Hama Gudang Ordo Coleoptera Pada Bahan Baku Pakan Ternak Impor Dan Status Resistensi Terhadap Fosfin

HAMA GUDANG ORDO COLEOPTERA
PADA BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IMPOR
DAN STATUS RESISTENSINYA TERHADAP FOSFIN

INDAH DARSILAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Hama Gudang Ordo
Coleoptera pada Bahan Baku Pakan Ternak Impor dan Status Resistensinya
terhadap Fosfin adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Indah Darsilawati
A351130364

RINGKASAN
INDAH DARSILAWATI. Hama Gudang Ordo Coleoptera pada Bahan Baku
Pakan Ternak Impor dan Status Resistensi terhadap Fosfin. Dibimbing oleh
IDHAM SAKTI HARAHAP dan HERMANU TRIWIDODO.
Masuknya serangga hama gudang, khususnya strain yang resisten terhadap
fosfin, melalui impor bahan baku pakan ternak dari negara tertentu akan
memperumit permasalahan hama dalam industri pakan ternak di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan melakukan inventarisasi serangga hama gudang pada
komoditi impor bahan baku pakan di lima perusahaan pakan ternak yang berada di
bawah wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon dan menguji
resistensi Tribolium castaneum, yang merupakan hama utama pada bahan baku

pakan ternak, terhadap fosfin.
Inventarisasi serangga hama gudang ordo Coleoptera dilaksanakan dengan
mengoleksi serangga hama gudang yang ikut terambil saat pengambilan contoh
komoditi bungkil kedelai dan biji jagung di setiap lokasi gudang tempat
penelitian. Contoh komoditi ini diambil secara sistematik menggunakan probe
pada setiap gudang bahan baku dan pengkoleksian dilakukan sebanyak tiga kali
dengan interval satu minggu. Pengujian resistensi imago T. castaneum terhadap
fosfin dilakukan menggunakan metode FAO tahun 1980. Data hasil penelitian ini
kemudian dielaborasi dengan data sekunder Badan Karantina Pertanian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangga hama gudang yang
ditemukan adalah T. castaneum, Cryptolestes ferrugineus, Sitophilus zeamays,
Alphitobius diaperinus, dan Oryzaephilus surinamensis. Berdasarkan data
intersepsi, keanekaragaman spesies serangga hama gudang pada bahan baku
pakan ternak dari India lebih tinggi daripada negara lainnya. Faktor resistensi
(RF) untuk T. castaneum bervariasi antara 3 sampai 33 kali.
Katakunci: inventarisasi, keanekaragaman, T. castaneum, faktor resistensi,
wilayah kerja BKP Kelas II Cilegon

SUMMARY
INDAH DARSILAWATI. Stored-product Pests of Imported Raw Feed and Its

Resistance to Phosphine. Supervised by IDHAM SAKTI HARAHAP and
HERMANU TRIWIDODO.
Introduction of stored-product pests, especially phosphine resistant strains,
through the importation of feed raw materials from certain countries, will
complicate pest problems in feed industries in Indonesia. The objectives of this
study were to invent stored-product pests in imported commodities of five feed
factories in Cilegon Quarantine Agency working area and to test phosphine
resistant of Tribolium castaneum, the major pest of raw feed materials.
Inventory survey was conducted three times with one-week interval in five
feed factory facilities by sampling of corn meals and soybean meals. In each feed
factory facilities, five samples were sistematically taken. Resistance test of
T. castaneum against phosphine were conducted using the method developed by
FAO (1980). All the results then compared with secondary data extracted from
documents of Indonesian Agricultural Quarantine Agency.
The results showed that insect pests found were T. castaneum,
Cryptolestes ferrugineus, Sitophilus zeamays, Alphitobius diaperinus, and
Oryzaephilus surinamensis. Among the countries of origin for those pests, India
had the most diverse of insect pests found. Resistance factors (RF) for
T. castaneum were varied beetween 3 – 33 times.
Keywords : inventory, diversity, T. castaneum, resistance factor,

Quarantine Agency

Cilegon

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

xii

HAMA GUDANG ORDO COLEOPTERA
PADA BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IMPOR
DAN STATUS RESISTENSINYA TERHADAP FOSFIN


INDAH DARSILAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

vi

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Dadang, MSc

viii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
dengan judul Hama Gudang Ordo Coleoptera pada Bahan Baku Pakan Ternak
Impor dan Status Resistensinya terhadap Fosfin. Penelitian ini bertujuan untuk
menginventarisasi spesies serangga gudang ordo Coleoptera yang ada pada
gudang pakan ternak dan menguji resistensi imago hama utama,
Tribolium castaneum, yang ditemukan di gudang pakan ternak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir Banun Harpini, MSc selaku
Kepala Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan
beasiswa, Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi dan Dr Ir Hermanu Triwidodo, MSc
selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya dalam penelitian dan
penulisan tesis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Pudjianto, MSi dan
Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku Ketua Program studi. Di samping
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof Dr Bambang Purwantara selaku
Direktur Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology, Drh Bambang
Haryanto, MM selaku Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon,
Ir Iyus Hidayat, MP selaku Kasi KT BKP Kelas II Cilegon, dan seluruh staf BKP
Kelas II Cilegon atas bantuannya selama penelitian di BKP Kelas II Cilegon, serta
Ibu Wiwid dan Bapak Eeng atas bantuannya selama penelitian di SEAMEO

BIOTROP. Rasa hormat dan ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
abah, ibu, suami dan anak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkannya.
Bogor, Juni 2015
Indah Darsilawati

xii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA

Bahan Baku Pakan Ternak
Inventarisasi Hama Gudang Ordo Coleoptera
Tribolium castaneum Herbst
Fosfin
Resistensi Hama Gudang terhadap Fumigasi Fosfin
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan
Alat
Bahan
Metode Penelitian
Studi data sekunder Badan Karantina Pertanian
Inventarisasi serangga hama gudang di gudang pakan ternak
Pengujian resistensi Tribolium castaneum terhadap fosfin
di laboratorium
Pemeliharaan serangga uji
Persiapan pengujian
Pelaksanaan fumigasi
Pengujian resistensi
Analisa data pengujian resistensi

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Serangga Hama Gudang yang Terbawa Bahan Baku Pakan
Ternak Impor
Inventarisasi Serangga Hama Ordo Coleoptera di Gudang Pakan
Ternak
Pengujian Resistensi Tribolium castaneum terhadap Fosfin di
Laboratorium
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xi
xi
xii
1
1
2
2

2
3
3
5
6
7
8
10
10
10
10
10
10
10
11
11
11
11
12
12

12
13
13
16
20
26
26
26
27
31

x

DAFTAR TABEL
1
2

Volume (ton) biji jagung dan bungkil kedelai impor Indonesia
Volume dan frekuensi impor bahan baku pakan ternak biji jagung dan
bungkil kedelai yang melalui pelabuhan di BKP Kelas II Cilegon tahun
2010-2013
3 Persyaratan mutu biji jagung sebagai bahan baku pakan ternak
4 Persyaratan mutu bungkil kedelai sebagai bahan baku pakan ternak
5 Deskripsi fumigan fosfin
6 Bahan baku pakan ternak yang masuk ke Indonesia dan hasil intersepsi
laboratorium sejak tahun 2011-2013
7 Hasil inventarisasi hama gudang ordo Coleoptera dan populasinya
dalam 1 Kg contoh komoditi yang ditemukan di lima gudang pakan
ternak selama pengamatan
8 Intersepsi laboratorium BKP Kelas II Cilegon pada komoditi biji jagung
dan bungkil kedelai dari berbagai negara dari tahun 2010-2013 di lima
gudang pakan ternak impor
9 Persentase mortalitas imago T.castaneum setelah pemaparan 20 jam gas
fosfin di laboratorium pada 14 hari setelah aerasi
10 Faktor resistensi imago T. castaneum setelah 14 hari dari kegiatan
aerasi pemaparan fosfin selama 20 jam
11 Persamaan garis regresi dan korelasi antara mortalitas imago
T. castaneum terhadap konsentrasi fosfin pada gudang bahan baku
pakan ternak

3

3
4
5
7
13

18

21
22
22

23

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Imago Tribolium castaneum Herbst
Alat untuk menghasilkan gas fosfin
Bungkil kedelai dan biji jagung impor dari berbagai negara pada
kelima gudang pakan ternak sejak tahun 2010-2013
Imago Cryptolestes ferrugineus
Imago Tribolium castaneum
Imago jantan Sitophilus zeamays
Imago Alphitobius diaperinus
Imago Oryzaephilus surinamensi
Respon mortalitas T. castaneum dari lima gudang bahan baku pakan
ternak terhadap beberapa konsentrasi fosfin dengan pemaparan 20 jam

6
11
14
16
16
17
17
18
22

xii

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13

14

15

16

Penghitungan volume gas fosfin aktual yang akan diaplikasikan dari
phosphin 56% ke dalam tabung desikator fumigasi ukuran 2 liter
Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari
gudang pakan ternak P1 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam
Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari
gudang pakan ternak P2 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam
Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari
gudang pakan ternak P3 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam
Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari
gudang pakan ternak P4 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam
Analisis ragam persentase mortalitas imago T. castaneun dari
gudang pakan ternak P5 setelah pemaparan fosfin selama 20 jam
Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap
fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P1
Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap
fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P2
Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap
fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P3
Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap
fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P4
Hasil analisis probit pengujian resistensi T. castaneum terhadap
fosfin dengan pemaparan 20 jam pada gudang pakan ternak P5
Hasil analisis regresi respon mortalitas T. castaneum dari gudang
bahan baku pakan ternak P1 terhadap beberapa konsentrasi fosfin
dengan pemaparan 20 jam
Hasil analisis regresi respon mortalitas T. castaneum dari gudang
bahan baku pakan ternak P2 terhadap beberapa konsentrasi fosfin
dengan pemaparan 20 jam
Hasil analisis regresi respon mortalitas T. castaneum dari gudang
bahan baku pakan ternak P3 terhadap beberapa konsentrasi fosfin
dengan pemaparan 20 jam
Hasil analisis regresi respon mortalitas T. castaneum dari gudang
bahan baku pakan ternak P4 terhadap beberapa konsentrasi fosfin
dengan pemaparan 20 jam
Hasil analisis regresi respon mortalitas T. castaneum dari gudang
bahan baku pakan ternak P5 terhadap beberapa konsentrasi fosfin
dengan pemaparan 20 jam

33
34
34
34
34
34
35
36
37
38
39

40

41

42

43

44

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tumbuhnya industri peternakan unggas nasional yang semakin meningkat
membutuhkan pasokan bahan baku pakan yang berkesinambungan dengan mutu
yang memenuhi syarat. Bahan baku yang memiliki peranan penting dalam
produksi pakan ternak unggas antara lain biji jagung sebesar 50-55% dan soya
bean meal/bungkil kedelai sebesar 25-30% (Medion 2013). Sampai saat ini
Indonesia belum dapat memproduksi soya bean meal sehingga bahan pakan ini
masih 100% diimpor untuk memenuhi kebutuhan pabrik pakan (Maksum 2013).
Hal ini menyebabkan perusahaan-perusahaan pakan ternak melakukan impor
untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industrinya.
Bahan baku pakan ternak yang masuk ke negara Indonesia membuka
peluang masuknya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dari negara lain, baik
berupa organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) atau OPT yang sudah
ada di Indonesia tetapi dengan strain yang berbeda. Untuk pencegahan resiko ini
maka salah satu tindakan yang sering dilakukan yaitu perlakuan fumigasi fosfin
terhadap biji jagung dan bungkil kedelai sebelum komoditi tersebut dikirim ke
Indonesia. Perlakuan fumigasi yang dilakukan sebagai tindakan karantina dan
kegiatan pengendalian serangga hama yang rutin di gudang diduga dapat
berpengaruh terhadap sifat genetik populasi serangga hama yang ada di gudang
tersebut terutama responnya terhadap fosfin.
Fumigasi fosfin untuk perlakuan hama gudang yang terdapat pada produk
biji-bijian yang disimpan mengalami peningkatan sejak adanya perjanjian
internasional untuk phasing out penggunaan metil bromida. Saat ini fosfin adalah
satu-satunya fumigan yang dapat digunakan pada bahan pangan dan pakan. Fosfin
mempunyai beberapa keunggulan antara lain: merupakan senyawa yang sangat
beracun; tidak mempengaruhi atau memiliki efek terhadap aroma, warna dan cita
rasa terhadap komoditas yang difumigasi; dan penyerapan oleh produk rendah
(Barantan 2007). Hal ini yang menyebabkan ketergantungan industri pangan dan
pakan terhadap fosfin sebagai fumigan. Penggunaan jangka panjang fumigan
tunggal dapat meningkatkan resiko pengembangan resistensi serangga terhadap
fosfin (Benhalima et al. 2004).
Di beberapa negara sudah dilaporkan terjadinya resistensi hama gudang
terhadap fosfin. Resistensi Tribolium castaneum Herbst (Coleoptera:
Tenebrionidae), Rhyzopertha dominica Fabricius (Coleoptera: Bostrichidae) dan
Oryzaephilus surinamensis Linnaeus (Coleoptera: Cucujidae) terhadap fosfin
telah terjadi di Brazil (Pimentel et al. 2010); T. castaneum, Sitophilus oryzae
Linnaeus (Coleoptera: Curculionidae), R. dominica, O. surinamensis dan
Cryptolestes spp. di India (Rajendran 2007). Selain itu, pemakaian fosfin telah
menyebabkan terjadinya resistensi pada T. castaneum dan R. dominica di USA
(Opit et al. 2012). Resistensi yang tinggi terhadap fosfin pada sejumlah spesies
hama gudang di beberapa negara asal komoditi impor diduga dapat
mempengaruhi tingkat resistensi serangga hama gudang yang ada di Indonesia
kalau terjadi perkawinan di antara mereka. Oleh sebab itu perlu dilakukan

2
pengujian resistensi fosfin terhadap beberapa serangga hama gudang di beberapa
gudang bahan baku pakan ternak.
Perumusan Masalah
Kewajiban untuk mengurangi pemakaian metil bromida secara bertahap
sebagaimana diatur dalam Protokol Montreal, menyebabkan penggunaan fosfin
semakin meningkat. Peningkatan penggunaan fosfin untuk mengendalikan
serangga hama gudang menyebabkan perubahan keragaman genetik pada
serangga-serangga hama gudang tersebut dan beberapa serangga hama gudang di
beberapa negara diketahui sudah mengalami resistensi yang tinggi terhadap fosfin.
Kegiatan perdagangan antar negara yang semakin tinggi juga meningkatkan
resiko berpindahnya serangga hama gudang yang resistensi tinggi terhadap fosfin
masuk ke suatu negara yang resistensi serangga hamanya rendah. Resistensi yang
tinggi terhadap fosfin pada sejumlah spesies hama gudang di beberapa negara
dapat mempengaruhi tingkat resistensi serangga hama gudang yang ada di
Indonesia kalau terjadi perkawinan di antara mereka.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menginventarisasi spesies serangga hama
gudang ordo Coleoptera yang ada pada bahan baku pakan ternak impor dan
menguji resistensi imago hama utama di gudang pakan, yaitu T. castaneum,
terhadap fosfin.
Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukannya penelitian ini yaitu mendapatkan informasi mengenai
keanekaragaman spesies serangga hama gudang ordo Coleoptera pada bahan baku
pakan ternak impor dan mendapatkan informasi mengenai status resistensi imago
hama utama, T. castaneum, terhadap fosfin.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Bahan Baku Pakan Ternak
Keberadaan bahan baku pakan ternak sangat penting dalam keberhasilan
usaha peternakan unggas. Biji jagung dan bungkil kedelai merupakan bahan baku
utama untuk membuat pakan ternak unggas. Ketersediaan biji jagung dan bungkil
kedelai secara berkesinambungan dengan mutu yang memenuhi persyaratan
sebagai bahan baku pakan ternak semakin penting seiring dengan pertumbuhan
industri peternakan unggas yang semakin tinggi. Banyaknya biji jagung dan
bungkil kedelai impor berdasarkan data Badan Pusat Statistik menunjukkan
adanya kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun (Tabel 1).
Tabel 1 Volume (ton) biji jagung dan bungkil kedelai impor Indonesia
2009

2010

Tahun
2011

333 932.26

1 500 941.03

3 144 420.85

1 687 825.33

3 180 660.68

2 330 401.83 2 873 208.46

2 943 371.22

3 481 216.83

3 510 140.30

Komoditi
Biji
jagung
Bungkil
kedelai

2012

2013

Sumber: www.bps.go.id (2014)

Berdasarkan data Badan Karantina Pertanian (2014), komoditi impor biji
jagung dan bungkil kedelai yang masuk melalui Balai Karantina Pertanian (BKP)
Kelas II Cilegon tahun 2010-2013 juga menunjukkan kecenderungan yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kecenderungan peningkatan ini dapat
dilihat dari aspek volume dan frekuensinya (Tabel 2).
Tabel 2 Volume dan frekuensi impor bahan baku pakan ternak biji jagung dan
bungkil kedelai yang melalui pelabuhan di BKP Kelas II Cilegon tahun
2010-2013
Tahun

Komoditi

2010

Biji jagung
Bungkil kedelai
Biji jagung
Bungkil kedelai
Biji jagung
Bungkil kedelai
Biji jagung
Bungkil kedelai

2011
2012
2013

Sumber : Barantan (2014)

Berat (ton)
729 980.92
911 798.26
1 223 275.83
963 590.87
992 059.71
1 059 238.59
1 548 764.29
1 116 478.29

Frekuensi
114
305
192
301
219
376
388
350

4
Biji jagung merupakan sumber energi utama untuk ternak unggas sehingga
biji jagung ini merupakan bahan pakan utama dalam campuran bahan pakan
ternak. Tingginya kandungan energi biji jagung ini berkaitan dengan kandungan
karbohidrat atau pati yang tinggi (>60%). Disamping itu biji jagung mempunyai
kandungan serat kasar yang relatif rendah sehingga cocok untuk pakan ayam
(Maksum 2013).
Kurangnya pasokan dari produksi jagung dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan industri pakan ternak di Indonesia membuat para pengusaha pakan
ternak melakukan impor biji jagung tersebut dari beberapa negara. Importasi
jagung selama ini sebagian besar berasal dari Argentina, Brazil, Amerika Serikat
dan India. Persyaratan mutu biji jagung untuk pakan berdasarkan SNI (1998)
terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3 Persyaratan mutu biji jagung sebagai bahan baku pakan ternak
No
1
2
3
4
5
6

7
8
9
10

Komposisi
Kadar air (maksimal)
Kadar protein kasar (minimum)
Kadar serat kasar (maksimal)
Kadar abu (maksimal)
Kadar lemak (minimun)
Mikotoksin :
a Aflatoksin (maksimal)
b Okratoksin (maksimal)
Butir rusak (maksimal)
Warna lain (maksimal)
Benda asing (maksimal)
Kepadatan (maksimal)

Persyaratan
14 %
7.5%
3 %
2 %
3 %
50
5
5
5
2
700

ppb
ppb
%
%
%
g/cm3

Sumber : SNI 01-4483-1998.; ppb: parts per billion

Bahan baku pakan ternak lainnya yang berperan penting sebagai sumber
protein nabati adalah Soya bean meal/bungkil kedelai. Bungkil kedelai merupakan
produk sampingan dari proses pengolahan minyak kedelai. Dalam proses
pembuatan minyak kedelai, yang diambil hanyalah sedikit bagian dari kedelai dan
sisanya diolah menjadi bentuk bungkil dengan menggiling ampas kedelai yang
dihasilkan menjadi bubuk kasar yang kita kenal dengan Soya bean meal/bungkil
kedelai.
Bungkil kedelai mengandung protein kasar yang lebih tinggi (44-45%)
dibandingkan pakan dari biji-bijian pada umumnya. Konsistensi kandungan
nutrisi dan ketersediaannya sepanjang tahun membuat bungkil kedelai menjadi
produk unggulan (Maksum 2013). Persyaratan mutu bungkil kedelai untuk pakan
berdasarkan SNI (1996) terdapat pada Tabel 4.

5
Tabel 4 Persyaratan mutu bungkil kedelai sebagai bahan baku pakan ternak
No
1
2
3
4
5
6
7
8

Komposisi
Kadar air (maksimal)
Kadar protein kasar (minimum)
Kadar serat kasar (maksimal)
Kadar abu (maksimal)
Kadar lemak (minimun)
Kandungan Ca
Kandungan P
Kandungan Aflatoksin (maksimal)

Persyaratan
Mutu I

12 %
46 %
6.5%
7 %
3.5%
0.2 - 0.4%
0.5 - 0.8%
50 ppb

Mutu II
12 %
40 %
9 %
8 %
5 %

0.2 - 0.4%
0.5 - 0.8%
50 ppb

Sumber : SNI 01-4227-1996; ppb: parts per billion

Inventarisasi Hama Gudang Ordo Coleoptera
Ordo Coleoptera merupakan ordo yang terbesar pada kelas insekta dan
mempunyai sekitar 40% spesies dari jumlah spesies yang sudah diketahui di kelas
insekta ( Borror et al 1996). Serangga hama gudang ordo Coleoptera yang bersifat
primer maupun sekunder sering ditemukan pada bahan baku pakan ternak yang
disimpan di gudang penyimpanan, terbawa selama proses pengangkutan, atau
industri pengolahan. Serangga ini dapat merusak kualitas maupun kuantitas dari
bahan baku pakan ternak tersebut.
Serangga hama gudang ini tersebar ke seluruh dunia, melalui komoditas
yang didistribusikan atau melalui sarana transportasi. Serangga ini kemudian
beradaptasi dengan lingkungan yang baru sebelum menetap di suatu daerah
tertentu. Sumber serangan serangga hama gudang dapat berasal dari penyimpanan
komoditas baru yang disimpan ditempat yang sama dengan komoditas yang sudah
terinfestasi atau serangga aktif terbang dan masuk ke dalam gudang penyimpanan
melalui ventilasi atau lubang-lubang kecil yang terdapat pada dinding dan atap
gudang (Harahap 2012).
Inventarisasi serangga hama ini dapat diperoleh secara langsung
menggunakan alat pengambil contoh biji-bijian; seperti probe, sekop, spear
sample, dan lain-lain atau menggunakan perangkap. Pendugaan kepadatan
populasi serangga di gudang penyimpanan dapat dilakukan melalui pendugaan
kepadatan absolut dan pendugaan kepadatan relatif. Pendugaan kepadatan
populasi absolut berdasarkan jumlah absolut serangga yang ikut tertangkap dalam
contoh komoditi yang diambil. Sedangkan pendugaan kepadatan populasi relatif
berdasarkan pada jumlah serangga yang masuk dalam perangkap dan pendugaan
ini lebih tergantung pada keefektifan alat (Subramanyam & Hagstrum 1996).
Pengumpulan dan penanganan spesimen serangga pada saat inventarisasi
dilakukan sebaik mungkin agar serangga yang didapatkan tidak rusak dan mudah
diidentifikasi (Mc Maugh 2007).
Keberadaan populasi spesies di suatu tempat sangat dipengaruhi oleh
kemampuan spesies tersebut beradaptasi terhadap faktor-faktor lingkungan yang

6
menjadi faktor pembatas pertumbuhan populasi spesies tersebut. Suatu komunitas
yang kondisi lingkungannya ekstrim untuk suatu spesies tertentu dan kondisi
lingkungan yang selalu mendapatkan gangguan secara rutin atau berkala
menyebabkan keragaman spesiesnya menjadi rendah akan tetapi kelimpahan
spesiesnya tinggi (Michael 1994)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan suatu populasi suatu spesies
dapat disebabkan oleh faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal
antara lain persaingan antara individu dalam satu populasi atau dengan spesies
lain, perubahan lingkungan kimia akibat adanya sekresi dan metabolisme,
kekurangan makanan, serangan predator/parasit/penyakit, emigrasi, faktor iklim
misalnya suhu dan kelembaban. Sedangkan faktor internal melibatkan perubahan
genetik dari populasi (Oka 1995).
Tribolium castaneum Herbst
T. castaneum (Coleoptera: Tenebrionidae) adalah salah satu hama
kosmopolit di gudang penyimpanan pada daerah hangat sampai panas. Warna
tubuh coklat kemerahan, panjang 3-4.5 mm, antena capitate dengan bendolan tiga
ruas. Mata facet dari samping terlihat seperti terbagi. Telur berwarna putih,
berukuran kecil, dan ditutupi cairan perekat yang menyebabkan partikel makanan
menempel dan menyebabkan telur sulit terlihat di antara partikel makanan. Larva
mempunyai bentuk compodeiform berwarna krem dengan kepala dan urogomphi
berwarna gelap (Rees 2007).
Siklus hidup sekitar 26 hari pada kondisi optimum; temperatur optimum
33°C dan RH 70%. Keperidian 400-500 butir telur, betina dapat hidup sekitar satu
tahun bahkan bisa mencapai lima tahun (Sauer 2008). Tidak dapat menyerang
biji-bijian utuh, tetapi menyebabkan kontaminasi pada bahan simpanan dalam
bentuk tubuh serangga mati, bekas ganti kulit, kotoran, maupun ekskresi
benzonguinones dalam bentuk cairan yang dapat menyebabkan perubahan warna
dan bau pada bahan simpanan (Hagstrum et al. 2012).
Serangga hama gudang sebagian besar dapat bertahan hidup pada sisa-sisa
bahan simpanan yang tercecer di lantai, sudut ruangan, atau tempat-tempat
tersembunyi lainnya seperti celah-celah atau retakan-retakan pada dinding dan
pintu gudang. T. castaneum merupakan salah satu serangga hama yang sering
ditemukan ditempat seperti itu (Harahap 2012).

Gambar 1 Imago Tribolium castaneum Herbst; (Sumber: www.cabi.org/cpc/
datasheet/54667, 2014)

7
Fosfin
Kewajiban untuk mengurangi pemakaian metil bromida secara bertahap
sebagaimana diatur dalam Protokol Montreal, menyebabkan fumigasi fosfin
banyak dipersyaratkan oleh negara tujuan ekspor untuk keperluan karantina
tumbuhan. Fumigasi fosfin maupun aplikasi insektisida dalam bentuk
penyemprotan permukaan saat ini masih umum dan sering dilakukan di gudang
pakan ternak untuk mengendalikan serangga hama yang ada digudang tersebut.
Fumigasi fosfin masih dianggap sebagai cara utama untuk mengendalikan
serangga hama yang menyerang komoditi di gudang (Dadang 2012).
Sebelum pelaksanaan fumigasi fosfin perlu memperhatikan ketersediaan
waktu yang cukup untuk pelaksanaan fumigasi, kandungan air komoditas yang
akan difumigasi, jenis komoditas, dan jenis organisme pengganggu tumbuhan
yang menjadi sasaran. Toksisitas fosfin bergantung pada lamanya waktu
pemaparan, temperatur, konsentrasi dan spesies serangga. Spesies dan stadia
perkembangan serangga hama gudang juga mempengaruhi daya toksisitas fosfin.
Saat pelaksanaan fumigasi fosfin kita juga harus memperhatikan sifat-sifat fisik
maupun kimia fosfin (Tabel 5), untuk keefektifan dan keselamatan pekerja atau
orang-orang yang berada di sekitar lokasi fumigasi.
Tabel 5 Deskripsi fumigan fosfin
No
1
2
3
4
5

Deskripsi

10

Rumus kimia
Bau
Titik didih
Titik lebur
Gravity khusus
a Gas (udara = 1)
b Liquid (air 4°C = 1)
Titik ledakan
Kelarutan dalam air
Rekomendasi WHO/FAO
a Biji-bijian yang belum diolah
b Biji-bijian yang telah diolah
Efek pada serangga
a Telur
b Larva
c Pupa
d Dewasa
Waktu pemaparan (Exposure time)

11

Faktor konversi (g/m3 ke ppm)

6
7
8

9

Fosfin
PH3
Karbit/Bawang putih
87.4°C
133.5°C
1.214°
0.746-90
1.79% di udara
Sangat larut
0.1 ppm
0.01 ppm
Syaraf dan pernafasan
Lambat
Cepat
Lambat
Cepat
Minimal 5 x 24 jam atau sesuai spesifikasi
produk
730

Sumber: FAO (1969), Barantan (2007), Surahmat et al. (2012).; ppm: parts per million

8
Perlakuan fumigasi yang efektif memerlukan konsentrasi gas fumigan yang
cukup dan periode waktu tertentu saat proses fumigasi. Kaidah Haber menyatakan
bahwa perkalian antara konsentrasi dan waktu menghasilkan tingkat kematian
tertentu yang konstan. Kombinasi antara konsentrasi (C) dan waktu fumigasi (T)
biasanya disebut CT product. CT product yang terendah merupakan tingkat kritis
yang menentukan apakah serangga akan mati atau masih tetap hidup (Winks
1984). Daya kerja fosfin efektif pada konsentrasi yang rendah dan periode
pemaparan yang panjang. Fumigasi dengan konsentrasi fosfin yang tinggi dapat
menyebabkan respon narkosis serangga dan menyebabkan serangga hama yang
difumigasi terlindungi dari fosfin (Winks 1985). Naskosis merupakan suatu
keadaan dimana serangga tidak bergerak dan menutup spirakelnya sebagai usaha
untuk bertahan hidup walaupun terkadang serangga ini akhirnya juga mati
(Reichmuth 1989).
Perlakuan fumigasi harus dilaksanakan di ruang yang kedap gas dengan
konsentrasi fosfin minimum 200 ppm di pusat tumpukan komoditas yang harus
terjaga selama waktu papar gas fosfin. Untuk membunuh serangga hama yang
menyerang biji-bijian pada umumnya digunakan dosis 2 g fosfin/ton (Barantan
2007).
Resistensi Hama Gudang terhadap Fumigasi Fosfin
Fumigasi fosfin dapat membunuh hama melalui sistem pernafasan sehingga
daya bunuhnya bergantung pada aktifitas pernafasan. Pada serangga hama,
fumigan akan mempunyai daya bunuh yang efektif pada waktu serangga
mempunyai aktifitas pernafasan paling tinggi. Pupa dan telur merupakan fase
yang paling toleran terhadap fumigan karena aktifitas pernafasannya rendah.
Menurut Winks and Waterford (1986), stadia telur dan pupa lebih toleran terhadap
fosfin dibandingkan larva dan imago ketika waktu papar fumigasi yang digunakan
pendek.
Di beberapa negara sudah dilaporkan terjadinya resistensi beberapa hama
gudang terhadap fosfin. Hal ini beralasan karena fumigan fosfin sementara ini
merupakan fumigan yang di nilai mempunyai beberapa keunggulan sejak
dilarangnya penggunaan metil bromida.
Sifat resistensi dikendalikan oleh faktor genetik dan bersifat tidak bisa
kembali lagi menjadi serangga yang peka terhadap pestisida tertentu apabila suatu
serangga telah menunjukkan sifat resisten dalam waktu yang cukup lama. Evolusi
sifat resistensi dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu genetik, biologi, dan
teknik aplikasi. Melalui proses seleksi alami populasi serangga didominasi oleh
populasi yang memiliki gen yang resisten yang nantinya akan diturunkan pada
keturunannya, sedangkan populasi yang tidak memiliki gen dominan akan
terbunuh oleh pestisida dan menghilang dari populasi tersebut (Untung 1996).
FAO (1980) menyebutkan bahwa toleransi serangga gudang terhadap
fumigan dapat disebabkan karena kondisi pemaparan yang kurang baik, keadaaan
fisiologi dari serangga dan dosis yang kurang tepat. Beberapa faktor lain yang
mungkin dapat mempengaruhi resistensi adalah spesies, strain, stadia, umur,
ukuran, jenis kelamin, temperatur, kelembaban, ketersediaan makanan, jumlah
cahaya.

9
Serangga yang resisten tidak selalu menghasilkan keturunan yang resisten,
begitu pula sebaliknya. Persilangan antara serangga yang resisten dengan
serangga yang rentan menghasilkan keturunan yang resiten kuat dan strain
resisten lemah (Collin et al. 2000). Athie and Mills (2005) melaporkan bahwa gen
yang memiliki sifat resisten terhadap fosfin menunjukkan bahwa gen heterozigot
memiliki sifat resistensi yang lebih rendah dibandingkan gen homozigot.

10

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon (BKP
Kelas II Cilegon), Jl. Raya Transit Cikuasa Pantai Merak Cilegon, Banten dan
Laboratorium Entomologi Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology
(SEAMEO BIOTROP), Jl. Raya Tajur Km 6, Bogor.
Kegiatan inventarisasi serangga hama gudang ordo Coleoptera dilaksanakan
pada lima gudang pakan ternak di Wilayah Kerja BKP Kelas II Cilegon, dan oleh
karena alasan tertentu maka nama gudang pakan ternak yang menjadi lokasi
penelitian disingkat dengan gudang P1-P5.
Pengujian resistensi T. castaneum terhadap fosfin dilaksanakan di
Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP. Penelitian dilaksanakan dari
bulan Juni sampai Desember 2014.
Alat dan Bahan
Alat
Alat yang digunakan untuk inventarisasi spesies serangga hama gudang
ordo Coleoptera adalah probe, lup, kuas, tabung koleksi, mikroskop, kunci
identifikasi serangga gudang Bousquet (1990), Gorham (1991), dan Rees (2007).
Alat untuk pengujian resistensi adalah seperangkat alat pengujian fumigasi di
laboratorium, stoples yang merupakan modifikasi dari desikator yang digunakan
dalam metode FAO (1980). Pipa paralon panjang 2.5 cm dan diameter 2.5 cm
yang beralas dan bertutup kain kasa sebagai tempat serangga uji, plastisin untuk
mencegah kebocoran gas fosfin, alat suntik (gastight syringe), alat monitor fosfin,
dan magnetic stirrer.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aluminium fosfida dalam
bentuk tablet, asam sulfat (H2SO4) 10%, akuades, kain kasa, dan tepung terigu.
Serangga uji (imago T. castaneum) generasi pertama yang dikumpulkan dari lima
perusahaan gudang pakan ternak yang berbeda.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui studi data sekunder Barantan, inventarisasi
spesies serangga hama gudang ordo Coleoptera di gudang pakan ternak dan
pengujian tingkat resistensi T. castaneum terhadap fosfin di laboratorium.
Studi data sekunder Badan Karantina Pertanian
Studi data ini dilakukan melalui elaborasi volume dan frekuensi biji jagung
dan bungkil kedelai yang masuk melalui pintu pemasukan impor yang ada di
Indonesia dan data intersepsi laboratorium terhadap komoditi tersebut.

11
Inventarisasi serangga hama gudang di gudang pakan ternak
Kegiatan ini dilaksanakan dengan pengambilan contoh komoditi bungkil
kedelai dan biji jagung di setiap lokasi gudang tempat penelitian. Pengambilan
contoh komoditi ini menggunakan alat pengambil contoh (probe) diameter 8 cm
dan panjang 50 cm. Pengambilan contoh dilakukan secara langsung pada bahan
baku pakan ternak yang dilakukan sebanyak tiga kali dengan selang waktu tujuh
hari. Contoh komoditi diambil sebanyak satu kilogram dari lima titik berbeda
yang ditentukan secara sistematik berbentuk diagonal pada curahan komoditi.
Serangga yang ditemukan kemudian dikoleksi dan diidentifikasi di Laboratorium
BKP Kelas II Cilegon menggunakan kunci identifikasi Bousquet (1990), Gorham
(1991), dan Rees (2007).
Hasil survei inventarisasi hama gudang pada gudang pakan ternak kemudian
dielaborasi dengan data hasil intersepsi Laboratorium Entomologi BKP Kelas II
Cilegon dari tahun 2010 sampai 2013. Variabel yang diamati yaitu nama gudang
pakan ternak (P1-P5), jenis komoditi, spesies dan populasi hama gudang yang
ditemukan pada masing-masing contoh.
Pengujian resistensi Tribolium castaneum terhadap fosfin di laboratorium
Pemeliharaan serangga uji. Serangga uji berupa imago T. castaneum yang
didapatkan dari lima gudang pakan ternak dibiakkan untuk mendapatkan
keturunan yang seragam dan dalam jumlah yang banyak. Media untuk
pengembangbiakkan T. castaneum sebelumnya disterilkan dengan cara dioven
pada suhu 110°C selama satu jam. Serangga uji ini kemudian dibiakkan dalam
media steril pada kondisi lingkungan dengan suhu 25-30°C dan kelembaban 70%.
Keturunan pertama hasil pembiakan serangga diatas digunakan sebagai serangga
uji untuk menilai resistensinya terhadap fosfin.
Persiapan pengujian. Fosfin yang digunakan pada pengujian berasal dari
aluminium fosfida yang berbentuk tablet yang dirubah menggunakan alat
pengubah fosfin tablet menjadi gas (Gambar 2).

Gambar 2 Alat untuk menghasilkan gas fosfin; (Sumber: FAO 1980)

12
Tabung desikator yang digunakan dalam metode FAO (1980) diganti
dengan stoples ukuran 2 liter yang telah dimodifikasi dengan menggantungkan
kawat kasa ditengah-tengah stoples sebagai tempat untuk meletakkan serangga uji
dan ditutup dengan tutup stoples yang bagian tengahnya telah dilubangi dan diberi
sumbat karet (rubber stopper) sebagai tempat untuk menyuntikan gas fosfin
menggunakan gastight syringe. Pada bagian dasar stoples diletakkan batangan
magnet yang berfungsi sebagai pengaduk gas fosfin agar tersebar merata di dalam
stoples. Serangga uji keturunan pertama sebanyak 50 ekor yang tidak dibedakan
alat kelaminnya umur ± 1 minggu dari masing-masing gudang pakan ternak
dimasukkan ke dalam pipa paralon (diameter 2.5 cm dan tinggi 2.5 cm) yang telah
diberi alas dan tutup kain kasa halus. Pipa paralon yang berisi serangga uji
tersebut diletakkan di atas kawat kasa yang sudah dipasang pada bagian tengah
stoples. Setiap perlakuan diulang sebanyak dua kali yang berisi masing-masing 50
ekor serangga uji. Stoples yang berisi serangga uji ini kemudian ditutup rapat dan
diantara tutup stoples dan dinding luar stoples direkatkan menggunakan plastisin
untuk menghindari kebocoran gas fosfin.
Pelaksanaan fumigasi. Perlakuan fumigasi dilakukan pada stoples berisi
serangga uji yang telah ditutup rapat dan direkatkan dengan plastisin. Gas fosfin
konsentrasi 0 (kontrol), 0.005, 0.014, 0.023, 0.031, 0.040 mg/l yang diperoleh dari
alat untuk menghasilkan gas fosfin, kemudian disuntikkan ke dalam stoples kaca
menggunakan gastight syringe. Setelah itu, lubang tempat untuk menyuntikkan
gas fosfin ke dalam stoples ditutup dan diberi plastisin untuk mencegah kebocoran
gas fosfin. Gas fosfin dalam stoples kemudian diaduk selama dua menit
menggunakan magnetic stirrer agar gas yang ada didalam stoples cepat tersebar
merata ke seluruh bagian.
Pengujian resistensi. Serangga T. castaneum hasil perbanyakan di
laboratorium yang dikumpulkan dari lima gudang pakan ternak, masing-masing
dipapar fumigan fosfin selama 20 jam. Setelah pemaparan selesai dilakukan,
serangga uji yang berada dalam stoples kaca tersebut dikeluarkan dan dipindahkan
ke dalam stoples baru yang telah diberi sedikit tepung sebagai pakan serangga uji
sampai pada saat pengamatan dan penghitungan mortalitas. Pengamatan dan
penghitungan mortalitas serangga uji dilakukan pada 14 hari setelah 20 jam
pemaparan fosfin selesai dilakukan.
Analisa data pengujian resistensi. Data mortalitas serangga uji pada
pengujian resistensi imago T. castaneum terhadap fosfin dianalisa probit dengan
menggunakan program POLO-PC untuk mendapatkan nilai LC50 dan LC99
serangga uji dari masing-masing gudang yang menjadi lokasi penelitian. Nilai
LC99 serangga uji tersebut kemudian dibandingkan dengan nilai discriminating
concentration (LC99) T. castaneum dari FAO (1980) untuk mengetahui tingkat
resistensinya. Faktor resitensi (RF) dihitung menggunakan rumus :
RF

=

Nilai LC99 T. castaneum uji
Nilai discriminating concentration T. castaneum FAO

Jika perbandingan nilai LC99 T. castaneum uji dengan nilai discriminating
concentration T. castaneum (FAO 1980) yang diperoleh lebih besar dari satu
(nilai RF-nya > 1) maka dikatakan bahwa serangga uji tersebut telah resisten.

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Serangga Hama Gudang yang Terbawa Bahan Baku
Pakan Ternak Impor
Serangga hama gudang yang terbawa bahan baku pakan ternak yang berasal
dari negara-negara yang sudah dilaporkan terdapat serangga hama gudang strain
resisten terhadap fosfin dapat mempengaruhi tingkat resistensi serangga hama
gudang di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena terjadinya perkawinan diantara
mereka. Berbagai jenis serangga hama gudang yang ditemukan terbawa pada
bahan baku pakan ternak yang diimpor dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Bahan baku pakan ternak yang masuk ke Indonesia dan hasil intersepsi
laboratorium sejak tahun 2011-2013
Jenis
pakan

Pintu
pemasukan

Negara asal

Bungkil BBKP Belawan,
kedelai BKP Batam,
BKP Bandar
Lampung,
BKP Cilegon,
BBKP Tj Priok,
BBKP Soetta,
BKP Semarang,
BBKP Surabaya,
BBKP Makassar,
BKP Pontianak

USA*, India*,
Argentina,
Brazil*, Cina,
Taiwan, Kanada,
Malaysia,
Singapura,
Australia,
Belanda, Korsel,
Philipina,
Ukraina,
Uruguay,
Paraquay

Biji
BBKP Belawan,
jagung BKP Cilegon,
BBKP Soetta,
BBKP Tj Priok,
SKP Bandung,
BKP Yoyakarta,
BBKP Surabaya

USA*, India*,
Argentina,
Brazil*,
Philipina,
Thailand,
Pakistan,
Afrika Selatan

Frekuensi Volume (ton)
4 691

412

Intersepsi laboratorium

9 926 234.49 T. castaneun, Tribolium sp,
S. oryzae, S. zeamays,
L. serricorne, H. hampei,
Cryptolestes sp,
C. ferrugineus,
C. hemipterus,
Oryzaephilus sp,
O. surinamensis,
L. oryzae, T. stercorea,
Carpophilus sp,
A. advena, R. dominica
5 999.44 T. castaneum, L. serricorne,
S. oryzae, T. granarium,
C. pusillus, L. oryzae,
C. hemipterus, C. chinensis,
A. diaperinus, T. stercorea,
C. ferrugineus, L. pusillus,
A. laevigatus, S. paniceum,
O. surinamensis, N. rufipes,
A. advena, R. dominica,
A. fasciculatus, S. zeamays,
C. dimidiatus, T. confusum,
C. chinensis, P. ratzeburgii,
Sitophilus sp, Latheticus sp,
Carpophilus sp

Sumber: Barantan (2014).; *: Negara-negara yang sudah ada laporan resistensi beberapa serangga
hama gudang terhadap fosfin.

14
Berdasarkan Tabel 6, volume dan frekuensi impor bungkil kedelai lebih
tinggi dibandingkan biji jagung. Negara asal komoditi bungkil kedelai dan biji
jagung yang masuk ke Indonesia yaitu: Argentina, Brazil, USA, India, Cina,
Taiwan, Malaysia, Philipina, Thailand, Korea Selatan, Kanada, Singapura,
Australia, Belanda, Ukraina, Uruguay, Paraguay, Pakistan dan Afrika Selatan.
Bahan baku pakan ternak ini di pulau Jawa masuk melalui BKP Cilegon, BBKP
Tanjung Priok, BBKP Soekarno Hatta, BKP Semarang, dan BBKP Surabaya.
Volume, frekuensi, dan negara asal bungkil kedelai dan biji jagung yang
masuk melalui salah satu pintu pemasukan impor Indonesia, BKP kelas II
Cilegon, dan disimpan dalam gudang bahan baku pakan ternak yang menjadi
lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Volume (Kg)

Frekuensi

Gambar 3 Bungkil kedelai dan biji jagung impor (A) volume dan (B) frekuensi
pemasukan dari berbagai negara pada kelima gudang pakan ternak
sejak tahun 2010-2013; Sumber: Barantan (2014)

15
Semakin tinggi volume dan frekuensi komoditi bahan baku impor yang
masuk ke suatu gudang, maka semakin besar peluang serangga hama gudang
strain resisten terhadap fosfin dari luar negeri mempengaruhi tingkat resistensi
serangga hama gudang yang ada di Indonesia. Asal komoditi biji jagung dan
bungkil kedelai impor yang masuk melalui pelabuhan di wilayah kerja BKP Kelas
II Cilegon selama empat tahun terakhir didominasi dari Argentina, Brazil, India
dan USA. Beberapa literatur yang telah disebutkan di depan melaporkan bahwa
beberapa serangga hama gudang di Brazil, India, USA telah resisten terdap fosfin.
Hasil pengamatan terhadap kelima gudang bahan baku pakan ternak yang
menjadi lokasi penelitian menunjukkan bahwa pemilik kelima gudang pakan
ternak tersebut adalah perusahaan swasta dengan variasi jarak antara lokasi
gudang bahan baku dengan pabrik pengolahan dan penyimpanan pakan ternak.
Lokasi gudang bahan baku P1, P2 dan P3 berdekatan atau satu komplek dengan
pabrik pengolahan dan penyimpanan pakan ternak, sedangkan lokasi gudang
bahan baku P4 dan P5 letaknya berjauhan atau tidak satu komplek dengan pabrik
pengolahan dan penyimpanan pakan atau hanya sebagai tempat penyimpanan
bahan baku saja.
Sistem pengelolaan komoditi bahan baku pakan ternak yang masuk dan
keluar dari gudang pada kelima gudang lokasi penelitian sudah menggunakan
sistem fist in fist out, dimana bahan baku yang masuk lebih dahulu akan
dikeluarkan lebih dahulu juga. Walaupun menggunakan sistem fist in fist out,
penyimpanan komoditi yang baru datang kadang-kadang diletakkan dalam satu
ruang dengan komoditi bahan baku yang sudah lama jika komoditi bahan baku
pakan ternak banyak yang masuk dan kondisi gudang banyak yang penuh.
Penyimpanan bahan baku pakan ternak ini di gudang penyimpanan kurang lebih
selama satu sampai tiga bulan. Penyimpanan bahan baku pakan ternak yang baru
masuk dan sudah difumigasi dengan bahan baku pakan ternak yang sudah
disimpan cukup lama di gudang mendorong berpindah serangga hama gudang dari
komoditi yang sudah lama disimpan ke komoditi yang baru datang.
Kegiatan fumigasi pada gudang bahan baku yang berdekatan dengan
komplek pabrik pengolahan dan penyimpanan pakan dilakukan sangat intensif
baik oleh perusahaan itu sendiri maupun perusahaan fumigasi. Hal ini untuk
mencegah berpindahnya serangga hama gudang dari bahan baku ke gudang pakan
ternak yang sudah siap untuk didistribusikan. Kegiatan fumigasi jarang bahkan
tidak pernah dilakukan di gudang bahan baku yang lokasinya tidak mempunyai
atau tidak berada dalam satu komplek dengan pabrik pengolahan dan
penyimpanan pakan pabrik pakan. Di gudang P4 dan P5, tindakan pengendalian
terhadap serangga hama biasanya hanya dengan perlakuan penyemprotan atau
pengabutan dengan pestisida berbahan aktif organofosfat.
Berdasarkan informasi petugas salah satu gudang pakan ternak yang
berlokasi dekat dengan lokasi pabrik pengolahan pakan ternak, setelah kegiatan
fumigasi fosfin dengan dosis 2 tablet/ton dan waktu papar 5 hari selesai dilakukan
masih sering ditemukan T. castaneum dan C. ferrugineus yang masih hidup. Hal
ini kemungkinan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu proses fumigasi yang
dilakukan kurang tepat karena kebocoran plastik fumigasi, waktu papar yang
kurang atau telah terjadi resistensi pada kedua serangga tersebut.

16
Inventarisasi Serangga Hama Ordo Coleoptera di Gudang Pakan Ternak
Hasil inventarisasi dari lima gudang pakan ternak yang menjadi lokasi
penelitian ditemukan lima spesies serangga hama yaitu T. castaneum,
O. surinamensis, C. ferrugineus, A. diaperinus, dan S. zeamays (Gambar 4-8).
Spesies serangga yang dikoleksi dari gudang-gudang pakan tersebut hampir sama
dengan spesies-spesies yang ditemukan dari hasil intersepsi laboratorium BKP
kelas II Cilegon dan Badan Karantina Pertanian di pintu-pintu pemasukan
komoditi impor. Menurut Kalshoven (1981), T. castaneum, O. surinamensis,
C. ferrugineus, A. diaperinus, S. zeamays sering ditemukan pada gudang-gudang
penyimpanan biji-bijian di Indonesia.
a

b

c

1 mm

Gambar 4 Imago Cryptolestes ferrugineus (a); Adanya ridge di samping
mata yang memanjang sampai ke thorak (b); Tidak adanya ridge
transversal pada pronotum (c)
a

b

1 mm

c

d

Gambar 5 Imago Tribolium castaneum (a); Bentuk mata facet (b); Bentuk
antena(c); Posisi fossa maksilla terhadap mata facet bagian bawah (d)

17

a

b

c

1 mm

e

d

f

Gambar 6 Imago jantan Sitophilus zeamays (a); Bentuk moncong dan posisi
mata facet terhadap antena (b); Midline pada pronotum (c); Bentuk
puncture pada elitra (d); Bentuk skerit bebas pada dasar medial lobe
aedagus (e); Dua cekungan longitudinal pada medial lobe aedagus (f)
1 mm

a

c

d

b

e

f

Gambar 7 Imago Alphitobius diaperinus (a); Bentuk mata faset (b); Bentuk
pronotum (c); Proporsi mata faset dengan bagian depan kepala (d);
Bentuk tibia 1 (e); Elytra yang tidak mempunyai ridge (f)

18
a

b

1 mm

Gambar 8 Imago Oryzaephilus surinamensis dengan 6 buah gerigi pada
pronotum (a); Panjang tonjolan bagian belakang mata pada
kepala ≥ dibandingkan dengan panjang mata facet (b)
Spesies-spesies serangga hama gudang hasil inventarisasi ini sudah banyak
ditemukan di Indonesia dan tersebar hampir di seluruh dunia bahkan di beberapa
negara sudah menunjukkan tingkat resistensi yang lebih tinggi terhadap fosfin.
Jumlah spesies dan populasi serangga hama gudang dari masing-masing komoditi
pada kelima gudang bervariasi (Tabel 7).
Tabel 7 Hasil inventarisasi hama gudang ordo Coleoptera dan populasinya (ekor)
dalam 1 Kg contoh komoditi yang ditemukan di lima gudang pakan
ternak selama pengamatan
Perusahaan

P1
P2
P3
P4
P5

P1
P2
P3
P4
P5

OPT

T. castaneum
T. castaneum
C. ferrugineus
T. castaneum
T. castaneum
T. castaneum
A. diaperinus
T. castaneum
S. zeamays
T. castaneum
T. castaneum
C. ferrugineus
T. castaneum
A. diaperinus
O. surinamensis

Pengamatan keI

II
III
Bungkil kedelai
1
1
0
2
1
0
1
0
0
1
0
0
2
1
4
2
0
0
1
0
0
Biji jagung
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
0
0
1
3
0
1
0
0
2
1
0
0

Total
(ekor)

± sd

2
3
1
1
7
2
1

0.7 ± 0.58
1.0 ± 1.00
0.3 ± 0.58
0.3 ± 0.58
2.3 ± 1.53
0.7 ± 1.15
0.3 ± 0.58

1
1
1
3
1
4
2
1

0.3 ± 0.58
0.3 ± 0.58
0.3 ± 0.58
1.0 ± 0.00
0.3 ± 0.57
1.3 ± 1.53
0.7 ± 1.15
0.3 ± 0.58

P: Gudang pakan ternak perusahaan, OPT: Organisme pengganggu tumbuhan,
populasi, sd: Standart deviasi

: Rata-rata

19
Variasi serangga hama gudang yang ditemukan pada komoditi bungkil
kedelai hampir sama dengan serangga hama yang ditemukan pada biji jagung.
T. castaneum merupakan serangga hama yang ditemukan hampir di semua gudang
yang menjadi lokasi penelitian dengan jumlah populasi bervariasi pada setiap
gudang bahan baku pakan ternak. Rata-rata populasi serangga hama gudang
tertinggi pada komoditi bungkil kedelai dan biji jagung ditunjukkan oleh
T. castaneum pada gudang pakan ternak P2, P4 untuk bungkil kedelai dan pada
P4, P5 untuk biji jagung.
Spesies serangga hama yang ada di gudang mempunyai bioekologi berbedabeda sehingga mempengaruhi pola penyebaran spesies serangga tersebut pada
komoditi yang disimpan dalam suatu gudang. Pola penyebaran suatu spesies
dalam komoditi juga mempengaruhi peluang serangga hama gudang tersebut ikut
terambil alat pengambil contoh sehingga mempengaruhi penghitungan populasi
pada kegiatan inventarisasi serangga hama gudang. Penyebaran serangga
T. castaneum lebih terkonsentrasi pada lapisan atas, sedangkan C. ferrugineus
dan O. Surinamensis mempunyai penyebaran yang lebih merata pada gandum
yang disimpan curah pada suhu 250C dengan kadar air 14% (Haines 1991).
Kondisi bahan yang disimpan dan kebersihan gudang juga menentukan
jenis-jenis serangga hama yang dapat menyerang biji-bijian tersebut. Rendahnya
populasi serangga hama di gudang pada komoditi bungkil kedelai dan biji jagung
kemungkinan karena beberapa gudang pakan ternak sudah menerapkan sanitasi
gudang yang bagus. Ditemukannya serangga hama gudang A. diaperinus pada
gudang P5 baik pada komoditi bungkil kedelai maupun biji jagung menunjukkan
bahwa gudang tersebut kondisinya lembab dan kurang bersih. Menurut Rees
(2007), kehadiran serangga A. diaperinus merupakan salah satu indikator bahwa
di lokasi tersebut kelembabannya tinggi dan tingkat kebersihannya rendah.
Rendahnya populasi serangga hama gudang yang ditemukan pada komoditi
bungkil kedelai dan biji jagung dapat juga disebabkan serangga hama di gudang
pakan ternak impor sudah resisten terhadap fosfin atau karena komoditi ini di
negara asalnya sudah difumigasi fosfin sebelum dimasukkan ke Indonesia dengan
tujuan untuk mencegah masuknya OPTK dari negara asal komoditi tersebut.
Menurut Ridley et al. (2012), R. dominica yang mendapat perlakuan fumigasi
fosfin fekunditasnya dapat menurun untuk beberapa saat. Serangga yang sudah
resisten terhadap pestisida atau fumigan juga memiliki keperidian yang lebih
rendah dibandingkan keperidian potensial yang dimilikinya (Haines 1991).
Fragoso et al. (2005) juga men