai
proses seperti pertumbuhan sel, diferensiasi sel, perbaikan, dan pemodelan ulang
(remodeling) jaringan, dan pengaturan respon imun. Sitokin dapat berfungsi
sebagai biomarker potensial untuk kesehatan dan penyakit. Perubahan kadar
sitokin dapat berguna sebagai acuan untuk intervensi terapeutik. Hal tersebut
menjadikan deteksi mediator terlarut ini telah menjadi perhatian dan fokus
penelitian selama empat dekade belakangan (de Jager dan Rijkers 2006).
Sitokin pada awalnya disebut sebagai faktor limfosit terlarut atau limfokin.
Penamaan ini berdasarkan pada asal dari faktor tersebut (limfosit) dan fungsinya
(kinesis, yang berarti pergerakan atau perubahan) (Dumonde et al. 1969).
Interleukin adalah suatu protein bagian dari keluarga protein sitokin dengan bobot
molekul antar 4-50 kDa. Bagian dari keluarga interleukin adalah sitokin
kemoatraktif (chemoattractive cytokine) atau kemokin, yang memiliki bobot
molekul 4-16 kDa (de Jager dan Rijkers 2006).
Produksi sitokin yang terjadi akibat infeksi virus dengue pada sel imun
memiliki kontribusi pada terjadinya manifestasi klinis penyakit. IL-10 (interleukin
10), IP-10 (interferon inducible protein 10), dan MIP-1 (macrophage
inflammatory protein 1 beta) adalah sitokin/kemokin yang diduga memiliki
hubungan dengan patogenesis penyakit dengue. Ketiga sitokin/kemokin ini
bersumber dari sel makrofag yang merupakan bagian dari sel PBMC (Abbas et al.
2012).
Kuantifikasi sitokin pada tingkat protein kadang tidak memungkinkan
karena sampel jaringan yang tersedia untuk analisis terlalu sedikit, oleh karena itu
dapat dilakukan analisis messenger RNA (mRNA). Pada publikasi yang berbeda
telah dijelaskan bahwa ada korelasi yang baik antara sitokin tingkat mRNA yang
diukur dengan real-time PCR dan tingkat protein yang diukur dengan enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) (Overbergh et al. 2003).
Pengukuran mRNA sitokin dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti
Northern Blot, RNase protection assays, in situ hybridization dan quantitative
reverse transcription–polymerase chain reaction (RT–PCR). RT-PCR kuantitatif
(quantitative real time RT-PCR) adalah satu-satunya metode yang memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk mengukur ekspresi mRNA dalam
jumlah yang rendah (Yin et al. 2001).

11
Quantitative Real Time RT-PCR
Quantitative real time reverse transcriptase PCR (RT-PCR), yang
merupakan inovasi terbaru di bidang teknologi PCR, memberikan metode yang
sensitif, reproducible, dan akurat untuk menentukan sitokin tingkat mRNA pada
jaringan atau sel. Metode ini didasarkan pada deteksi sinyal fluoresensi yang
diproduksi dan dipantau selama proses amplifikasi yang akan membentuk grafik,
tanpa perlu adanya proses pasca-PCR (elektroforesis) (Overbergh et al. 2003).
Quantitative real time RT-PCR adalah metode pilihan untuk pengukuran
ekspresi sitokin atau growth factor yang cepat dan reproducible dalam sampel
kecil. Metode deteksi fluoresensi untuk memantau real time PCR yaitu dengan
probe fluorogenik berlabel reporter dan quencher dye, seperti probe Taqman atau
Beacons dan pewarna SYBR Green I pengikat dsDNA (Yin et al. 2001).
Cara kerja quantitative real time RT-PCR mengikuti prinsip umum reaksi
PCR, utamanya adalah DNA yang telah diamplifikasi dihitung setelah
diakumulasikan dalam reaksi secara real time sesudah setiap siklus amplifikasi
selesai. Terdapat 2 (dua) metoda kuantifikasi yang umum digunakan antara lain :
(1) menggunakan zat pewarna fluoresensi yang akan terinterkalasi dengan DNA
rantai ganda (dsDNA) misalnya SYBR Green I, dan (2) probe (penanda) yang
berasal dari hasil modifikasi DNA oligonukleotida yang akan berpendar
(flourensensi) ketika terhibridisasi dengan DNA komplemen, misalnya probe
FRET (hibridisasi) dan probe TaqMan. Dalam setiap pengamatan proses PCR,
sinyal fluoresensi yang dipancarkan akan meningkat secara proporsional setiap
siklus PCR telah berhasil dilakukan sejalan dengan bertambahnya produk DNA
(DNA hasil amplifikasi) yang dihasilkan (Wong dan Medrano 2005, Overbergh et
al. 2003).
Metoda pertama adalah metoda yang paling mudah dengan menggunakan
zat pewarna yang nantinya akan berikatan dengan setiap DNA untai ganda
(dsDNA) yang dihasilkan dari reaksi PCR. Zat pewarna yang umum digunakan
adalah SYBR Green I. Zat pewarna ini pada kondisi bebas tidak berikatan dengan
dsDNA memiliki energi/sinyal flouresensi yang rendah meskipun distimulasi oleh
sinar yang ditembakkan oleh alat. Pada saat terbentuk dsDNA sebagai hasil PCR,
SYBR Green I akan berikatan dengan dsDNA membentuk suatu kompleks DNAdye dan secara simultan akan meningkatkan sinyal fluoresensi pada saat disinari
cahaya oleh alat. Penggunaan SYBR Green I menjadi populer pada awalnya
karena harganya relatif murah, cukup menggunakan 1 jenis primer, dan dapat
digunakan untuk hampir seluruh jenis analisis. Hanya saja, saat ini penggunaan
SYBR Green I semakin kurang diminati. Sebab, SYBR Green berikatan
dengan ’sembarang’ dsDNA misalnya dengan primer-dimer maupun hasil PCR
yang tidak sesuai (Wong dan Medrano 2005, Overbergh et al. 2003).
Pengukuran sitokin dan growth factor menggunakan quantitative real time
RT-PCR dengan probe fluorogenik (FRET) lebih sensitif dan mampu mendeteksi
pada tingkat ekspresi rendah (1000 kopi/reaksi. Tetapi SYBR Green I lebih
mudah dan murah dibandingkan probe fluorogenik (Yin et al. 2001). Oleh karena
itu pada peneltian ini digunakan real time PCR SYBR Green I.

12

3 METODE
Bahan
Sel PBMC manusia sehat
Sel PBMC berasal dari manusia sehat. Pengambilan darah vena dilakukan
secara aseptik. Kriteria manusia sehat disini yaitu yang tidak sedang mengalami
gejala penyakit dengue (tetapi pernah terinfeksi) maupun gejala penyakit lainnya,
tidak memiliki riwayat penyakit autoimun, dan suhu badan diukur normal 36,5 37,5°C.
Virus dengue
Pada penelitian ini digunakan virus dengue isolat Indonesia dari empat
serotipe virus dengue (DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4) dengan masingmasing 3 isolat yang berbeda per serotipe (Tabel 2). Virus yang digunakan
merupakan perwakilan dari keseluruhan virus hasil isolasi dari serum pasien
demam di beberapa Rumah Sakit di Indonesia yang berpartisipasi dalam studi
epidemiologi dengue di Laboratorium Dengue, Lembaga Biologi Molekular
Eijkman. Persetujuan etik untuk studi telah diperoleh dari Komisi Etik Lembaga
Biologi Molekular Eijkman yang mendukung pemberian kelaikan etik. Setiap
sampel telah dilengkapi dengan informed consent. Semua virus adalah koleksi
Laboratorium Dengue, Lembaga Eijkman.
Bahan lain
Medium yang digunakan adalah 1X RPMI 1640 mengandung 2 mM Lglutamine dan disupplementasi 10 % (v/v) Fetal Bovine Serum/FBS, 100 U/mL
Penicillin dan 100 µg/mL Streptomycin (disebut medium pertumbuhan) [GibcoInvirogen]; 1X RPMI 1640, 2 % FBS, 1 % Penicillin/Streptomycin (disebut
medium inokulasi) [Gibco-Invitrogen]; dan 1 % methyilcellulose overlay [Merck],
2 % FBS [Gibco]. Bahan lain adalah ficoll [Histopaque, Sigma Aldrich]; 1X
0,25 % Tripsin-EDTA [Gibco], 1X Dulbeccos Phosphate Buffer Saline (D-PBS)
pH 7,4 tanpa CaCl2 dan MgCl2 [Gibco], LPS (lipopolisakrida); 3,7 % formalin
[AppliChem]; 1 % crystal violet [Sigma]; trypan blue [Sigma]; ELISA NS1 kit
[Panbio]; Magna Pure RNA Isolation kit [Roche]; Superscript III Reverse
Transcriptase [Invitrogen]; primer Oligo dT [Promega]; Taq DNA polimerase
[Roche]; 1 % agarosa [Bio-Rad]; 200 ng/ml ethidium bromide [Sigma]; marka
DNA 50 bp (Invitrogen); primer forward dan reverse 4 gen (tabel 1); SYBR Green
select reaction mix [Applied Biosystems]; 70 % etanol [Merck]; dan 10 % bleach
[Vesphene]. Galur sel yang digunakan adalah sel C6/36 dan sel BHK21 (baby
hamster kidney).

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2013 - November 2014 di
Laboratorium Dengue Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta.

13

Prosedur Penelitian
Propagasi/perbanyakan virus dengue
Propagasi/perbanyakan virus dengue berdasarkan metode pada Yohan 2011.
Perbanyakan virus menggunakan kultur sel dilakukan dengan inokulasi 200 µ L
serum pada monolayer sel C6/36 dalam flask T-25 (Corning). Serum inokulan
disiapkan dalam 2 mL medium 1X RPMI 1640 dengan suplementasi 2 % Fetal
Bovine Serum (FBS), 2 mM l-glutamin, 100 U/mL Penisilin, dan 100 µg/mL
Streptomisin kemudian ditambahkan ke monolayer sel. Setelah periode inkubasi
pada suhu 28°C selama 1 jam, sel dicuci dengan 1X Dulbeccos Phosphate Buffer
Saline (D-PBS) pH 7,2; tanpa kandungan ion Mg2+ dan Ca2+ dan inokulan diganti
dengan medium inokulasi baru. Inkubasi dilanjutkan hingga terdeteksi cytopathic
effect (CPE) atau selama 9 dan 13 hari CPE tidak terdeteksi. Dengan mikroskop
cahaya perbesaran total 100X, CPE terlihat sebagai perubahan struktur sel dimana
terjadi lisis sel, hilangnya kontak antar sel, atau terbentuknya sel raksasa dengan
banyak inti akibat infeksi virus. Supernatan dikoleksi dan dimurnikan dari sisa sel
dengan sentrifugasi pada 4000 rpm selama 10 menit.
Pengukuran titer virus dengue menggunakan metode Plaque Assay
Titer virus hasil propagasi diukur dengan menggunakan metode plaque
assay yang sudah dimodifikasi (Eckels et al. 1976). Sebanyak 4 x 105 sel
Mesocricetus auratus, baby hamster kidney (BHK21) ditanam dalam sumuran
dari 24-well plate (Nunc) dan diinkubasi pada suhu 37°C, 5 % CO2 semalaman.
Stok virus yang akan diukur titernya kemudian diencerkan secara berseri dengan
faktor pengenceran 10 kali dalam medium inokulasi (pengenceran 10-1, 10-2, 10-3,
10-4, 10-5, dan 10-6). Sebanyak 200 µL inokulum ditambahkan ke dalam sumuran
secara duplo sesuai pengenceran virus dan dilanjutkan dengan inkubasi pada 37°C,
5 % CO2 selama 1 jam. Setelah periode absorpsi virus, inokulum dibuang dan
medium diganti dengan 500 µL 1 % methylcellulose overlay yang mengandung
2 % FBS. Plate diinkubasi pada suhu 37°C, 5 % CO2 selama 5 hari. Setelah
periode inkubasi, sel difiksasi dengan larutan formaldehida 3,7 % selama 30 menit.
Plak yang terbentuk divisualisasi dengan pewarnaan crystal violet 1 % dan
dihitung untuk menentukan titer virus dalam plaque forming unit/ml (PFU/mL)
sesuai persamaan sebagai berikut:
PFU/mL = Jumlah plak x faktor pengenceran tertinggi x (1000/200)
= Jumlah plak x faktor pengenceran tertinggi x 5
Isolasi Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC)
Metode isolasi PBMC berdasarkan pada Bahunde et al. 2013 yang telah
dimodifikasi. Sebanyak 160 mL darah vena donor sehat diambil secara aseptik
dan dengan penambahan anti koagulan heparin dalam tabung Vacuette (Greiner
Bio-One). Isolasi PBMC dilakukan menggunakan teknik sentrifugasi gradien.
Darah diencerkan dengan 1X D-PBS pH 7,2 dengan perbandingan 1:1 dalam
tabung sentrifugasi 50 ml (Corning) dan dihomogenisasi. Lalu dipindahkan ke
dalam tabung sentrifugasi baru dan ditambahkan larutan ficoll sebanyak 1:1
dengan cara under layer (diusahakan tidak sampai tercampur) menggunakan spuit

14
(Terumo) sehingga terbentuk dua fase cairan yakni ficoll di lapisan bawah dan
darah di lapisan atas. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 400 x g pada
suhu 20oC selama 40 menit pada alat refrigerated centrifuge tipe Universal 320R
(Hettich). Bagian buffy coat yang berisi PBMC diambil dengan menggunakan
pipet transfer kapasitas 3 mL (Membrane Solutions). PBMC dipindahkan ke
dalam tabung sentrifugasi baru dan dilakukan pencucian menggunakan 1X D-PBS
pH 7,2 sebanyak 3 kali volume buffy coat yang didapat dan disentrifugasi lagi
dengan kecepatan 300 x g, 4oC selama 10 menit. Supernatan kemudian dibuang.
Proses tersebut diulang hingga 2 kali. Jumlah sel PBMC dihitung dengan
menggunakan haemocytometer (Improved Neubauer) dan viabilitas sel PBMC
ditentukan menggunakan pewarnaan trypan blue.
Paparan berbagai serotipe virus dengue pada sel PBMC
Virus yang digunakan telah tersedia di Laboratorium Dengue di Lembaga
Eijkman dan telah diketahui titernya dengan perhitungan menggunakan plaque
assay, metode yan