Perbedaan Tugas Rumah Tangga
101
dalam keluarga, mempengaruhi kebijakan atau pengambilan keputusan dalam keluarga, hingga digunakan untuk memutuskan menyekolahkan anak.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh pemerhati pendidikan bahwa: “Mengenai peran budaya, semua aspek kehidupan masyarakat
Waipukangdiselimuti oleh budaya Lamaholot. Apapun selalu didasarkan pada budaya. Budaya itu nomor satu, setelah itu agama,
barulah hal lain menyusul” YL, 25 Maret 2015 Hal ini didukung oleh tokoh agama, bahwa :
“Agama saja nomor 2 ama. Yang nomor 1 itu budaya Lamaholot. Jadi berbicara mengenai peran budaya, sudah jelas bahwa budaya sangat
berperan dalam setiap sudut kehidupan masyarakat Waipukang.” PK, 24 Maret 2015
Konsep ini diperkuat oleh hasil observasi yang mengungkapkan bahwa budaya begitu berperan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat
Waipukang. Budaya dijadikan patokan atau dasar dalam kehidupan masyarakat setempat. Pekerjaan orangtua misalnya, laki-laki menjadi
pencari nafkah dan perempuan menjadi pengelola nafkah yang diperoleh laki-laki. Perempuan dilarang untuk mengerjakan pekerjaan laki-laki, begitu
pula laki-laki tidak diperbolehkan mengerjakan pekerjaan perempuan atas dasar budaya.
1 Nilai anak dalam budaya Lamaholot
Anak merupakan sesuatu yang berharga bagi masyarakat Waipukang. Dalam konteks budaya Lamaholot, walapun ada perbedaan
antara anak laki-laki dan perempuan namun anak tetap dipandang sebagai anugerah tak terhingga dari Tuhan seperti yang disampaikan oleh tokoh
agama berikut:
102
“Anak adalah anugerah Tuhan. Anugerah yang nilainya tak terhingga. Budaya mengakui hal tersebut walapun budaya
membedakan nilai anak laki- laki dan perempuan.” TT, 22 Maret
2015 Hal ini serupa dengan yang disampaikan oleh tokoh masyarakat bahwa :
“Dahulu anak dilahirkan untuk membantu orangtua bekerja dan lekas menikah. Anak dipandang juga sebagai pewaris suku dan
keluarga anak Laki-laki dan membantu memperlancar acara suku serta menjadi aset berharga suku dan keluarga anak
perempuan
– dipakai hingga sekarang.” DP, 15 Maret 2015 Konsep yang sama juga dituturkan oleh orangtua bahwa :
“Dalam budaya Lamaholot anak sangat berharga. Anak laki-laki menjadi pewaris suku dan keluarga sedangkan anak perempuan
menjadi aset berharga suku dan keluarga karena mendatangkan
warisan baru dari mas kawin yang diperolehnya.” LM, 13 Maret 2015
Dua informan di atas menjelaskan hal yang senada yakni nilai anak dalam keluarga dan suku menurut pemahaman budaya Lamaholot.
Anak laki-laki dipandang sebagai pewaris tunggal harta atau peninggalan suku dan keluarga sedangkan anak perempuan sebatas anak pelengkap
dimana jasanya dapat dimanfaatkan untuk mendatangkan harta baru bagi suku dan keluarga.
Hal ini diperkuat oleh hasil observasi yang menemukan bahwa anak perempuan sering dirugikan karena perempuan dalam konteks
budaya Lamaholot dinilai sebagai pelengkap, sedangkan laki-laki menjadi prioritas karena hak anak laki-laki yang begitu berpengaruh
terhadap suku dan keluarga.
103
2 Peran budaya dalam mendidik anak di rumah
Hasil observasi
menemukan bahwa
budaya Lamaholot
mempengaruhi orangtua dalam mendidik anak di rumah. Dalam menasihati anak baik secara tersirat atau tersurat, orangtua selalu
menggunakan budaya sebagai patokan. Misalnya orangtua mengajarkan anak memahami budaya makan secara tradisi Lamaholot, yakni laki-laki
harus didahulukan, laki-laki tidak diperbolehkan bekerja di dapur, porsi makan anak laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dan masih
banyak lagi. Konstribusi budaya Lamaholot ini menimbulkan kesenjangan gender antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Kesenjangan lain terjadi ketika semua hasil kerja anak perempuan kain tenun misalnya akan digunakan untuk kebutuhan anak laki-laki baik itu
untuk keperluan menikah ataupun biaya pendidikan. Seperti yang diungkapkan oleh tokoh masyarakat berikut :
“Budaya kita mempunyai peran dalam pendidikan anak. Hasil tenun dari anak perempuan dapat keluarga pakai untuk keperluan
biaya pendidikan anak laki- laki.” DP, 15 Maret 2015
Hal ini didukung oleh informan orangtua bahwa : “Budaya kita digunakan untuk menasihati anak-anak yang mereka
tidak peroleh di sekolah. Misalnya meningk atkan budaya makan.”
WR, 30 Maret 2015 Konsep yang sama juga disampaikan oleh pemerhati pendidikan bahwa :
“Ada pendidikan informal dalam keluarga Waipukangmelalui budaya Lamaholot. Orangtua tua selalu menasihati anaknya di
rumah berdasarkan acuan budaya. Misalnya budaya sopan santun,
tata krama, budaya makan, dan masih banyak lagi.” YL, 25 Maret 2015
104
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa budaya Lamaholot begitu berperan dalam kesenjangan gender pada masyarakat Waipukang
termasuk dalam pendidikan anak di rumah yang digunakan sebagai acuan atau bekal untuk kehidupannya kelak.