Pemanfaatan Citra Landsat 7+ETM untuk Analisis Neraca Energi pada Beberapa Jenis Tutupan Lahan di Provinsi Jambi

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 7+ETM UNTUK
ANALISIS NERACA ENERGI PADA BEBERAPA JENIS
TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI JAMBI

AHMAD SHALAHUDDIN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul pemanfaatan citra
Landsat 7+ETM untuk analisis neraca energi pada beberapa jenis tutupan lahan di
Provinsi Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Ahmad Shalahuddin
NIM G24090051

ABSTRAK
AHMAD SHALAHUDDIN. Pemanfaatan Citra Landsat 7+ETM Untuk Analisa
Neraca Energi Pada Beberapa Tutupan Lahan Di Provinsi Jambi. Dibimbing
oleh TANIA JUNE.
Perubahan fungsi lahan terjadi di Provinsi Jambi. Perubahan hutan menjadi
bentukan lahan lain telah mempengaruhi iklim mikro wilayah. Tujuan penelitian
ini adalah menganalisis karakter albedo, neraca energi, dan suhu beberapa jenis
tutupan lahan di Provinsi Jambi dengan memanfaatkan citra Landsat 7+ETM.
Kerapatan vegetasi memiliki pengaruh yang besar terhadap neraca radiasi dan
energi. Wilayah dengan kerapatan vegetasi tinggi akan memiliki nilai albedo
yang rendah karena sebagian radiasi datang akan tertangkap diantara kanopi.
Wilayah dengan kerapatan vegetasi tinggi seperti hutan dan taman nasional
memiliki nilai radiasi netto tinggi. Proporsi neraca energi juga dipengaruhi oleh
kerapatan vegetasi. Wilayah dengan kerapatan vegetasi wilayah tinggi memiliki

proporsi fluks bahang penguapan lebih tinggi dari wilayah dengan kerapatan
vegetasi rendah. Wilayah dengan vegetasi dan kebasahan wilayah yang tinggi
menyebabkan suhu udara wilayah tersebut menjadi lebih rendah. Selain
kerapatan vegetasi suhu udara juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat serta
karakter permukaan dalam menerima radiasi.
Kata kunci: Landsat 7+ETM, neraca energi, neraca radiasi, perubahan fungsi
lahan
ABSTRACT
AHMAD SHALAHUDDIN. Using Landsat 7+ETM image for energy balance
estimation on multiple land cover in Jambi Province. Supervised by TANIA JUNE
Landuse change has occurred in Jambi province. Forest changed into
others land formation has effect for microclimate regions. This research is to
estimate the character of albedo, energy balance and temperature in several
landuse types in Jambi by using Landsat 7+ETM image. Vegetation density
affects energy and radiationon balance. Area with high vegetation density has low
albedo because coming radiation is trapped between vegetation canopies. Area with
high density like forest and national park has a high net radiation. Proportion of
energy balance is strongly influenced by land cover characters. Vegetations with
high density has highest proportion of evaporation heat flux more than low density.
Area with high vegetation density and high humidity cause low temperature. Either

vegetation density, temperature is influence by altitude and surface character in
receiving radiation.
Kata Kunci: Energy balance, Landsat 7+ETM, landuse change, radiation balance

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 7+ETM UNTUK
ANALISIS NERACA ENERGI PADA BEBERAPA JENIS
TUTUPAN LAHAN DI PROVINSI JAMBI

AHMAD SHALAHUDDIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Pemanfaatan Citra Landsat 7+ETM untuk Analisis Neraca
Energi pada Beberapa Jenis Tutupan Lahan di Provinsi Jambi
: Ahmad Shalahuddin
: G24090051

Disetujui oleh

Dr Ir Tania June M.Sc
Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Lulus:


1 9 SEP 2013

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Pemanfaatan Citra Landsat 7+ETM untuk Analisis Neraca
Energi pada Beberapa Jenis Tutupan Lahan di Provinsi Jambi
: Ahmad Shalahuddin
: G24090051

Disetujui oleh

Dr Ir Tania June M.Sc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Rini Hidayati MS
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas segala karunia dan belas kasih-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pemanfaatan citra
Landsat 7+ETM untuk menganalisis karakter neraca energi pada beberapa jenis
tutupan lahan di Provinsi Jambi. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret 2013
dan diselesaikan pada bulan Mei 2013. Penelitian ini merupakan bagian dari
penelitian CRC990-IPB dimana Dr. Ir. Tania June, M.Sc merupakan counterpart
peneliti IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Tania June, M.Sc selaku
pembimbing sekripsi yang telah banyak memberikan ide, keritik, saran, dan
masukannya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga
penulis ucapkan kepada Fauzan Nurrahman dan Nurul Fahmi yang telah
mengajarkan metode dasar pengolahan citra satelit.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Bregas Budiyanto, Ass.dpl
selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberi pelajaran selama
penulis menjalani perkuliahan di Departemen Geofisika dan Meteorologi.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh staf pengajar yang
telah membimbing penulis selama menjalani perkuliahan. Terimakasih juga
penulis ucapkan kepada Muharrom, Dodik M Nurul Yaman, Khabib Dhunka,
Rizal Khoirul Insani, Ervan Ferdiansyah, dan seluruh teman serta karib kerabat
yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman selama menjalani
perkuliahan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa, bantuan, motivasi, dan kasih sayangnya. Terima kasih juga
kepada seluruh karib kerabat atas segala bantuan yang telah diberikan selama
menjalani masa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih kepada
Kementrian Agama RI yang telah memberikan donasi dan motivasi untuk
menjalani perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
Saya berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menambah
khasanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Mei 2013

Ahmad Shalahuddin

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

1

METODE

1

Bahan

2

Alat

3

Prosedur Analisis Data

3


HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Geografis Wilayah Provinsi Jambi

8

Karakter Iklim Wilayah Provinsi Jambi

8

Indeks Kerapatan Vegetasi

9

Albedo

11


Energi

13

Suhu Udara

16

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Koordinat wilayah sampel amatan
Path/Row citra Landsat
Citra Landsat untuk melakukan Gap Fill
Iklim tahunan rata-rata 2009, 2010 dan 2011 Provinsi Jambi
Fluks bahang penguapan dan fluks bahang terasa

2
2
3
9
15

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir penelitian
2 Peta pola ruang dan sebaran komoditas unggulan Provinsi Jambi
3 Sebaran ARVI dan Nilai NDVI Provinsi Jambi
4 Hubungan antara NDVI dengan ARVI
5 Sebaran albedo Provinsi Jambi 2012
6 Absorbsivitas dan transmisivitas radiasi gelombang pendek di kanopi
7 Absorbsivitas dan transmisivitas radiasi cahaya tampak di kanopi
8 Hubungan albedo permukaan dengan indeks kerapatan vegetasi
9 Sebaran radiasi netto dan neraca energi wilayah Provinsi Jambi
10 Hubungan radiasi netto dengan indeks
kerapatan vegetasi
11 Suhu udara rata-rata beberapa jenis tutupan lahan Provinsi Jambi
12 Hubungan suhu udara dengan indeks kerapatan vegetasi
13 Suhu udara secara spasial pada 12 jenis tutupan lahan

3
8
10
10
11
12
12
13
14
15
16
17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

ARVI dan NDVI
Radiasi gelombang pendek
Radiasi gelombang pendek netto dan albedo
Radiasi netto dan fluks bahang permukaan
Fluks bahang terasa dan fluks bahang penguapan
Suhu udara dan suhu permukaan

23
24
25
26
27
28

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Telah terjadi pengurangan luas hutan di seluruh Indonesia. Luas hutan juga
berkurang di Provinsi Jambi. Pada pertengahan tahun 1990-an terdapat 10717 km2
lahan hutan berubah fungsi. Bahkan terdapat 5229 km2 hutan sudah mengalami
penggundulan (Forest Watch Indonesia 1996).
Sebab utama perubahan lahan di Jambi adalah tingginya minat masyarakat
terhadap perkebunan karet dan kelapa sawit. Tercatat pertambahan luas
perkebunan karet pada tahun 2002 adalah sebesar 1 km2. Angka ini terus
meningkat hingga pada tahun 2008 pertambahan luas perkebunan karet mencapai
angka 199 km2. Selain itu besarnya minat masyarakat terhadap dua komoditas
ekspor ini juga dapat dilihat dari jumlah petani karet dan kelapa sawit yang
berjumlah 2463280 dan 168053 orang pada tahun 2008. Angka ini merupakan
angka tertinggi dibandingkan jenis perkebunan lain (Jambi Dalam Angka 2007,
2008, 2009, 2010).
Perubahan fungsi lahan berdampak terhadap iklim pada skala mikro.
Perubahan iklim karena adanya perubahan fungsi lahan dapat dilihat dengan
pendekatan neraca energi. Pendekatan neraca energi bagi pengamatan iklim
penting dilakukan karena dapat memberikan informasi mengenai kondisi iklim
suatu wilayah (Seller et al. 1997). Model iklim berbasis citra dapat digunakan
untuk menduga karakter iklim suatu wilayah. Penggunaan model citra dapat
menghasilkan data dengan resolusi spasial yang baik. Selain itu penggunaan citra
satelit dapat memberikan hasil yang baik untuk wilayah kajian luas dan homogen
(Yang 2000).
Penelitian dengan menggunakan citra Landsat 7+ETM telah banyak
dilakukan. Penelitian mengenai pendugaan umur padi dengan Landsat 7+ETM
dilakukan oleh Dirgahayu (2005). Pemanfaatan citra Landsat untuk menghitung
radiasi transmisi oleh Maharani (2012). Pemanfaatan Landsat 7+ETM dalam
menentukan potensi geotermal oleh Utama (2012).
Penelitian tentang pemetaan telah dilakukan di Provinsi Jambi. Pemetaan
hotspot Provinsi Jambi dilakukan oleh Yonatan (2006). Pemanfaatan data spot
untuk menduga cadangan karbon di hutan perbatasan Jambi oleh Roswiniarti
(2008). Pemetaan neraca energi pada wilayah Bungo Jambi oleh Setiawan (2006).
Tujuan Penelitian
Analisis karakter biofisik dari berbagai jenis tutupan lahan di Provinsi Jambi
dengan menggunakan citra Landsat 7+ETM

METODE
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Citra Landsat 7+ETM.
Wilayah kajian penelitian adalah Provinsi Jambi dengan tanggal akuisisi tahun
2012 dengan titik contoh seperti pada Tabel 1. Pengolahan citra dilakukan di

2
Laboratorium Departemen Geofisika dan Meteorologi Terapan Institut Pertanian
Bogor.
Tabel 1 Koordinat wilayah sampel amatan
Jenis Tutupan Lahan
Perkebunan Sawit 1
Perkebunan Sawit 2
Perkebunan Sawit 3
Perkebunan Sawit 4
Perkebunan Karet
Pertambangan
Perkotaan
Taman Nasional Bukit
Tigapuluh
Taman Nasional Bukit
Duabelas
Taman Nasional Kerinci
Taman Nasional Serbak
Hutan Harapan

Ketinggian
Batas Koordinat Wilayah
(mdpl)
Lintang Selatan
Bujur Timur
o
o
o
o
2 1'44"-2 1'45"
103 35'18"-103 35'20"
21
o
o
o
o
1 24'47"-1 27'48"
103 35'36"-103 40'53"
12
o
o
o
o
1 24'47"-1 27'48"
103 40'36"-103 45'53"
12
1o24'47"-1o27'48"
103o45'36"-103o51'53"
12
o
o
o
o
2 1'44"-2 1'45"
103 32'48"-103 40'53"
31
o
o
o
o
1 40'41"-1 42'52"
102 58'15"-102 55'25"
31
o
o
o
o
1 34'26"-1 4'56"
103 32'48"-103 40'53"
23
1o1'39"-1o5'14"
102o23'18"-102o28'16"
262
1o50'11"-1o55'35"

102o49'34"-102o 42'53"

81

1o41'53"-1o45'31"
1o37'47"-1o40'50"
2o4'14"-2o21'54"

101o30'35"-101o35'58"
104o16'4"-104o19'49"
103o0'22"-103o28'0"

857
7
70

Data ketinggian rata-rata wilayah diunduh dari http://srtm.csi.cgiar.org

Bahan
Adapun bahan yang digunakan untuk pendugaan neraca energi adalah citra
Landsat 7+ETM, peta tutupan lahan Provinsi Jambi, peta administrasi spasial
Indonesia dan Provinsi Jambi sebagai peta referensi. Selain itu juga digunakan
data iklim tahunan BMKG Provinsi Jambi, Deputi Kerinci, dan Bandara Sultan
Thaha Jambi sebagai data pembanding.
Provinsi Jambi terletak pada path/row 125/61, 126/1, 125/62, dan 126/62
dalam citra Landsat. Citra Landsat Provinsi Jambi untuk empat path/row dalam
satu waktu yang sama memiliki kualitas kurang baik. Keempat path/row Provinsi
Jambi selama selang waktu satu tahun yang relatif sama maka digunakan empat
citra dengan tanggal akuisisi berbeda. Citra Landsat 7+ETM yang digunakan
untuk menduga neraca energi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Path/Row citra Landsat
Path/
Row
125/61
125/62
126/61
126/62

Tanggal
Akuisisi
10 Januari 2013
10 Januari 2013
21 April 2012
24 Mei 2012

Dalam citra Landsat 7+ETM terdapat garis-garis hitam sebagai data hilang.
Data hilang pada citra dapat ditutup dengan menggunakan beberapa metode.
Metode yang umum dilakukan adalah menutup data hilang dengan data citra pada

3
tanggal berbeda. Adapun citra yang digunakan sebagai citra Gap Fill dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3 Citra Landsat untuk
melakukan Gap Fill
Path/ Row
125/61
125/61
125/62
125/62
126/61
126/62

Tanggal Akuisisi
08 Agustus 2012
18 Mei 2012
18 Mei 2012
08 Agustus 2012
30 Desember 2011
01 Maret 2011

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah seperangkat komputer beserta
perangkat lunak pembantu. Perangkat lunak yang digunakan adalah Er Mapper
7.1 dan Arc Gis 9.3 sebagai perangkat lunak pengolah citra. Digunakan juga
Microsoft Office 2009 sebagai perangkat lunak pengolah data dan Adobe
Photoshop CS3 sebagai perangkat lunak untuk membuat tampilan peta.
Prosedur Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan beberapa proses. Langkah pertama yang
dilakukan adalah proses pre-processing yang meliputi koreksi dan pemotongan
citra dengan peta admnistrasi Provinsi Jambi. Setelah itu dilakukan klasifikasi
untuk menentukan jenis tutupan lahan. Proses pengolahan dilanjutkan dengan
penentuan neraca energi, indeks vegetasi dan suhu udara. Secara sederhana
peroses pengolahan citra melewati langkah kerja seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir penelitian

4
Proses Pre Processing
Koreksi geometrik dilakukan untuk memastikan koordinat citra sudah tepat
dengan koordinat sebenarnya. Koreksi ini dilakukan dengan membuat GCP
(Ground Control Point) pada citra. Citra acuan yang digunakan adalah peta
administrasi Jambi dan Sumatra. Koreksi radiometrik dilakukan untuk
mengurangi gangguan karena pengaruh atmosfer. Pemotongan wilayah dilakukan
untuk memisahkan daerah amatan dalam peta. Pemotongan juga berguna untuk
meringankan proses pengolahan citra pada tahap selanjutnya. Pemotongan citra
dilakukan dengan menggunakan peta administrasi Jambi.
Klasifikasi Lahan
Klasifikasi citra dilakukan dengan metode klasifikasi tak terbimbing
(Unsupervised Classification). Klasifikasi dilakukan dengan mengkombinasikan
kanal 5, 4, 2.
Penentuan Nilai NDVI dan ARVI
Nilai ARVI dan NDVI diturunkan dari kanal merah, biru, dan inframerah
dekat. Persamaan untuk menentukan ARVI danNDVI adalah:
ARVI =
NDVI =
Keterangan:
= Nilai reflektansi inframerah dekat
= Nilai reflektansi gelombang merah
= Nilai reflektansi gelombang biru
= Skala perbesaran karena pengaruh
Skala perbesaran menunjukan karakter pemantulan gelombang biru di
atmosfer yang disebabkan oleh partikel debu. Skala perbesaran memiliki nilai
spesifik pada wilayah tertentu. Untuk wilayah yang belum diketahui skala
perbesarannya dapat diasumsikan bernilai 1 (Gin-rong et al 2004).
Pendugaan Suhu Permukaan
Nilai tiap piksel citra Landsat adalah nilai digital (Digital Number). Untuk
menginterpolasi nilai Digital Number menjadi nilai Spectral Radian dapat
menggunakan persamaan berikut (USGS 2002):
............................. (1)
Keterangan:

= Spectral Radiance pada kanal ke-I (W m-2sr-1µm-1)
QCal
= Nilai Digital Number kanal ke-i
Lmin
= Nilai minimum Spectral Radiance kanal ke-i (W m-2sr-1µm-1)
Lmax
= Nilai maksimum Spectral Radiance kanal ke-i (W m-2sr-1µm-1)
QCalmin = Minimum pixel value (0)
QCalmax = Maksimum pixel value (255)

5
Suhu kecerahan (Brightness Temperature) diturunkan dari nilai Spectral
Radiance kanal termal. Kanal termal Landsat 7+ETM adalah kanal 61 dan 62.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung suhu kecerahan adalah persamaan
berikut (USGS 2002):
.......................................................................................... (2)
Keterangan:
TB
= Suhu kecerahan (K)
K1
= Konstanta kalibrasi pertama (666.09 W m-2sr-1μm-1)
K2
= Konstanta kalibrasi kedua (1282.71 K)
Suhu permukaan didapat dari suhu kecerahan. Terdapat beberapa persamaan
yang bisa digunakan untuk menghitung suhu permukaan. Diantaranya adalah
persamaan berikut (Weng 2001):
....................…................................................. (3)
Keterangan:
TB
= Suhu kecerahan (K)
Ts
= Suhu permukaan yang terkoreksi (K)
λ
= Panjang gelombang radiasi emisi (11.5 µm)

= h c/σ (1.438 x 10-2 mK)
h
= Konstanta Planck (6.26 x 10-34 J sec)
c
= Kecepatan cahaya (2.9998 x 108 m sec-1)
ε
= Emisivitas
σ
= Konstanta Stefan Boltzmann (5.67 x 10-8 Wm-2K-4)
Tb
= Suhu kecerahan (K-1)
Penentuan Neraca Energi dan Suhu Udara
Pendugaan albedo dengan citra satelit dilakukan dengan menggunakan kanal
cahaya tampak. Pada Landsat kanal cahaya tampak adalah kanal 1, 2, dan 3.
Albedo ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut (USGS 2002):
α=

.......................................................................................... (4)

Keterangan:
α
= Albedo
d2
= Jarak astronomi bumi matahari (sr)
ESUNλ = Rata-rata nilai solar spectral irradiance pada kanal tertentu

= Spektral Radiance (W m-2sr-1µm-1)
Cos Ө = Sudut zenith matahari
Jarak astronomi bumi dan matahari merupakan fungsi dari waktu. Jarak
astronomi diturunkan dari nilai Julian Day saat citra diambil. Adapun persamaan
untuk menentukan jarak astronomi adalah persamaan berikut:

6
d2= (1-0.01674 cos (0.9856(Julian day-4)))2.............................................. (5)
Radiasi gelombang pendek keluar diturunkan dari jumlah energi yang
ditangkap oleh kanal cahaya tampak citra Landsat. Nilai Spectral Radian kanal
cahaya tampak dikonversi menjadi radiasi gelombang pendek keluar dengan
persamaan berikut:
........................................................................ (6)
Rs out =
Keterangan:
Rs out = Radiasi gelombang pendek keluar (W m-2)
= Phi (3.14)
= Nilai Spectral Radian kanal ke I (W m-2 sr-1µm-1)
d2
= Jarak astronomi bumi dan matahari (sr)
= Nilai tengah kanal ke I (µm)
Albedo adalah nisbah perbandingan nilai radiasi gelombang pendek keluar
dengan radiasi gelombang pendek masuk. Radiasi gelombang pendek masuk
ditentukan dengan kombinasi radiasi gelombang pendek keluar dan albedo.
Persamaan untuk menentukan radiasi gelombang pendek masuk adalah sebagai
berikut:
Rs in =

........................................................................................... (7)

Keterangan:
Rs in
= Radiasi gelombang pendek masuk (W m-2)
Rs out = Radiasi gelombang pendek keluar (W m-2)
= Albedo permukaan
Radiasi gelombang panjang yang dipancarkan bumi sebanding dengan suhu
permukaan bumi. Adapun persamaan menentukan radiasi gelombang panjang
keluar adalah sebagai berikut:
Rl out =

..................................................................................... (8)

Keterangan:
Rl out = Radiasi gelombang panjang keluar (W m-2)
= Nilai emisivitas permukaan
= Konstanta Stefan Boltzmann (5.67 x 10-8 W m-2 K-4)
Ts
= Nilai suhu permukaan objek (K)
Radiasi netto merupakan selisih radiasi masuk dan keluar permukaan.
Komponen radiasi netto permukaan bumi adalah radiasi gelombang pendek masuk,
radiasi gelombang pendek keluar dan gelombang panjang keluar. Dalam
penentuan radiasi netto diasumsikan bahwa radiasi gelombang panjang masuk
bernilai nol. Secara matematis radiasi netto dapat ditentukan dengan persamaan:

7
Rn =

- Rs out –

................................................................. (9)

Keterangan:
Rn
= Radiasi netto (W m-2)
Rs out = Radiasi gelombang pendek keluar (W m-2)
= Albedo permukaan
= Nilai emisivitas permukaan
= Konstanta Stefan Boltzmann (5.67 x 10-8 W m-2 K-4)
Ts
= Nilai suhu permukaan objek (K)
Fluks bahang permukaan (G) secara empiris memiliki proporsi sebesar 10%
dari total radiasi netto (Rn). Untuk menentukan fluks ini dapat digunakan
persamaan:
G=Rn (0.1) ........................................................................................... (10)
Pendugaan fluks bahang terasa dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan rasio Bown. Persamaan untuk menentukan fluks bahang terasa adalah
sebagai berikut:
H=

......................................................................................... (11)

Keterangan:
H
= Fluks bahang terasa (W m-2)
= Rasio Bown
Rn
= Radiasi netto (W m-2)
G
= Fluks bahang permukaan (W m-2)
Energi fotosintesis dan tersimpan diabaikan dalam perhitungan neraca
energi. Dengan mengabaikan nilai fluks energi fotosintesis dan tersimpan, fluks
bahang penguapan dapat ditentukan dengan persamaan:
LE = Rn-H-G

...................................................................................... (12)

Keterangan:
LE
= Fluks bahang penguapan (W m-2)
H
= Fluks bahang terasa (W m-2)
Rn
= Radiasi netto (W m-2)
G
= Fluks bahang permukaan (W m-2)
Suhu udara dapat diturunkan dari nilai suhu permukaan dan fluks bahang
terasa. Persamaan untuk menentukan suhu udara adalah:
Ta = Ts –

.................................................................................... (13)

Keterangan:
H
= Fluks bahang terasa (W m-2)
ρair
= Kerapatan udara lembab (1.27 kg m-3)

8
Cp
Ts
Ta
rah

= Panas spesifik udara pada tekanan konstan (1004 J Kg-1 K-1)
= Suhu permukaan (K)
= Suhu udara (K)
= Tahanan aerodinamik (s m-1)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Geografis Wilayah Provinsi Jambi
Secara geografis Provinsi Jambi terletak antara 0o45’- 2o45’ lintang selatan
dan 101o10’-104o55’ bujur timur. Luas Provinsi Jambi adalah 53435 km2 dengan
luas daratan 50160 km2 dan perairan 3275 km2. Terdapat 19165 km2 lahan nonpertanian dan 32249 km2 lahan pertanian non-sawah pada tahun 2009. Lahan nonpertanian ini mencakup rawa-rawa yang belum difungsikan, hutan negara, dan
rumah. Lahan pertanian non sawah mencakup tegalan, ladang, perkebunan, hutan
rakyat, tambak, kolam, padang penggembalaan, dan lahan yang belum
difungsikan (Jambi Dalam Angka 2009). Secara spasial Provinsi Jambi memiliki
jenis tutupan lahan dengan fungsi berbeda (Gambar 2).
.

Gambar 2

Peta pola ruang dan sebaran komoditas unggulan Provinsi Jambi
(Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum 2012)
Karakter Iklim Wilayah Provinsi Jambi

Provinsi Jambi terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan iklim tropis.
Pengukuran unsur iklim yang terlampir dalam laporan pemerintahan provinsi

9
dilakukan oleh BMKG Provinsi Jambi, Bandar Udara Sultan Thaha Jambi, dan
Deputi Perbo Kerinci. Adapun hasil pengukuran yang dilakukan di tiga titik
pengamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Iklim tahunan rata-rata 2009, 2010 dan 2011 Provinsi Jambi
Uraian

Stasiun
Deputi Perbo Sultan Thaha
Kerinci
Jambi

Suhu Maksimum (Co)
Suhu Minimum (Co)
Suhu Rata-rata (Co)
Kelembaban Maksimum (%)
Kelembaban Minimum (%)
Kelembaban Rata-rata (%)
Tekanan Udara(mb)
Kecepatan Angin (knot)
Curah Hujan (mm/tahun)
Lama Penyinaran (Jam/hari)

Klimatologi
Jambi

29,8
16,3
22,2

32,6
22,8
26,8

33,2
22,2
26,6

98
52
83
923
7
1005
3

99
55
85
1010
4
1882
4

99
65
86
3
2121
4

Sumber: Jambi Dalam Angka (2010, 2011, 2012)

Indeks Kerapatan Vegetasi
Kerapatan vegetasi dalam citra satelit dapat ditunjukan dengan beberapa
indeks. Diantara indeks yang dapat digunakan adalah ARVI (Atmopherically
Resistant Vegetation Index) dan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index).
Nilai ARVI dan NDVI diturunkan dari radiasi gelombang pendek dan inframerah
dekat (Gin-rong et al 2004). ARVI merupakan indeks kerapatan vegetasi yang
juga memasukan kanal biru sebagai kanal yang sensitif terhadap nilai partikel
debu di atmosfer. Hubungan antara NDVI dan ARVI suatu wilayah dapat
menjelaskan jumlah partikel debu di atmosfer.
NDVI merupakan indeks yang mengkombinasikan reflektansi spektral
merah dan inframerah dekat. Nilai reflektan spektral inframerah dekat memiliki
korelasi positif terhadap tebal daun (Slaton 2001). Spektral biru dan merah
dibutuhkan oleh tanaman untuk fotosintesis sehingga reflektan spektral biru dan
merah dapat menjelaskan jumlah energi yang digunakan tanaman untuk
fotosintesis (Campbell et al 2008). Hukum Beer menjelaskan bahwa secara tidak
langsung reflektan spektral biru dan merah memiliki korelasi dengan LAI wilayah
(Mavi dan Tupper 1984). Persamaan NDVI menjelaskan bahwa nilai NDVI
meningkat dengan meningkatnya luas serta biomassa daun.
Jenis tutupan lahan yang berbeda memiliki nilai ARVI dan NDVI berbeda.
Pertambangan memiliki nilai ARVI sebesar 0.2 dan NDVI sebesar 0.016.
Perkotaan memiliki nilai ARVI sebesar -0.1 dan NDVI 0. Perkebunan kelapa
sawit memiliki nilai ARVI pada selang 0.74-0.85 dengan selang NDVI 0.3-0.4.
perkebunan karet dan Taman Nasional Bukti Tigapuluh, Kerinci dan Hutan
Harapan memiliki nilai ARVI sebesar 0.9 dan NDVI sebesar 0.4. Taman Nasional
Sabak dan Bukit Duabelas memiliki nilai ARVI sebesar 0.8 dan NDVI 0.3
(Gambar 3).

10

Gambar 3 Sebaran ARVI dan nilai NDVI Provinsi Jambi
Perkebunan kelapa sawit memiliki nilai indeks vegetasi yang berbeda.
Perkebunan kelapa sawit 1 memiliki nilai tertinggi diikuti perkebunan kelapa sawit
2, 3, dan 4 secara berurutan. Bila indeks kerapatan vegetasi hanya dipengaruhi
oleh umur tanaman maka dapat disimpulkan perkebunan kelapa sawit 1 adalah
perkebunan kelapa sawit tua dan perkebunan kelapa sawit 2, 3, dan 4 lebih muda.
Perkebunan kelapa sawit tua memiliki kerapatan vegetasi sama dengan kerapatan
vegetasi hutan dan taman nasional.
Perkotaan memiliki kerapatan vegetasi dominan lebih rendah dari
pertambangan. Akan tetapi nilai kerapatan vegetasi maksimum di perkotaan lebih
tinggi dibandingkan dengan pertambangan (Lampiran 1). Wilayah dengan
kerapatan vegetasi tinggi di perkotaan tersebar di tengah wilayah perkotaan
sebagai ruang terbuka hijau dan taman kota (Gambar 3).
1,50

y = 1,611x + 0,157
R² = 0,723

ARVI

1,00
0,50
0,00
-0,40

-0,20-0,50 0,00

0,20

0,40

0,60

NDVI

Gambar 4 Hubungan antara NDVI dengan ARVI
Terdapat perbedaan besar antara nilai ARVI dan NDVI pada Taman
Nasional Bukit Tigapuluh. Perbedaan nilai ini mungkin disebabkan oleh
komponen debu di atmosfer yang memantulkan cahaya matahari pada spektral
biru sebelum mencapai permukaan (Lampiran 1). ARVI dan NDVI menunjukan
korelasi yang baik. Besar korelasi antara keduanya menunjukan sedikitnya jumlah
partikel debu di atmosfer pada daerah amatan (Gambar 4).

11
Albedo
Albedo adalah perbandingan radiasi gelombang pendek keluar dengan
radiasi gelombang pendek masuk ke permukaan. Nilai albedo sangat dipengaruhi
oleh sudut datang matahari, karakter permukaan, serta kerapatan vegetasi wilayah
(Dobos 2003). Albedo suatu wilayah menurun dengan menurunnya kerapatan
vegetasi (Heidden et al. 2011). Nilai albedo lahan bervegetasi lebih besar dari
lahan non-vegetasi karena radiasi matahari masuk di antara celah kanopi dan
terperangkap di dalamnya (Dobos 2003). Perkebunan kelapa sawit di Kabupaten
Bongo Provinsi Jambi memiliki nilai albedo 0.05-0.07. Hutan alam memiliki
albedo 0.04-0.06 dan pemukiman 0.07-0.14 (Setiawan 2006).

1 2 3 4 5

Gambar 5 Sebaran albedo Provinsi Jambi 2012
Lebih dari 70% daratan Provinsi Jambi merupakan lahan bervegetasi yang
terbagi dalam lima kelas yaitu lahan bervegetasi 1, 2, 3, 4, dan 5 dengan nilai
albedo rata-rata sebesar 0.045, 0.06, 0.04, 0.043, dan 0.075. Lahan kelas 1
merupakan lahan dengan kerapatan vegetasi cukup tinggi. Daerah kelas 1 tersebar
diantara hutan dataran tinggi serta beberapa perkebunan kelapa sawit. Daerah
kelas 2 adalah wilayah bervegetasi dengan kerapatan vegetasi rendah yang
tersebar diantara perkebunan kelapa sawit dan perkotaan. Nilai albedo
menunjukan bahwa 30% lahan di Provinsi Jambi termasuk dalam lahan
bervegetasi dalam kelas 3 dengan nilai albedo rata-rata 0.04. Lahan jenis ini
mendominasi wilayah di sekitar taman nasional dan hutan. Daerah kelas 4
merupakan wilayah dengan kerapatan vegetasi tertinggi. Kelas ini berada di
wilayah hutan dan inti hutan. Selain itu yang masuk dalam kelas vegetasi 4 ini
adalah perkebunan kelapa sawit tua serta perkebunan karet. Kelas vegetasi 5
merupakan vegetasi dengan kerapatan rendah. Kelas ini tersebar disekitar lahan
terbangun dan terbuka. Rendahnya nilai albedo dominan memberi kesimpulan
bahwa sebagian besar wilayah Provinsi Jambi merupakan lahan dengan tutupan
vegetasi rapat (Gambar 5).

12
Beberapa tutupan lahan menunjukkan albedo yang berbeda. Perkotaan dan
pertambangan memiliki albedo maksimum 0.12-0.15. Nilai albedo maksimum
perkebunan kelapa sawit 0.06-0.08. Perkebunan karet, hutan dan taman nasional
memiliki nilai albedo maksimum 0.05-0.07 (Gambar 5). Nilai albedo minimum,
maksimum, dan dominan pada sampel wilayah terlampir dalam Lampiran 3.
Radiasi gelombang pendek terletak pada spektral panjang gelombang
kurang dari 4 µm. Berdasarkan panjang gelombangnya radiasi gelombang pendek
memiliki karakter berbeda (Wallace dan Hobbs 2006). Spektral cahaya tampak
memiliki nilai penyerapan tinggi (Gambar 6).

Absorbsivitas dan transmisivitas radiasi
gelombang pendek di kanopi. Disadur dari
Mavi dan Tupper 1984
Spektral biru dan merah merupakan spektral yang dibutuhkan oleh tanaman untuk
fotosintesis. Hampir 90% radiasi pada spektral biru dan merah yang sampai di
kanopi diserap oleh tanaman. Selain itu lebih dari 5% yang sampai di atas
permukaan vegetasi diteruskan ke permukaan bumi dan kurang dari 5%
dipantulkan kembali ke atmosfer (Gambar 7).
Gambar 6

Gambar 7

Absorbsivitas dan transmisivitas radiasi
cahaya tampak di kanopi. Disadur dari
Mavi dan Tupper 1984

Penentuan albedo pada citra Landsat 7+ETM hanya menggunakan spektral
cahaya tampak. Hal ini menjadikan nilai albedo yang dihasilkan model lebih kecil
dari nilai albedo pengukuran langsung yang memasukan seluruh spektral
gelombang pendek.

Albedo

13
0,15

y = -0,021x + 0,093
R² = 0,06

0,10

y = -0,028x + 0,073
R² = 0,615

0,05
y = -0,008x + 0,042
R² = 0,189

-0,50

0,150,00

Albedo

0,00

0,10

0,50
ARVI

0,05
0,00

-0,50

0,00

0,50

1,00
1,50
y = -0,191x + 0,161
R² = 0,454
y = -0,058x + 0,071
R² = 0,548
y = -0,010x + 0,041
R² = 0,078
1,00

1,50

NDVI

Gambar 8

Hubungan Albedo permukaan dengan indeks
kerapatan vegetasi. Warna merah menunjukan
albedo minimum, biru menunjukan albedo ratarata dan hijau albedo maksimum beberapa jenis
tutupan lahan

Kerapatan vegetasi permukaan sangat mempengaruhi albedo permukaan.
Kerapatan vegetasi memiliki korelasi negatif dengan nilai albedo. Wilayah dengan
kerapatan vegetasi tinggi memiliki albedo rendah dan wilayah dengan kerapatan
vegetasi rendah memiliki albedo tinggi. Selain kerapatan vegetasi karakter
permukaan juga sangat mempengaruhi nilai albedo. Wilayah dengan warna
permukaan lebih cerah umumnya memiliki nilai albedo lebih tinggi bila
dibandingkan dengan wilayah dengan warna permukaan lebih gelap (Gambar 8).
Hutan dan taman nasional memiliki kerapatan vegetasi tinggi sehingga nilai
albedo jenis tutupan lahan tersebut bernilai rendah. Perkotaan dan pertambangan
dengan kerapatan vegetasi rendah memiliki albedo tinggi. Perkebunan kelapa
sawit tua memiliki albedo sebesar hutan dan taman nasional.
Energi
Neraca energi adalah informasi mengenai nilai setiap komponen energi.
Jumlah energi di permukaan bumi akan terkonversi menjadi fluks bahang terasa,
fluks bahang permukaan dan fluks bahang penguapan (Seller et al. 1997).
Pembagian proporsi neraca energi sangat ditentukan oleh jenis tutupan lahan.
Lahan basah dengan kerapatan vegetasi tinggi akan meningkatkan proporsi fluks
bahang penguapan (Khomaruddin 2005).
Rn=LE+H+G.......................................................................................... (14)
Keterangan:
Rn
= Radiasi netto (W m-2)

14
LE
H
G

= Fluks bahang penguapan (W m-2)
= Fluks bahang terasa (W m-2)
= Fluks permukaan tanah (W m-2)

Radiasi netto merupakan selisih radiasi masuk dan keluar (Tapper 2002).
Radiasi netto merupakan unsur penting dalam perhitungan neraca energi. Radiasi
netto merupakan unsur penentu mekanisme evapotranspirasi, fisis, biologis dan
mekanisme lainnya (Rossenberg 1983).

Gambar 9 Sebaran radiasi netto dan neraca energi wilayah Provinsi Jambi
Beberapa jenis tutupan lahan memiliki nilai radiasi netto berbeda. Jenis
tutupan lahan dengan radiasi netto terendah adalah pertambangan dan perkotaan
dengan nilai 283 dan 293 W m-2. Perkebunan kelapa sawit memiliki nilai radiasi
netto 329-347 W m-2. Nilai radiasi netto perkebunan karet adalah 352 W m-2 .
Lahan dengan radiasi netto tertinggi adalah hutan dan taman nasional dengan nilai
339-367 W m-2. Nilai radiasi netto pertambangan adalah 283 W m-2 (Gambar 9).

Rn (W m-2)

15
500
400
300
200
100
0

Rn (W m-2)

-0,50

-0,50

Gambar 10

y = 81,67x + 284,1
R² = 0,595
0,00

500
400
300
200
100
0

0,50

1,00

1,50

ARVI
y = 170,9x + 286,0
R² = 0,725

0,00

0,50
NDVI

1,00

1,50

Hubungan radiasi netto dengan indeks
kerapatan vegetasi

Kerapatan vegetasi sangat mempengaruhi nilai radiasi netto permukaan.
Terdapat korelasi positif antara kerapatan vegetasi dan radiasi netto permukaan.
Daerah dengan kerapatan vegetasi tinggi memiliki nilai radiasi netto tinggi dan
daerah dengan kerapatan vegetasi rendah memiliki radiasi netto rendah. Besar
nilai radiasi netto permukaan dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi wilayah.
Semakin rapat vegetasi permukaan semakin tinggi radiasi netto di permukaan
(Tracy et al. 2004). Indeks vegetasi NDVI memiliki hubungan linier terhadap
radiasi netto lebih kuat dibandingkan dengan ARVI dan radiasi netto (Gambar 10).
Tabel 5 Fluks bahang penguapan dan fluks bahang terasa
Jenis Tutupan Lahan
Perkebunan Sawit 1
Perkebunan Sawit 2
Perkebunan Sawit 3
Perkebunan Sawit 4
Perkebunan Karet
Pertambangan
Wilayah Perkotaan
Taman Nasional Bukit Duabelas
Taman Nasional Bukit Tigapuluh
Taman Nasional Kerinci
Taman Nasional Serbak
Hutan Harapan

LE (W m-2)
260
257
247
255
264
213
220
269
270
275
254
273

H (W m-2)
52
51
49
51
53
43
44
54
43
55
51
55

Rs in (W m-2)
786
800
823
804
799
807
799
788
813
811
826
790

Fluks bahang penguapan adalah total energi yang digunakan untuk
menguapkan air. Besarnya proporsi fluks bahang penguapan dan fluks bahang
terasa dipengaruhi kebasahan wilayah. Nilai fluks bahang penguapan perkotaan
dan pertambangan adalah 220 W m-2 dan 213 W m-2. Nilai fluks bahang

16
penguapan perkebunan sawit adalah 247-260 W m-2. Nilai fluks bahang
penguapan perkebunan karet adalah sebesar 264 W m-2. Taman nasional memiliki
fluks bahang penguapan dengan nilai 254-275 W m-2. Nilai fluks bahang
penguapan akan semakin meningkat dengan meningkatnya kebasahan wilayah
dan proporsi fluks bahang terasa akan semakin kecil (Murokhis et al. 2005).
Beberapa jenis tutupan lahan memiliki fluks bahang terasa berbeda. Nilai
fluks bahang terasa perkebunan kelapa sawit 1, 2, 3, 4, perkotaan, dan
pertambangan 52-43 W m-2. Perkebunan karet, hutan dan taman nasional memiliki
nilai fluks bahang terasa 53-55 W m-2. Kerapatan vegetasi, kebasahan wilayah,
jumlah luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbangun (RTB) terbukti
mempengaruhi nilai fluks bahang terasa suatu wilayah.
Suhu Udara
Suhu udara memiliki nilai berbeda. Pertambangan dan perkotaan memiliki
kisaran suhu 27-29oC. Suhu perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet adalah
23-27oC. Hutan dan taman nasional memiliki kisaran suhu udara 19-23oC
(Gambar 11).
30

T (Co)

25
20
15
10
5
0

Jenis Tutupan Lahan

Gambar 11 Suhu udara rata-rata beberapa jenis tutupan lahan Provinsi Jambi
Suhu udara perkotaan dan pertambangan memiliki nilai terbesar.
Kebasahan dan kerapatan vegetasi yang rendah menjadikan lahan tersebut
memiliki suhu udara lebih besar. Kerapatan vegetasi dan kebasahan wilayah yang
tinggi pada hutan dan taman nasional menyebabkan suhu udara lebih rendah pada
kedua jenis tutupan lahan tersebut. Perkebunan kelapa sawit dengan kerapatan
vegetasi berbeda memiliki suhu udara berbeda. Perkebunan dengan kerapatan
vegetasi tinggi memiliki suhu udara yang lebih rendah dibandingkan dengan
perkebunan dengan kerapatan vegetasi rendah.

17

Ta (Co)

40,0
30,0
20,0
y = -2,740x + 25,69
R² = 0,099

10,0
0,0

-0,50

0,00

1,00

1,50

ARVI

40,0
Ta (Co)

0,50

y = -4,669x + 25,32
R² = 0,080

20,0
0,0

-0,50

0,00

0,50

1,00

1,50

NDVI

Gambar 12

Hubungan suhu udara dengan indeks
kerapatan vegetasi
Suhu udara di permukaan dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi. Wilayah
dengan kerapatan vegetasi tinggi memiliki suhu udara lebih rendah dibandingkan
daerah kerapatan vegetasi rendah. Akan tetapi hubungan linier kerapatan vegetasi
dengan suhu udara hanya berpengaruh 8% terhadap suhu permukaan (Gambar 12).
Terdapat faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap suhu udara diantaranya
adalah ketinggian tempat serta karakter permukaan dalam menerima radiasi
matahari. Suhu udara di dataran tinggi memiliki nilai lebih rendah dibandingkan
dengan dataran rendah. Akan tetapi Taman Nasional Kerinci dengan ketinggian
857 m2 di atas permukaan laut memiliki suhu udara rata-rata 21oC lebih tinggi
dibandingkan Taman Nasional Bukit Tigapuluh dengan ketinggian 262 m2 yang
memiliki suhu udara 19oC. Taman Nasional Bukit Tigapulah di Provinsi Jambi
terletak di sisi gunung yang membelakangi cahaya matahari. Rendahnya jumlah
radiasi persatuan luas yang diterima permukaan Taman Nasional Bukit Tigapuluh
menjadikan taman nasional ini memiliki suhu udara lebih rendah dibandingkan
Taman Nasional Kerinci dengan ketinggian lebih tinggi (Lampiran 6).
Jenis tutupan lahan secara spasial memiliki karakter suhu udara berbeda.
Perkotaan memiliki suhu paling tinggi dibandingkan jenis tutupan lahan lain. Pada
perkotaan terdapat beberapa titik wilayah dengan suhu udara lebih rendah.
Wilayah dengan suhu rendah disebabkan adanya lahan terbuka hijau di perkotaan.
Wilayah dengan suhu rendah juga terdapat di batas luar wilayah perkotaan.
Wilayah bersuhu rendah perkebunan kelapa sawit berbentuk persegi dengan
perbedaan suhu yang nyata. Bentukan ini disebabkan oleh pola tanam perkebunan
kelapa sawit. Hutan dan taman nasional didominasi oleh wilayah dengan suhu
udara rendah. Terdapat titik wilayah dengan suhu tinggi akibat adanya lahan
terbuka. Selain itu tepi luar hutan memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan inti
hutan (Gambar 13).

18

Gambar 13 Suhu udara secara spasial pada 12 jenis tutupan lahan (a) warna
biru tua menunjukan suhu 18-20oC (b) warna kuning
menunjukan suhu 21-27oC (c) warna merah menunjukan suhu
27-29oC
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sebagian besar wilayah di Provinsi Jambi merupakan lahan bervegetasi
dengan kerapatan tinggi. Perubahan fungsi lahan Provinsi Jambi dapat
mempengaruhi komposisi neraca energi dan radiasi. Nilai albedo dan radiasi netto
merupakan unsur iklim yang dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi. Semakin tinggi
kerapatan vegetasi suatu wilayah maka nilai albedonya akan semakin kecil dan
radiasi netto wilayah tersebut akan semakin besar. Perkotaan dan pertambangan
memiliki ARVI dan NDVI -0.1 dan 0.2 dengan albedo 0.07 serta radiasi netto
sebesar 283 W m-2 dan 293 W m-2. Perkebunan kelapa sawit memiliki ARVI dan
NDVI 0.74-0.85 dan 0.3-0.4 dengan nilai albedo 0.05-0.06 serta radiasi netto
sebesar 329-347 W m-2. Perkebunan karet, hutan dan taman nasional memiliki
ARVI dan NDVI 0.8-0.9 dan 0.3-0.4 dengan albedo 0.04-0.05 serta radiasi netto
sebesar 339-367 W m-2. Kerapatan vegetasi juga mempengaruhi proporsi antara
fluks bahang penguapan dan fluks bahang terasa. Wilayah dengan vegetasi rapat
dan basah memiliki proporsi fluks bahang penguapan lebih besar dibandingkan
wilayah dengan kerapatan vegetasi dan kebasahan wilayah rendah.
Suhu udara beberapa jenis tutupan lahan sangat dipengaruhi oleh ketinggian
dan kerapatan vegetasi. Semakin tinggi wilayah atau semakin rapat tutupan
vegetasi wilayah maka semakin rendah suhu udara wilayah tersebut. Selain

19
dipengaruhi oleh ketinggian wilayah nilai suhu udara juga sangat dipengaruhi oleh
karakter permukaan dalam menerima cahaya matahari. wilayah yang terdapat
dibalik bayangan matahari memiliki suhu udara lebih rendah.
Saran
Perubahan fungsi lahan menyebabkan perubahan karakter iklim mikro suatu
wilayah. Sehingga penetapan kebijakan yang lebih ramah lingkungan perlu
diperhatikan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Pembagian wilayah dengan
batas ruang yang lebih ketat pun perlu dilakukan. Selain itu perlu dilakukan
pengamatan perubahan fungsi lahan serta iklim secara berkala sebagai landasan
kebijakan pemerintah.
Metode pendugaan karakter iklim dengan citra satelit perlu disempurnakan
dengan memasukan unsur-unsur lain yang mempengaruhi kondisi iklim amatan
seperti unsur kimiawi, hidrologi, dan biologi. Selain itu perlu dilakukan koreksi
dan kalibrasi dengan menggunakan data pengukuran setiap kondisi iklim, lintang
serta ketinggian tempat. Selain memasukan unsur hidrologi perlu juga dilakukan
penelitian untuk menghasilkan nilai-nilai yang dibutuhkan dalam metode
penelitian satelit seperti penentuan nilai konstanta bown serta pengaruhnya
terhadap sudut datang matahari dan ketinggian tempat. Selain itu perlu dilakukan
koreksi terhadap nilai konstanta tahanan aerodinamik dalam menentukan suhu
udara dari suhu permukaan serta panas terasa.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih ES, Kustiyo. 2005. Variability of Normalized Difference Vegetation
Indices in Sumatra and its Relation to Climate Anomalies (Keragaman Indeks
Vegetasi di Sumatera dan Hubungannya dengan Anomali Iklim). Jurnal
Agromet 19 (1): 21 – 38.
Aladosb I, Foyo-Morenoa I, Olmoa FJ, Alados-Arboledasa L. 2003. Short
Communication Relationship between Net Radiation and Solar Radiation for
Semi-Arid Shrub-Land. Journal of Agricultural and Forest Meteorology.
116(1):221–227.Doi:10.1016/S0168-1923(03)00038-8.
Anonim. 1999. Landsat 7 Handbook. http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/.
12 Januari 2013].
Anthonia PM, Lawb EB, Unswortha HM, Vonga JR. 2000. Variation of Net
Radiation over Heterogeneous Surfaces: Measurements and Simulation in a
Juniper–Sagebrush Ecosystem. Journal of Agricultural and Forest
Meteorology. 102(1):275–286.
Badan Pusat Statistika Provinsi Jambi. 2009. Jambi Dalam Angka 2008. Jambi:
BPS.
Badan Pusat Statistika Provinsi Jambi. 2010. Jambi Dalam Angka 2009. Jambi:
BPS.
Badan Pusat Statistika Provinsi Jambi. 20011. Jambi Dalam Angka 2010. Jambi:
BPS.
Campbell, N. A., dan J. B. Reece. 2008. Biologi Edisi ke 8 Jilid 1. (diterjemahkan
dari : Biology Eighth Edition, penerjemah : D.T. Wulandari). Penerbit
Erlangga. Jakarta. 190-191 hal.

20
De Jager C, Duhau S, Van Geel B. 2010. Quantifying and Specifying the Solar
Influence on Terrestrial Surface Temperature. Journal of Atmospheric and
Solar-Terrestrial Physics. 72(1):926–937.Doi:10.1016/J.Jastp.2010.04.011
Departemen Dalam Negeri. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26
Tahun 2007. Tentang: Penataan Ruang.
Dirgahayu D, Pawati. 2005. Rice Crop Modeling Using Age Index Based on
Landsat 7ETM. International Conference of Map Asia, 22-25 Agustus 2005.
GIS Development.
Dobos E. 2003. Albedo. Encyclopedia of Soil Science. DOI: 10.1081/EESS.120014334.
Fung CC, E Brown M. 2006. Intra-Seasonal Ndvi Change Projection in SemiArid
Africa.
Remote
Sensing
of
Environment.
101(1):249–
256.Doi:10.1016/J.Rse.2005.12.014.
Handoko. 1993. Radiasi Surya. In: Handoko (Eds), Klimatologi Dasar. Pustaka
Jaya. Bogor. Pp: 25-36.
Holdena ZA, Abatzogloub JT, Lucec CH, Baggettd LS. 2011. Empirical
Downscaling ff Daily Minimum Air Temperature at very Fine Resolutions in
Complex Terrain. Journal of Agricultural and Forest Meteorology.
151(1):1066–1073.Doi:10.1016/J.Agrformet.2011.03.011.
Khomaruddin MR, Bey A, Risdiyanto I. 2005. Identifikasi Neraca Energi di
Beberapa Penggunaan Lahan untuk Deteksi Daerah Potensi Kekeringan di
Surabaya, Gersik dan Sidoarjo. Pertemuan Ilmiah Tahunan Mapin XIV.
Kustas WP, Daughtry CST. 1990. Estimation of the Soil Heat Flux/Net Radiation
Ratio from Spectral Data. Agricultural and Forest Meteorology. 49:205-223.
Kogan FN, Zhu X. 2001. Evolution of Long-Term Errors in Ndvi Time Series
1985-1999. Adv Space Res. 28:I49-153.
Julien Y, Sobrino JA. 2010. Comparison of Cloud-Reconstruction Methods for
Time Series of Composite NDVI Data. Remote Sensing of Environment 114(1):
618–625.Doi:10.1016/J.Rse.2009.11.001.
Liu GR, Liang CK, Kuo TH, Lin TH, Huang SJ. 2004. Comparation of the NDVI,
ARVI and AFRI Vegetation Index, Along qith their Relation with The AOD
Using Spot 4 Vegetation Index;. TAO. 15(2):15-31.
Liu X, Cheng Z, Yan L, Yin ZY. 2009. Elevation Dependency of Recent and
Future Minimum Surface Air Temperature Trends in the Tibetan Plateau and
it’s Surroundings. Journal of Global and Planetary Change. 68(1):164–
174.Doi:10.1016/J.Gloplacha.2009.03.017.
Maharani A. 2012. Metode Neraca Energi Untuk Perhitungan Radiasi Transmisi
Menggunakan Data Citra Landsat 7+ETM+. [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Mavi HS, Tupper GJ. 1984. Agrometeorology : Principles and Applications of
Climate Studies in Agriculture. New York : Food Products Press.
Mcfarlanda TM, Van Riper C III , Johnsona GE. 2012. Evaluation of NDVI to
Assess Avian Abundance and Richness Along the Upper San Pedro River.
Journal
of
Arid
Environments.
77(1):45-53.
Doi:10.1016/J.Jaridenv.2011.09.010.
Moody EG, King MD, Schaaf CB, Hall DK, Platnick S. 2007. Northern
Hemisphere Five-Year Average (2000–2004) Spectral Albedos of Surfaces in
the Presence of Snow: Statistics Computed from Terra MODIS Land Products.

21
Remote
Sensing
of
Environment.
111(1):
337–345.
Doi:10.1016/J.Rse.2007.03.026.
Roswiniarti O, Solichin, Suwarsono. 2008. Potensi Pemanfaatan Data Spot untuk
Estimasi Cadangan dan Emisi Karbon di Hutan Rawa Gambut Merang
Sumatera Selatan. PIT Mapin XVII, Bandung 10-12-2008.
Seller, PJ. Dickinson RE, Randal DA, Betts KA, Hall FG, Berry JA, Collatz J,
Denning AS, Mooney A, Nobre HA et al. 1997. Modeling the Exchange of
Energy, Water and Carbon between Continents and the Atmosphere. Science
275:502-509.
Setiawan R. 2006. Model Neraca Energi untuk Perhitungan Leaf Area Indeks
(LAI) di Lahan Bervegetasi Menggunakan Data Citra Satelit. [Skripsi].
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Schneider D. Roberts DA. Kyriakidis PC. 2008. A VARI-Based Relative
Grenness from MODIS Data for Computing the Fire Potential Index. Remote
Sensing of Environment. 112(1):1151–1167.Doi:10.1016/J.Rse.2007.07.010.
Singh D. Evaluation Of Long-Term NDVI Time Series Derived From Landsat
Data Through Blending With MODIS Data. Atmósfera. 25(1):43-63.
Slaton MR, Hunt ER, Smith WK. Estimating Near-Infrared Leaf Reflectance
From Leaf Structural Characteristics. American Journal Of Botany. 88(2):
278–284.
Sobrino JA, Gomez M, Jimenez-Munoz JC, Olioso A. 2007. Applicantion of a
Simple Algorithm to Estimate Daily Evapotranspiration from NOAA-AVHRR
Images for The Liberiang Peninsula. Remote Sensing of Environment. 110(1);
139-148. ; Doi:10.1016/J.Rse.2007.02.013.
Sobrino JA, Gomez M, Jimenez-Munoz JC, Olioso A, Ghehebounic G. 2005. A
Simple Algorithm to Estimate Evapotranspiration from DAIS Data Application
to the DAISEX Compaigns. Journal of Hydrology. 315(1):117-125.
Doi:10.1016/J.Hydrol.2005.03.027.
Tang B, Li ZL. 2008. Estimation of Instantaneous Net Surface Longwave
Radiation from Modis Cloud-Free Data. Remote Sensing of Environment. 112:
3482-3492.Doi:10.1016/J.Rse. 2008.04.004.
Taha H. 1997. Urban Climates And Heat Islands: Albedo, Evapotranspiration,
And Anthropogenic Heat. Energy And Buildings. 25:99-103.
Trimmel H, Hagen K, Schari B, Erich MR, Scharf B, Weighs. 2013. The Influence
of Vegetation on Energy Balance within Urban Settlements. Vienna. University
of Natural Resources and Applied Life sciences.
Twine ET, Kucharik JC, Foley AJ. 2004. Effects of Land Cover Change on The
Energy and Water Balance of Mississippi River Basin. Journal of hydrology
vol 5. American Meteorology Society.
Utama w, Aini DN, Rekswanda GNW. 2012. Citra Satelit DEM dan Landsat
7+ETM dalam Analisis Patahan Manifestasi Geothermal Sebagai Tinjauan
Awal untuk Penentuan Eksplorasi Geomagnetik di Wilayah Tiris Probolinggo.
Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah. Surabaya.
ISSN 2301-6752.
Wallace MJ, Hobbs VP. 2006. Atmospheric Science. Amsterdam. Boston.
Heidelberg. London. New York. Oxford. Paris. San Diego. San Fransisco.
Singapore. Sydney. Tokyo: Elsevier Academic Press

22
Wang X, Zender CS. 2010. MODIS Snow Albedo Bias at High Solar Zenith
Angles Relative to Theory and to Insitu Observations in Greenland. Remote
Sensing of Environment. 114(1):563–575.Doi:10.1016/J.Rse.2009.10.014.
Weissa JL, Gutzlera DS, Coonrodb JEA, Dahmc CN. 2004. Seasonal and InterAnnual Relationships between Vegetation and Climate in Central New Mexico,
USA. Journal of Arid Environments. 57(1):507–534.Doi:10.1016/S01401963(03)00113-7.
Yonatan D. 2006. Studi Sebaran Titik Panas (Hotspot) Sebagai Indikator
Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Jambi Tahun 2000-2004. [Skripsi].
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

23
LAMPIRAN
Lampiran 1 ARVI dan NDVI
jenis tutupan lahan
Perkebunan Sawit 1

Indeks
ARVI

Min
0.3

Mod
0.85

Max
1

NDVI

0.07

0.4

0.46

ARVI

0.02

0.82

1

NDVI

0.15

0.4

0.47

ARVI

0.2

0.81

0.9

NDVI

0.14

0.34

0.43

Perkebunan Sawit 4

ARVI
NDVI

0.28
0.2

0.74
0.3

0.9
0.36

Perkebunan Karet

ARVI
NDVI

0.2
0.2

0.9
0.4

1
0.5

Pertambangan

ARVI
NDVI

0
-0.2

0.2
0.016

0.4
0.2

Perkotaan

ARVI
NDVI

-0.4
-0.3

-0.1
0

0.8
0.47

Taman Nasional Bukit
Tigapuluh

ARVI
NDVI

0.4
0.061

0.8
0.3

0.95
0.45

Taman Nasional Bukit
Duabelas

ARVI
NDVI

0.7
0.3

0.9
0.4

0.1
0.5

Taman Nasional
Kerinci

ARVI
NDVI

0.3
0

0.8
0.3

0.95
0.5

Taman Nasional Serbak

ARVI
NDVI

0.7
0.2

0.9
0.4

1
0.5

Perkebunan Sawit 2

Perkebunan Sawit 3

Hutan Harapan

ARVI
0.7
0.9
1
NDVI
0.26
0.