Sebanyak 23 g nutrient agar NA dimasukkan kedalam erlenmeyer tambahkan air suling hingga 1000 ml, lalu dipanaskan sampai larut. Kemudian
disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 115°C selama 30 menit Difco, 1977.
3.7.2 Larutan Natrium Klorida 0,9 bv
Komposisi : Natrium klorida 9 g
Air suling hingga 1000 ml Cara pembuatan:
Sebanyak 9 g natrium klorida dilarutkan dengan air suling 1000 ml sampai larut sempurna dalam labu ukur lalu disterilkan di autoklaf pada suhu
115 C selama 30 menit Sonnenwirth,1980.
3.7.3 Pembuatan Agar Miring
Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 3 ml media nutrient agar, didiamkan pada suhu kamar sampai sediaan membeku pada posisi miring. Hasil disimpan
pada lemari pendingin.
3.8 Sterilisasi Alat
Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri ini, disterilkan terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan didalam oven pada
suhu 170°C selama 1 jam. Media disterilkan di autoklaf pada suhu 115°C selama 30 menit. Jarum ose dan pinset dengan lampu bunsen Lay,1994.
3.9 Pembuatan Stok Kultur 3.9.1 Bakteri Staphylococcus aureus
Diambil satu koloni bakteri Staphylococcus aureus dengan menggunakan jarum ose steril lalu ditanamkan pada media nutrient agar NA miring dengan
Universitas Sumatera Utara
cara menggores. Kemudian diinkubasi dalam inkubator pada suhu 36 ±1°C selama 18-24 jam Ditjen POM, 1995.
3.9.2 Bakteri Escherichia coli
Diambil satu koloni bakteri Escherichia coli dengan menggunakan jarum ose steril lalu ditanamkan pada media nutrient agar NA miring dengan cara
menggores. Kemudian itu diinkubasi dalam inkubator pada suhu 36 ±1°C selama 18-24 jam Ditjen POM, 1995.
3.10 Penyiapan Inokulum Bakteri 3.10.1 Bakteri Staphylococcus aureus
Stok kultur bakteri Staphylococcus aureus yang telah tumbuh diambil dengan jarum ose steril lalu disuspensikan ke dalam tabung yang berisi 10 ml
larutan NaCl 0,9 steril diinkubasi selama 3 jam, kemudian diukur kekeruhan larutan pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh transmitan 25 Ditjen
POM, 1995.
3.10.2 Bakteri Escherichia coli
Stok kultur bakteri Escherichia coli yang telah tumbuh diambil dengan jarum ose steril lalu disuspensikan ke dalam tabung yang berisi 10 ml larutan
NaCl 0,9 steril diinkubasi selama 3 jam, kemudian diukur kekeruhan larutan pada panjang gelombang 580 nm sampai diperoleh konsentrasi 25 Ditjen POM,
1995.
Universitas Sumatera Utara
3.11 Pembuatan Larutan Uji Ekstrak Etanol Rosela dengan berbagai Konsentrasi.
Sebanyak 5 g ekstrak etanol rosela ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, dilarutkan dengan etanol hingga 10 ml. Konsentrasi
ekstrak adalah 500 mgml. Kemudian dibuat pengenceran selanjutnya sampai diperoleh ekstrak dengan konsentrasi 400 mgml, 300 mgml, 200 mgml,
100mgml, 90 mgml, 80 mgml, 70 mgml, 60 mgml, 50 mgml, 40 mg ml, 30 mgml, 20 mgml dan 10 mgml.
3.12 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Rosela secara Invitro
Sebanyak 0,1 ml suspensi bakteri dimasukkan ke dalam cawan petri steril, kemudian ditambahkan 20 ml media nutrient agar steril suhu 45-50
o
C, dihomogenkan dan dibiarkan sampai media memadat. Setelah itu ditanamkan
pencadang logam. Selanjutnya ke dalam masing-masing pencadang logam dimasukkan ekstrak etanol rosela sebanyak 0,1 ml dengan berbagai konsentrasi.
Kemudian diinkubasi pada suhu 36-37
o
C selama 18-24 jam. Selanjutnya diameter daerah hambat di sekitar pencadang logam diukur dengan menggunakan jangka
sorong. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali terhadap masing-masing bakteri Ditjen POM, 1995.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Bogor
“Herbarium Bogorriense”, menunjukkan bahwa tumbuhan rosela yang digunakan adalah jenis Hibiscus sabdariffa L., suku Malvaceae.
Hasil pemeriksaan makroskopik rosela menunjukkan bahwa rosela berwarna merah dengan ujung menguncup, terdiri dari lima helai kelopak dan
terdapat rambut yang menempel pada permukaan, rasanya asam pH±3 dan berbau khas dan pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia rosela diperoleh
adanya kristal kalsium oksalat bentuk druse, rambut penutup, papilla dan jaringan epidermis.
Karakteristik simplisia rosela diperoleh kadar air 6,98, kadar abu total 8,395, kadar abu tidak larut asam 0,1373, kadar sari larut dalam air 29,275,
kadar sari larut dalam etanol 27,596. Kadar air dalam simplisia menunjukkan jumlah air yang terkandung
dalam simplisia yang digunakan. Kadar air simplisia berhubungan dengan proses pengeringan, kadar air ditentukan untuk mengetahui bahwa simplisia yang
digunakan tidak ditumbuhi jamur dan aman digunakan. Hasil penetapan kadar air dari simplisia rosela memenuhi persyaratan pada Materia Medika Indonesia yaitu
tidak lebih dari 10. Dengan kadar air yang cukup aman maka simplisia tidak mudah rusak dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Apabila
Universitas Sumatera Utara
simplisia yang dihasilkan tidak cukup kering maka akan terjadi pertumbuhan jamur dan jasad renik lainnya.
Tabel 4.1 Karakteristik Simplisia Rosela
No Parameter
Hasil 1
Kadar air 6,98
2 Kadar sari larut dalam air
29,275 3
Kadar sari larut dalam etanol 27,596
4 Kadar abu total
8,395 5
Kadar abu tidak larut dalam asam 0,1373
Penetapan kadar sari simplisia mengetahui jumlah senyawa polar yang larut dalam air sedangkan penetapan kadar sari yang larut dalam etanol untuk
mengetahui senyawa yang terlarut dalam etanol, baik polar maupun non polar. Dalam simplisia rosela menunjukkan bahwa kadar sari yang larut dalam air lebih
tinggi daripada sari yang larut dalam etanol, berarti senyawa kimia yang tersari dalam air lebih besar daripada yang tersari dalam etanol.
Penetapan kadar abu dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa anorganik dalam simplisia seperti logam K, Ca, Na, Pb, Hg, silika. Abu total
terbagi dua, yang pertama abu fisioligis adalah abu yang berasal dari jaringan tumbuhan itu sendiri dan abu non fisiologis adalah sisa pembakaran yang berasal
dari bahan-bahan dari luar. Penetapan kadar abu tidak larut asam untuk mengetahui kadar senyawa yang tidak larut dalam asam, seperti silika, logam-
logam berat seperti Pb, Hg WHO, 1992. Skrining fitokimia serbuk simplisia rosela menunjukkan adanya
senyawa flavonoid, glikosida, tanin dan steroidtriterpenoid. Menurut Robinson
Universitas Sumatera Utara
1995, senyawa fenol seperti flavonoid dan tanin memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Hasil skrining dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut :
Tabel 4.2 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia Rosela. No
Senyawa Hasil Skrining
Serbuk Simplisia 1
Alkaloid -
2 Flavonoid
+ 3
Glikosida +
4 Saponin
- 5
SteroidTriterpenoid +
6 Tanin
+ Keterangan: + mengandung senyawa yang diperiksa
- tidak mengandung senyawa yang diperiksa.
Pada serbuk simplisia rosela, penambahan serbuk Mg dan asam
klorida pekat memberikan warna merah menunjukkan adanya senyawa flavonoid. Pada skrining glikosida terbentuknya cincin ungu menunjukkan adanya senyawa
glikosida. Penambahan FeCl
3
1 memberikan warna hijau yang menunjukkan adanya senyawa tanin.
Aktivitas antibakteri dapat disebabkan adanya kandungan senyawa kimia yaitu tanin dan flavonoida. Tanin dan flavonoid merupakan golongan senyawa
fenol. Golongan fenol diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang bersifat bakterisidal namun tidak bersifat sporisidal Pratiwi, 2008. Senyawa fenol
bekerja dengan cara mendenaturasi protein sel dan merusak dinding sel bakteri sehingga bakteri mati, juga dapat merusak lipid pada membran sel melalui
mekanisme penurunan tegangan permukaan membran sel Pelczar dan Chan, 1986.
Hasil perkolasi 200 g serbuk simplisia rosela diperoleh 55,9974 g ekstrak etanol. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etanol rosela
Universitas Sumatera Utara
mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Data hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol rosela dapat dilihat
pada tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3 Hasil Uji Aktivitas Antibkteri Ekstrak Etanol Rosela Terhadap
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Konsentrasi
Ekstrak Etanol mgml
Diameter Daerah Hambat Pertumbuhan Escherichia coli
D Staphylococcus aureus
D 500
23,6 25,7
400 21,0
24,5 300
20,3 22,5
200 19,4
21,3 100
18,6 20,2
90 17,5
19,1 80
16,7 17,8
70 15,3
16,6 60
14,8 15,5
50 13,4
14,3 40
12,4 13,7
30 12,0
12,7 20
11,6 12,2
10 10,2
10,5 Blanko
- -
Keterangan: = hasil rata-rata tiga kali pengukuran, - = tidak ada hambatan
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.1 Diagram Batang Hasil Pengukuran Diameter Daerah Hambatan Pertumbuhan Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dari
Ekstrak Etanol Rosela.
Pada grafik di atas terlihat bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak yang diberikan akan menghasilkan daerah hambat yang semakin besar karena semakin
banyak zat aktif yang terkandung dalam ekstrak. Menurut Ditjen POM 1995, suatu zat dikatakan memiliki daya hambat yang efektif dengan diameter daerah
hambatan lebih kurang 14 sampai 16 mm. Pada Escherichia coli daya hambat yang efektif mulai konsentrasi 60 mgml, sedangkan pada Staphylococcus aureus
daya hambat yang efektif mulai konsentrasi 50 mgml. Rosela memiliki khasiat sebagai antiplasmodik anti kejang, antibakterial, antihelminthis anti cacing,
juga memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan jamur, bakteri atau parasit penyebab demam tinggi. Bahkan ekstrak cairan bunga dan pewarnanya ditemukan
dapat meletalkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bakteri penyebab TBC Mardiah, 2009.
23,6 21,0
20,3 19,4
18,6 17,5
16,7 15,3
14,8 13,4
12,4 12,0
11,6 10,2
0,0 25,7
24,5 22,5
21,3 20,2
19,1 17,8
16,6 15,5
14,3 13,7
12,7 12,2
10,5
0,0
0,0 5,0
10,0 15,0
20,0 25,0
30,0
Escherichia coli Staphylococcus aureus
Universitas Sumatera Utara
Ekstrak etanol rosela memberi daya hambat yang lebih besar terhadap bakteri Staphylococcus aureus dibandingkan dengan bakteri Escherichia coli, hal
ini disebabkan bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif memiliki kandungan peptidoglikan yang tinggi dapat mencapai 50
dibandingkan bakteri Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif sekitar 10. Sebaliknya kandungan lipida dinding sel bakteri gram positf lebih rendah
sedangkan pada dinding sel bakteri gram negatif tinggi yaitu sekitar 11-22 Lay, 1994.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan