LAPORAN NILAI TAMBAH SYARI’AH: IN THE BEGINNING

2. LAPORAN NILAI TAMBAH SYARI’AH: IN THE BEGINNING

Konsep nilai tambah berasal dari implementasi penghitungan GNP Gross National Product ekonomi makro, dan diterapkan dalam dunia akuntansi Staden 2000; Glautier dan Underdown 1992, 409. Beberapa pemikir ekonomi kritis seperti Ormerod 1998, Daly dan Cobb 1989 dalam Ormerod 1998, Axelrod 1984 dalam Ormerod 1998, dan banyak lainnya memandang bahwa pengukuran GNP hanya dapat memotret ekonomi dan kemakmuran masyarakat suatu negara secara kuantitatif. GNP tidak dapat melihat transaksi non ekonomi seperti pencemaran lingkungan dan pekerjaan rumah tangga, maupun black economy. Mudahnya GNP hanya dapat mengukur pertumbuhan ekonomi tetapi tidak dapat mengukur yang dikatakan Dixon 2004 sebagai “overall social well-being”, seperti degradasi sosial dan lingkungan akibat aktivitas perusahaan. Ketidakmampuan GNP mengukur kepentingan sosial dan lingkungan menurut Bev 2007 karena GNP hanya didasarkan pada pengukuran kuantitatif. Perkembangan terbaru berkenaan pengukuran tingkat kemakmuran suatu negara memerlukan bentuk baru disebut Gross National Happiness GNH 5 . GNH mengadopsi baik pendekatan kuantitatif maupun kualitatif dan berbasis perspektif holistik. Pendekatan tersebut disebut Bev 2007 sebagai pendekatan keseimbangan yang baik antara pikiran dan hati. GNH memiliki empat pilar utama, yaitu: “promotion of equitable and sustainable socio-economic development; preservation and promotion cultural values; conservation of natural development; and esthablishment of good-governance” lihat juga misalnya Hirata 2005; Frey and Stutzer 2007; Revkin 2005 dan banyak lainnya. Perubahan pola pengukuran nilai tambah dalam konteks ekonomi makro dapat kita lihat telah berubah dari pengukuran 5 GNH diusulkan pertama kali oleh Raja Bhutan Jigme Singye Wangchuck tahun 1972 untuk menyatukan perencanaan ekonomi dan pembangunan secara holistik. 5 bersifat ekonomi dan kuantitatif menuju model pengukutan bersifat holistik dan mengadopsi secara kuantitatif-kualitatif. Demikian pula konsep nilai tambah dari domain akuntansi. Penggunaan konsep nilai tambah biasanya digunakan oleh aliran akuntansi sosial-lingkungan. Hanya masalahnya terdapat dua aliran akuntansi sosial-lingkungan, yaitu aliran middle ground dan non middle ground Gray et al. 1995; 1996. Aliran middle ground menggunakan konsep nilai tambah berbasis kepentingan perusahaan, sehingga mengkreasi informasi dan pertanggungjawaban ekonomi-sosial-lingkungan juga berbasis kepentingan keuntungan stockholders. Aliran non middle ground di sisi lain menggunakan nilai tambah untuk informasi dan akuntabilitas sosial lingkungan berbasis kuantatif maupun kualitatif, untuk kepentingan lebih luas, yaitu stakeholders. Meskipun seperti ditegaskan Mulawarman 2006 penggunaan konsep nilai tambah berbasis stakeholders oleh aliran non-middle ground, ternyata masih menekankan kepentingan bersifat materi. Aliran non middle ground tidak dapat memotret realitas di luar materi. Memaknai laba akuntansi tanpa terjebak materialitas sebenarnya telah digali secara mendalam oleh Subiyantoro dan Triyuwono 2004. Penafsiran ini pada dasarnya merupakan konsepsi atas ekspresi kebebasan manusia dari sebuah interaksi sosial yang menghasilkan nilai lebih value addedVA. Laba, sebagaimana merupakan ekspresi kebebasan manusia, merupakan representasi nilai kebebasan manusia yang sekaligus menjunjung tinggi hakikat manusia dari esensi kemanusiaannya. Mengembalikan hakikat manusia tidak saja berpedoman pada aspek fisiologis dan psikologis, tetapi juga pada aspek religius. Konsep nilai tambah lebih operasional disebut Mulawarman 2006 sebagai nilai tambah syariah Shari’ate Value AddedSVA. Konsep nilai tambah syari’ah berasal dari perlakuan ta’wil metafora atas konsep zakat. SVA secara definitif 6 menurut Mulawarman 2006, 292-303 adalah pertambahan nilai zaka material baik finansial, sosial dan lingkungan yang telah disucikan tazkiyah mulai dari pembentukan, hasil sampai distribusi zakka, kesemuanya harus halal dan tidak mengandung riba spiritual serta thoyib batin. Implikasinya, pertama, proses pembentukan VA dalam batas-batas yang diperbolehkan syara’ halal dan bermanfaatmenenangkan batin thoyib. Sebaliknya aktivitas ekonomi yang melanggar ketentuan adalah Haram. Kedua, pertumbuhan harta dan mekanisme usaha harus dilakukan untuk menghilangkan sifat berlebihan dalam perolehan harta dan menjalankan aktivitas usaha bebas riba 6 . Ketiga, distribusi VA harus dilakukan secara optimal untuk kebaikan sesama, merata dan tidak saling menegasikan. Seberapapun keikutsertaan harus dicatat dan diakui sebagai potensi mendapat hak pembagian VA.

3. KONSEP REZEKI DALAM ISLAM