ADAT PERKAWINAN ETNIS NIAS DI KELURAHAN MEDAN TENGGARA VII KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN (SUATU STUDI TENTANG PERGESERAN BÖWÖ MENJADI GOGOILA).

(1)

ADAT PERKAWINAN ETNIS NIAS

DI KELURAHAN MEDAN TENGGARA VII KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN (SUATU STUDI TENTANG PERGESERAN BÖWÖ MENJADI GOGOILA)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

OLEH:

NONI ALFANITA SARUMAHA NIM. 3123122043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Noni Alfanita Sarumaha. NIM 3123122043. Adat Perkawinan Etnis Nias Kelurahan Menteng VII Kecamatan Medan Denai Kota Medan (Suatu Studi Pergeseran Böwö Menjadi Gogoila). Skripsi. Program Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. 2016

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penetapan pemberian böwö dahulu padama syarakat Nias, untuk mengetahui terjadinya pergeseran böwö ke gogoila, dan untuk mengetahui proses pernikahan pada masyarakat Nias di KelurahanMenteng VII, Kecamatan Medan Denai, Medan.

Metodeyang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Data diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) dalam bentuk observasi non partisipasi (non partisipan observer) dengan teknik observasi, wawancara (interview) dan dokumentasi untuk menambah data yang relevan. Informan ditentukan dengan purposive sampling. Adapun yang menjadi informan dalam penelitan ini adalah tiga penatua suku Nias, satu pengamat kebudayaan suku Nias dan enam keluarga suku Nias yang sudah menikah di kota Medan.

Berdasarkan penelitian yang telahdilakukan, penulis memperoleh hasil penelitian sebagai berikut: (1) Böwöbawangawalu (jujuran dalam perkawinan) adalah suatu tuntutan dan syarat ketika ingin melangsungkan pernikahan pada masyarakat Nias, dahulu perkawinan terlaksana bagi orang yang sama bosinya atau stratanya, sehingga nilai böwö yang dulu tinggi tidak menjadi masalah atau persoalan karena pihaklaki-laki merupakan orang yang berkeadaan. Nilai böwö sendiri terdiri dari uang, babi, emas, danberas. (2) Seiring dengan perkembangan zaman böwö semakin sulituntuk dipenuhi ini dikarenakan penghasilan masyarakat Nias masih minim, disisi lain nilai böwö ini menjadi hambatan untuk menyunting wanita pilihannya. Maka saat in iistilah böwö bergeser menjadi gogoila: ketentuan, dimana sistem gogoila ini ditempuh dengan cara musyawarah antara kedua belah pihak yang didasarkan dengan kemampuan kesanggupan keluarga mempelai laki-laki (3). Proses pelaksanaan terdiri dari empat tahap yaitu: Tahap meminang, yang terdiri dari upacara mengantar emas pertunangan (mamebola) dan upacara pengembalian kantong tikar (famuli mbola), Tahap penentuan hari pernikahan (fagötö mbongi) yang di dalamnya juga dibicarakan besaran mas kawin, Tahap upacaranikah(fangowalu) dan Tahap Upacara menjenguk orang tua (famuli nukha).

Kesimpulanmenunjukkanbahwa“böwö ba wangowalu” (jujuran dalam perkawinan) adalah salah satu istiadat suku Nias dalam menjalankan pekawinan dimana nilai dari böwö itu sendiri nilainya sangat tinggi sehingga memberatkan bagi lelaki Nias dalam melaksanakan perkwaninan, pada masa sekarang böwö sendiri telah direduksi maknanya menjadi gogoila (ketentuan) seperti musyawarah sesuai kemampuan pihak dari laki-laki, sehingga pemuda Nias tidak lagi merasa terbebani dengan böwö (jujuran) ketika ingin menikahi wanita Nias.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dimana atas kasih karuniaNya dan pertolongaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Adat Perkawinan Etnis Nias Kelurahan Menteng VII Kecamatan Medan Denai Kota Medan (Suatu Studi Pergeseran Böwö Menjadi Gogoila)” dengan baik.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Program Studi Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh ilmu pengetahuan, semangat, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan penuh ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Negeri Medan Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd.

2. Ibu Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Dra. Nurmala Berutu, M.Pd.

3. Ibu Ketua Prodi Pendidikan Antropologi Dra. Puspitawati, M.Si.

4. Ibu Dr. Nurjannah, M.Pd sebagai Pembimbing Skripsi penulis yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir. Terima kasih untuk motivasi, saran dan masukan yang sangat membangun serta ilmu pengetahuan baru yang telah diberikan kepada penulis.

5. Bapak Drs. Payerli Pasaribu, M.Si sebagai Penasehat Akademik sekaligus Penguji I penulis.

6. Ibu Supsiloani, M.Si sebagai Penguji II penulis yang telah banyak memberi arahan beserta solusi kepada penulis.

7. Bapak Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial Waston Malau, MSP sebagai penguji III penulis, yang terus memotivasi penulis sehingga penulis selalu mengingat pesan dari


(7)

beliau yang berkata “menjadi sarjana itu tidak mudah, nilai akhir dan sesungguhnya ada pada masyarakat” terimakasih buntuk motivasinya.

8. Bapak/Ibu Dosen Pendidikan Antropologi yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan serta nasihat kepada penulis.

9. Teristimewa kepada orangtua tercinta, Ayah F. Sarumaha dan Mama R.Waruwu yang telah menjadi orangtua terhebat. Tidak mudah menjalinanya tanpa dukungan mereka, buat mama cepat sembuh. Terima kasih atas doa, cinta, kasih sayang, semangat, dan motivasi baik secara moril maupun materil bagi penulis.

10.Ibu Dr. Rosramadhana, M,Si yang telah banyak membantu dan memberi masukkan kepada penulis agar penulis tetap semangat.

11.Kakanda Ayu Febryani yang membantu segala berkas dan proses selesainya skripsi. 12.Saudara kandung penulis Bryan Andreas Sarumaha yang telah memberikan semangat

dan motivasi kepada penulis. Sukses buat kita berdua. Terima kasih atas kebersamaan dan dukungan yang telah terjalin selama ini.

13.Badan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kota Medan, Kecamatan Medan Denai, dan Kelurahan Medan Tenggara VII yang telah member izin dan memberi fasilitas untuk melakukan penelitian.

14.Seluruh informan yang turut membantu melengkapi data dalam penulisan skripsi ini. 15.Bapak Pdt. Dr. Th. J. Nanualitta, M. Th yang telah memberi masukkan saran

menggangkat judul penelitian dan selalu mendoakan penulis. Terimakasih atas doanya, semoga Tuhan memberkati.

16.Seluruh Jemaat dan Pemuda/i GKI Kwala Bingai yang selalu mendukung dan mendoakan penulis. Terimakasih buat doanya, kiranya Bapa di surga yang membalas. 17.Sahabat saat suka dan duka dari semester awal Christiany Ovalia, Melita Renata


(8)

dan Lukas Simorangkir yang memberi semangat satu sama lain, penulis meminta maaf jika selama perkuliahan menyusahkan terutama dalam menghafal jalan kota Medan yang menurut penulis sangat rumit sehingga penulis sering tersesat. Terimakasih atas bantuan dan kesabarannya.

18.Teman-teman satu pembimbing skripsi Lestari Wulandari S,Pd, Surya Dirja, Aries Sihotang, Rohmania br Parangin-angin, dan terkhusus buat Dona dan Krisna tetap semangat, tidak ada hasil yang menghianati usaha.

19.Teman-teman Antrosos stambuk 2012. Terima kasih atas segala hal yang telah terjadi selama perkuliahan. Antrosos stambuk 2012 adalah orang-orang terhebat. Kiranya kasih selalu pada ada diri kita sampai kapanpun..

20.Teman seminar dan sidang meja hijau Erika Bangun, Afriando Syahputra, Wiwik Pujiati, Juhaira Utari terimakasih untuk dukungan satu sama lainnya, segala sesuatu bisa terlewati jika kita saling tolong menolong.

21.Teman penyemangat dan penghibur baik dari via jaringan sosial dan secara langsung Yan Sardo Saragih, Syuhady Witana, Richard Michael Sihombing, S.Pd, Purnama Sari, Iis Soleha, Raras Yudira, Nur Cahayanta Manullang, dan Andika Saragih.

22.Teman yang selalu memberi kontak nomor dosen dan penunjuk arah rumah dosen Asnika P Simanjuntak, dan Janwilson Sitanggang terimakasih atas kesabarannya dan keikhlasannya.

23.Adik-adik kos Septi Triana, Erna Williz, Esli Gusti, terimakasih buat segala dukungan dan bantuaanya, penulis merasa kalian bukan hanya sekedar adik kos tapi seperti saudara penulis. Susah senang kita lewati bersama. Tetap semangat buat kuliahnya, semoga suskes ada didalam diri kita, senang mengenal mereka.

24.Teman SMA yang selalu menghibur dan memberi semangat satu sama lain Margaretha Pasaribu, Dhita Rahiswari, Vivien, Yulia Ningsih, Uut Permatasari, Ika


(9)

Nanda Sari, Ilman Pangeran, Risty Silvia, Dwi Utari (Tari), Ornike Sinaga, Meilita Pratiwi, Nuzulia Deliantha.

25.Teman-teman PPL di SMP Negeri 5 Stabat tahun 2015 Masringgit Marwiyah, Rahima Rianita, Anggia Hasian, M.Ananda, Rafika Kumala, Ridwan, Ridho Kurniawan, terimakasih buat motivasi dan dukungannya selama ini.

26.Pamong Bapak Sumawardianto dan Bapak Kepala Sekolah PPL di SMP Negeri 5 Stabat yang selalu mendukung penulis.

27.Seluruh Mahasiswa Antropologi stambuk 2010, 2011, 2013, 2014 terimakasih buat dukungan dan doanya.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat yang berlimpah untuk kita semua, menjadi berkat bagi sekeliling dan kasih selalu mendekatkan kita pribadi lepas pribadi. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum begitu sempurnah. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan serta pengetahuan pembaca.

Medan, September 2016 Penulis,

Noni AlfanitaSarumaha NIM. 3123122043


(10)

i

DAFTAR ISI

HALAMAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 5

1.3 Pembatasan Masalah ... 6

1.4 Rumusan Masalah ... 6

1.5 Tujuan Penelitian ... 7

1.6 Manfaat Penelitian ... 7

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.6.2 Manfaat Praktis ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka ... 9

2.1.1 Kajian Penelitian Relevan... 9

2.2 Kerangka Teori ... 12

2.2.1 Teori Perubahan Budaya ... 12

2.3 Kerangka Konseptual... 14

2.3.1 Masyarakat Nias di Kota Medan ... 14

2.3.2PerkawinanAdat ... 19


(11)

ii

2.3.4 Gogoila (Ketentuan) ... 19

2.3.5 Pergeseran dalam PemberianBöwö ... 20

2.4 Kerangka Berfikir ... 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis dan Tipe Penelitian ... 24

3.2 Subjek dan Objek Penelitian ... 24

3.3.1 Subjek Penelitian ... 23

3.3.2 Objek Penelitian ... 24

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.3.1 Observasi ... 27

3.3.2 Wawancara ... 27

3.3.3 Dokumentasi ... 28

3.4 Teknik Analisis Data ... 29

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 31

4.4.1 Letak Kondis iGeografis ... 31

4.2 Etnis Nias di Kota Medan ... 33

4.1.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Enis ... 33

4.3 Sistem Kekerabatan………. 35

4.3.1 Garis Keturunan ... 35

4.3.2 Kelompok Kekerabatan ... 36

4.3.3 Sopan Santun Kekerabatan ... 37

4.4 Sistem Mata Pencaharian ... 39

4.5 Sistem Pemberian Böwö dahulu ... 41


(12)

iii

4.6.1 Tahap Meminang ... 49

4.6.2 Tahap Penentuan Hari Perkwaninan ... 52

4.6.3 Upacara Menikah ... 53

4.6.4 Upacara Menjenguk Orang Tua ... 58

4.7 Pergeseran yang terjadi Perkawinan ... 60

4.7.1 Tahap dalam Proses pemberian Böwö ... 60

4.8 Persamaan dan Perbedaan... 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 67 Daftar Pustaka


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1.Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis di Medan Tenggara ... 34

Tabel 2.Jumlah Emas Jujuran Etnis Nias ... 42

Tabel 3.Pembagian Emas Jujuran bagi Kaum Bangsawan ... 43


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia mempunyai beraneka ragam etnis bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat.Adat perkawinan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan.Perkawinan adalah ikatan sosial yang bersifat sakral dan suci, menyatunya dua hati antara pria dan wanita dalam satu ikatan janji suci .Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara perkawinan.

Jujuran merupakan salah satu syarat untuk terpenuhinya sebuahperkawinan, dimana jujuran merupakan pemberian harta seperti uang, beras dan sebagainya kepada calon mempelai laki laki kepada calon mempelai wanita.Oleh karena itu penetapan pemberianjujuran sebelum melaksanakan perkawinan sangat penting untuk dibicarakan, ketua adat juga memiliki peran penting dalam mengambil keputusan tinggi rendahnya nilai suatu jujuran.Pada etnis Nias böwö, (jujuran dalam perkawinan) adalah buah kasih fa’aböwö atau fa’omasi.Pemberian jujuran tersebut juga merupakan tanda kehormatan bagi kaum wanita.

Pada etnis Nias perkawinan terlebih dahulu dimulai dari masa pertunangan.Pada masa pertunangan mulai diatur di saat orang tua laki-laki menyuruh seorang wanita yang berumur, bertindak sebagai pesuruh atau perantarauntuk menyampaikan pesan ingin menikahi putrinya kepada orang tua gadis. Jika orang tua gadis menerima dan menyetujui usul pertunangan itu, maka mereka akan mengatur waktu untuk upacara pertunangan resmi yang disebut “famatuasa”. Bagietnis Nias“böwö ba wangowalu” (jujuran dalam perkawinan) adalah hal yang wajib dibicarakan ketika ingin melangsungkan perkawinan.


(16)

Etnis Nias sendiri sangat menjujung tinggi dan menghormati böwö, karenaböwö merupakan salah satu kesempatan dalam menjalin hubungan kekeluargan yang sangat erat antara kedua belah pihak mempelai. Böwö berlangsung pada saat mulai pertunangan hingga pesta perkawinan berakhir.Böwö sebagai tuntutan atau syarat yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak mempelai.Syarat böwö sendiri terdiri dari uang, babi, beras dan emas. Dahulutinggi rendahnya böwö yang dituntut oleh pihak mempelai wanita didasarkan pada

strata sosial atau “bosi” keluarga. Semakin tinggi strata keluarga pihak wanita, maka semakin besar böwö yang akan diminta.

Seiring dengan perkembangan zaman böwösendiri sangat sulit untuk dipenuhi. Mengingat rata-rata pekerjaan etnis Nias adalah bersawah atau berladang dan menyadap karet (dari pohon havea) dengan penghasilan yang minim. Dahuluböwömasih bisa diterima, karena sistem perekonomian Nias masih barter, artinya böwödihitung berdasarkan jumlah babi bukan uang, dimana babi disini dianggap lebih bermakna nilainya dibandingkan uang. Sekarang kalau böwö itu diuangkan, maka harga atau nilai dari uang tersebut akan terbilang tinggi, karena pada saat ini babi tidak murah.

Tingginya böwö atau jujuran pada etnis Nias yang terbilang besar ini menjadi hambatan bagi lelaki Nias untuk menyunting wanita pilihannya, maka tidak heran jika di Nias masih banyak wanita yang belum menikah hingga usia lanjut, karena bagi lelaki Nias semacam ada ketakutan, keengganan dan keragu-raguan ketika ingin menikah dengan wanita Nias. Pro dan kontra terhadap böwö menjadi pembicaraan yang penting bagi etnis Nias. Tidak sedikit yang mengeluhkan tingginya nilai böwö, sedangkan disisi lain berpendapat


(17)

bahwa böwö ini menjadikan pemuda Nias lebih berusaha dan bekerja keras, membentuk pribadi yang bertanggung jawab untuk keluarganya kelak.

Keuntungan böwö sendiri bagi pihak keluarga mempelai wanita dianggap sebagai kehormatan bagi putrinya.Ada harga yang harus dibayar melalui böwö itu sendiri. Harga böwö itu sendiri terdiri dari dari babi, beras, emas dan uang, Jika tingkat pendidikan, pekerjaan calon mempelai wanita tinggi maka semakin tinggi pula böwö yang diminta, belum lagi jika orang tua mempelai wanita mempunyai pekerjaan atau jabatan yang tinggi, maka pihak keluarga akan meminta böwö yang sepadan dengan mereka dan putrinya.

Disisi lain kerugian yang dirasakan adalah beratnya memenuhi nilai böwö tersebut, calon mempelai laki-laki harus lebih bekerja keras untuk memenuhi syarat tersebut, termaksud dengan cara mengutang atau meminjam uang kepada keluarga dan saudara lainnya. Sehingga ketika sudah menikah dan berumah tangga wanita Nias yang sudah dinikahi harus membantu suaminya dengan ikut bekerja keras untuk melunasi utang-piutang yang dipakai pada saat pertunangan dan perkawinan.

Saat ini istilah böwö bergeser menjadi “gogoila” (goi-goila: ketentuan). Kata

gogoila” yang lebih familiar dikalangan tokoh adat Nias. Untuk mencapai ketentuan ditempuh dengan cara musyawarah oleh kedua keluarga mempelai yang dimediasi oleh siso bahuhuo (pangatua adat). Dalam musyawarah itu terjadi tawar-menawar berapa gogoila yang harus dibayar oleh pihak keluarga mempelai laki-laki kepada pihak keluarga mempelai wanita.Tentu saja ini berdasarkan kemampuan dan kesanggupan keluarga mempelai laki-laki.

Hal ini pun dirasakan lebih meringankan dikarenakan tidak ada paksaan yang berat dalam menentukan pemberian böwö, disini gogoila dibicarakan melalui musyawarah. Jika pihak dari calon mempelai laki ingin meminang wanita Nias maka pihak keluarga laki-laki mengutarakan nilai kemampuan dan kesanggupannya, jika pihak dari keluarga calon


(18)

mempelai wanita kurang setuju dan menerima, maka terjadilah gogoila (ketentuan) dengan cara musyawarah, tentu saja ini dimediasi oleh pangatua adat yang ditunjuk oleh keluarga, hingga sampailah dimana keluarga mempelai wanita menyetujuinya. Jika dua keluarga sudah setuju maka penetapan hari pertunangan dilakukan.

Efek dari böwö tersebut menjadikan beban ekonomi bagi calon mempelai laki-laki, sehingga faktor pendidikan dan lain-lain dalam keluarga dikesampingkan, Oleh karena itu,etnis Nias sebagian besar melakukan migrasi ke salah satu di daerah kota Medan. Di kota Medan sendiri banyak etnis Nias yang bermukim, di antara lain di daerah Polonia, Simalingkar, Aksara, Simpang Limun, Deli Tua, Padang Bulan dan terkhusus yang sedang peneliti lakukan saat ini di daerahKecamatan Medan Denai, Kelurahan Medan Tenggara.

Kelurahan Medan Tenggara dapat dikatakan sebagai kelurahan yang heterogen dalam hal budaya yang terdiri dari beragam etnis. Beragam etnis yang bermukim di Medan Tenggara dapat dilihat dari struktur etnis yang terdiri dari etnis Batak Toba, Aceh, Melayu, Jawa, Minang, Nias dan lain-lain. Keragaman tersebut menimbulkan perilaku-perilaku etnis dalam menjalankan life cycle (proses kehidupannya).

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti merasa tertarik untuk membahas pergeseran pemberianböwö menjadi gogoilapadaetnis Nias, yang dirasakan sebagai salah satu beban ketika ingin menikahi wanita Nias yang bertempat tinggal di kota Medan, maka peneliti melakukan penelitian dengan judul “Adat Perkawinan Etnis Nias di Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan (Suatu Studi tentang Pergeseran Böwö menjadi Gogoila)”


(19)

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, penulis menidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Latar belakang ekonomi dan status sosial etnis Nias di Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai, Medan

2. Proses upacara perkawinan Nias di Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai, Medan

3. Tingginya angka gadis Nias yang tidak menikah di Nias

4. Terajadinya pergeseran böwö ke gogoila di Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai, Medan

5. Presepsietnis Nias terhadap böwö, yang bermukim di Kelurahan Medan Tenggara, Medan

1.3 Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya masalah yang muncul, maka penulis merasa perlu membuat pembatasan masalah agar mendapatkan data dan lebih terarah. Untuk itu penulis membatasi masalah pada “Adat PerkawinanEtnisNias di Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan (Suatu Studi tentang Pergeseran Böwö menjadi Gogoila)

1.4Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas. Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses penetapanpemberian böwö dahulu pada etnis Nias?


(20)

3. Bagaimana proses penetapan pemberian böwö sekarang hingga proses acara perkawinan etnis Nias di Kelurahan Medan Tenggara?

1.5Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses penetapan pemberian böwö dahulu pada etnisNias.

2. Untuk mengetahui bentuk pergeseran terjadi pergeseran dalam pemberian proses pelaksanaan böwö ke gogoila pada etnis Nias di Kelurahan Medan Tenggara, Medan 3. Untuk mengetahui proses penetapan pemberian böwö sekarang hingga acara

perkawinanetnis Nias di Kelurahan Medan Tenggara, Medan

1.6Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis

1. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang adat perkawinan perilaku etnis Nias terkhusus pada studi pergeseran böwö menjadi gogoila dalam acara perkawinan Nias.

2. Sebagai bahan yang dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini


(21)

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah refrensi hasil penelitian yang dapat juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian terkait selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi etnis dan etnis Nias. 2. Memperkaya perpustakaan Universitas Negeri Medan khususnya Fakultas Ilmu

Sosial

3. Memberikan pengalaman dan wawasan kepada penulis dalam penulisan karya ilmiah.


(22)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Pada etnis Nias perkawinan terlebih dahulu dimulai dari masa pertunangan, bagi etnis Nias “böwö ba wangowalu” (jujuran dalam perkawinan) adalah hal yang wajib dibicarakan ketika ingin melangsungkan perkawinan. Etnis Nias sendiri sangat menjujung tinggi dan menghormati böwö, karena böwö merupakan salah satu kesempatan dalam menjalin hubungan kekeluargan yang sangat erat antara kedua belah pihak mempelai.Semakin tinggi strata keluarga pihak wanita, maka semakin besar böwö yang akan diminta.

2. Tingginya böwö atau jujuran pada etnis Nias yang terbilang besar ini menjadi hambatan bagi lelaki Nias untuk menyunting wanita pilihannya. Maka saaat ini istilah böwö bergeser menjadi “gogoila” (goi-goila: ketentuan). Untuk mencapai ketentuan ditempuh dengan cara musyawarah oleh kedua keluarga mempelai yang dimediasi oleh siso bahuhuo (pangatua adat). Ini diharapkan mampu meringankan pihak mempelai laki-laki ketika ingin menikah dengan wanita Nias.Hal ini pun dirasakan lebih meringankan dikarenakan tidak ada paksaan yang berat dalam menentukan pemberian böwö, disini gogoila dibicarakan melalui musyawarah. Jika pihak dari calon mempelai laki-laki ingin meminang wanita Nias makapihak keluarga laki-laki mengutarakan nilai kemampuan dan kesanggupannya, jika pihak dari keluarga calon mempelai wanita kurang setuju dan menerima, maka terjadilah gogoila (ketentuan) dengan cara musyawarah, tentu saja ini dimediasi oleh pangatua adat yang ditunjuk


(23)

oleh keluarga, hingga sampailah dimana keluarga mempelai wanita menyetujuinya. Jika dua keluarga sudah setuju maka penetapan hari pertunangan dilakukan.

3. Proses pelaksanaan terdiri dari empat tahap yaitu: Tahap meminang, yang terdiri dari upacara mengantar emas pertunangan (mamebola) dan upacara pengembalian kantong tikar (famuli mbola), Tahap penentuan hari pernikahan (fagötö mbongi) yang di dalamnya juga dibicarakan besaran mas kawin, Tahap upacara nikah (fangowalu) dan Tahap Upacara menjenguk orang tua (famuli nukha).

5.2. Saran

Setelah melakukan penelitian tentang makna mahar dalam perkawinan Etnik Tamiang, maka penulis menyarankan untuk:

1. Secara ritual adat Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena ini warisan berharga dari leluhur Nias Namun yang perlu diperhatikan adalah bentuk penghormatan itu bukan dengan material, bukan dengan pemberian babi yang sekarang tergolong mahal di Nias (tetapi jika ada keluarga yang mampu dengan penghormatan secara material, silahkan saja yang penting jangan sampai pemberian itu adalah hasil pinjaman yang justru menjadi utang berlapis generasi). Bentuk penghormatan itu bisa melalui perhatian, menolong kerabat, mertua dikala mengalami situasi yang memang memerlukan bantuan tenaga manusia. Jadi, penghormatan itu lebih pada hal spiritual, afeksional, sosial dan bukan material-ekonomis. Dan, yang harus selalu dilestarikan oleh orang Nias adalah budaya, seperti: maena, tarian (tarian baluse, tari moyo, hoho, dst.)


(24)

2. Orangtua diharapkan mampu menjelaskan kepada anak bahwa bowo sekarang sudah memakai sistem gogoila. Ada kewajiban dan proses adat yang harus dilakukan ketika ingin menikah.

3. Tokoh agama harus terlibat dalam memberikan penyuluhan kepada etnis Nias yang masih menerapkan sistem böwö yang besar.

4. Dinas Pendidikan Kabupaten Nias, diharapkan memberikan sosialisasi penyuluhan mengenai böwö diajarkan di sekolah sebagai pelajaran “muatan lokal” atau seperti pelajaran “ekstra kurikuler”. karena, böwö dan juga adat Nias yang lain perlu dijelaskan kepada generasi muda agar mereka kelak mengerti dampak ambivelensi adat Nias itu sendiri. Dan oleh karena itu, mereka kelak bisa menegasi hal-hal yang tidak membangun dari adat Nias itu sendiri; sehingga budaya Nias tidak jalan ditempat


(1)

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, penulis menidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Latar belakang ekonomi dan status sosial etnis Nias di Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai, Medan

2. Proses upacara perkawinan Nias di Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai, Medan

3. Tingginya angka gadis Nias yang tidak menikah di Nias

4. Terajadinya pergeseran böwö ke gogoila di Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai, Medan

5. Presepsietnis Nias terhadap böwö, yang bermukim di Kelurahan Medan Tenggara, Medan

1.3 Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya masalah yang muncul, maka penulis merasa perlu membuat pembatasan masalah agar mendapatkan data dan lebih terarah. Untuk itu penulis membatasi masalah pada “Adat PerkawinanEtnisNias di Kelurahan Medan Tenggara, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan (Suatu Studi tentang Pergeseran Böwö menjadi Gogoila)

1.4Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas. Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses penetapanpemberian böwö dahulu pada etnis Nias?


(2)

3. Bagaimana proses penetapan pemberian böwö sekarang hingga proses acara perkawinan etnis Nias di Kelurahan Medan Tenggara?

1.5Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses penetapan pemberian böwö dahulu pada etnisNias.

2. Untuk mengetahui bentuk pergeseran terjadi pergeseran dalam pemberian proses pelaksanaan böwö ke gogoila pada etnis Nias di Kelurahan Medan Tenggara, Medan 3. Untuk mengetahui proses penetapan pemberian böwö sekarang hingga acara

perkawinanetnis Nias di Kelurahan Medan Tenggara, Medan

1.6Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis

1. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang adat perkawinan perilaku etnis Nias terkhusus pada studi pergeseran böwö menjadi gogoila dalam acara perkawinan Nias.

2. Sebagai bahan yang dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini


(3)

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan mampu menambah refrensi hasil penelitian yang dapat juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian terkait selanjutnya, serta diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi etnis dan etnis Nias. 2. Memperkaya perpustakaan Universitas Negeri Medan khususnya Fakultas Ilmu

Sosial

3. Memberikan pengalaman dan wawasan kepada penulis dalam penulisan karya ilmiah.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Pada etnis Nias perkawinan terlebih dahulu dimulai dari masa pertunangan, bagi etnis

Nias “böwö ba wangowalu” (jujuran dalam perkawinan) adalah hal yang wajib

dibicarakan ketika ingin melangsungkan perkawinan. Etnis Nias sendiri sangat menjujung tinggi dan menghormati böwö, karena böwö merupakan salah satu kesempatan dalam menjalin hubungan kekeluargan yang sangat erat antara kedua belah pihak mempelai.Semakin tinggi strata keluarga pihak wanita, maka semakin besar böwö yang akan diminta.

2. Tingginya böwö atau jujuran pada etnis Nias yang terbilang besar ini menjadi hambatan bagi lelaki Nias untuk menyunting wanita pilihannya. Maka saaat ini istilah böwö bergeser menjadi “gogoila” (goi-goila: ketentuan). Untuk mencapai ketentuan ditempuh dengan cara musyawarah oleh kedua keluarga mempelai yang dimediasi oleh siso bahuhuo (pangatua adat). Ini diharapkan mampu meringankan pihak mempelai laki-laki ketika ingin menikah dengan wanita Nias.Hal ini pun dirasakan lebih meringankan dikarenakan tidak ada paksaan yang berat dalam menentukan pemberian böwö, disini gogoila dibicarakan melalui musyawarah. Jika pihak dari calon mempelai laki-laki ingin meminang wanita Nias makapihak keluarga laki-laki mengutarakan nilai kemampuan dan kesanggupannya, jika pihak dari keluarga calon mempelai wanita kurang setuju dan menerima, maka terjadilah gogoila (ketentuan) dengan cara musyawarah, tentu saja ini dimediasi oleh pangatua adat yang ditunjuk


(5)

oleh keluarga, hingga sampailah dimana keluarga mempelai wanita menyetujuinya. Jika dua keluarga sudah setuju maka penetapan hari pertunangan dilakukan.

3. Proses pelaksanaan terdiri dari empat tahap yaitu: Tahap meminang, yang terdiri dari upacara mengantar emas pertunangan (mamebola) dan upacara pengembalian kantong tikar (famuli mbola), Tahap penentuan hari pernikahan (fagötö mbongi) yang di dalamnya juga dibicarakan besaran mas kawin, Tahap upacara nikah (fangowalu) dan Tahap Upacara menjenguk orang tua (famuli nukha).

5.2. Saran

Setelah melakukan penelitian tentang makna mahar dalam perkawinan Etnik Tamiang, maka penulis menyarankan untuk:

1. Secara ritual adat Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena ini warisan berharga dari leluhur Nias Namun yang perlu diperhatikan adalah bentuk penghormatan itu bukan dengan material, bukan dengan pemberian babi yang sekarang tergolong mahal di Nias (tetapi jika ada keluarga yang mampu dengan penghormatan secara material, silahkan saja yang penting jangan sampai pemberian itu adalah hasil pinjaman yang justru menjadi utang berlapis generasi). Bentuk penghormatan itu bisa melalui perhatian, menolong kerabat, mertua dikala mengalami situasi yang memang memerlukan bantuan tenaga manusia. Jadi, penghormatan itu lebih pada hal spiritual, afeksional, sosial dan bukan material-ekonomis. Dan, yang harus selalu dilestarikan oleh orang Nias adalah budaya, seperti: maena, tarian (tarian baluse, tari moyo, hoho, dst.)


(6)

2. Orangtua diharapkan mampu menjelaskan kepada anak bahwa bowo sekarang sudah memakai sistem gogoila. Ada kewajiban dan proses adat yang harus dilakukan ketika ingin menikah.

3. Tokoh agama harus terlibat dalam memberikan penyuluhan kepada etnis Nias yang masih menerapkan sistem böwö yang besar.

4. Dinas Pendidikan Kabupaten Nias, diharapkan memberikan sosialisasi penyuluhan mengenai böwö diajarkan di sekolah sebagai pelajaran “muatan lokal” atau seperti

pelajaran “ekstra kurikuler”. karena, böwö dan juga adat Nias yang lain perlu

dijelaskan kepada generasi muda agar mereka kelak mengerti dampak ambivelensi adat Nias itu sendiri. Dan oleh karena itu, mereka kelak bisa menegasi hal-hal yang tidak membangun dari adat Nias itu sendiri; sehingga budaya Nias tidak jalan ditempat