Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perjanjian Anjak Piutang Melalui Jalur Non Litigasi

Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk: 51 a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan customer atau b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi: 1 Pengelolaan usaha customer 2 Pembayaran kepada factor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan customer yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator. Permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan factor. Dan apabila permohonan tersebut dikabulkan, maka pengadilan dapat menetapkan syarat agar factor pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh pengadilan.

B. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perjanjian Anjak Piutang Melalui Jalur Non Litigasi

Penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak didalam kegiatan pembiayaan anjak piutang yang dilakukan dengan cara non litigasi tentu saja oleh para pihak didasarkan pada suatu pemikiran yang cukup mendalam mengingat jalur non litigasi dianggap cukup murah dari segi biaya serta efisien dari segi percepatan waktu. Artinya bahwa para pihak yang bersengketa tentunya menginginkan hasil positif yang cepat guna menengahi sengketa dagang yang sedang terjadi pada para pihak dalam hal ini pihak factor selaku pemberi jasa pembiayaan anjak piutang serta pembeli piutang, client selaku pengguna jasa pembiayaan anjak piutang dan juga selaku pihak yang menjual piutangnya kepada factor maupun customer selaku debitur 51 Lihat ketentuan Pasal 10 Ayat 1 UUK PKPU No. 37 Tahun 2004 Universitas Sumatera Utara yakni pihak yang memiliki hutang atas perdagangannya dengan client yang kini beralih kepada factor. Tentunya para pihak mempertimbangkan betul segala hal yang bisa saja mempengaruhi kinerja usaha yang sedang dijalani terutama dengan adanya perselisihan atau sengketa yang terjadi maka akan dianggap cukup berdampak negatif pada kondisi masing-masing pihak. Maka oleh karenanya penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi merupakan pilihan yang cukup logis untuk dapat menyelesaikan sengketa para pihak yang sedang terjadi. Berikut ada beberapa penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur BPSK Dan Dasar Hukum Pembentukannya. 52 Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Bab XI Pasal 49 sampai dengan Pasal 58. Pasal 49 ayat 1 disebutkan bahwa Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Badan ini merupakan peradilan kecil small claim court yang melakukan persidangan dengan menghasilkan keputusan secara cepat, sederhana dan dengan biaya murah sesuai dengan asas peradilan. Disebut cepat karena harus memberikan keputusan dalam waktu maksimal 21 hari kerja dan tertera pada Pasal 55 UU. No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan tanpa ada 52 Sururi, Kedudukan BPSK Dalam Sistem Peradilan Indonesia, http:sururish.blogspot.com20100kedudukan-bpsk-dalam-sistem-peradilan.html , Kamis 03 Juni 2010 diakses 9 September 2012. Universitas Sumatera Utara penawaran banding yang dapat memperlama proses pelaksanaan keputusan yang dijabarkan pada pasal 56 dan 58 UU. No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sederhana karena proses penyelesaiannya dapat dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa, dan murah karena biaya yang dikeluarkan untuk menjalani proses persidangan sangat ringan. Keanggotaan BPSK terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha, yang masing-masing unsur diwakili oleh 3-5 orang, yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Pasal 49 ayat 3 dan ayat 5. Client dan customer seperti yang dijelaskan pada materi sebelumnya tentu saja merupakan pihak yang berkedudukan selaku “konsumen” dalam hal ini dapat mengadukan segala tindakan factor yang dianggap bertentangan dengan undang- undang termasuk dalam hal ini segala tindakan yang dianggap merugikan pihak client dan customer selaku konsumen. Dalam hal factor yang membuat suatu kebijakan yang membebankan denda atau penalty yang cukup besar atas terlambatnya pembayaran hutang, terkadang dapat menimbulkan permasalahan diantara para pihak. Walaupun diawal perjanjian para pihak telah menandatangani perjanjian yang ditawarkan oleh pihak factor, namun dikemudian hari terkadang tidak dapat dihindari adanya perlawanan serta keluhan dari pihak customer. Hutang yang terlambat dibayarkan ditambah dengan “nominal denda” yang hampir-hampir sama nilainya dengan hutang membuat pihak customer kewalahan dan mengadukan hal ini kepada BPSK Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Client yang dalam hal ini juga merupakan bagian dari pihak konsumen ikut terseret dalam permasalahan ini. Universitas Sumatera Utara Khususnya salah satu klasifikasai anjak piutang factoring yang disebut recourse factoring, yaitu anjak piutang dimana client akan menanggung resiko apabila nasabah tidak memenuhi kewajibannya. Jadi, perusahaan anjak piutang akan mengembalikan tanggung jawab recourse pembayaran piutang kepada client atas piutang yang tidak tertagih dari nasabah.Sehingga dengan demikian mengakibatkan pihak client menanggung beban atas permasalahan tidak terbayarnya hutang yang telah jatuh tempo beserta denda yang semakin hari kian meningkat oleh customer. Walaupun demikian customer tentu saja tidak serta merta menerima kehadiran client atas tanggungjawabnya berdasarkan prinsip recourse factoring, mengingat customer sendiri menganggap bahwa client harusnya memikirkan secara seksama menyangkut klausula presentase pembayaran denda pada saat penandatangan kontrak perjanjian awal dengan pihak factor. Maka client bersama-sama dengan customer menyerahkan masalah ini kepada pihak BPSK guna menengahi sengketa yang terjadi. a. Tugas dan wewenang BPSK. 53 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK sendiri merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk oleh Pemerintah di tiap-tiap daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Uraian mengenai kelembagaan dan keanggotaan, tugas dan wewenang serta penyelesaian sengketa oleh BPSK dapat 53 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001 hal.76 - 77 Universitas Sumatera Utara kita temui secara khusus dalam Bab XI, yang dimulai dari Pasal 49 sampai Pasal 58 Undang-undang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 52, Undang-undang Perlindungan Konsumen BPSK mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : 1 Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi ; a Memberikan konsultasi perlindungan konsumen. b Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. c Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini. d Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. e Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen. f Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. g Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli danatau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini. h Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g, dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen. i Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan. j Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen. k Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. l Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Keanggotaan BPSK terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha, dengan ketentuan bahwa setiap unsur diwakili oleh sedikit-dikitnya 3 tiga orang, dan sebanyak-banyaknya 5 lima orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Untuk menindaklanjuti ketentuan undang-undang tersebut, Menteri Universitas Sumatera Utara Perindustrian dan Perdagangan RI telah mengeluarkan SK No. 350 MPP Kep 12 2000 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK diselesaikan melalui cara konsiliasi, mediasi atau arbitrase yang dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang Pasal 4 Undang- undang Perlindungan Konsumen. Metode penyelesaian kasus sengketa antara konsumen dan pelaku usaha ada tiga yaitu konsiliasi, mediasi atau arbitrase. 54 b. Prosedur dalam BPSK. 55 Prosedurnya cukup sederhana. konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa langsung datang ke BPSK provinsi di mana mereka berada dengan membawa permohonan penyelesaian sengketa, mengisi form pengaduan dan juga berkas-berkas dokumen yang mendukung pengaduannya. Pihak-pihak yang berperkara di BPSK tidak dikenai biaya perkara alias gratis. Sementara biaya operasional BPSK ditanggung APBD. Selain bebas biaya, prosedur pengaduan konsumen pun cukup mudah, yaitu hanya membawa barang bukti atau bukti pembelianpembayaran dan kartu identitas KTP. Formulir pengaduan disediakan di sekretariat BPSK. Pihak BPSK lalu akan melakukan pemanggilan pada pihak-pihak yang bersengketa guna dipertemukan dalam prasidang. 54 Ibid. 55 Ibid. Universitas Sumatera Utara Dari prasidang itu bisa ditentukan langkah selanjutnya apakah konsumen dan pelaku usaha masih bisa didamaikan atau harus menempuh langkah-langkah penyelesaian yang telah ditetapkan antara lain : 1 Konsilias 2 i: Merupakan usaha perdamaian antara dua pihak. Metode konsiliasi ditempuh jika pihak konsumen dan pengusaha bersedia melakukan musyawarah untuk mencari titik temu dengan disaksikan majelis hakim BPSK. Dalam hal ini, majelis hakim BPSK bersikap pasif. Artinya dalam hal ini baik pihak customer, client konsep recourse factoring serta factor melakukan komukasi intensif yang ditengahi oleh majelis hakim dari BPSK guna mencari solusi terbaik bagi para pihak. Dimana majelis hakim dari BPSK bertindak tidak hanya sebagai fasilitator namun juga sebagai pihak yang dapat memberi masukan positif. Mediasi: 3 negosiasi yang dimediasi oleh BPSK. Kedua belah pihak melakukan musyawarah dengan keikutsertaan aktif majelis hakim BPSK. Dimana dalam mediasi pihak BPSK hanya bertindak sebagai penyambung lidah atau penengah mediator semata tanpa dapat memberikan input positif bagi para pihak. Arbitrase: kedua belah pihak menyerahkan sepenuhnya kepada arbiter. Konsumen akan memilih salah satu arbiter konsumen yang terdiri dari tiga orang, demikian pula pengusaha akan memilih satu arbiter pengusaha dari tiga arbiter yang ada. Sedangkan ketua majelis hakim BPSK adalah seorang dari tiga wakil pemerintah dalam BPSK. Artinya baik customer serta client disatu Universitas Sumatera Utara sisi maupun factor disisi lain masing-masing akan mendapatkan 1 wasit arbiter yang telah disediakan BPSK, yang akan menjadi penengah bagi kepentingan para pihak. c. Penyelesaian Sengketa OlehMelalui BPSK. Dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen BPSK sendiri membentuk majelis, dengan jumlah anggota yang harus berjumlah ganjil terdiri dari sedikit-dikitnya 3 tiga orang yang mewakili semua unsur dan dibantu oleh seorang panitera. Menurut ketentuan dalam pasal 54 ayat 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, ketentuan teknis dari pelaksanaan tugas majelis BPSK yang akan menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen akan diatur tersendiri oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Yang jelas BPSK diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang diserahkan kepadanya dalam jangka waktu 21 dua puluh satu hari terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK. Lembaga penyelesaian di luar pengadilan, yang dilaksanakan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK ini memang dikhususkan bagi konsumen perorangan yang memiliki perselisihan dengan pelaku usaha. Sifat penyelesaian sengketa yang cepat dan murah, yang memang dibutuhkan oleh konsumen, terutama konsumen perorangan tampaknya sudah cukup terakomodasi dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. 56 56 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hlm.78 Universitas Sumatera Utara d. Pemberian Sanksi Oleh BPSK. 57 Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan oleh undang-undang Perlindungan Konsumen ini terdiri dari: 1 Sanksi administratif 2 Sanksi pidana pokok 3 Sanksi pidana tambahan Sanksi administratif Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur hanya dalam satu pasal, yaitu Pasal 60. Sanksi administratif ini merupakan suatu hak khusus yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK atas tugas dan atau kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini kepada BPSK untuk menyelesaikan persengketaan konsumen diluar Pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 60 ayat 2 Jo pasal 60 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp. 200.000.000,- dua ratus juta Rupiah terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap dalam rangka: a Tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen. 57 Ibid. hlm 80 Universitas Sumatera Utara b Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha periklanan. c Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik dalam bentuk suku cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan sebelumnya, baik berlaku terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan atau jasa. Ketentuan ini memperjelas bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK memang tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi atas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ini sejalan dengan ketentuan Pasal 47 Undang-undang Perlindungan Konsumen diluar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen. Walau demikian, Undang-Undang Perlindungan Konsumen guna menegakkan kepastian hukum, sesuai proporsinya telah memberikan hak dan kewenangan kepada BPSK untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tidak memberikan ganti rugi kepada konsumen atas tindakannya yang merugikan konsumen. Selain sanksi keperdataan yang dapat dilakukan dalam bentuk gugatan oleh konsumen, baik melalui BPSK maupun Pengadilan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mencantumkan sanksi pidana yang jelas bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan-ketentuan yang secara tegas telah dilarang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen setidaknya sanksi-sanksi yang telah ditentukan sangat bergantung pada siap tidaknya berbagai pihak yang terkait. Disamping itu kemampuan dan pengetahuan yang cukup signifikan tentang perlindungan konsumen Universitas Sumatera Utara juga sangat perlu untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini dalam prakteknya. 2. Penyelesaian Sengketa Alternatif Dan Arbitrase Menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dapat kita temui sekurangnya ada enam macam tata cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yaitu: a. Konsultasi b. Negosiasi c. Mediasi d. Konsiliasi e. Pemberian pendapat hukum f. Arbitrase Jika negosiasi melibatkan para pihak yang bersengketa secara langsung, konsultasi dan pemberian pendapat hukum dapat dilakukan secara bersama-sama antara para pihak yang bersengketa dengan pihak yang memberikan konsultasi atau pendapat hukum, maupun secara sendiri-sendiri oleh masing-masing pihak–pihak melibatkan pihak ketiga yang berfungsi menghubungkan kedua belah pihak yang bersengketa dimana dalam mediasi fungsi pihak ketiga dibatasi hanya sebagai penyambung lidah, sedangkan dalam konsiliasi, pihak ketiga terlibat secara aktif dalam memberikan usulan solusi atas sengketa yang terjadi. Sedangkan arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan swasta, dengan arbiter sebagai hakim swasta, yang memutus untuk kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa. Universitas Sumatera Utara a. Konsultasi. 58 Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi. Jika melihat pada Black’s Law Dictionary dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan konsultasi consultation adalah: “act of consulting or conferring; e.g.patient with doctor, clientt with lawyer. Deliberation of persons on some subject”. Dari rumusan yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut dapat kita ketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan client dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada client tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan clientnya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat keterikatan atau kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. Ini berarti client adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan client akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan tersebut. Ini berarti dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa antara para pihak baik factor, client maupun customer yang ada tidaklah dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan pendapat hukum, sebagaimana diminta oleh 58 Ibid. hlm. 86-87 Universitas Sumatera Utara clientnya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak baik factor, client maupun customer, meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk- bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut. b. Negosiasi. 59 Jika kita membaca rumusan yang diberikan dalam Pasal 6 ayat 2 Undang- Undang No. 30 Tahun 1999, di sana dikatakan bahwa pada dasarnya para pihak factor, client maupun customer dapat dan berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul diantara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Ketentuan tersebut mengingatkan kita pada ketentuan yang serupa diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab ke-18 delapan belas Buku III KUHPer Tentang Perdamaian. “Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara”. Persetujuan perdamaian ini oleh KUHPerdata diwajibkan untuk dibuat pula secara tertulis, dengan ancaman tidak sah. Jika kita kaji secara seksama dapat kita katakan bahwa kata-kata yang tertuang dalam rumusan Pasal 6 ayat 2 Undang- 59 Ibid. hal 87 - 90 Universitas Sumatera Utara Undang No. 30 Tahun 1999 memiliki makna objektif yang hampir sama dengan yang diatur dalam Pasal 1851 KUHPerdata hanya saja negosiasi menurut rumusan Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tersebut: 1 Diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari 2 Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan antara para pihak yang bersengketa. Selain itu perlu dicatat pula bahwa negosiasi, merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan diluar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan, maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun diluar sidang pengadilan Pasal 130 HIR. Ada dua hal yang sebenarnya perlu diluruskan atau diperjelas dari makna negosiasi yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat 2 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut. Pertama adalah “apakah ketentuan tersebut bersifat compulsory memaksa”. Apakah para pihak baik factor, client maupun customer dapat mengesampingkan ketentuan ini, untuk selanjutnya langsung menuju pada alternatif penyelesaian sengketa yang lain seperti mediasi, konsiliasi atau arbitrase maupun melalui proses litigasi. Dan yang kedua adalah ketentuan mengenai 14 empat belas hari tersebut dihitung sejak kapan? Apakah dihitung sejak sengketa terjadi? lantas kapan suatu sengketa dapat dikatakan telah terjadi? Apakah dimulai dari saat pertemuan langsung para pihak yang pertama kali sejak sengketa berlangsung? Universitas Sumatera Utara Bagaimana jika para pihak baik factor, client maupun customer tidak dapat bertemu satu dengan yang lainnya untuk suatu jangka waktu yang relatif lama? Apakah para pihak baik factor, client maupun customer dapat memperpanjang batas waktu tersebut atas kesepakatan bersama, dan sampai berapa lama? Selain dari ketentuan atau rumusan tersebut dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai negosiasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa oleh para pihak. Dalam buku Business Law, Principles, Cases, and Policy karya Mark E. Roszkowski dikatakan bahwa: “Negotiation is a process by which two parties, with differing demands reach an agreement generally through compromise and concession”. Dari literatur hukum diketahui bahwa pada umumnya proses negosiasi merupakan suatu pranata alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat informal, meskipun adakalanya dilakukan secara formal. Tidak ada suatu kewajiban bagi para pihak baik factor, client maupun customer untuk melakukan pertemuan secara langsung pada saat negosiasi dilakukan. Negosiasi tersebut tidak harus dilakukan oleh para pihak sendiri. Melalui negosiasi para pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan “win- win” dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran concession atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. Persetujuan atau kesepakatan yang telah dicapai tersebut kemudian dituangkan secara tertulis untuk ditandatangani oleh para Universitas Sumatera Utara pihak baik factor, client maupun customer dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tertulis tersebut bersifat final dan mengikat bagi para pihak baik factor, client maupun customer. Kesepakatan tertulis tersebut menurut ketentuan Pasal 6 ayat 7 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 tiga puluh hari terhitung sejak ditandatangani, dan dilaksanakan dalam waktu 30 tiga puluh hari terhitung sejak pendaftaran Pasal 6 ayat 8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan mengenai apa saja yang dapat dinegosiasikan, namun dengan mengacu pada rumusan yang diberikan dalam Pasal 5 Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut dapat kita katakan bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang menurut undang-undang yang berlaku dapat diadakan perdamaian atau dapat dinegosiasikan. Ini juga membawa konsekuensi bahwa tentunya negosiasi, sebagaimana halnya perdamaian hanya dapat dilakukan jika pihak yang bernegosiasi baik factor, client maupun customer mempunyai kekuasaan untuk melepaskan hak- haknya atas hal-hal yang termaktub dalam kesepakatan tertulis tersebut. Dan bahwa pelepasan akan segala hak dan tuntutan yang dituliskan dalam persetujuan negosiasi harus diartikan sebagai pelepasan dari hak-hak sekadar dan sepanjang hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut ada hubungannya dengan perselisihan yang menjadi sebab perdamaian tersebut. Selanjutnya oleh karena kesepakatan tertulis hasil negosiasi adalah suatu persetujuan diantara para pihak baik factor, client maupun customer, maka selayaknya juga jika hasil negosiasi tidak dapat dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak telah Universitas Sumatera Utara dirugikan. Walau demikian masih terbuka kemungkinan untuk tetap dapat dibatalkan, jika memang dapat dibuktikan telah terjadi suatu kekhilafan mengenai orangnya, atau mengenai pokok sengketa, atau telah dilakukan penipuan atau paksaan, atau kesepakatan telah diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu. c. Mediasi 60 Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat 3, Pasal 6 ayat 4 dan Pasal 6 ayat 5 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 adalah merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak baik factor, client maupun customer menurut ketentuan Pasal 6 ayat 2 Undang- Undang No.30 Tahun 1999. Menurut rumusan dari Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Undang-undang tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian yang jelas dari mediasi maupun mediator. . Dari literature hukum, misalnya dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa mediasi dan mediator adalah: “Mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement. The Mediator has no power to impose a decision on the parties”. 60 Ibid. hal 90-93 Universitas Sumatera Utara Mediasi, dari pengertian yang diberikan jelas melibatkan keberadaan pihak ketiga baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai mediator. Sebagai pihak ketiga yang netral, independen, tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak secara langsung maupun melalui lembaga mediasi, mediator berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Walau demikian ada suatu pola umum yang dapat diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak baik factor, client maupun customer. Sebagai suatu pihak diluar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk bertemu dan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, baru kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing – masing pihak baik factor, client maupun customer yang bersengketa, dan selanjutnya mencoba menyusun proposal penyelesaian, yang kemudian dikomunikasikan kepada para pihak baik factor, client maupun customer secara langsung. Mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi diatara para pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan win-win. Baru setelah diperoleh persetujuan dari para pihak atas proposal yang diajukan beserta segala revisi dan perubahannya untuk penyelesaian masalah yang dipersengketakan, mediator kemudian menyusun kesepakatan itu secara tertulis untuk ditandatangani Universitas Sumatera Utara oleh para pihak. Tidak hanya sampai disitu mediator juga diharapkan dapat membantu pelaksanaan dari kesepakatan tertulis yang telah ditandatangani oleh para pihak. Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari sejak pendaftaran. Jika kita ikuti ketentuan dalam Pasal 6 ayat 4 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dapat kita katakan bahwa undang-undang membedakan mediator kedalam : 1 Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. 2 Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak Pasal 6 ayat 4 Undang-undang No. 30 Tahun 1999. Meskipun diberikan suatu time frame jangka waktu yang jelas, kedua ketentuan tersebut terkesan memperpanjang jangka waktu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Tidak ada suatu kejelasan apakah ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dapat disimpangi oleh para pihak baik factor, client maupun customer. Universitas Sumatera Utara d. Konsiliasi. 61 Seperti halnya konsultasi, negosiasi, maupun mediasi, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi ini. Bahkan tidak dapat kita temui satu ketentuan pun dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini yang mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 alinea ke- 9 penjelasan umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut. Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa konsiliasi adalah : Consiliation is the adjustment and settlement of a dispute in friendly, unantagonistic manner used in courts before trial with a view towards avoiding trial and in labor disputes before arbitration. Court of Conciliation is a court which propose terms of adjustment, so as to avoid litigation. Jika kita kembali pada asal kata konsiliasi, conciliation dalam bahasa Inggris berarti perdamaian dalam bahasa Indonesia. Kemudian juga jika kita simak pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary dapat kita katakana bahwa pada prinsipnya konsiliasi merupakan perdamaian. Dalam hal yang demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab kedelapan belas Buku III KUHPerdata, berarti segala sesuatu yang dimaksudkan untuk diselesaikan melalui konsiliasi tunduk pada ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dan secara khusus Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864. Ini berarti hasil kesepakatan 61 Ibid. hlm 93 - 94 Universitas Sumatera Utara para pihak baik factor, client maupun customer melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi ini pun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat 8 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, kesepakatan tertulis hasil konsiliasi tersebut pun harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30 tiga puluh hari terhitung sejak tanggal pendaftaran di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis hasil konsiliasi bersifat final dan mengikat para pihak. Berbeda dengan negosiasi, konsiliasi, dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary, merupakan langkah awal perdamaian sebelum sidang peradilan litigasi dilaksanakan. Bahkan jika kita melihat pada ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, dengan berasumsi bahwa yang dimaksud dengan konsiliasi dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah identik dengan perdamaian yang diatur dalam KUHPerdata, maka berarti konsiliasi tidak hanya dapat dilakukan untuk mencegah dilaksanakannya proses litigasi peradilan, melainkan juga dapat dilakukan oleh para pihak baik factor, client maupun customer, dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik didalam maupun di pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa mana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dapat dilakukan konsiliasi. Universitas Sumatera Utara e. Pendapat Hukum Oleh Lembaga Arbitrase. 62 Bahwa Undang-undang No. 30 Tahun 1999 juga mengenal istilah pendapat ahli-ahli sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa, dan bahwa ternyata arbitrase dalam suatu bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak baik factor, client maupun customer dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian. Pemberian opini atau pendapat hukum tersebut dapat merupakan suatu masukan bagi para pihak baik factor, client maupun customer dalam menyusun atau membuat perjanjian yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak untuk memperjelas pelaksanaannya. Rumusan Pasal 52 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atau hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang lembaga arbitrase yang diberikan dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa lembaga arbitrase 62 Ibid. hlm. 94-96 Universitas Sumatera Utara adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Menurut ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, pendapat hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase tersebut dikatakan bersifat mengikat binding oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut. Setiap pelanggaran terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian breach of contract-wan prestasi. Selanjutnya oleh karena pendapat tersebut diberikan atas permintaan dari para pihak baik factor, client maupun customer secara bersama-sama dengan melalui mekanisme, sebagaimana halnya suatu penunjukkan lembaga arbitrase dalam menyelesaikan suatu perbedaan pendapat atau perselisihan paham maupun sengketa yang ada atau lahir dari suatu perjanjian, maka pendapat hukum ini besifat akhir final bagi para pihak baik factor, client maupun customer yang meminta pendapatnya pada lembaga arbitrase termaksud. Hal ini ditegaskan kembali dalam rumusan Pasal 53 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa terhadap pendapat yang mengikat tersebut dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana disebutkan diatas tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Universitas Sumatera Utara Jika kita lihat dari sifat pendapat hukum yang diberikan, yang secara hukum mengikat dan merupakan pendapat pada tingkat akhir, dapat kita katakan bahwa sebenarnya sifat pendapat hukum diberikan oleh lembaga arbitrase ini termasuk dalam pengertian atau bentuk putusan lembaga arbitrase. f. Arbitrase Sebagai Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan. 63 Pranata arbitrase di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok dapat dilaksanakannya arbitrase sebelum berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal 337 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui Het Herzeine Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941;44 atau Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Recht Sreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227. Kedua ketentuan dasar tersebut, dianggap menjadi sumber dan berlakunya ketentuan arbitrase yang diatur kelembagaannya secara cukup lengkap dalam ketentuan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad 1847;52 bagi seluruh golongan penduduk Hindia Belanda waktu itu. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 maka seluruh ketentuan tersebut diatas, Pasal 337 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941; 44, Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 63 Ibid. hlm. 97 Universitas Sumatera Utara 1927; 227, dan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847;52 dinyatakan tidak berlaku lagi. 1 Arbitrase Menurut Ketentuan Undang-Undang No.30 Tahun 1999. 64 Berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Ada tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi yang diberikan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut : a Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian. b Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis. c Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan diluar peradilan umum. 2 Arbitrase Sebagai Salah Satu Pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa Tingkat Akhir 65 Pada tulisan diatas, telah kita ketahui bahwa menurut ketentuan Pasal 6 Ayat 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dalam hal usaha alternatif penyelesaian sengketa melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat hukum yang mengikat maupun perdamaian tidak dapat dicapai, maka para pihak 64 Ibid. hlm. 97 65 Ibid. hlm. 98 Universitas Sumatera Utara berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc. Ini berarti arbitrase dapat dikatakan merupakan lembaga alternatif penyelesaian sengketa terakhir dan final bagi para pihak baik factor, client maupun customer. 3 Proses Pemeriksaan Sengketa Dalam Arbitrase. 66 Secara umum dapat kita katakan bahwa jalannya pemeriksaan dalam arbitrase tidak akan jauh berbeda dengan jalannya proses pemeriksaan perkara dalam pranata peradilan pada umumnya. Proses jalannya pemeriksaan tersebut meliputi antara lain acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai, sistem pembuktian yang ditetapkan, hak-hak para pihak dalam proses pemeriksaan, serta alur jalannya pemeriksaan itu sendiri yang dimulai dari sejak permohonan untuk pemeriksaan sengketa diajukan hingga pada akhirnya dijatuhkan suatu putusan pada tingkat akhir yang mengikat para pihak baik factor, client maupun customer yang meminta penyelesaian perselisihan atau sengketa mereka melalui lembaga pranata arbitrase tersebut. 4 Acara Yang Berlaku di Hadapan Arbitrase. 67 Sebagai suatu bentuk lembaga peradilan swasta dengan hakim swasta, dan seperti juga telah ditegaskan dalam Undang – Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa perselisihan atau sengketa yang dapat diperiksa dan karenanya tunduk pada proses pemeriksaan arbitrase ini adalah perselisihan atau sengketa yang secara hukum dapat diselesaikan melalui 66 Ibid. hlm. 122 67 Ibid. hlm. 123 Universitas Sumatera Utara proses perdamaian. Hal ini menunjukkan bahwa pranata arbitrase merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa hanya terhadap hal-hal dimana dimungkinkan adanya kebebasan dari para pihak baik factor, client maupun customer untuk melakukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku umum dalam hal ini secara teoritis dapat dikaitkan dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Buku III KUHPerdata yang bersifat terbuka. Dan karena berarti proses pemeriksaan oleh dan melalui pranata arbitrase ini tidak jauh beda dengan proses pemeriksaan peradilan perdata yang menjurus kearah perniagaan. Seperti telah disinggung dalam tulisan sebelumnya, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengenal dua macam penyelesaian perselisihan melalui lembaga arbitrase, yaitu arbitrase yang diselenggarakan secara ad-hoc, dan arbitrase yang dilaksanakan oleh suatu lembaga arbitrase tersendiri. Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan sengketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh para arbiter yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut. Hanya saja kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dan tertulis, sehingga dapat menjadi acuan yang jelas bagi para arbiter tersebut. Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah bahwa pemilihan acara dan proses tersebut tidaklah boleh bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Bagi arbitrase ad-hoc, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa bila para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan, arbiter, atau majelis arbitrase ad-hoc telah terbentuk, maka semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase ad-hoc tersebut akan Universitas Sumatera Utara diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini. Khusus untuk penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase, ketentuan Pasal 34 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan atas kesepakatan para pihak. Dan dalam hal yang demikian, maka proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase tersebut, yang dipilih oleh para pihak akan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih kecuali ditetapkan secara lain oleh para pihak. 5 Klausula Arbitrase Dalam Perjanjian Anjak Piutang 68 Perjanjian arbitrase atau dapat juga disebut sebagai klausula arbitrase pada dasarnya adalah suatu klausula yang terdapat dalam suatu perjanjian, isinya memperjanjikan bahwa apabila terjadi sengketa para pihak baik factor maupun customer sepakat untuk menyelesaikan melalui arbitrase. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum didalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak dalam hal ini antara factor dan client sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Pada dasarnya ada dua bentuk perjanjian arbitrase yang dibedakan dari waktu 68 Disriani Latifah, Perjanjian Arbitrase dan Kompetensi Absolut Arbitrase, www.staff.blog.ui.ac.iddisriani.latifahtagperjanjian-arbitrase. , di akses tanggal 4 Maret 2013. Universitas Sumatera Utara dibuatnya perjanjian tersebut, yaitu pertama adalah perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa dan kedua perjanjian yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Bentuk perjanjian arbitrase yang pertama disebut dengan pactum de compromittendo dan yang kedua disebut dengan akta kompromis. a Pactum de compromittendo merupakan perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak sebelum terjadinya sengketa, yang diatur didalam pasal 1 angka 3 dan pasal 7 UU Arbitrase. Pasal 1 angka 3 berbunyi : “Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum didalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak dalam hal ini antara factor dan client sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Pasal 7 berbunyi : “Para pihak dapat menyetujui sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka diselesaikan melalui arbitrase”. Mengenai pactum de compromittendo ini sebelumnya juga diatur didalam pasal 615 3 Rv, dimana pihak-pihak dapat mengikatkan diri satu sama lain untuk menyerahkan persengketaan yang mungkin timbul dikemudian hari kepada seorang atau beberapa orang arbiter. Berdasarkan pasal-pasal pada UU Arbitrase tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa diperbolehkan untuk membuat suatu klausula dalam perjanjian untuk memperjanjikan bahwa apabila dikemudian hari terjadi sengketa, maka para pihak baik factor dan client akan menyerahkan penyelesaiannya kepada arbitrase dan bukan pengadilan. Sedangkan mengenai cara pembentukan pactum de compromittendo secara umum dapat dibedakan menjadi : Universitas Sumatera Utara 1 Perjanjian arbitrase dibuat sebagai salah satu klausula dalam suatu perjanjian pokok. Cara ini umum terjadi mengingat pada saat ini dalam suatu perjanjian para pihak dalam hal ini factor dan client biasanya sudah langsung menentukan pilihan penyelesaian sengketa yang mereka pilih apabila terjadi sengketa dikemudian hari, dimana dalam hal pilihan penyelesaian sengketa yang dipilih adalah arbitrase. 2 Perjanjian arbitrase dibuat dalam suatu perjanjian tersendiri yang dibuat sebelum terjadinya sengketa dan bersamaan dengan pembuatan perjanjian pokoknya serta tidak menjadi satudigabungkan dalam perjanjian pokoknya sehingga ada dua akta yaitu akta yang berisi perjanjian pokok dan akta yang berisi perjanjian arbitrase. Namun dalam UU Arbitrase sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 3 tidak diatur mengenai bentuk yang kedua; “Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum didalam suatu perjanjian tertulis”. Hal tersebut dikarenakan perjanjian arbitrase merupakan perjanjian assesoir yang berarti perjanjian arbitrase adalah perjanjian yang mengikuti perjanjian pokoknya. Sebagai perjanjian assesoir maka perjanjian arbitrase tidak boleh melampaui perjanjian pokoknya serta sah atau tidaknya suatu perjanjian arbitrase ditentukan oleh sahtidaknya perjanjian pokoknya. b Akta kompromis, disebut juga dengan compromise and settlement, akta kompromis merupakan perjanjian arbitrase yang berbentuk akta, dan dibuat setelah terjadi sengketa, diatur dalam pasal 1 angka 3 dan pasal 9 UU Arbitrase. Pasal 1 angka 3 berbunyi : “Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan Universitas Sumatera Utara berupa klausula arbitrase yang tercantum didalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Pasal 9 UU Arbitrase berbunyi: “1 Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani para pihak 2 Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam akta notaris. 3 Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus memuat : a masalah yang dipersengketakan b nama lengkap dan tempat tinggal para pihak c nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase d tempat arbiter atau majelis arbitrase mengambil keputusan e nama lengkap sekretaris f jangka waktu penyelesaian sengketa g pernyataan kesediaan arbiter h pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 4 Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud ayat 3 batal demi hukum. Sedangkan dalam Rv peraturan mengenai akta kompromis diatur dalam pasal 618 bahwa pada dasarnya akta kompromis memuat persetujuan para pihak untuk menyerahkan sengketa yang telah timbul pada arbitrase dan bentuknya harus tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak jika para pihak tidak mampu menandatangani maka perjanjian harus dibuat dimuka seorang notaris. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN