Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di Indonesia dewasa ini nyeri merupakan alasan yang paling umum bagi pasien-pasien untuk memasuki tempat perawatan kesehatan dan merupakan alasan yang paling umum diberikan untuk pengobatan terhadap diri sendiri Turner et al, 1996. Nyeri merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh banyak orang. Rasa nyeri dapat dirasakan seperti rasa terbakar, rasa tertusuk, rasa menyengat, atau rasa nyeri berdenyut, yang berlangsung konstan maupun intermiten, sehingga dapat mengganggu kita sehari-hari Guyton dan Hall, 1997. Pada umumnya rasa nyeri diobati dengan obat-obatan yang dapat menekan sistem saraf pusat secara selektif yaitu analgesik. Analgesik digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran, bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit Siswandono dan Soekardjo, 2000. Obat-obatan yang terutama digunakan sebagai analgesik atau penghilang nyeri adalah golongan analgesik opioid dan golongan analgesik nonopioid. Salah satu obat yang sering digunakan dan sudah dikenal luas sebagai analgesik ialah asetaminofen. Asetaminofen merupakan turunan dari anilin dan para-aminofenol yang mempunyai aktivitas analgesik-antipiretik sebanding dengan aspirin, tetapi tidak mempunyai efek anti radang dan antirematik. Turunan ini digunakan untuk mengurangi rasa nyeri kepala dan nyeri pada otot atau sendi Siswandono dan Soekardjo, 2000. Asetaminofen banyak dijual sebagai kemasan tunggal maupun kemasan kombinasi dengan bahan obat lain. Menurut data Departemen Kesehatan RI tahun 2003 di Indonesia tercatat ada 157 merk obat yang berisi kandungan asetaminofen, meningkat 600 dibandingkan tahun 1994 yang hanya tercatat sebanyak 23 merk obat saja. Asetaminofen termasuk golongan obat bebas, sehingga mudah ditemukan di apotik, toko obat maupun warung pinggir jalan. Karena mudah didapatkan, resiko untuk terjadinya penyalahgunaan asetaminofen menjadi lebih besar. 2 Penggunaan obat-obatan analgesik terutama dalam jangka panjang seringkali memberikan banyak efek samping, beberapa diantaranya yaitu mengganggu fungsi liver, ginjal, gastrointestinal, dan pembekuan darah, serta dapat menyebabkan agranulositosis dan anemia aplastik P. Freddy Wilmana, 1995. Di Indonesia, jumlah kasus keracunan asetaminofen sejak tahun 2002-2005 yang dilaporkan ke Sentra Keracunan Badan POM sebanyak 201 kasus dengan 175 kasus diantaranya adalah percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu usaha pengembangan obat baru, yaitu dengan mendapatkan senyawa bioaktif. Salah satu usaha yang digunakan untuk mendapatkan senyawa bioaktif dengan aktivitas yang optimal dan efek samping yang minimal sebagai analgesik dengan sintesis dari suatu senyawa penuntun. Senyawa penuntun adalah suatu senyawa yang mempunyai aktivitas biologis tertentu dan digunakan sebagai bahan awal dalam pengembangan obat baru yang ditujukan untuk mendapatkan suatu senyawa yang lebih poten, spesifik, aman dan efek samping minimal Siswandono dan Soekardjo, 1998. Pada senyawa penuntun ini dapat dilakukan suatu sintesis, yaitu dengan cara memasukkan gugus-gugus tertentu yang dapat merubah sifat fisika kimia sehingga akan berpengaruh pada aktivitas obat Siswandono dan Soekardjo, 2000. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan sintesis senyawa asetaminofen menjadi senyawa 4 – asetamidofenil 4 – metilbenzoat Rifai, 2007, senyawa- senyawa tersebut menunjukan aktivitas analgesik yang lebih tinggi dari asetaminofen. Dalam usaha untuk mengembangkan senyawa baru turunan asetaminofen, pada penelitian ini dibuat turunan senyawa asetaminofen lainnya yaitu sintesis senyawa asetaminofen menjadi senyawa 4-asetamidofenil-4- kloroasambenzoat yang diharapkan mempunyai aktivitas analgesik yang lebih optimal. Berdasarkan data teoritis dengan komputer melalui program Chem Office 2002 didapatkan bahwa nilai log P Asetaminofen = 0,28 dan MR = 40,24 cm 3 mol ; sedangkan senyawa 4-Asetamidofenil 4-Klorobenzoat log P = 2,98 dan MR =74,37 cm 3 mol. Adanya peningkatan pada harga log P maka akan meningkatkan penembusan senyawa ke dalam membran biologis sehingga dengan demikian 3 jumlah senyawa yang berinteraksi dengan reseptor akan meningkat pula serta memiliki masa kerja yang lebih panjang, sedangkan harga MR yang meningkat akan berpengaruh pada interaksi atau ikatan obat-reseptor, sehingga akan terjadi kemungkinan adanya peningkatan aktivitas interaksi obat-reseptor atau halangan ikatan obat-reseptor Siswandono dan Soekardjo B, 2000. Pada penelitian ini, Sintesis senyawa ini dapat dilakukan melalui reaksi asilasi antara Asetaminofen dengan 4 – klorobenzoil klorida. Penggantian atom H gugus OH fenolat Asetaminofen dengan 4-klorobenzoil yang bertujuan meningkatkan sifat lipofiliknya, sehingga diharapkan akan semakin banyak konsentrasi obat yang menembus membran biologis sehingga dapat meningkatkan aktivitas analgesiknya. Mekanisme reaksi asilasi gugus OH dari Asetaminofen dengan 4 – klorobenzoil klorida menggunakan reaksi Schotten-Baumann yang di modifikasi. Sebagai media pelarut digunakan aseton yang merupakan pelarut semi polar yang mampu melarutkan senyawa organik, juga berbagai garam. Pelarut ini berperan meningkatkan kerektifan nukleofil anion dan pada akhir proses mudah dihilangkan karena sifatnya yang dapat bercampur dengan sebagian air serta mudah menguap pada titik didih 67 °C Pine, 1998. Senyawa hasil sintesis selanjutnya diidentifikasi dengan pemeriksaan kualitatif organolpetis, uji kemurniaan dengan penentuan titik lebur, uji KLT menggunakan tiga macam fase gerak. Kemudian dilanjutkan identifikasi struktur senyawa dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis, spektrofotometer IR dan spektrometer inti 1 H-NMR.

1.2 Rumusan Masalah