Persentase Lokus Polimorfik PLP = NLPNLP +NLM x 100

Hasil proses PCR kemudian dianalisis dengan melakukan elektroforesis menggunakan 2 gel agarosa dalam larutan buffer 1 x TAE dan distaining didalam larutan etidium bromida. Pengaturan suhu pada mesin PCR MJ Research PTC-100 untuk reaksi PCR disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Tahapan-tahapan dalam proses PCR untuk teknik RAPD. Tahapan Suhu Waktu Jumlah Siklus Pre-denaturation 95 C 15 menit 1 Denaturation Annealing Extension 95 C 37 C 72 C 1 menit 2 menit 2 menit 45 Final Extension 72 C 10 menit 1 Analisis hasil PCR Hasil PCR yang telah dielektroforesis difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pola pita yang muncul. Pola pita yang muncul positif diberi nilai 1 dan pola pita yang tidak muncul negatif diberi nilai 0. Proses skoring dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil perhitungan kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE Versi 3.2. dan NTSYS Versi 2.02. Parameter genetik yang diukur dalam penelitian ini adalah variasi genetik di dalam populasi dan antar populasi. Untuk keragaman genetik di dalam populasi parameter yang diukur adalah : 1. Persentase Lokus Polimorfik PLP = NLPNLP +NLM x 100 Keterangan : NLP : jumlah lokus polimorfik NLM : jumlah lokus monomorfik 2. Jumlah alel yang diamati na = jumlah semua lokusjumlah lokus yang diamati 3. Jumlah alel yang efektif ne = 1 Σjumlah frekuensi alel p 2 4. Heterozigitas harapan He = 1 - Σjumlah frekuensi alel p 2 Sedangkan parameter yang diamati untuk keragaman genetik antar populasi digunakan cluster analysis untuk menduga ada tidaknya hubungan kekerabatan berdasarkan jarak genetik yang diperoleh. Lokus Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 L-1 L-2 L-3 L-4 Lokus Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 L-1 1 1 1 1 1 1 1 1 L-2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 L-3 1 1 1 1 1 1 L-4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Gambar 3 Cara penilaian pita dengan sistem skoring. Analisis Isotop Sampel berupa serbuk kayu jati berukuran 45 - 60 mesh dalam bentuk komposit dari lima disk kayu jati dari masing-masing lokasi asalnya. Sehingga dari sembilan lokasi yang dievaluasi diwakili satu contoh uji untuk mengetahui keragaman isotop pada tiap asal kayu jati. Preparasi gas CO 2 untuk analisis isotop karbon dan oksigen dilakukan dengan metode pembakaran Ehleringer et al. 2007. Sampel serbuk kayu jati sebanyak 70 mg dioksidasi dengan 70 mg Cu 2 O pada suhu 1200 o C atau pada skala 120 V selama 1,5 jam dalam alat sulphate preparation line. Proses pembakaran berlangsung dalam kondisi vakum pada suhu ruangan. Sesudah reaksi sempurna, gas CO 2 yang terbentuk dipisahkan dengan uap air agar tidak mengganggu pada pengukuran dengan spektrometer. Proses pemisahan dilakukan dengan metode trapping menggunakan dry ice acetone dan nitrogen cair. Uap air yang berasal dari pembakaran tersebut akan membeku pada suhu campuran dry ice acetone -70 o C, sedangkan gas CO 2 akan mengalir ke tabung discharge yang tercelup pada suhu nitrogen cair -196 o C. Gas CO 2 yang diperoleh dikumpulkan ke dalam botol sampel dengan tekanan gas yang terbentuk 700 mBar dalam kondisi vakum. Gas ini kemudian diinjeksikan dan diukur dengan menggunakan spektrometer massa SIRA-9 Djiono dkk, 1996. Hasil pengukuran berupa rasio isotop 13 C 12 C dan 18 O 16 O terhadap gas CO 2 pembanding yang juga dialirkan ke spektrometer massa tersebut. Selanjutnya nilai tersebut distandarkan terhadap standar Pee Dee Belemnite PDB dan dituliskan dengan notasi δ 13 C dan δ 18 O dalam satuan per mill ‰ dengan persamaan : 13 C 12 C sampel - 13 C 12 C standar PDB δ 13 C sampel ‰ PDB = x 1000 13 C 12 C standar PDB 18 O 16 O sampel – 18 O 16 O standar PDB δ 18 O sampel ‰ PDB = x 1000 18 O 16 O standar PDB Nilai rasio isotop tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan metode principal component analysis PCA dengan perangkat lunak Minitab 14 Iriawan dan Astuti 2006 untuk melihat keragaman geografis. Analisis Kimia Kayu Persiapan bahan Persiapan sampel dilakukan berdasarkan standar Tappi T 257 cm-85. Sampel berupa lempengan kayu dibuat serpih ukuran kecil seperti batang korek api, dikering udarakan dan digiling menjadi serbuk dengan menggunakan hammer mill kemudian diayak untuk mendapatkan ukuran 45 - 60 mesh. Serbuk komposit kayu yang merupakan campuran bagian kayu gubal, transisi dan teras tersebut dari masing-masing individu selanjutnya disiapkan untuk analisis kimia. Kadar air serbuk Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan standar Tappi T 264 om-88. Penentuan kadar air serbuk diawali dengan pemanasan cawan porselen dalam oven bersuhu 103 + 2 o C hingga beratnya konstan. Serbuk kayu sebanyak 1 - 2 g dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang Bo. Berat kering tanur BKT serbuk diperoleh melalui penimbangan serbuk kayu yang telah dipanaskan dalam oven bersuhu 103 + 2 o C hingga beratnya konstan. Kadar air dihitung berdasarkan rumus: 100 Bo BKT Kadar Air x BKT − = Kadar holoselulosa Prosedur dilakukan berdasarkan standar Tappi T 9 wd-75. Serbuk + 2 g a yang telah bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam erlenmeyer 300 ml. Kemudian ditambahkan 150 ml air destilata, 1 g NaClO 2 , dan 0,3 ml asam asetat glasial. Sampel dipanaskan pada suhu 80 o C selama 5 jam dan setiap jam ditambahkan 1 g NaClO 2 dan 0,3 ml asam asetat glasial. Kemudian disaring dan dicuci dengan air panas sampai filtrat tidak berwarna. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2 o C lalu ditimbang sampai beratnya konstan b. Kadar holoselulosa dihitung berdasarkan rumus: 100 b Holoselulosa x a = Kadar selulosa Metode ini dimaksudkan untuk mengetahui sejumlah zat yang tertinggal setelah hemiselulosa diekstrak dari holoselulosa yang diperoleh sebelumnya. Prosedur ini dilakukan berdasarkan standar Tappi T 17 m-55. Serbuk + 2,5 g a yang sudah bebas ekstraktif dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml. Kemudian ditambahkan 400 ml air panas lalu dipanaskan di atas waterbath bersuhu 80 o C selama 2 jam, disaring lalu dikering udarakan. Erlenmeyer 300 ml disiapkan, lalu serbuk yang sudah kering udara tadi dimasukkan kemudian ditambahkan 125 ml HNO 3 3,5, setelah itu dipanaskan di atas waterbath bersuhu 80 o C selama 12 jam. Serbuk kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring sampai bebas asam dan dikering udarakan. Sampel yang sudah kering udara kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer lalu ditambahkan 125 ml NaOH + Na 2 SO 3 20 g + 20 g dalam 1 liter larutan. Setelah itu dipanaskan di atas waterbath bersuhu 50 o C selama 2 jam. Setelah itu serbuk disaring dengan menggunakan kertas saring sampai bebas basa dan dikelantang dengan NaClO 2 10 lalu dicuci hingga filtrat tidak berwarna. Kemudian ditambahkan 100 ml CH 3 COOH 10 dan dicuci hingga sampel bebas asam. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2 o C lalu ditimbang sampai beratnya konstan b. Kadar selulosa dihitung berdasarkan rumus: 100 b Selulosa x a = Kadar hemiselulosa Kadar hemiselulosa diperoleh dengan mengurangi kadar holoselulosa dengan kadar selulosanya, yaitu: Kadar Hemiselulosa = Holoselulosa – Selulosa Kadar lignin Metode ini dimaksudkan untuk mengetahui sejumlah lignin yang tertinggal atau tidak terlarut dalam larutan H 2 SO4 72. Prosedur ini dilakukan berdasarkan standar Tappi T 13 wd-74. Serbuk bebas ekstraktif sebanyak 1 g a dimasukkan ke dalam beaker glass 100 ml. Kemudian ditambahkan 15 ml H 2 SO4 72 sambil diaduk pada suhu ruangan sekurang-kurangnya 1 menit dan ditutup dengan aluminium foil. Lalu didiamkan selama 2 jam, suhu dijaga agar tetap dengan cara mendinginkan bagian luar gelas dengan es dan diaduk sesekali. Sementara itu 300 ml air disiapkan di dalam erlenmeyer 1000 ml yang sebelumnya telah ditandai pada volume 575 ml. Sampel dipindahkan ke erlenmeyer 1000 ml tadi, cuci dan larutkan sampel dengan air dan dilarutkan dalam air hingga konsentrasinya menjadi 3 volume total 575 ml. Kemudian dipanaskan selma 4 jam dengan suhu 100oC dan diusahakan agar volume tetap dnegan menambahkan air panas sewaktu-waktu. Lalu didiamkan selama semalam agar bahan yang tidak larut mengendap. Setelah itu, sampel disaring dan dicuci dengan air panas sampai bebas asam. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2 o C lalu ditimbang sampai beratnya konstan b. Kadar lignin dihitung berdasarkan rumus: 100 b Lignin x a = Kelarutan dalam air panas Metode ini dimaksudkan untuk melarutkan zat-zat ekstraktif seperti tanin, gula, gum atau zat warna dalam kayu, serta pati. Prosedur dilakukan berdasarkan standar Tappi T 207 om-88. Serbuk kayu sebanyak 2 g diekstrak dengan 100 ml air panas yang dimaksukkan dalam erlenmeyer 300 ml yang ditutup. Kemudian dipanaskan di atas waterbath + 3 jam dengan suhu 100 o C dan setiap 15 menit diaduk. Setelah itu disaring dan dicuci dengan air panas sampai filtrat tidak berwarna. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2 o C lalu ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif dihitung berdasarkan persamaan berikut: tan 100 BKTsemula BKTsetelah ekstraksi Kelaru x BKTsemula − = Dimana: BKT = berat kering tanur g Kelarutan dalam air dingin Metode ini dimaksudkan untuk melarutkan zat-zat ekstraktif seperti tanin, gula, gum atau zat warna dalam kayu. Prosedur dilakukan berdasarkan standar Tappi T 207 om-88. Serbuk kayu sebanyak 2 g diekstrak dengan 300 ml air dingin dalam erlenmeyer 500 ml yang ditutup selama 2 hari 48 jam. Setelah itu serbuk disaring dan dicuci dengan air dingin sampai filtrat tidak berwarna. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2 o C lalu ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif dihitung berdasarkan persamaan berikut: tan 100 BKTsemula BKTsetelah ekstraksi Kelaru x BKTsemula − = Dimana: BKT = berat kering tanur g Kelarutan Kayu dalam ethanol-benzene Metode ini digunakan untuk menentukan sejumlah zat yang terlarut, berupa material non volatil. Prosedur dilakukan berdasarkan standar Tappi T 207 om-88. Serbuk kayu sebanyak 10 g diekstraksi dengan larutan ethanol-benzen 1:2 sebanyak 300 ml dalam alat shoklet ekstraktor selama 6 hingga 8 jam. Setelah itu serbuk disaring dan dicuci dengan ethanol selama 4 jam lalu diangin-anginkan di udara. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103 + 2 o C lalu ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar zat ekstraktif dihitung berdasarkan persamaan berikut: tan 100 BKTsemula BKTsetelah ekstraksi Kelaru x BKTsemula − = Dimana: BKT = berat kering tanur g Analisis Spektra NIR Penyiapan sampel NIR dan pengukuran Alat yang digunakan untuk pengukuran ini adalah Spektroskopi merk Buchi NIRLab Model N-200 yang dilengkapi dengan perangkat komputer dan software NIRCal V4.21. Data referensi dari analisis kimia kayu standar terlebih dahulu diset dalam komputer menggunakan software bawaan tersebut. Bahan yang digunakan adalah serbuk komposit kayu jati berukuran 45 – 60 mesh yang diperoleh dari tiap individu pohon sampel. Serbuk kayu diletakkan dalam sample holder. Penempatan sampel diatur sedemikian rupa agar volumenya minimal 23 dari volume sample holder dan permukaannya harus merata. Alat ini secara otomatis akan memindai scan setiap sampel sebanyak tiga kali pada kisaran panjang gelombang 1000 – 2500 nm. Analisis data Keluaran data berupa nilai reflektan R berjumlah 1557 titik nilai untuk setiap sampel. Nilai tersebut dikonversi menjadi absorbsi NIR dengan log 1R. Adanya noise menyebabkan kurva absorbsi memerlukan pemulusan yang dilakukan dengan metode running mean Osborne et al. 1993 dengan 10 titik yang dirata- ratakan. Interpretasi spektra menggunakan ketetapan kimia absorbsi NIR chemical assignment yang dinyatakan Osborne et al. 1993. Data spektra NIR berupa nilai absorbsi NIR pada seluruh panjang gelombang kemudian dianalisis gerombol menggunakan metode PCA. Pada penelitian ini digunakan perangkat lunak Minitab 14. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Keragaman DNA Kayu Jati Optimasi ekstraksi dan isolasi DNA Ekstraksi dan isolasi DNA total dari kayu Jati dilakukan dengan metode CTAB Milligan, 1989 yang dimodifikasi untuk mendapatkan DNA yang cukup murni. Kayu jati diekstraksi dan diisolasi DNA-nya pada bagian gubal, peralihan gubal dengan teras dan bagian kayu teras. Kemurnian DNA hasil ekstraksi dapat diketahui melalui pengujian kualitas DNA. Kualitas DNA hasil ekstraksi dilakukan secara visual untuk menentukan perbandingan pengenceran DNA pada tahap selanjutnya, yaitu tahapan PCR. Pengenceran dimaksudkan agar pada tahap PCR, primer dapat menempel pada pita DNA. Apabila DNA terlalu banyak kotoran, maka primer tidak dapat menempel sehingga tidak akan terjadi proses amplifikasi DNA. Contoh hasil ekstraksi DNA kayu jati disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 Contoh hasil ekstraksi DNA beserta pengenceran yang dianjurkan untuk proses PCR. Hasil ekstraksi DNA seperti pada gambar di atas menunjukkan DNA kayu jati masih relatif kotor. Hasil ekstraksi yang kotor ini masih mengandung larutan kloroform, kandungan fenol yang tinggi dan alkohol Qiagen, 2001. Selain itu, hasil yang kotor tersebut masih mengandung kontaminasi protein, polisakarida, dan RNA. Sebagian besar pita DNA yang didapatkan hasilnya tebal sehingga perbandingan pengenceran yang dilakukan adalah 100x 99 µL aquabidest : 1 µL DNA. Optimasi seleksi primer Seleksi primer pada teknik RAPD yang dilakukan pada 35 primer produksi Operon Technology didasarkan pada hasil amplifikasi konsisten dan dapat dibaca. Hasil amplifikasi menunjukkan bahwa sebagian besar primer dapat teramplifikasi, akan tetapi kualitasnya beragam antara baik dan tidak baik. Rekapitulasi hasil seleksi primer dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil seleksi primer menunjukkan bahwa terdapat 3 primer yang mampu menghasilkan produk amplifikasi yang konsisten beserta polimorfismenya, yaitu primer OPO-9, OPO-19, dan OPY-13. Selanjutnya ketiga primer ini digunakan untuk analisis keragaman di dalam dan antar populasi. Tabel 5. Kualitas pita primer dalam seleksi primer No. Primer Kualitas pita No. Primer Kualitas pita 1 OPO-1 16 OPO-18 2 OPO-2 17 OPO-19 3 OPO-4 - 18 OPO-20 4 OPO-5 - 19 OPY-2 5 OPO-6 20 OPY-3 6 OPO-7 - 21 OPY-6 7 OPO-8 - 22 OPY-8 8 OPO-9 23 OPY-9 9 OPO-10 24 OPY-11 10 OPO-11 25 OPY-12 11 OPO-12 26 OPY-13 12 OPO-13 27 OPY-14 13 OPO-14 28 OPY-15 14 OPO-15 29 OPY-16 15 OPO-16 30 OPY-17 Keterangan: - = tidak terdapat pita tidak teramplifikasi = terdapat pita namun teramplifikasi kurang jelas kurang baik = terdapat pita dan teramplifikasi jelas baik Optimasi PCR Polymerase Chain Reaction Kegiatan PCR menggunakan primer hasil optimasi, yaitu primer OPO-9, OPO-19 dan OPY-13. Pada saat dilakukan proses PCR dari kayu, sampel daun dan kontrol negatif juga diikutsertakan dalam kegiatan amplifikasi PCR yang berfungsi sebagai kontrol dan pembanding. Kontrol negatif hanya berisi H 2 O sehingga tidak menghasilkan pita. Hasil PCR dapat dilihat pada Gambar 5. M D 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 A M D 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 A Gambar 5 Contoh hasil PCR, a primer OPO-19, variasi tinggi dan b primer OPY-13, variasi rendah. Keterangan : M=Marker, D=daun, A = air, No. 1-2 = kayu dari Cepu, No. 3-7 = kayu dari Randublatung, No. 8-12 = kayu dari Banten, No. 13-17 = kayu dari Bojonegoro, No. 18-22 = kayu dari Ngawi Amplifikasi DNA dengan primer hasil optimasi, yaitu OPO-9, OPO-19 dan OPY-13 menghasilkan ukuran fragmen dibawah 1000 bp dengan jumlah fragmen DNA berkisar antara 1 – 5 pita. DNA pada kayu jati tidak tersebar merata, hanya terletak pada bagian sel-sel tertentu saja. Hal ini disebabkan sampel kayu yang digunakan adalah pohon-pohon yang sudah memasuki kelas umur tua dan sedang dilakukan penebangan. Frekuensi munculnya pita DNA yang tinggi dijumpai pada ukuran fragmen 300 - 400 bp berdasarkan tiga primer yang digunakan, seperti pada Gambar 6. 300 bp 700 bp 1000 bp 300 bp 600 bp 1000 bp a b Gambar 6 Frekuensi munculnya pita DNA hasil optimasi PCR. Keragaman DNA dalam populasi Hasil analisis RAPD menunjukkan keragaman genetik seperti tercantum pada Tabel 6. Populasi jati KPH Kebonharjo menunjukkan nilai-nilai keragaman genetik yang tertinggi, yaitu : PPL=62,07; na=1,62; ne=1,39; He=0,23, sedangkan populasi jati KPH Ciamis menunjukkan nilai-nilai keragaman genetik yang terendah yaitu : PPL=34,48; na=1,34; ne=1,22; He=0,13. Nilai yang dicatat oleh populasi lainnya berada pada kisaran kedua populasi di atas. Tabel 6 Variabilitas genetik dalam populasi jati di Jawa. No Populasi N PPL na Ne He 1 KPH Banten 5 41,38 1,41 1,27 0,16 2 KPH Indramayu 5 41,38 1,41 1,27 0,16 3 KPH Ciamis 5 34,48 1,34 1,22 0,13 4 KPH Kendal 5 58,62 1,59 1,37 0,22 5 KPH Cepu 5 48,28 1,48 1,34 0,19 6 KPH Randublatung 5 37,93 1,38 1,26 0,15 7 KPH Kebonharjo 5 62,07 1,62 1,39 0,23 8 KPH Bojonegoro 5 44,83 1,45 1,30 0,18 9 KPH Ngawi 5 51,72 1,52 1,32 0,19 Rata-rata 46,74 1,47 1,30 0,18 Keterangan : PPL = persentase lokus polimorfik na = jumlah alel yang diamati ne = jumlah alel yang efektif He = keragaman genetik Neis 1973 Nilai keragaman genetik rata-rata jati dari hasil penelitian ini sebesar 0,18 sedikit lebih rendah dengan hasil-hasil penelitian terdahulu, seperti yang dilaporkan Widyatmoko 1996 terhadap klon jati di Cepu sebesar 0,20 berdasarkan 7 lokus polimorfik isozim. Keragaman genetik jati di India sendiri, yang dianggap sebagai tempat asalnya jati yang dikembangkan di Indonesia memiliki nilai keragaman genetik berkisar 0,18 – 0,26 Nicodemus et al., 2003. Namun Kertadikara dan Prat 1995 yang melakukan penelitian terhadap berbagai provenans jati Indonesia, India, Thailand dan Afrika menghasilkan nilai keragaman genetik yang cukup tinggi sebesar 0,35. Perbedaan-perbedaan nilai keragaman yang dihasilkan diduga karena populasi jati yang berkembang di Jawa diintroduksi dari lokasipopulasi yang sama Widyatmoko, 1996 sehingga populasi dasar sebagai sumber gen berpeluang memiliki basis genetik yang sempit. Populasi jati Jawa Tengah dan Jawa Timur secara umum menunjukkan nilai keragaman genetik lebih tinggi dibanding populasi jati Jawa Barat - Banten. Hal ini dimungkinkan karena tanaman jati diintroduksi dari India dan dikembangkan pertama kali di Indonesia adalah di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur pada abad ke-14 Siswamartana 2005. Keragaman DNA antar populasi Berdasarkan analisis gerombol dan nilai jarak genetik yang telah dihitung berdasarkan software POPGENE versi 3.2 dengan menggunakan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak berbobot Unweighted Pair-Grouping Method with Aritmatic Averaging , UPGMA dengan menggunakan software NTSYS versi 2.02 dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi seperti terlihat pada Gambar 7. Gambar 7 Pengelompokan populasi jati berdasarkan analisis RAPD. Dendrogram jarak genetik antar populasi seperti terlihat pada Gambar 7 menunjukkan pengelompokkan menurut wilayah regional populasi tersebut berada. Pengelompokkan memperlihatkan ada dua gerombol, dimana jati asal Jawa Tengah tetap membentuk gerombol yang sama, demikian halnya pada jati asal Jawa Barat - Banten dan Jawa Timur secara bersama membentuk satu gerombol. Populasi jati Jawa Barat – Banten dan Jawa Timur diduga berasal dari sumber benih yang sama. Berdasarkan nilai keragaman genetik populasi jati Jawa Timur yang lebih tinggi maka diduga populasi jati Jawa Barat – Banten dikembangkan dari sumber benih yang berasal dari Jawa Timur. Analisis Keragaman Isotop Kayu Jati Upaya eksplorasi isotop karbon δ 13 C dan oksigen δ 18 O dilakukan terhadap komposit kayu jati dari tiap lokasi sentra jati di Jawa. Penggunaan komposit kayu memiliki kepraktisan tanpa preparasi sampel dan akurasi yang sama kuat dengan sampel selulosa untuk kepentingan analisis variasi isotop kayu Loader et al. 2003. Adapun hasil pengujian terhadap sampel komposit kayu jati dari 9 lokasi sentra jati di Jawa disajikan dalam Gambar 8. Jawa Barat - Banten Jawa Timur Jawa Tengah -30 -25 -20 -15 -10 -5 B a n te n C ia m is In d ra m a y u K e n d a l C e p u R a n d u b la tu n g K e b o n h a rj o N g a w i B o jo n e g o ro Jawa Barat-Banten Jawa Tengah Jawa Timur δ ¹³ C ‰ 5 10 15 20 25 30 B a n te n C ia m is In d ra m a y u K e n d a l C e p u R a n d u b la tu n g K e b o n h a rj o N g a w i B o jo n e g o ro Jawa Barat-Banten Jawa Tengah Jawa Timur δ ¹⁸ O ‰ Gambar 8 Komposisi isotop δ 13 C dan δ 18 O kayu jati di Jawa. Secara umum nilai isotop δ 13 C dan δ 18 O pada kayu jati bervariasi antar lokasi dimana sampel kayu diperoleh. Rasio isotop δ 13 C dari kayu jati lebih rendah dari rasio isotop δ 13 C di atmosfer -8‰ PDB, sedangkan untuk isotop δ 18 O nilainya lebih tinggi dari rasio isotop dalam air hujan -8‰ SMOW yang mengindikasikan bahwa tanaman mengadakan diskriminasi atau perubahan isotop selama pembentukan kayu. Perbedaan tersebut disebabkan oleh efek kinetik selama berlangsungnya fotosintensis yang menyebabkan pemiskinan δ 13 C pada CO 2 dan pengayaan δ 18 O oleh pertukaran kimia dalam sistem fotosintesis yang tertinggal dan terkonsentrasi pada sintesa bahan organik Djiono et al. 1996; Dawson dan Siegwolf 2007. Variasi nilai isotop disajikan pada Gambar 9 yang merupakan hasil kombinasi linier nilai isotop δ 13 C dan δ 18 O dari lokasi pengambilan sampel kayu. Hubungan yang disajikan diperoleh melalui analisis multivariat dengan metode Principal Componen Anaysis PCA. Hasil analisis menghasilkan dua komponen utama. Komponen utama pertama PC1 memiliki eigenvalue 1,85 yang mewakili 92,70 dari seluruh variabilitas data. Pada komponen kedua PC2 diperoleh eigenvalue sebesar 0,15 dengan keterwakilan 7,30 total variabilitas data. -2 -1 1 2 -0.5 0.0 0.5 First Component S e c o n d C o m p o n e n t Is otop C-13 dan O-18 Gambar 9 Hasil analisis PCA dari isotop δ 13 C dan δ 18 O kayu jati di Jawa, tanda persegi menunjukan jati dari Jawa Tengah ■ Cepu; □ Randublatung; ■ Kebonharjo; ■ Kendal; tanda lingkaran dari Jawa Barat ● Indramayu; ○ Ciamis; ● Banten; dan tanda segitiga adalah jati dari Jawa Timur ▲ Ngawi; ∆ Bojonegoro. Berdasarkan analisis PCA seperti disajikan pada Gambar 9 didapatkan dua pengelompokkan komposisi isotop yang dimiliki masing-masing populasi jati di Jawa. Kelompok pertama merupakan kayu jati dari Jawa Barat - Banten dan Kendal Jawa Tengah. Sedangkan jati dari Jawa Tengah, minus Kendal dan Jawa Timur membentuk kelompok lain. Bila dikaitkan dengan data pada Gambar 8 menunjukan kayu jati dari Jawa Tengah dan Jawa Timur terlihat memiliki nilai isotop δ 13 C dan δ 18 O yang lebih tinggi daripada Jawa Barat - Banten. Menurut Ehleringer dan Osmond 1991 sumber variasi isotop δ 13 C pada tanaman yang tumbuh di darat secara prinsip berhubungan dengan difusi dari fraksinasi δ 13 C selama proses biosintesis dan perbedaan nilai δ 13 C dalam CO 2 atmosfer yang diserap untuk fotosintesis. Kelimpahan relatif isotop CO 2 berbeda- beda pada setiap tempat dan kondisi berbeda. Peningkatan CO 2 di atmosfer dapat diakibatkan dari aktivitas manusia dan respirasi tanaman. Terdapat dua isotop stabil karbon yaitu δ 12 C dan δ 13 C, keduanya memiliki perbedaan massa. CO 2 di atmosfer hampir seluruhnya merupakan δ 12 C sedangkan 1-nya adalah δ 13 C. Respirasi tanaman, perusakan hutan dan polusi akibat pembakaran bahan organik akan melepaskan isotop berupa δ 12 C ke atmosfer yang menimbulkan fraksinasi CO 2 atmosfer yang terdiri dari δ 13 CO 2 akan mengalami pemiskinan depleted. Pola umum curah hujan di Indonesia menunjukan pantai barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak dari pantai timur. Suryana 2001 menyebutkan daerah Jawa Barat memiliki curah hujan tinggi 1500 mmth, tanaman jati tidak menggugurkan daun. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki musim kemarau yang panjang dan tanaman jati biasanya akan menggugurkan daunnya untuk efisiensi penggunaan air dan pengaturan kelembaban selama fotosintesis. Ehleringer dan Osmond 1991 menyebutkan efisiensi penggunaan air selama fotosintesis akan menghasilkan nilai isotop δ 13 C dan δ 18 O yang tinggi. Kayu jati dari Kendal relatif berbeda kandungan isotopnya dibanding populasi jati Jawa Tengah lainnya diduga dipengaruhi keberadaan kawasan industri Kaliwungu. Nilai isotop δ 13 C kayu jati Jawa Barat yang lebih miskin dibanding Jawa Tengah disebabkan pula karena kondisi lingkungannya dekat daerah perkotaan dan kawasan industri. Aktivitas industri dan masyarakat perkotaan akan menghasilkan emisi CO 2 yang miskin δ 13 C Dawson dan Siegwolf 2007 yang selanjutnya diserap oleh tanaman untuk metabolisme sehingga kayu yang dibentuk memiliki isotop δ 13 C yang rendah. Sumber variasi nilai isotop δ 18 O pada kayu jati berhubungan dengan sumber air tanah yang digunakan selama pertumbuhan tanaman dan pembentukan kayu. Ketersediaan air tanah bagi tanaman mengikuti daur hidrologi. Menurut Djiono et al. 1989 daur hidrologi tidak merata akibat perbedaan presipitasi dari musim ke musim dan dari wilayah ke wilayah yang lain. Presipitasi merupakan uap yang terkondensasi dan jatuh ke daratan dalam rangkaian proses daur hidrologi. Faktor yang mempengaruhi ketidak-merataan presipitasi tersebut diantaranya ialah kondisi meteorologi suhu udara, tekanan udara, dan arah angin dan kondisi topografi. Hal tersebut mengakibatkan kandungan isotop deuterium dan δ 18 O bervariasi pada perbedaan intensitas dan curah hujan serta musim dan lokasinya. Evans dan Schrag 2004 menyebutkan presipitasi dan suhu musiman mempengaruhi pembentukan kayu dan komposisi isotop δ 18 O dalam kayu tergantung dari komposisi isotop dari sumber air dan pengayaan dalam daun karena evaporasi. Studi yang dilakukan Djiono et al. 1989 terhadap isotop δ 18 O dalam air hujan menunjukkan setiap kenaikan curah hujan 100 mm akan menurunkan kandungan nilai isotop δ 18 O sebanyak 1,5‰. Penyebab variasi isotop kayu jati di Jawa karena faktor geografis dapat dilihat dari perbedaan posisi garis bujur longitude dan topografinya elevasi. Hubungan kandungan isotop kayu jati dan posisi garis bujur populasi jati tumbuh dapat dilihat pada Gambar 10. Persamaan garis regresi linier dari hubungan tersebut menunjukkan setiap kenaikan koordinat garis bujur 1 o akan memperkaya kandungan isotop δ 13 C dan δ 18 O masing-masing sebanyak 2,42‰ dan 1,85‰. Di sini berarti bahwa populasi jati yang tumbuh semakin ke arah timur Jawa akan menghasilkan kayu dengan kandungan isotop yang lebih diperkaya. y = 2.421x - 248.7 R² = 0.597 y = 1.851x - 218.5 R² = 0.634 -30 -20 -10 10 20 30 105 106 107 108 109 110 111 112 113 N il a i Is o to p ‰ Garis Bujur °E δ¹⁸O δ¹³C Gambar 10 Hubungan antara kandungan isotop dengan garis bujur lokasi tumbuh jati di Jawa. Pengaruh elevasi tempat populasi jati tumbuh terhadap kandungan isotop dalam kayu jati ditunjukkan pada Gambar 11. Setiap kenaikan ketinggian tempat tumbuh 100 m akan memperkaya nilai isotop δ 13 C sebesar 13‰ dan isotop δ 18 O sebanyak 9,70‰. Populasi jati di Jawa Barat-Banten tumbuh pada ketinggian dibawah 100 m dpl, sedangkan sebagian besar populasi jati di Jawa Tengah dan Jawa Timur tumbuh pada ketinggian antara 100-200 m dpl. y = 0.130x - 0.117 R² = 0.750 y = 0.097x - 28.11 R² = 0.764 -30 -20 -10 10 20 30 50 100 150 200 250 N il a i I so to p ‰ Ketinggian Tempat m dpl δ¹⁸O δ¹³C Gambar 11 Hubungan antara kandungan isotop dengan ketinggian tempat tumbuh jati di Jawa. Analisis Komponen Kimia Kayu Komponen kimia kayu yang dianalisis dikelompokan dalam komponen struktural dan tidak struktural. Komponen struktural terdiri dari polisakarida selulosa dan hemiselulosa dan lignin yang merupakan komponen makromolekul penyusun dinding sel. Ekstraktif dan air merupakan senyawa ekstraseluler dipandang sebagai komponen kayu yang tidak struktural. Hasil analisis komponen kimia kayu struktural dan non struktural pada kayu jati dari berbagai daerah di Jawa disajikan pada Gambar 12 dan 13. Secara umum dapat disampaikan bahwa sifat-sifat kayu, termasuk sifat kimia kayu, berbeda antar jenis kayu, dalam satu jenis, bahkan dalam satu pohon. Faktor lingkungan tempat tumbuh iklim, tanah, kelembaban, ruang tumbuh dan genetis merupakan salah satu yang ikut berperan memunculkan perbedaan-perbedaan tersebut. Respon tanaman terhadap faktor tersebut berpengaruh pada tingkat pertumbuhan, pembentukan kayu dan distribusi serta komposisi kimia kayu. Menurut Tsoumis 1991 terdapat perbedaan komposisi kimia dalam kayu di beberapa tempat atau bagian dari suatu pohon. Gambar 12 Kandungan komponen kimia struktural kayu jati di Jawa tanda ± menunjukan nilai standar error rata-rata. Gambar 13 Kandungan komponen kimia non struktural kayu jati di Jawa tanda ± menunjukan nilai standar error rata-rata. Kandungan komponen kimia menunjukkan selulosa lebih dominan, diikuti oleh lignin dan hemiselulosa. Hasil tersebut tercakup dalam kisaran kandungan komponen kimia kayu seperti yang dilaporkan Tsoumis 1991 pada Tabel 7. Sementara itu klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Kehutanan 1976 disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka hasil penelitian terhadap kayu jati yang berasal dari beberapa daerah di Jawa menunjukkan bahwa kandungan selulosa untuk daerah Cepu Jawa Tengah, Ciamis dan Banten Jawa Barat, dan Bojonegoro Jawa Timur termasuk tinggi, sedangkan daerah lainnya dalam kategori sedang. Sementara itu untuk kandungan lignin, seluruh daerah memiliki kandungan lignin yang sedang. Tabel 7 Kandungan komponen kimia kayu. Komponen Kimia Softwood berat kering Hardwood berat kering Holoselulosa Selulosa Hemiselulosa • Poliosa • Pentosan Lignin Ekstraktif • Air panas • Air dingin • Eter Abu 59,8 – 80,9 30,1 – 60,7 12,5 – 29,1 4,5 – 17,5 21,7 – 37,0 0,2 – 14,4 0,5 – 10,6 0,2 – 1,1 0,02 – 1,1 71,0 – 89,1 31,1 – 64,4 18,0 – 41,2 12,6 -32,3 14,0 – 34,6 0,3 – 11,0 0,2 – 8,9 0,1 – 7,7 0,1 – 5,4 Tabel 8 Klasifikasi komponen kayu Indonesia. Komponen Kimia Kelas Komponen Tinggi Sedang Rendah Kayu daun lebar hardwood • Selulosa • Lignin • Pentosan • Ekstraktif • Abu 45 33 24 4 6 40 – 44 18 – 32 21 – 24 2 – 3 0,22 - 6 40 18 21 4 0,22 Kayu daun jarum softwood • Selulosa • Lignin • Pentosan • Ekstraktif • Abu 44 32 13 7 0,89 41 – 44 28 – 32 8 – 13 5 – 7 0,89 41 28 8 5 0,89 Hasil analisis PCA pada komponen kimia struktural menunjukan nilai varian untuk komponen utama pertama PC1 dan kedua PC2 adalah 2,50 dan 0,98 yang mewakili 62,50 dan 24,50 dari seluruh variabilitas data dan kedua variabel baru tersebut dapat menjelaskan 87 dari total variabilitas komponen kimia struktural. Varian komponen kimia non struktural mengandung 81,60 dari variabilitas semula. Nilai kedua komponen utama pertama tersebut diplotkan satu sama lain sehingga diperoleh hubungan keduanya seperti pada Gambar 14 dan Gambar 15. Gambaran hasil PCA belum menunjukkan pengelompokkan menurut propinsi. Secara umum terlihat distribusi komponen kimia struktural dan non struktural menyebar antar lokasi sentra jati di Jawa. Fengel dan Wegener 1995 menyebutkan komponen kimia kayu sangat bervariasi antar jenis kayu, dalam satu jenis, bahkan dalam satu pohon. 2 1 -1 -2 -3 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 -2.5 First Component S e c o n d C o m p o n e n t Komponen Kimia Struktural Gambar 14 Hasil analisis PCA dari komponen kimia struktural kayu jati di Jawa, tanda persegi menunjukan jati dari Jawa Tengah ■ Cepu; □ Randublatung; ■ Kebonharjo; ■ Kendal; tanda lingkaran dari Jawa Barat ● Indramayu; ○ Ciamis ; ● Banten; dan tanda segitiga adalah jati dari Jawa Timur ▲ Ngawi; ∆ Bojonegoro. 2 1 -1 -2 -3 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 First Component S e c o n d C o m p o n e n t Komponen Kimia Non Struktural Gambar 15 Hasil analisis PCA dari komponen kimia non struktural kayu jati di Jawa, tanda persegi menunjukan jati dari Jawa Tengah ■ Cepu; □ Randublatung; ■ Kebonharjo; ■ Kendal; tanda lingkaran dari Jawa Barat ● Indramayu; ○ Ciamis ; ● Banten; dan tanda segitiga adalah jati dari Jawa Timur ▲ Ngawi; ∆ Bojonegoro. Analisis Spektra NIR Pengukuran spektra NIR dilakukan pada tiap sampel dari sembilan lokasi. Absorbsi near infrared NIR oleh 45 sampel serbuk kayu jati dengan panjang gelombang 1000 sampai 2500 nm berkisar 0,20 sampai 0,80. Pada kisaran panjang gelombang tersebut terjadi penyerapan cahaya yang besar oleh molekul-molekul CH, OH, CN, dan NH. Penyerapan panjang gelombang tertentu oleh kandungan kimia tertentu ditunjukkan oleh terjadinya puncak-puncak gelombang pada kurva absorbsi NIR, semakin besar kandungan suatu bahan maka penyerapan akan semakin besar atau puncak gelombang semakin tinggi. Karakteristik serapan panjang gelombang NIR pada sampel kayu jati diilustrasikan pada Gambar 16. Gambar 16 Spektra absorbsi NIR dari 45 sampel kayu jati di Jawa. Keterangan : No. 1-5 = kayu dari Cepu, No. 6-10 = kayu dari Randublatung, No. 11-15 = kayu dari Kebonharjo, No. 16-20 = kayu dari Kendal, No. 21-25 = kayu dari Indramayu, No. 26-30 = kayu dari Ciamis, No. 31-35= kayu dari Kendal, No. 36-40 = kayu dari Ngawi, No. 41-45 = kayu dari Bojonegoro. Secara visual dari gambar di atas terlihat relatif kecilnya perbedaan spektra antar individu dari 45 sampel kayu jati dan sulit untuk melihat perbedaan antar lokasi populasi jati di Jawa. Untuk memperoleh gambaran perbedaan antar lokasi yang lebih jelas maka semua sampel dari tiap lokasi dirata-ratakan untuk menghasilkan satu spektra per lokasi dan diplotkan dalam Gambar 17. Gambar 17 Spektra absorbsi NIR kayu jati dari 9 populasi jati di Jawa. Pada gambar terlihat bahwa puncak-puncak penyerapan NIR terjadi pada panjang gelombang 1420 nm, 1780 nm, 1940 nm, 2080 nm, 2250 nm, 2350 nm, dan 2450 – 2500 nm. Osborne et al. 1993 menyatakan bahwa absorbsi pada panjang gelombang 1420 nm berkorelasi dengan ArOH; 1780 nm berkorelasi dengan selulosa; 1940 nm dengan H 2 O; 2080 nm dengan ROH, sukrosa, dan pati starch, 2250 nm dengan pati starch, 2350 nm dengan selulosa dan 2450 – 2500 nm dengan pati starch. Secara umum terlihat bahwa penyerapan tersebut menunjukan banyaknya komponen karbohidrat yang merupakan komponen utama penyusun kayu. Namun secara spesifik, puncak-puncak penyerapan tersebut belum dapat menjelaskan kandungan kimia secara langsung. Spektra NIR kayu jati antar populasi terlihat relatif sama sehingga masih sulit membedakan perbedaan spesifik tiap populasi jati di Jawa. Perbedaan yang nampak hanya pada intensitas absorbsi yang dihasilkan, sedangkan bentuk dan ukuran spektra NIR relatif sama. Secara umum intensitas absorbsi yang tinggi dihasilkan oleh kayu jati yang berasal dari Jawa Barat dan terendah dijumpai pada kayu jati dari Jawa Timur. Sedangkan kayu jati dari Jawa Tengah menunjukkan intensitas absorbsi didalam kisaran kedua region di atas. Perbedaan ini bila dibandingkan dengan kandungan kimia kayu hasil analisis kimia pada masing-masing region menunjukan kecenderungan yang sama. 1420 2450-2500 2250 2080 1780 2350 1940 Eksplorasi lebih lanjut untuk membandingkan spektra kayu jati dilakukan dengan analisis PCA. Analisis PCA dilakukan pada 45 set spektra 45 sampel, panjang gelombang 1000-2500 nm. Berdasarkan plot PC1PC2 variabilitas 98,10 seperti pada Gambar 18 diperoleh informasi kemiripan spektra NIR kayu jati. Secara visual terlihat adanya pengelompokkan sampel kayu jati yang berasal dari daerah Jawa Tengah Cepu, Randublatung dan Kebonharjo dan Jawa Timur Ngawi dan Kebonharjo. Sebaliknya daerah Jawa Barat Indramayu, Ciamis dan Banten dan Kendal Jawa Tengah membentuk kelompok sendiri. Pada kelompok yang sama diduga terdapat kemiripan kandungan komponen kimia tertentu yang sama pula. Model pengelompokan tersebut mirip dengan yang dijumpai pada analisis isotop, namun distribusinya lebih menyebar. -30 -20 -10 10 20 -10 10 First Component S e c o n d C o m p o n e n t Spektra Near Infrared NIR Gambar 18 Hasil analisis PCA dari 45 spektra kayu jati di Jawa, tanda persegi menunjukan jati dari Jawa Tengah ■ Cepu; □ Randublatung; ■ Kebonharjo; ■ Kendal; tanda lingkaran dari Jawa Barat ● Indramayu; ○ Ciamis ; ● Banten; dan tanda segitiga adalah jati dari Jawa Timur ▲ Ngawi; ∆ Bojonegoro. Kemungkinan Aplikasinya untuk Lacak Balak Kayu jati yang dihasilkan dari beberapa sentra jati di Jawa menunjukkan perbedaan geografis menurut propinsi berdasarkan hasil analisis genetik, isotop dan spektra NIR seperti terlihat dalam Tabel 9 berikut. Tabel 9 Perbedaan geografis jati di Jawa berdasarkan DNA, isotop dan spektra NIR. Propinsi Jawa Barat - Banten Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat – Banten - Jawa Tengah DNA - Jawa Timur Spektra NIR Isotop DNA - Penggunaan DNA, isotop dan spektra NIR sebagai teknologi penanda untuk membedakan asal usul kayu memiliki tingkat kelayakan yang tidak sama seperti terlihat dalam Tabel 10. Teknologi DNA menunjukkan keunggulan dari segi akurasi, spektra NIR lebih praktis secara teknis dan ekonomis, sedangkan teknologi isotop menunjukkan kelayakan diantara teknologi DNA – spektra NIR. Tabel 10 Lingkup kelayakan teknologi DNA, isotop dan spektra NIR. Variabel DNA Isotop Spektra NIR Kompleksitas pengujian +++ ++ + Kebutuhan sampel serbuk kayu ++ + +++ Waktu pengujian +++ ++ + Reproduksibilitas ++ + +++ Peralatan yang digunakan +++ ++ + Kebutuhan biaya +++ ++ + Akurasi +++ ++ + Keterangan : + = rendah; ++ = sedang; +++ = tinggi SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari penelitian mengenai variasi genetik, isotop dan spektra near infrared NIR kayu jati di jawa, dapat diambil beberapa simpulan. Adapun simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Populasi jati KPH Kebonharjo menunjukkan nilai variasi genetik yang tertinggi sebesar 0,23 dibandingkan 8 KPH yang lain. Populasi jati Jawa Barat- Banten memiliki kemiripan secara genetik dengan populasi jati Jawa Timur dibandingkan populasi jati Jawa Tengah yang jauh jarak genetiknya. 2. Terdapat kemiripan kandungan isotop karbon dan oksigen pada kayu jati yang berasal dari Jawa Tengah dengan Jawa Timur, kecuali dari Kendal yang lebih mirip dengan Jawa Barat-Banten. Jati dari Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki isotop karbon dan oksigen lebih tinggi dibanding dari Jawa Barat. 3. Kandungan komponen kimia kayu jati di Jawa sangat bervariasi antar lokasi dan tidak menggambarkan pola variasi menurut propinsi. 4. Spektra NIR kayu jati yang berasal dari Jawa Tengah lebih mirip dengan Jawa Timur, kecuali Kendal yang lebih mirip dengan Jawa Barat-Banten. Intensitas absorbsi NIR kayu jati yang berasal dari Jawa Barat-Banten lebih tinggi daripada kayu jati dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saran Teknik RAPD pada analisis genetik, dan penggunaan komposit kayu dalam analisis isotop dan spektra NIR, masih belum spesifik untuk dipakai dalam membedakan masing-masing populasi jati. Oleh karena itu diperlukan eksplorasi penanda genetik yang lain serta target DNA lainnya. Eksplorasi lebih lanjut analisis isotop dan spektra NIR menggunakan komponen kimia kayu tunggal, seperti selulosa dan zat ekstraktif perlu dilakukan disebabkan oleh variasi nilai isotop dan spektra NIR dalam komponen kimia penyusun kayu. Fingerprint DNA, isotop, dan spektra NIR pada kayu untuk kepentingan komersial dapat digunakan secara administratif untuk kepentingan sertifikasi lacak balak. DAFTAR PUSTAKA Acuna M, Murphy G. 2006. Geospatial and within tree variation of wood density and spiral grain in Douglas-fir. Forest Prod. J. 56 4 : 81 – 85. Asif MJ, Cannon CH. 2005. DNA extraction from processed wood : a case study for the identification of an endangered timber species Gonystylus bancanus. Plant Mol. Bio. Reporter. 23 : 185-192. Barnett JR, G Jeronimidis. Wood quality and its biolgical basis. Blackwell Publishing. UK. Bhat KM, O. Ma. 2004. Teak growers unite. Tropical Forest Update. 14 1: 3-5. Birky CW. 1995. Uniparental inheritance of mitochondrial and chloroplast genes mechanism and evolution. Proc. Nat. Acad. Sci. USA. 92 : 11331-11338. Botta R, DT Marinoni, G Bounous. 2004. Molecular markers and certification. Proc. Forest Biotechnology in Latin America : 63-71. Bowyer JL, Shmulsky R, Haygreen JG. 2003. Forest product and wood science, an introduction. Ed ke-4. Iowa State University Press. USA. Craig MF, Warren CR, White DA, Adams MA. 1999. A rapid and simple method for processing wood to crude cellulose for analysis of stable carbon isotopes in tree rings. Tree Physiol. J. 19 : 831-835. Dawson TE, Siegwolf RTW. 2007. Stable isotopes as indicators of ecological change. Ed ke-1. Elsevier. Dayandan S, Ashton PS, Wilhams SM, Primack RB. 1999. Phylogenetic of tropical tree family Dipterocarpaceae based on nucleotide sequences of the chloroplast rbcL gene. Am. J. Bot. 86 8 : 1182-1190. Deguilloux MF, Pemonge MH, Petit RJ. 2002. Novel perspectives in wood certification and forensics: dry wood as a source of DNA. Proc. R. Soc. Lond. 269 : 1039-1046. ___________________________________. 2004. DNA based control of Oak wood geographic origin in the context of cooperate industry. Ann. For. Sci. 61 : 97-104. De Vienne D. 2003. Molecular markers in plant genetics and biotechnology. Science Publishers Inc. USA. Dewi SP. 2003. Pendugaan keragaman genetik serta sistem perkawinan mating system di kebun benih klon Jati Tectona grandis Linn.f. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dirjenhut. 1976. Vademecum kehutanan Indonesia. Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Djiono, Abidin Z, Indrojono, Paston S, Darman. 1989. Deuterium dan oksigen-18 di dalam air hujan. Risalah pertemuan ilmiah tahunan. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi BATAN. Jakarta : 77 – 83. Djiono, Pratikno B, Alip. 1996. Spektrometer massa rasio isotop. Prosiding Pertemuan Ilmiah Jabatan Fungsional Pranata Nuklir dan Pengawas Radiasi IV. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi BATAN. Jakarta : 116 – 129. Dykstra DP, Kuru G, Taylor R, Nussbaum R, Magrath WB, Story J. 2002. Technologies for wood tracking. World BankWWF Forest Alliance. Eckert WG. 1997. Introduction to forensic science. Ed ke-2. CRC-Press. USA. Ehleringer JR, Osmond CB. 1991. Stable isotopes. Dalam : Pearcy RW, Ehleringer J. Mooney HA, Rundel PW, editor. Plant physiological ecology: field method and instrumentation. Chapman and Hall. London : 281-300. Ehleringer J, Cook C, Lott M. 2007. Stable isotope methods. SIRFER. Univ. of Utah. Fessenden JE, Ehleringer JR. 2002. Age-related variations in δ 13 C of ecosystem respiration across a coniferous forest chronosequence in the Pacific Northwest. Tree Physiol. J. 22 : 159-167. Evans MN, Schrag DP. 2004. A stable isotope-based approach to tropical dendroclimatology. Geo. et Cos. Acta. 68 16 : 3295 – 3305. Fengel D dan Wegener G. 1995. Kayu: kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi. Sastrohamidjojo H, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari Wood: chemistry, ultrastructure, reactions. Finkeldey R. 2003. An Introduction to Tropical Forest Genetics. Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding. Gottingen. Hamrick JL, JD Nason. 2000. Gene flow in forest trees. Dalam : Young A, Boshier D, Boyle T, editor. Forest conservation genetics. CSIRO CABI. Australia. Hernandez CS, JCG Oyarzun. 2006. Two mini-preparation protocols to DNA extraction from plants with high polysaccharide and secondary metabolites. African J. of Biotech. 5 20 : 1864-1867. Heuertz M et al. 2004. Chloroplast DNA variation and postglacial recolonizations of common ash Fraxinus excelsior L. in Europe. Mol. Ecol. J. 13 : 3443- 3452. Hidayati R, Tambunan CCH, Nugraha A, Aminudin I. 2006. Pemberantasan illegal logging dan penyelundupan kayu: menuju kelestarian hutan dan peningkatan kinerja sektor kehutanan. Wana Aksara. Banten. Indrioko S. 2005. Chloroplast DNA Variation in Indonesian Dipterocarpaceae Phylogenetic, Taxonomic, and Population Genetic Aspects. Cuvillier Verlag. Goettingen. Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah data statistic dengan mudah menggunakan Minitab 14. Andi offset. Yogyakarta. Johnson PR. 2003. NDE of clear wood subjected to environmental and mechanical loadings using near infrared spectroscopy [tesis]. Departement of Civil and Environmental Engineering. Washington State University. Jones PD, Schimleck LR, Peter GF, Daniels RF, Clark A. 2006. Nondestructive estimation of wood chemical composition of section of radial wood strips by diffuse reflectance near infrared spectroscopy. Wood Sci. Tech. DOI 10.1007s00226-006-0085-6. Springer-Verlag. Kamiya K, Harada K, Tachida H, Ashton PS. 2005. Phylogenetic of PgiC gen in Shorea and its closely related genera Dipterocarpaceae the dominant trees in Southeast Asian tropical rain forest. Am. J. Bot. 92 5 : 775-788. Kertadikara AWS. 1996. Struktur genetik dan sistem perkawinan pada beberapa populasi Jati Tectona grandis L.f.. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Penerapan Prinsip-prinsip Pemuliaan Pohon dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri; Yogyakarta, 27 Maret 1996 : 191-203. Leung So C, Via BK, Groom LH, Schimleck LR, Shupe TF, Kelley SS, Rials TG. 2004a. Near infrared spectroscopy in the forest product industry. Forest Prod. J. 54 3 : 6-16. Leung So C, Lebow ST, Groom LH, Rials TG. 2004b. The application of near infrared NIR spectroscopy to inorganic preservative treated wood. Wood and Fiber Science 36 3 : 329-336. Lian C et al. 2003. Genetic structure and reproduction dynamic of Salix reni during primary succession on Mount Fuji, as revealed by nuclear and chloroplast microsatellite analysis. Mol. Ecol. J. 12 : 1629-1636. Loader NJ, Robertson I, McCarroll D. 2003. Comparison of stable carbon isotope ratios in the whole wood, cellulose and lignin of oak tree-rings. J. Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology. 196 : 395-407. Mahfudz, Fauzi MA, Yuliah, Herawan T, Prastyono, Supriyanto H. 2004. Sekilas Tentang Jati Tectona grandis. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SS. 1981. Atlas kayu Indonesia. Jilid I. Balai Penelitian Hasil Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Milligan BG. 1998. Total DNA isolation. Dalam Hoelzel AR, editor. Molecular genetic analysis of populations, a practical approach. Ed ke-2. Oxford University Press. New York. Nicodemus A, Nagarajan B, Narayanan C, Varghese M, Subramanian K. 2005. RAPD variation in Indian teak populations and its implications for breeding and conservation. Dalam : Bhat KM, Nair KKN, Bhat KV, Muralidharan EM, Sharma JK, editor. Quality timber products of teak from sustainable forest management. Kerala Forest Research Institute. India : 321-330. Nur MA, H Adijuwana. 1989. Teknik spektroskopi dalam analisis biologis. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Osborne BG, Fearn T, Hindle PH. 1993. Practical NIR spectroscopy. E. Longman Singapore Publisher. Singapura. Poussart PF, Evans MN, Schrag DP. 2003. Resolving seasonality in tropical trees: multi-decade, high-resolution oxygen and carbon isotope recode from Indonesia and Thailand. Earth and Planetary Sci. Lett. 218 : 301 – 316. Purnamasari EH. 2008. Variasi genetik jati Jawa berdasarkan metode random amplified polymorphic DNA RAPD [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Qiagen. 2001. HotStarTaq PCR Handbook. Germany: Qiagen. Rachmayanti Y, Leinemann L, Gailing O, Finkeldey R. 2006. Extraction, amplification and characterization of wood DNA from Dipterocarpaceae. Plant Mol. Bio. Reporter . 24 : 45-55. Raymond, C.A. 2002. Genetics of Eucalyptus wood properties. Ann. For. Sci. 59 : 525-531. Reynolds MM, Williams CG. 2004. Extracting DNA from submerged pine wood. Genome. 47 : 994-997. Rials TG, Kelley SS, Groom LH, Snell RR, So CL. 2002. Rapid assessment of softwood properties with near infrared spectroscopy. Proc. The 6 th Pacific Rim Bio-based Composites Symposium : 453 – 457. Siswamartana S, Wibowo A. 2003. Resume Hasil-Hasil Penelitian Perum Perhutani 1998-2003. Pusbang SDH Perum Perhutani. Cepu. Siswamartana S. 2005. Ups and downs of teak forest management in Indonesia. Dalam : Bhat KM, Nair KKN, Bhat KV, Muralidharan EM, Sharma JK, editor. Quality timber products of teak from sustainable forest management. Kerala Forest Research Institute. India : 63 – 72. Smith BN, Eipstein S. 1971. Two categories of 13 C 12 C ratios for higher plants. Plant Physiol. J. 47 : 380-384. Suryana Y. 2001. Budidaya Jati. Swadaya. Bogor. Suryanto D. 2003. Melihat keanekaragaman organisme melalui beberapa teknik genetika molekuler. Program Studi Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Tappi. 1988. Preparation of wood for chemical analysis. US Technical Association of Pulp and Paper Industry. New York. Tsoumis G. 1991. Science and technology of wood: structure, properties, utilization. Van Nostrand Reinhold Publish. New York. Voght KA, Larson BC, Gordon JC, Vogt DJ, and Fanzeres A. 2000. Forest certification: roots. issues, challenges, and benefits. USA: CRC Press. Widianto AN, Pancoro A, Sasmitamihardja D, Moeis MR, Pingkan A. 2000. Laporan akhir penelitian. Bioteknologi tanaman hutan: analisis keragaman genetik dan rekayasa genetik pohon jati. Lembaga Penelitian IPB. Bogor. Widyatmoko AYPBC. 1996. Identifikasi klon Jati berdasarkan marker isozyme. Ekspose Hasil-hasil Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan; Yogyakarta, 28 Maret 1996. Yogyakarta : 241-257. Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Rafalski JA, Tingey SV. 1990. DNA polymorphisms applied by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research 18: 6531-6535. Yeh TF, Yamada T, Capanema E, Chang HM, Chiang, and Kadla JF. 2005. Rapid screening of wood chemical component variations using transmittance near- infrared spectroscopy. Agric. Food Chem. J. 53 : 3328-3332. Lampiran 1 Hasil skoring pola pita DNA kayu jati berdasarkan primer OPO-09. Individu Lokus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Cepu 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 1 Randublatung 6 1 7 1 8 1 1 9 1 10 1 1 Banten 11 1 1 12 1 1 13 1 1 14 1 1 1 1 1 15 1 1 Bojonegoro 16 1 1 1 17 1 1 1 18 1 19 1 20 1 1 Ngawi 21 1 1 22 1 23 1 24 1 25 1 Kendal 26 1 27 1 28 1 1 1 1 29 1 1 30 1 1 Kebonharjo 31 1 1 1 1 32 1 33 1 34 1 1 35 1 Indramayu 36 1 37 1 38 1 1 39 1 40 1 1 1 1 Ciamis 41 1 1 42 1 43 1 1 44 1 45 1 Lampiran 2 Hasil skoring pola pita DNA kayu jati berdasarkan primer OPO-19. Individu Lokus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Cepu 1 1 1 1 2 1 3 1 1 4 1 1 5 1 Randublatung 6 1 7 1 8 1 9 1 10 1 Banten 11 1 12 1 13 1 1 14 1 15 1 Bojonegoro 16 1 17 1 18 1 19 1 1 20 1 Ngawi 21 1 22 1 1 23 1 24 1 1 1 25 1 Kendal 26 1 27 1 28 1 29 1 1 1 1 30 1 Kebonharjo 31 1 1 1 32 1 1 33 1 34 1 1 1 35 1 Indramayu 36 1 1 37 1 1 38 1 1 39 1 40 Ciamis 41 1 42 1 43 1 1 1 44 1 1 1 45 Lampiran 3 Hasil skoring pola pita DNA kayu jati berdasarkan primer OPY-13. Individu Lokus 1 2 3 4 5 Cepu 1 1 1 1 2 1 1 3 1 1 1 4 1 1 1 1 5 1 1 Randublatung 6 1 1 1 1 1 7 1 1 1 8 1 1 1 1 9 1 1 1 1 10 1 1 1 1 Banten 11 1 1 12 1 1 13 1 1 1 14 1 1 15 1 1 Bojonegoro 16 1 1 17 1 1 18 1 1 19 1 1 1 20 1 1 Ngawi 21 1 1 1 22 1 1 23 1 1 24 1 25 1 Kendal 26 1 1 1 1 27 1 1 1 28 1 1 29 1 1 1 30 1 1 Kebonharjo 31 1 1 32 1 1 33 1 1 1 34 1 1 1 35 1 1 1 1 Indramayu 36 1 1 1 37 1 1 38 1 1 39 1 1 40 Ciamis 41 1 1 42 43 1 1 44 1 1 45 1 Lampiran 4 Frekuensi munculnya pita DNA hasil optimasi PCR. Fragmen bp Alel Frekuensi Pita DNA Teori Persentase pita DNA OPO-9 OPO-19 OPY-13 OPO-9 OPO-19 OPY-13 100 45.00 45.00 45.00 33.75 133.33 133.33 133.33 1 0.00 0.00 0.00 33.75 0.00 0.00 0.00 200 43.02 45.00 43.02 33.75 127.47 133.33 127.47 1 1.98 0.00 1.98 33.75 5.86 0.00 5.86 300 13.89 8.89 3.20 33.75 41.15 26.34 9.48 1 31.11 36.11 41.80 33.75 92.18 107.00 123.85 400 24.20 35.56 24.20 33.75 71.70 105.35 71.70 1 20.80 9.44 20.80 33.75 61.63 27.98 61.63 500 33.80 45.00 45.00 33.75 100.15 133.33 133.33 1 11.20 0.00 0.00 33.75 33.19 0.00 0.00 600 30.42 45.00 0.36 33.75 90.14 133.33 1.05 1 14.58 0.00 44.64 33.75 43.19 0.00 132.28 700 43.02 15.02 17.42 33.75 127.47 44.51 51.62 1 1.98 29.98 27.58 33.75 5.86 88.82 81.71 800 39.20 43.02 45.00 33.75 116.15 127.47 133.33 1 5.80 1.98 0.00 33.75 17.19 5.86 0.00 900 32.09 43.02 45.00 33.75 95.08 127.47 133.33 1 12.91 1.98 0.00 33.75 38.26 5.86 0.00 1000 27.22 30.42 45.00 33.75 80.66 90.14 133.33 1 17.78 14.58 0.00 33.75 52.67 43.19 0.00 53 Lampiran 5 Jarak genetik Jati Jawa berdasarkan metode RAPD. Populasi Banten Ciamis Indramayu Kendal Cepu Randublatung Kebonharjo Bojonegoro Ngawi Banten 1 Ciamis 0.0351 1 Indramayu 0.0911 0.031 1 Kendal 0.1321 0.1263 0.1444 1 Cepu 0.136 0.1188 0.1034 0.0516 1 Randublatung 0.1231 0.1139 0.1616 0.0619 0.0703 1 Kebonharjo 0.0793 0.0701 0.1067 0.0437 0.0372 0.044 1 Bojonegoro 0.0956 0.0793 0.0865 0.0896 0.0646 0.1224 0.0638 1 Ngawi 0.0782 0.0691 0.0943 0.1218 0.1178 0.131 0.1107 0.0773 1 Lampiran 6 Hasil analisis isotop karbon δ 13 C dan oksigen δ 18 O. KPH Replikasi C-13 O-18 Altitude Latitude Longitude Cepu 1 -9.26 27.21 169 7.04806 111.534 2 -8.10 27.33 169 7.04806 111.534 3 -8.96 27.29 169 7.04806 111.534 Randublatung 1 -14.37 20.83 128 7.10131 111.435 2 -14.91 18.11 128 7.10131 111.435 3 -15.82 22.16 128 7.10131 111.435 Kebonharjo 1 -11.32 23.62 196 6.82828 111.601 2 -11.80 20.74 196 6.82828 111.601 3 -9.93 24.76 196 6.82828 111.601 Kendal 1 -17.60 8.95 116 7.02211 110.264 2 -15.73 9.75 116 7.02211 110.264 3 -15.52 9.89 116 7.02211 110.264 Indramayu 1 -16.13 11.46 95 6.61361 107.982 2 -18.03 11.17 95 6.61361 107.982 3 -16.51 11.53 95 6.61361 107.982 Ciamis 1 -23.13 11.62 100 7.33897 108.529 2 -23.75 11.33 100 7.33897 108.529 3 -23.94 11.45 100 7.33897 108.529 Banten 1 -20.41 11.12 69 6.61039 105.762 2 -20.16 10.78 69 6.61039 105.762 3 -20.01 11.88 69 6.61039 105.762 Ngawi 1 -11.23 23.21 176 7.34397 111.306 2 -10.84 22.84 176 7.34397 111.306 3 -11.00 22.41 176 7.34397 111.306 Bojonegoro 1 -10.37 21.90 173 7.32281 111.791 2 -11.20 21.08 173 7.32281 111.791 3 -10.46 21.36 173 7.32281 111.791 Lampiran 7 Hasil analisis komponen kimia kayu jati dari 9 sentra jati di Jawa. Lokasi Replikasi Kadar air Selulosa Holoselulosa Hemiselulosa Lignin Ekstraktif air panas Ekstraktif air dingin Ekstraktif alk. benzen 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 KPH Cepu 1 9.912 49.122 73.419 24.297 26.065 8.219 2.684 6.128 2 9.611 48.741 73.057 24.316 26.383 7.860 2.904 5.463 3 8.270 46.832 72.391 25.559 27.075 8.144 3.081 4.859 4 9.307 46.202 72.061 25.859 27.029 6.920 2.730 7.333 5 8.165 44.655 71.014 26.359 27.640 9.159 3.286 7.056 KPH Randublatung 1 8.982 46.062 72.205 26.143 23.031 7.224 2.984 6.013 2 8.207 45.144 72.039 26.895 23.054 6.250 3.074 6.754 3 10.382 44.910 70.881 25.971 24.435 6.607 3.188 6.543 4 9.327 44.302 69.487 25.185 26.289 5.991 3.107 7.008 5 9.229 43.772 69.020 25.248 26.600 7.142 3.816 7.100 KPH Kebonharjo 1 8.047 46.404 70.737 24.333 26.289 7.058 2.479 6.923 2 7.371 47.166 71.222 24.056 27.549 6.645 2.679 7.035 3 9.436 42.205 65.937 23.732 28.642 7.377 2.564 6.810 4 8.347 43.922 68.917 24.995 29.032 7.081 3.074 5.898 5 9.051 41.782 65.438 23.656 29.158 7.053 3.483 7.316 KPH Kendal 1 9.492 41.584 68.740 27.156 25.343 5.510 2.624 4.678 2 9.836 40.583 68.061 27.478 26.104 4.756 2.029 6.018 3 10.065 40.215 67.796 27.581 25.711 4.989 1.974 5.717 4 10.186 40.612 67.346 26.734 26.836 4.936 2.307 4.930 5 8.021 40.355 68.109 27.754 26.450 4.308 2.154 4.077 Lanjutan Lampiran 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 KPH Indramayu 1 10.152 41.683 69.353 27.670 26.941 6.082 3.128 6.826 2 8.145 40.422 67.796 27.374 27.657 7.741 3.291 8.965 3 10.239 43.334 71.051 27.717 28.066 7.633 3.298 9.227 4 9.523 41.922 69.211 27.289 28.698 6.434 2.897 7.953 5 9.159 40.819 68.612 27.793 27.988 6.979 2.944 10.208 KPH Ciamis 1 10.262 49.302 75.199 25.897 23.244 7.894 3.581 6.885 2 10.097 49.105 74.912 25.807 23.693 5.030 2.689 7.021 3 9.159 48.227 73.993 25.766 25.196 6.739 3.322 8.453 4 10.382 46.539 73.543 27.004 24.414 6.483 3.193 8.678 5 8.467 47.100 72.379 25.279 25.247 7.945 3.248 7.538 KPH Banten 1 10.239 49.960 70.482 20.522 23.317 5.263 2.196 4.024 2 9.677 49.527 72.501 22.974 24.440 5.679 1.968 3.851 3 9.199 48.862 73.416 24.554 23.921 5.971 2.886 3.912 4 8.709 50.188 70.802 20.614 25.636 6.331 2.060 4.394 5 10.010 47.832 71.635 23.803 26.889 6.499 2.520 3.765 KPH Ngawi 1 10.250 44.758 70.263 25.505 26.836 5.104 1.757 5.433 2 9.611 45.073 71.442 26.369 27.772 4.964 1.911 5.835 3 9.673 42.942 68.428 25.486 25.560 5.737 1.859 6.111 4 9.317 41.656 69.058 27.402 29.006 6.158 1.907 6.346 5 10.021 40.771 68.326 27.555 28.192 6.024 2.032 6.439 Lanjutan Lampiran 7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 KPH Bojonegoro 1 8.877 46.163 70.760 24.597 24.852 7.954 4.017 7.790 2 9.314 45.271 72.470 27.199 25.954 8.169 3.760 7.404 3 9.002 45.291 72.960 27.669 26.640 8.084 3.917 8.440 4 10.405 46.928 71.940 25.012 26.628 8.525 5.176 8.813 5 9.249 46.074 73.990 27.916 27.148 7.838 4.080 6.993 Rata-rata Total 9.34 44.98 70.72 25.74 26.28 6.68 2.89 6.55 Lampiran 8 Hasil analisis PCA komponen kimia dan isotop kayu jati. Nilai eigen analisis kimia dan isotop Analisis Komponen utama PC Nilai eigen Variasi Kumulatif Komponen kimia struktural 1 2.49 0.62 0.62 2 0.98 0.24 0.87 3 0.52 0.13 1.00 4 -0.00 -0.00 1.00 Komponen kimia non struktural 1 2.22 0.74 0.74 2 0.52 0.17 0.19 3 0.25 0.08 1.00 Isotop 1 1.85 0.93 0.93 2 0.15 0.07 1.00 Nilai komponen utama analisis kimia dan isotop Variabel PC1 PC2 PC3 PC4 Selulosa -0.61 -0.14 -0.29 0.72 Holoselulosa -0.52 0.45 -0.47 -0.55 Hemiselulosa 0.36 0.83 -0.11 0.42 Lignin 0.47 -0.31 -0.83 Ekstraktif air panas -0.58 0.52 0.62 - Ekstraktif air dingin -0.61 0.23 -0.76 - Ekstraktif alben -0.53 -0.83 0.18 - C-13 0.71 0.71 - - O-18 0.71 -0.71 - - Lampiran 9 Hasil analisis PCA data spektra NIR Nilai eigen analisis NIR Komponen utama Nilai eigen Variasi Kumulatif 1 120.94 0.78 0.78 2 32.14 0.21 0.99 3 1.82 0.01 1 4 0.50 1 5 0.26 1 6 0.16 1 7 0.09 1 8 0.03 1 9 0.03 1 10 0.02 1 Nilai komponen utama analisis NIR Variable PC1 PC2 PC3 Variable PC1 PC2 PC3 2550 -0.065 0.119 -0.102 2150 -0.086 0.058 0.05 2540 -0.066 0.118 -0.107 2140 -0.085 0.063 0.031 2530 -0.067 0.116 -0.105 2130 -0.084 0.064 0.021 2520 -0.068 0.115 -0.105 2120 -0.084 0.065 0.014 2510 -0.068 0.114 -0.11 2110 -0.084 0.064 0.009 2500 -0.067 0.115 -0.112 2100 -0.084 0.063 0.009 2490 -0.066 0.116 -0.12 2090 -0.084 0.067 -0.006 2480 -0.066 0.117 -0.125 2080 -0.083 0.068 -0.017 2470 -0.066 0.116 -0.132 2070 -0.085 0.061 0.003 2460 -0.066 0.115 -0.128 2060 -0.086 0.055 0.013 2450 -0.067 0.113 -0.109 2050 -0.087 0.049 0.024 2440 -0.07 0.108 -0.082 2040 -0.087 0.044 0.033 2430 -0.073 0.103 -0.054 2030 -0.088 0.039 0.052 2420 -0.074 0.101 -0.045 2020 -0.088 0.035 0.083 2410 -0.074 0.102 -0.05 2010 -0.088 0.033 0.096 2400 -0.072 0.105 -0.058 2000 -0.088 0.034 0.098 2390 -0.071 0.107 -0.068 1990 -0.088 0.037 0.099 2380 -0.071 0.109 -0.069 1980 -0.087 0.041 0.096 2370 -0.071 0.11 -0.059 1970 -0.087 0.045 0.091 2360 -0.071 0.11 -0.053 1960 -0.087 0.048 0.086 2350 -0.071 0.109 -0.048 1950 -0.086 0.049 0.082 2340 -0.072 0.107 -0.043 1940 -0.086 0.05 0.079 2330 -0.073 0.103 -0.037 1930 -0.086 0.051 0.075 2320 -0.075 0.098 -0.028 1920 -0.086 0.052 0.072 2310 -0.076 0.093 -0.02 1910 -0.086 0.053 0.069 2300 -0.076 0.09 -0.016 1900 -0.086 0.054 0.065 2290 -0.076 0.091 -0.021 1890 -0.086 0.055 0.06 2280 -0.075 0.093 -0.03 1880 -0.085 0.057 0.055 2270 -0.074 0.096 -0.041 1870 -0.085 0.059 0.049 2260 -0.073 0.098 -0.05 1860 -0.085 0.061 0.042 2250 -0.072 0.099 -0.058 1850 -0.085 0.063 0.035 2240 -0.073 0.097 -0.057 1840 -0.084 0.064 0.028 2230 -0.076 0.089 -0.035 1830 -0.084 0.065 0.022 2220 -0.082 0.073 0.015 1820 -0.084 0.064 0.017 2210 -0.085 0.059 0.051 1810 -0.085 0.063 0.014 2200 -0.086 0.052 0.065 1800 -0.085 0.062 0.012 2190 -0.087 0.05 0.068 1790 -0.085 0.059 0.014 2180 -0.086 0.052 0.064 1780 -0.086 0.053 0.021 Lanjutan Lampiran 9. Variable PC1 PC2 PC3 Variable PC1 PC2 PC3 1750 -0.09 0.012 0.069 1370 -0.082 -0.077 -0.01 1740 -0.09 -0.005 0.087 1360 -0.081 -0.08 -0.013 1730 -0.089 -0.018 0.098 1350 -0.08 -0.083 -0.017 1720 -0.089 -0.028 0.103 1340 -0.079 -0.085 -0.022 1710 -0.088 -0.035 0.11 1330 -0.079 -0.088 -0.028 1700 -0.088 -0.039 0.112 1320 -0.078 -0.089 -0.034 1690 -0.087 -0.045 0.113 1310 -0.078 -0.091 -0.039 1680 -0.086 -0.052 0.117 1300 -0.077 -0.092 -0.042 1670 -0.084 -0.058 0.121 1290 -0.077 -0.093 -0.046 1660 -0.083 -0.064 0.123 1280 -0.077 -0.094 -0.049 1650 -0.082 -0.07 0.122 1270 -0.076 -0.095 -0.053 1640 -0.081 -0.073 0.12 1260 -0.076 -0.095 -0.057 1630 -0.081 -0.076 0.117 1250 -0.076 -0.096 -0.061 1620 -0.08 -0.078 0.113 1240 -0.076 -0.095 -0.066 1610 -0.08 -0.079 0.109 1230 -0.076 -0.096 -0.07 1600 -0.08 -0.079 0.106 1220 -0.076 -0.095 -0.074 1590 -0.08 -0.079 0.101 1210 -0.076 -0.095 -0.079 1580 -0.08 -0.079 0.097 1200 -0.076 -0.095 -0.084 1570 -0.08 -0.079 0.092 1190 -0.076 -0.095 -0.088 1560 -0.081 -0.078 0.088 1180 -0.076 -0.094 -0.093 1550 -0.081 -0.078 0.084 1170 -0.076 -0.094 -0.097 1540 -0.081 -0.078 0.079 1160 -0.076 -0.094 -0.101 1530 -0.081 -0.077 0.074 1150 -0.076 -0.094 -0.105 1520 -0.081 -0.077 0.069 1140 -0.076 -0.093 -0.11 1510 -0.082 -0.076 0.064 1130 -0.076 -0.093 -0.114 1500 -0.082 -0.075 0.058 1120 -0.076 -0.093 -0.118 1490 -0.082 -0.073 0.052 1110 -0.076 -0.092 -0.123 1480 -0.083 -0.072 0.046 1100 -0.076 -0.092 -0.128 1470 -0.083 -0.07 0.039 1090 -0.076 -0.092 -0.132 1460 -0.084 -0.068 0.032 1080 -0.076 -0.091 -0.136 1450 -0.084 -0.067 0.024 1070 -0.076 -0.091 -0.14 1440 -0.084 -0.065 0.016 1060 -0.076 -0.09 -0.144 1430 -0.084 -0.066 0.011 1050 -0.076 -0.09 -0.147 1420 -0.084 -0.068 0.008 1040 -0.076 -0.089 -0.152 1410 -0.084 -0.069 0.003 1030 -0.076 -0.089 -0.156 1400 -0.083 -0.071 -0.001 1020 -0.076 -0.089 -0.159 1390 -0.083 -0.073 -0.004 1010 -0.076 -0.089 -0.164 1380 -0.082 -0.075 -0.007 1000 -0.076 -0.088 -0.166 Lampiran 10 Perbandingan teknologi penanda DNA, isotop dan spektra NIR. Uraian DNA Isotop Spektra NIR Kompleksitas pengujian : - Skill - Tahapan pengujian - Optimasi proses pengujian - Kemudahan pelaksanaan - Residu kimia Tinggi Kompleks Ada Sulit Banyak Sedang Sedang Ada Sedang Residu Cu dan gas buang Rendah Singkat Tidak Mudah - Kebutuhan sample 2 gram 70 mg 50-60 gram Waktu pengujian per sampel 8 – 10 jam 4 jam 10 menit Reproduksibilitas Analisa dapat dilakukan ulang dengan sampel yang sama, sepanjang DNA tersedia Dapat diulang bila gas CO 2 belum dibuang dalam spectrometer massa, sensitivitas berkurang Bersifat non destruktif, sampel tetap tersedia untuk dapat dianalisa ulang Peralatan yang digunakan - Ekstraksi - PCR - Elektoforesis - Fotogel - Preparasi gas - Spektromete r massa - Spektrosko pi NIR Kebutuhan biaya - Peralatan - Pengujian 4 unit Bahan kimia ekstraksi, primer, marker, gel agarose dll 2 unit Gas standar kerja CO 2 , oksidator Cu 2 O 1 unit - Akurasi Variasi Dalam populasi Antar populasi Antar populasi Antar populasi 62 Lampiran 11 Gambar peralatan yang digunakan dalam Penelitian. Sampel Kayu Jati Hammer Mill Mesin Bor Tangan Microwave Pemanas Elektroforesis Sentrifugasi PTC-100 UV Trans. Cryocool Reaktor Sulphate Sistem Spektrometer Massa SIRA-9 Spektroskopi NIR Buchi