HAM2

Konteks “Indonesia” dalam Pandangan HAM Partikular Relatif
Penulis menggarisbawahi bahwa Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai HAM
sebagai negara yang konsen pada Rule of Law. Regulasi yang ada penulis berpikir bahwa
tidak menjadi hambatan pemberlakuan HAM di Indonesia dengan keberagaman suku, agama,
budayanya yang sangat mendominasi, konsep yang sudah jelas inilah yang seharusnya
menjadi pertimbangan penuh bagi pemerintah (negara), pegiat-pegiat HAM dan eleman
lainnya yang terkait dengan Human Right dalam menjalankan mata rantai yang tidak boleh
terputus/tersendat oleh suatu apapun. Namun pada hakikat yang seharusnya wajib dihormati
oleh negara pada rakyatnya (publik), maupun antara rakyat dengan rakyat sendiri (privat)
masih menyelipkan kepentingan kelompok atau golongan sehingga mendapat kendala yang
cukup rumit dalam pembuktian/pengungkapan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
HAM yang terasa Unik Nan Etnik di Indonesia inilah yang sangat banyak mengundang reaksi
dari kalangan-kalangan “luar” bahkan internasional sehingga mengganggu eksistensi
pemberlakuan HAM di Indonesia secara totalitas dan eksplisit. Untuk itu perlu keseriusan
dan keterlibatan semua kalangan baik aktivis, pegiat HAM, cendikia dan pemerintah agar kita
terbebas dari intervensi asing dalam proses dan pemberlakuan HAM di negara yang
berpenduduk 250 juta ini. Kombinasi dalam mengakomodir berbagai perbedaan diharapkan
mampu memberikan jawaban pasti sejauhmana substansi HAM sudah berjalan di Indonesia.
Nah, partikel-partikel instrumen HAM yang penulis maksud inilah yang seharusnya dapat
memperkokoh ruang gerak HAM partikular relatif sehingga keberagaman etnik, budaya, suku
dan agama tetap menjadi koredor pertimbangan dalam pemberlakuan HAM di Indonesia

yang terbingkai rapi dalam perspektif filosofis, sosiologis dan yuridis.
HAM bukanlah merupakan satu-satunya harga mati yang tidak memberikan pertimbangan
nilai tawar, tetapi harusnya HAM diberlakukan dengan aspek yang cukup dalam memberikan
rasa aman dari segala jenis pembatasan dan penindasan hak-hak dasar yang sangat
fundamental. Bagaimana para pemangku negeri ini memberikan jaminan terhadap warga

negaranya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menyuarakan hak-hak sipilnya
pada tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara.

BEBERAPA ISTILAH HAK ASASI MANUSIA
Accesion
tindakan suatu negara untuk menjadi negara peserta dalam suatu perjanjian internasional.
Misalnya, Indonesia menjadi negara anggota International Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination against Woman (CEDAW), Konvensi Internasional
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Anak
adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya (Pasal 1, UU No. 39 Th 1999 tentang HAM)
Civil and Political Rights

Hak-hak sipil dan politik. Hak warga negara atas kebebasan dan kesetaraan, adakalanya
disebut sebagai sebagai generasi pertama hak asasi manusia, antara lain meliputi hak untuk
beribadah, berfikir, berekspresi, memilih, berpartisipasi dalam kehidupan politik, dan
memperoleh informasi. Hal ini diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Politik
dan Sipil dan pada Pasal 1-21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Convention
Konvensi, sebuah istilah yang digunakan oleh PBB, yang mengindikasikan perjanjian dicapai
antara dua negara atau lebih, Konvensi HAM merupakan kesepakatan internasional yang
mengandung syarat untuk mengangkat atau melindungi satu HAM atau lebih atau kebebasan
yang asasi. Konvensi seperti ini biasanya depersiapkan oleh badan di dalam sistem PBB atau
konferensi khusus yang dibuat untuk tujuan tersebut dan dapat ditandatangani dan diratifikasi
oleh Negara-negara yang ada dalam konvensi. Sebuah konvensi menjadi memaksa bila telah
diratifikasi oleh sejumlah Negara yang disebutkan dalam salah satu pasalnya dan secara
hukum mengikat hanya bagi Negara-negara yang telah meratifikasinya.
Declaration
Deklarasi, intrumen yang formal dan hikmat, penetapan prinsip-prinsip yang sangat penting

dan awet. Sama seperti konvensi deklarasi yang diadopsi oleh organ-organ PBB mengikat
secara moral namun tidak legal terhadap semua Negara anggota; mereka menetapkan semua
prinsip dan standar internasional di mana semua negara diharapkan mematuhinya. Dalam

hukum internasional, adalah pernyataan umum prinsip-prinsip yang walaupun tidak mengikat
secara legal, harus diperlakukan dengan otoritas yang besar.
Diskriminasi
adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan,
status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya (Pasal 1, UU No. 39 Th 1999 tentang HAM).
Economic, social and cultural rights.
Hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah satu dari dua kelas HAM yang diakui secara
internasional. Mereka menjamin bahwa bagi individu disediakan barang-barang dan
pelayanan secara sosial (seperti makanan, pelayanan kesehatan, asuransi sosial dan
pendidikan) dan perlindugan tertentu terhadap negara (terutaman dalam masalah keluarga).
Mereka dimasukan de dalam permufakatan Internasional untuk ekonomi, sosial dan budaya,
dan pasal 22-27 Deklarasi Universal HAM.
Hak Asasi Manusia
Adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum Pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1, UU No. 39 Th 1999
tentang HAM)

Kewajiban Dasar Manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan,
tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia (Pasal 1, UU No. 39 Th
1999 tentang HAM).
Komisi Nasional Hak Aasasi Manusia (Komnas HAM) adalah lembaga mandiri yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan
pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia (Pasal 1, UU
No. 39 Th 1999 tentang HAM).
Penyiksaan
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit

atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh
pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya
atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau
orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu
alasan rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh atas hasutan dari, dengan
persetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat publik (Pasal 1, UU No. 39 Th
1999 tentang HAM).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara baik sengaja
maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,

membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku (Pasal 1 UU No. 39 Th 1999 tentang HAM).
Ratification
Ratifikasi, tindakan internasional dimana negara memberikan persetujuannya untuk diikat
oleh ketentuan-ketentuan perjanjian. Dalam hukum internasional adalah keputusan oleh
negara pemerintahan untuk mematuhi perjanjian atau kesepakatan, seperti Konvensi atau
permufakatan, dan untuk terikat secara legal oleh prasyarat-prasyaratnya.
Reservation
Pernyataan unilateral, bagaiman pun frase atau namanya, yang dibuat oleh negara saat
meratifikasi atau menyetujui untuk terikat oleh ketentuan-ketentuan perjanjian dengan
maksud menghiraukan atau memodifikasi efek legal dari beberapa prasyarat dari perjanjian
dalam aplikasiya di Negara tersebut.
Derogable dan Non-Derogable Rights:
Istilah derogable rights diartikan sebagai hak-hak yang masih dapat ditangguhkan atau
dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu. Sementara itu
istilah non derogable rights maksudnya adalah ada hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan
atau dibatasi(dikurangi) pemenuhannya oleh negara, meskipun dalam kondisi darurat
sekalipun.

Dua kovenan penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yaitu Kovenan
tentang Hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(EKOSOSBUD)

·

non derogable rights ; Kovenan Hak SIPOL diantaranya memuat hak-hak seperti hak
hidup, hak bebas dari perbudakan dan penghambaan, hak untuk tidak dijadikan obyek dari
perlakuan penyiksaan-perlakuan atau penghukuman keji, hak untuk diperlakukan secara
manusiawi dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia, hak untuk mendapatkan
pemulihan menurut hukum, hak untuk dilindungi dari penerapan hukum pidana karena
hutang, hak untuk bebas dari penerapan hukum pidana yang berlaku surut, hak diakui sebagai
pribadi didepan hukum, kebebasan berpikir dan berkeyakinan agama.
Dengan demikian, tidak dibernarkan suatu negara manapun mengurangi, membatasi atau
bahkan mengesampaikan pemenuhan dari hak-hak di atas. Kalau toh pembatasan terpaksa
harus dilakukan, hanya dan bila hanya syarat-syarat komulatif yang ditentukan oleh Kovenan
tersebut dipenuhi oleh negara yang bersangkutan. Syarat komulatif yang dimaksud adalah
pertama: sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi
darurat yang mengancam kehidupan bernegara
kedua: penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras,

warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial,
dan ketiga pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada

·

Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB).
derogable rights ; Kovenan kedua, yaitu Kovenan Hak EKOSOSBUD, hak untuk bekerja,
hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan baik, hak untuk membentuk dan ikut dalam
organisasi, hak mendapatkan pendidikan, hak berpartisipasi dan berbudaya. Namun sama
halnya seperti hak SIPOL, penangguhan atau pembatasan juga diperketat yaitu dalam hal
pembatasan tersebut harus diatur oleh hukum dan dengan maksud semata-mata untuk
memajukan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis (Lihat Pasal 4
Kovenan Hak Ekososbud)
Oleh karena dua Kovenan di atas merupakan bagian dari The Internasional Bill of Rights
yang bersifat universal dan berlaku sebagai hukum yang mengikat semua negara, maka suatu
negara tidak bisa mengabaikan hak-hak warga negaranya hanya dengan dalih demi
melindungi kepentingan umum, tanpa adanya aturan yang sudah dinyatakan sebelumnya
dalam suatu UU yang berlaku efektif di negara tersebut. Terlebih lagi pemenuhan hak-hak
SIPOL, dimana jika salah satu atau dua syarat saja yang dijelaskan di atas terpenuhi, masih
belum cukup kuat untuk dijadikan dasar bagi negara melakukan pembatasan dan

penangguhan.
HAM secara hukum kodrati merupakan hak hak yang paling mendasar yang dimiliki dan
dibawa oleh manusia yang diberikan Tuhan YME sejak kita lahir.Jadi disini setiap individuindividu manusia memiliki kebebasan untuk bersikap dan bertingkah laku akan tetapi ada

batasan-batasan dan larangan tertentu yang harus dipatuhi oleh semua manusia.Landasan
yang mengatur mengenai pembatasan dan larangan HAM diatur dalam UU RI NOMOR 39
TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA. Misalnya pada pasal 73 berbunyi “Hak
dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum,
dan kepentingan negara “Pembatasan yang dimaksud dalam pasal ini tidak berlaku terhadap
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non derogable rights) dengan memperhatikan
penjelasan pasal 4 dan pasal 9. Yang dimaksud dengan kepentingan bangsa ialah untuk
keutuhan bangsa dan bukan merupakan kepentingan penguasa.
Pasal 74 berbunyi “Tidak satu ketentuanpun dalam undang-undang ini boleh diartikan bahwa
pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau
menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang
ini.”. Ketentuan dalam pasal ini menegaskan bahwa siapapun tidak dibenarkan mengambil
keuntungan sepihak dan atu mendatangkan kerugian pihak lain dalam mengartikan ketentuan
dalam undang-undang ini, sehingga mengakibatkan berkurangnya dan atau hapusnya hak

asasi manusia yang dijamin oleh undang-undang ini.
Perlu kita ketahui yang dimaksud dengan “ dalam keaadaa apapun” termasuk keadaan
perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap Hak
Asasi Manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Setiap orang
berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang
terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa, yaitu demi kepentingan hidup
ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati,
maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, maka dapat
diizinkan. Hanya pada 2 (dua) hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.

Perbedaan Penafsiran Terhadap Unsur-Unsur Pelanggaran HAM Berat
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan YME dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan oleh setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia. Meskipun secara
konstitusional dalam UUD 1945 hasil amandemen telah ada pengakuan, jaminan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, dalam implementasinya perlu didukung oleh

berbagai perangkat perundang-undangan lainnya agar pengakuan, jaminan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia dapat berlaku secara efektif. Melalui UU Nomor
31 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan
atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku dapat mengadukan permasalahannya kepada
aparat yang berwenang. Dalam menilai peristiwa atau kejadian konkrit dapat terjadi
perbedaan pendapat apakah kejadian atau peristiwa itu dapat dikualifikasi sebagai
pelanggaran HAM atau pelanggaran HAM berat yang harus di adili di Pengadilan HAM
atau cukup di periksa di peradilan umum atau peradilan militer. Rumusan delik
pelanggaran HAM Berat dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
berasal dari ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma 1998 yang kualifikasi
perbuatannya memiliki hal-hal yang bersifat spesifik yang membedakannya dengan tindak
pidana umum. Dalam hal tindak pidana pembunuhan (murder), perampasan kemerdekaan
(imprisonment), penyiksaan (torture) dan perkosaan (rape), maka untuk dapat
dikatagorikan sebagai pelanggaran HAM berat berupa “crime against humanity” harus

mengandung elemen bahwa perbuatan tersebut “committed as a part of widespread or
systemic attact directed against any civilian population”. (Art. 7 International Criminal
Court, 1998). Disinilah perbedaan penafsiran di kalangan para penegak hukum dan juga
para politisi di pemerintahan dan DPR dapat muncul dalam menyikapi suatu kejadian
konkrit yang terjadi di masyarakat.

Hak Konstitusional Perempuan dan Penegakannya
Hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang
dijamin dalam UUD 1945 berlaku bagi setiap warga negara Indonesia. Hal itu dapat dilihat

dari perumusannya yang menggunakan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, “tiaptiap warga negara”, atau ‘setiap warga negara”, yang menunjukkan bahwa hak konstitusional
dimiliki oleh setiap individu warga negara tanpa pembedaan, baik berdasarkan suku, agama,
keyakinan politik, ataupun jenis kelamin. Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk setiap
warga negara bagi laki-laki maupun perempuan.
Bahkan UUD 1945 juga menegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dengan demikian, jika terdapat ketentuan atau
tindakan yang mendiskriminasikan warga negara tertentu, hal itu melanggar hak asasi
manusia dan hak konstitusional warga negara, dan dengan sendirinya bertentangan dengan
UUD 1945. Oleh karena itu setiap perempuan Warga Negara Indonesia memiliki hak
konstitusional sama dengan Warga Negara Indonesia yang laki-laki. Perempuan juga
memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif berdasarkan karena statusnya
sebagai perempuan, ataupun atas dasar perbedaan lainnya. Semua hak konstitusional yang
telah diuraikan sebelumnya merupakan hak konstitusional setiap perempuan Warga Negara
Indonesia.
Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara harus dilakukan sesuai dengan
kondisi warga negara yang beragam. Realitas masyarakat Indonesia menunjukkan adanya
perbedaan kemampuan untuk mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan
oleh negara. Perbedaan kemampuan tersebut bukan atas kehendak sendiri kelompok tertentu,
tetapi karena struktur sosial yang berkembang cenderung meminggirkannya.
Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang dilakukan tanpa memperhatikan
adanya perbedaan tersebut, dengan sendirinya akan mempertahankan bahkan memperjauh
perbedaan tersebut. Agar setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama dan dapat
memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional yang sama pula, diperlukan
perlakuan khusus terhadap kelompok tertentu. Hanya dengan perlakuan khusus tersebut,
dapat dicapai persamaan perlakuan dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional
setiap warga negara. Oleh karena itu, UUD 1945 menjamin perlakuan khusus tersebut
sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama. Pasal 28H Ayat (2)
menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

Salah satu kelompok warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus
adalah perempuan. Tanpa adanya perlakuan khusus, perempuan tidak akan dapat mengakses
perlindungan dan pemenuhan hak konstitusionalnya karena perbedaan dan pembedaan yang
dihasilkan dan dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarkis.Perlindungan dan
pemenuhan hak konstitusional tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan cenderung
mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu mencapai keadilan.
Pentingnya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan melalui perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
juga telah diakui secara internasional. Bahkan hal itu diwujudkan dalam konvensi tersendiri,
yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women
(CEDAW). Penghapusan diskriminasi melalui pemajuan perempuan menuju kesetaraan
jender bahkan dirumuskan sebagai kebutuhan dasar pemajuan hak asasi manusia dalam
Millenium Development Goals (MDGs). Hal itu diwujudkan dalam delapan area upaya
pencapaian MDGs yang diantaranya adalah; mempromosikan kesetaraan jender dan
meningkatkan keberdayaan perempuan, dan meningkatkan kesehatan ibu. Rumusan tersebut
didasari oleh kenyataan bahwa perempuan mewakili setengah dari jumlah penduduk dunia
serta sekitar 70% penduduk miskin dunia adalah perempuan.
Pada tingkat nasional upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dan mencapai
kesetaraan jender telah dilakukan walaupun pada tingkat pelaksanaan masih membutuhkan
kerja keras dan perhatian serius. CEDAW telah diratifikasi sejak 1984 melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984. Upaya memberikan perlakuan khusus untuk mencapai
persamaan jender juga telah dilakukan melalui beberapa peraturan perundang-undangan, baik
berupa prinsip-prinsip umum, maupun dengan menentukan kuota tertentu. Bahkan, untuk
memberikan perlindungan terhadap perempuan yang sering menjadi korban kekerasan, telah
dibentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
Tantangan penegakan hak konstitusional warga negara dengan sendirinya juga merupakan
tantangan bagi penegakan hak konstitusional perempuan. Di sisi lain, karena perbedaan yang
ada dalam masyarakat, tantangan penegakan hak konstitusional bagi perempuan tentunya
lebih berat dan memerlukan perlakuan-perlakuan khusus. Penegakan hak konstitusional
perempuan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 tentu harus melibatkan semua komponen
bangsa, baik lembaga dan pejabat negara maupun warga negara, baik perempuan maupun
laki-laki. Ketentuan konstitusional tersebut diwujudkan melalui seperangkat aturan hukum

dan kebijakan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Oleh karena itu upaya penegakan hak
konstitusional harus dilakukan baik dari sisi aturan, struktur, maupun dari sisi budaya.
Disamping ketentuan-ketentuan hukum yang telah memberikan perlakuan khusus terhadap
perermpuan, atau paling tidak telah disusun dengan perspektif kesetaraan jender, tentu masih
terdapat peraturan perundang-undangan yang dirasakan bersifat diskriminatif terhadap
perempuan, atau paling tidak belum sensitif jender. Apalagi hingga saat ini masih banyak
berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Untuk itu upaya identifikasi dan inventarisasi harus dilakukan yang diikuti
dengan penataan dan penyesuaian berdasarkan UUD 1945 pasca perubahan. Hal itu dapat
dilakukan dengan mendorong dilakukannya legislatif review kepada pembentuk undangundang atau melalui mekanisme judicial review. Terkait dengan wewenang Mahkamah
Konstitusi, setiap perempuan Warga Negara Indonesia yang merasa hak konstitusionalnya
dirugikan oleh suatu undang-undang, atau tidak mendapat perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan,
tentu dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang tersebut terhadap UndangUndang Dasar kepada Mahkamah Konstitusi.
Selain dari sisi substansi aturan hukum, tantangan yang dihadapi adalah dari struktur
penegakan hukum dan konstitusi. Untuk mencapai perimbangan keanggotaan DPR dan
DPRD misalnya, tidak cukup dengan menentukan kuota calon perempuan sebanyak 30%
yang diajukan oleh setiap partai politik. Ketentuan tentang kuota itu tentu harus menjamin
bahwa tingkat keterwakilan perempuan di parlemen akan semakin besar. Padahal, saat ini
jumlah anggota DPR perempuan baru 11 persen, di DPD 21%. Bahkan jumlah pegawai
negeri sipil eselon I yang perempuan hanya 12,8%. Untuk itu, perlu dirumuskan mekanisme
yang dapat menjamin keterwakilan perempuan di sektor publik semakin meningkat di masa
mendatang.
Tantangan di bidang struktur penegak hukum juga diperlukan misalnya terkait dengan proses
hukum dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebagai korban atau saksi, perempuan
memerlukan kondisi tertentu untuk dapat memberikan keterangan dengan bebas tanpa
tekanan. Untuk itu proses perkara, mulai dari penyelidikan hingga persidangan perlu
memperhatikan kondisi tertentu yang dialami perempuan. Misalnya saat dilakukan
penyidikan, perempuan korban kekerasan tentu membutuhkan ruang tersendiri, apalagi jika
kekerasan tersebut adalah kekerasan seksual yang tidak semua perempuan mampu

menyampaikannya secara terbuka. Demikian pula terkait dengan persidangan yang
membutuhkan jaminan keamanan baik fisik maupun psikis.
Yang tidak kalah pentingnya dalam upaya menegakan hak konstitusional perempuan, adalah
menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi terutama yang terkait dengan hak konstitusional
perempuan. Hal ini semakin penting karena kendala yang dihadapi selama ini memiliki akar
budaya dalam masyarakat Indonesia. Akar budaya tersebut melahirkan dua hambatan,
pertama, adalah dari sisi perempuan itu sendiri; dan kedua, dari masyarakat secara umum.
Walaupun telah terdapat ketentuan yang mengharuskan mempertimbangkan prinsip
kesetaraan jender dalam pimpinan partai politik misalnya, namun hal itu sulit dipenuhi salah
satunya karena sedikitnya perempuan yang aktif di dunia politik. Demikian pula dengan
pemenuhan kuota 30% dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD oleh partai politik.
Sebaliknya, sering pula terjadi, seorang perempuan yang layak dipilih atau diangkat untuk
jabatan tertentu, namun tidak dipilih atau diangkat karena dinilai perempuan mempunyai
kelemahan tertentu dibanding laki-laki.
Hal itu menunjukkan bahwa adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin
pelaksanaan hak konstitusional perempuan tidak cukup untuk memastikan tegaknya hak
konstitusional tersebut. Peraturan perundang-undangan harus diikuti dengan adanya
penegakan hukum yang sensitif jender serta yang tidak kalah pentinganya adalah perubahan
budaya yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Untuk mengubah nilai budaya
tertentu bukanlah hal yang mudah, bahkan tidak dapat dilakukan dengan paksaan hukum.
Cara yang lebih tepat adalah dengan merevitalisasi nilai budaya setempat merefleksikan
pengakuan terhadap hak-hak perempuan sehingga dapat dengan mudah diterima oleh
masyarakat.

Dokumen yang terkait