54
Akses kesehatan zaman itu tidak bisa dibandingkan seperti sekarang. Guru yang berstatus sebagai PNS punya asuransi kesehatan yang lebih mudah sekarang.
Ayah sebagai guru tidak punya akses semacam itu. Bahkan, gajinya yang belum dibayar pun terungkap ketika suatu pagi perawat datang untuk meminta gaji.
Pagi itu seorang juru rawat yang semalam kena dinas jaga malam datang ke rumah kamu dan menyerahkan selembar
kwitansi – minta
voorschot
3
gaji untuk bulan Maret Bulan itu adalah bulan Mei. Kwitansi itu adalah dari Ayah. Aku tak
mengeri mengapa
voorschot
untuk bulan Maret yang dipintanya. Dan di kala hal ini kutanyakan pada paman, ia
mengatakan : “Sejak kita merdeka, guru belum dibayar. Hampir setengah tahun ini.” Toer, 1999:69
Kesulitan akses ini karena memang tidak adanya uang. Uang yang digantungkan dari gaji, sementara hampir setengah tahun gaji guru belum
dibayarkan. Dengan demikian, meskipun Ayah adalah guru -pekerjaan yang dianggap mulia- itu tak menjamin ia mendapat akses kesehatan yang lebih baik.
Marx mengatakan bahwa yang menentukan posisi kelas adalah akses terhadap alat produksi. Dalam hal ini, alat produksi tidak hanya terbatas pada mesin produksi
saja tetapi juga fasilitas kesehatan. Inilah mengapa akses kesehatan menjadi hal yang tidak mungkin bagi kaum proletar. Hal ini disebabkan akses kesehatan
merupakan alat produksi yang sangat sulit diakses oleh kaum proletar.
4.4 Relasi dengan Sesama adalah Relasi Ekonomi
Selain mengamati bagaimana relasi antara kaum proletar dengan kaum borjuis, menarik juga untuk dilihat bagaimana relasi antar kaum proletar itu sendiri.
3
Istilah dalam Belanda untuk menyebut uang muka atau pembayaran di depan.
55
Pertama bisa dilihat bagaimana relasi antara Ayah dan perawat di rumah sakit. Perawat sekalipun bagian dari rumah sakit adalah bagian dari rakyat pekerja. Dia
merupakan bagian dari kaum proletar. Dalam novel ini, perawat bekerja hanya karena motif ekonomi. Merawat
orang sakit yang miskin tentu tidak akan memberikan keuntungan ekonomi yang terlalu tinggi. Maka dalam novel ini, perawat merawat Ayah dengan perhatian
secukupnya saja. Ketika ayah menghendaki untuk pulang, ia menitipkan sebuah pesan
dalam kwitansi yang akan diserahkan perawat kepada tokoh Aku. Namun, pesan itu tidak disampaikan dan yang penting hanyalah mereka bisa segera mendapat uang.
Ayah kecewa dengan itu semua. Ayah menunjukkan kekecewaannya kepada perawat yang dititipinya pesan itu.
“Allah. Allah.” Matanya tertutup lagi. “Jadi orang tadi tak bilang apa-
apa padamu?” “Dia hanya menyerahkan kwitansi dan minta uang sepuluh rupiah.” “Allah.Allah.” Ayah
menyebut lagi. Dan pada matanya yang tertutup itu terbayang kesedihan, kekesalan dan kasihan pada segala-galanya.
Sekaligus datang saja suara dalam hatiku. Orang tadi pagi itu telah menipu engkau Toer, 1999:70
Padahal di balik kwitansi itu sebenarnya ada pesan dari Ayah untuk anaknya supaya ia dibawa pulang saja. Namun, pesan itu tidak tersampaikan. Pesan itu
berbunyi demikian : Anakku
Aku sudah tak tahan tinggal di rumah sakit ini. Dan karena para famili telah kumpul, lebih baik aku bawa saja pulang.
Datanglah ke rumah sakit secepatnya. Bapakmu. Toer, 1999: 71
56
Kesedihan Ayah memuncak karena ia sudah membangun niat untuk pulang dan berharap pesan itu bisa sampai kepada anaknya. Namun, pesan itu tidak
sampai. Di hari ketika berharap akan pulang. Anak-anaknya datang seperti ketika menjenguk di hari-hari sebelumnya.
Apa yang terjadi di atas menunjukkan bela rasa antar kaum proletar tidak ada. Yang penting bagi kaum proletar adalah mendapat uang karena itulah yang
menjadi agenda hidup mereka sehari-hari. Bukan karena mereka ingin menumpuk uang, tetapi memang kebutuhan utama mereka perlu uang yang didapat dengan
susah payah. Seorang tukang potong kambing yang merupakan tetangga Ayah juga
menunjukkan bagaimana sindirannya terhadap rumah reyot yang ada di Blora. Dia menyarankan agar tokoh Aku untuk merenovasi rumah itu. Meskipun demikian,
saran ini lebih terasa sebagai sebuah ejekan. Kalau bisa Gus, kalau bisa
– harap rumahmu itu engkau perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat
ini. Dan engkau sudah terlampau lama tak bergauk dengan orang-orang di sini. Karena itu, barangkali ada baiknya
kuulangi kata orang tua-tua dulu: Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak Toer,1999:38.
Komentar dari tetangganya ini membuat tokoh aku bertambah merasa susah. Yang membuatnya bertambah susah adalah komentar itu membuatnya
berpikir tentang kebutuhan ekonomi lebih dalam. Padahal, di satu sisi dia sudah merasa bingung dengan situasi kesehatan Ayah yang semakin parah.
Tukang potong kambing sebenarnya adalah wakil dari sesama kaum proletar. Pada masa perjuangan kemerdekaan posisi Ayah sebagai seorang
nasionalis dan guru akan membuat status sosialnya berada di atas. Namun, dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
perkembangan zaman, kapitalisme membuat status sosial berkaitan erat dengan situasi ekonomi. Meskipun seorang pejuang kemerdekaan, tetapi status sosial Ayah
dianggap setara oleh Tukang potong kambing karena kondisi ekonomi Ayah dan Aku yang lemah.
Dari paparan di atas nampak bagaimana relasi kaum proletar bukanlah relasi yang harmonis. Relasi itu lebih banyak dipengaruhi oleh motif ekonomi
semata. Posisi seseorang ditentukan oleh tingkat ekonominya. Meski Aku merupakan anak dari Ayah yang seorang nasionalis dan punya jasa besar sebagai
guru, namun tetap saja dengan mudah tentangganya memberikan sindiran karena rumahnya yang jelek. Ejekan pun muncul dari sesama kaum proletar, padahal
belum tentu situasi yang mengejek lebih baik daripada yang diejek. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
BAB V PENUTUP