Identifikasi Sektor Basis Dan Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah di Provinsi Lampung Tahun 2009 - 2013

ABSTRAK
Identifikasi Sektor Basis Dan Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah di
Provinsi Lampung Tahun 2009 - 2013

Oleh

Lina Maulina Syarifudin
Berdasarkan data statistik sumbangan sektor pertanian pada perekonomian
semakin menurun, karena keberadaannya tidak banyak memberikan nilai tambah
bagi sektor-sektor yang lain di provinsi lampung.
Adanya dominasi sektor pertanian menyebabkan adanya ketimpangan
pembangunan antar wilayah dan ketimpangan secara sektoral. Untuk mengetahui
besarnya ketimpangan wilayah ini dilakukan analisis dengan indeks
Williamson. Ketimpangan sektoral yang ada tampak sangat besar akibat
dominasi sektor pertanian pada PDRB Provinsi Lampung.
Untuk dapat mengetahui potensi sektor- sektor ekonomi maka dilakukan
analisis dengan menggunakan Location Quotient. Jadi analisis dilakukan
dengan memisahkan adanya peranan sektor pertanian dan tidak
memperhitungkan sektor pertanian sehingga akan didapatkan sektor-sektor
unggulan yang lain selain sektor pertanian.
.


Kata Kunci

: Sektor Basis, Ketimpangan Pendapatan, dan Perekonomian
Daerah

ABSTRACT
Identification Sector Base And Inter-Regional Income Inequality in
Lampung province Year 2009 - 2013

By
Lina Maulina Syarifudin

Based on the statistical data on the economic contribution of the agricultural
sector has declined, as it is not much give added value to other sectors in
Lampung province.
The dominance of the agricultural sector led to the development gaps
between regions and sectoral imbalances. To know the size of the region
inequality indices analyzed by Williamson. Inequality sectoral looked very large
due to the dominance of the agricultural sector in GDP Lampung Province.

In order to determine the potential economic sectors that performed the
analysis using the Location Quotient. So the analysis is done by separating the
role of the agricultural sector and do not take into account the agricultural sector
so that would be obtained leading sectors other than agriculture.

Keywords: Base Sector, Income Inequality, and Regional Economy

IDENTIFIKASI SEKTOR BASIS DAN KETIMPANGAN PENDAPATAN
ANTAR WILAYAH DI PROVINSI LAMPUNG
TAHUN 2009 - 2013

Oleh
LINA MAULINA SYARIFUDIN

Sebagai
Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA EKONOMI

Pada
Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunung Madu, Lampung Tengah pada tanggal 8 Oktober
1991. Sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, buah cinta dari pasangan Bapak
Didin Syarifudin dan Ibu Illa R.Susilawati.

Penulis mengawali jenjang pendidikan pertama di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1
Gunung Madu Lampung Tengah dan diselesaikan pada tahun 2003. Pada Tahun
2003 penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satya Dharma
Sudjana dan diselesaikan pada tahun 2006, setelah itu melanjutkan ke Sekolah
Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Terbanggi Besar dan lulus pada tahun 2009.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Lampung

Jurusan Ekonomi Pembangunan pada tahun 2009 melalui jalur PKAB.

Pada tahun 2011 penulis melaksanakan Kuliah Kunjung Lapangan (KKL) di
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementrian Keuangan dan Badan Perencanaan
Nasional (Bappenas).

Pada Bulan Juli 2012 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) bersama
teman kelompok KKN selama 40 hari, di Desa Negeri Agung. Kecamatan
Margatiga, Kabupaten Lampung Timur.

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur atas segala rahmat dan nikmat yang telah dilimpahkan
Allah SWT, kupersembahkan karya sederhana ini dengan segala ketulusan dan
kerendahan hati kepada yang tersayang :

Apak dan Ibu yang ku hormati, kusayangi, dan kucintai yang telah membesarkan
dan mendidikku dengan penuh kesabaran dan segala limpahan kasih sayang,
keikhlasan, ketulusan, kesabaran dan pengorbanan yang selalu diberikan, serta
yang selalu berdoa disetiap waktu demi kesuksesanku.

Kakak dan Adikku tersayang untuk semangat serta senantiasa menemaniku
dengan keceriaan dan kasih sayang.
Yang Tersayang Prasetyawan Nugroho dengan segala kesabaran, perhatian, kasih
sayang, waktu dan semangat yang selalu diberikan dalam menyelesaikan skripsi
ini.
Serta
Almamaterku tercinta Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung yang
telah memberikan pendidikanku selama ini.

MOTO

Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu Sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar
(Al-Baqarah: 153)
Sabar itu berbuah manis.
Saya percaya bahwa apapun yang saya terima saat ini adalah yang terbaik dari Tuhan dan
saya percaya Dia akan selalu memberikan yang terbaik untukku pada waktu yang telah Ia
tetapkan
(Lina Maulina Syarifudin)


SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamiin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas limpahan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi dengan judul “Identifikasi Sektor Basis Dan Ketimpangan Pendapatan
Antar Wilayah Di Provinsi Lampung Tahun 2009 - 2013” Sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi Fakultas Ekonomi dan
Bisnis di Universitas Lampung.

Penulis telah banyak menerima bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai
pihak dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati sebagai wujud rasa hormat dan penghargaan serta terimakasih yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Satria Bangsawan, S.E, M.Si. selalu Dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Lampung.
2. Bapak Muhammad Husaini, S.E, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ekonomi
Pembangunan dan selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran dalam proses
penyusunan skripsi ini hingga akhir kepada penulis.

3. Ibu Asih Murwiati, S.E, M.Si selaku Sekertaris Jurusan Ekonomi

Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Lampung.
4. Bapak Muhammad Husaini, S.E, M.Si. selaku Desen Pembimbing yang telah
banyak membantu penulis serta memberikan ilmu, saran dan masukan dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Dr. I Wayan Suparta, S.E, M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang
telah memberikan perhatian dan pengarahan kepada penulis selama menjadi
Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Lampung.
6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah membekali
penulis dengan ilmu dan pengetahuan selama menjalani masa perkuliahan.
7. Para staf dan pegawai di Jurusan Ekonomi Pembangunan Bu Hudaiyah, Bapak
Ferry, Bu Yati, Mas Ma’ruf serta pegawai di Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
yang telah membantu kelancaran proses skripsi ini.
8. Bapak Kepala Desa Negeri Agung Kecamatan Margatiga, Kabupaten
Lampung Timur berserta istri, yang telah memberikan pengalaman kepada
penulis selama menjalani Kuliah Kerja Nyata.
9. Kepada Orang Tua tersayang, Ayahanda Didin Syarifudin dan Ibunda Illa
R.Susilawati Tercinta yang selalu mendukung, mendoakan dan memberiku
semangat. Semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan dan kasih
sayangnya kepada orang tua ku.

10. Kakakku, Dian Maya Syarifudin S.E., adikku Riza Maulana Syarifudin
terimakasih atas semua do’a, dukungan, semangat, dan keceriaan terhadap
penulis.

11. Sahabat satu bimbinganku seperjuangan Ely Ulfa Sari, Putri Ayungtyas yang
telah memberikan bantuan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Sahabat-sahabatku tersayang Adistya Nofi Pratiwi, Ely Ulfa Sari, Putri
Ayuningtyas, Larkana Citra Bella, Nurul Hidayati, Ryana Meilani, Retno
Wulan Sari, Intan Oktaviani, Dicky Hidayat yang telah memberikan
pengalaman serta kebersamaan selama masa perkuliahan yang tak dapat
dilupakan. Semoga persahabatan kita tak terpisah oleh jarak dan waktu.
13. Prasetyawan Nugroho, terimakasih untuk doa, semangat, kebersamaan serta
dukungan yang diberikan kepada penulis.
14. Sahabat-sahabat KKN Negeri Agung Wahyu Indri, Rizqa Atina, Khairunnisa,
Renita Allagan, Richad, Reza Remontito, Dian Purnomo yang telah
memberikan pengalaman serta kebersamaan yang luar biasa selama masa
KKN.
15. Teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2009 Adistya Nofi Pratiwi,
Ely Ulfa Sari, Putri Ayuningtyas, Larkana Citra Bella, Nurul Hidayati, Eli
Fajar Laiya, Yulia Pusparini, Resti Yulisari, I Wayan Desta, Faisal, serta

teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
kebersamaan selama menjalani perkuliahan.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan pengorbanan bapak, ibu,
kakak, adik, dan teman-teman. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari

kesempurnaan akan tetapi penulis berharap semoga karya ini berguna dan
bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, 24 Juni 2015
Penulis

Lina Maulina Syarifudin

i

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI .......................................................................................

i

DAFTAR TABEL ..............................................................................

ii

DAFTAR GAMBAR .........................................................................

iii

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………

iv

I. PENDAHULUAN ...........................................................................
A. Latar Belakang ..........................................................................
B. Rumusan Masalah .....................................................................
C. Tujuan Penelitian ......................................................................

D. Manfaat Penelitian ....................................................................
E. Kerangka Pemikiran ..................................................................

1
1
7
7
7
8

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
A. Landasan Teori ..........................................................................
1. Konsep Otonomi Daerah .......................................................
2. Dampak Otonomi Daerah ......................................................
3. Teori Basis Ekonomi .............................................................
4. Teori Ketimpangan Antar Wilayah .......................................
B. Penelitian Terdahulu ..................................................................

10
10
10
12
13
17
22

III. METODE PENELITIAN .............................................................
A. Jenis dan Sumber Data ...............................................................
B. Operasional Variabel ..................................................................
C. Metode Analisis ..........................................................................

25
25
26
27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................
A. Gambaran Umum Provinsi Lampung ....................................
1. Kondisi Umum Wilayah .......................................................
2. Perekonomian Provinsi Lampung .........................................
B. Hasil Perhitungan .....................................................................
1. Analisis Location Quotien ....................................................
1.1 Sektor Pertanian ..............................................................
1.2 Sektor Pertambangan dan Penggalian ............................

31
31
31
32
35
35
36
37

ii

1.3 Sektor Industri Pengolahan .............................................
1.4 Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih .................................
1.5 Sektor Bangunan .............................................................
1.6 Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ........................
1.7 Sektor Pengangkutan dan Komunikasi ............................
1.8 Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan .........
1.9 Sektor Jasa ........................................................................

38
40
41
42
43
43
45

2. Analisis Ketimpangan Antar Wilayah ....................................
C. Pembahasan ................................................................................

48
50

V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
A. Simpulan ......................................................................................
B. Saran ............................................................................................

53
53
55

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel
1.

Halaman
Kontribusi Sektor terhadap Total PDRB Provinsi
Lampung (persentase)....................................................................................3

2. Pendapatan per kapita Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung
Tahun 2009 – 2013 (juta rupiah).................................................................. 4
3. Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Lampung Dirinci menurut
Lapangan Usaha Tahun 2009 – 2013 (Persentase).................................... 6
4. Kriteria Ketimpangan Antar Wilayah......................................................30
5. Luas Wilayah, Penduduk, dan Kepadatan Penduduk
kabupaten/kota di

Provinsi Lampung Tahun 2013...................................32

6. PDRB Provinsi Lampung atas dasar harga konstan tahun 2000,
tahun 2009 - 2013 (Juta Rupiah)................................................................33
7. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/ Kota Provinsi Lampung
Tahun 2009 – 2013.......................................................................................34
8. Kontribusi PDRB Kabupaten/kota terhadap gabungan PDRB provinsi
Lampung Tahun 2009-2013.........................................................................35
9. Hasil Perhitungan LQ sektor Pertanian 14 kabupaten/ Kota
di Provinsi Lampung Tahun 2009 – 2013....................................................36
10. Hasil Perhitungan LQ sektor Pertambangan dan Penggalian
Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2009 – 2013.........................38
11. Hasil perhitungan LQ sektor industri untuk 14 Kabupaten/Kota di
Provinsi Lampung Tahun 2009-2013...........................................................39
12. Hasil perhitungan LQ sektor Listrik,Gas dan Air Bersih untuk 14
Kabupaten/kota di Provinsi Lampung Tahun 2009-2013.............................40
13. Hasil perhitungan LQ Sektor Bangunan untuk 14 Kabupaten/ Kota
di Provinsi Lampung Tahun 2009 – 2013...................................................41

14. Hasil perhitungan LQ Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
untuk 14 Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung
Tahun 2009 -2013....................................................................................... 42
15. Hasil perhitungan LQ Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
untuk 14 Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung
Tahun 2009 – 2013........................................................................................ 43
16. Hasil perhitungan LQ Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa
Perusahaan untuk 14 Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung
Tahun 2009 – 2013....................................................................................... 44
17. Hasil perhitungan LQ Sektor Jasa-jasa untuk 14 Kabupaten/ Kota
di Provinsi Lampung Tahun 2009 – 2013.................................................... 45
18. Hasil kompilasi koefisien LQ di Provinsi Lampung
tahun 2009 – 2013..........................................................................................47
19. Perhitungan Indeks Williamson di Provinsi Lampung
Tahun 2009 – 2013 (dalam %).......................................................................49

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran
Halaman
1. PDRB Kabupaten Lampung Barat ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Lampung Barat Tahun 2009 – 2013………..L1
2. PDRB Kabupaten Tanggamus ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Tanggamus Tahun 2009 – 2013………....…L2
3. PDRB Kabupaten Lampung Selatan ADHK 2000 dan .
Koefisien LQ Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2009 – 2013….….L3
4. PDRB Kabupaten Lampung Timur ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Lampung Timur Tahun 2009 – 2013….....…L4
5. PDRB Kabupaten Lampung Tengah ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2009 – 2013…..….L5
6. PDRB Kabupaten Lampung Utara ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Lampung Utara Tahun 2009 – 2013……..…L6
7. PDRB Kabupaten Way Kanan ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Way Kanan Tahun 2009 – 2013………....…L7
8. PDRB Kabupaten Tulang Bawang ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Tulang Bawang Tahun 2009 – 2013……… .L8
9. PDRB Kabupaten Pasawaran ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Pasawaran Tahun 2009 – 2013…………… .L9
10. PDRB Kabupaten Pringsewu ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Pringsewu Tahun 2009 – 2013…………… L10
11. PDRB Kabupaten Mesuji ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Mesuji Tahun 2009 – 2013……………..… L11
12. PDRB Kabupaten Tulang Bawang Barat ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kabupaten Tulang Bawang Barat Tahun 2009 – 2013...L12
13. PDRB Kota Bandar Lampung ADHK 2000 dan

Koefisien LQ Kota Bandar Lampung Tahun 2009 – 2013………..….L13
14. PDRB Kota Metro ADHK 2000 dan
Koefisien LQ Kota Metro Tahun 2009 – 2013………………...…….L14
15. PDRB Provinsi Lampung ADHK 2000 Tahun 2009 – 2013………....L15
16. PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung
ADHK 2000 Tahun 2009 – 2013……………………………………..L16
17. Penduduk kabupaten/Kota di Provinsi Lampung
Tahun 2009 – 2013 (jiwa)……………………………………………..L17
18. PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung
Tahun 2009 – 2013……………………………………………...…….L18
19. Hasil Perhitungan IW Provinsi Lampung Tahun 2009 – 2013………..L19

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Kerangka Pemikiran.............................................................................9

I. PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung
pada permasalahan dan karakteristik wilayah yang terkait. Potensi yang dimiliki
oleh suatu wilayah relatif berbeda dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah
lain. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan karakteristik sumber daya fisik
dan nonfisik. Perbedaan potensi dan karakteristik sumber daya tersebut
menyebabkan tidak meratanya pembangunan antar daerah maupun antar sektor.
Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Oleh karena itu pembangunan daerah
perlu dilaksanakan secara terpadu, selaras, serasi dan seimbang serta diarahkan
agar pembangunan yang berlangsung di setiap daerah sesuai dengan prioritas dan
potensi daerah.
Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah adalah melakukan pergeseran
paradigma pembangunan dari yang bersifat sentralistik menuju desentralistik.
Merujuk Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai pemerintah daerah memberikan hak,
wewenang dan kewajiban kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri

2

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai peraturan perundangundangan.
Prinsip pemberian otonomi kepada pemerintah daerah pada dasarnya untuk
memberikan wewenang lebih besar kepada daerah agar dapat membantu
pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dari aspek ekonomi, kebijakan otonomi daerah bertujuan untuk memberdayakan
kapasitas daerah dan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan dan
meningkatkan perekonomiannya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada suatu
daerah pada akhirnya akan membawa pengaruh terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Melalui kewenangan yang dimilikinya
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk
meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan.
Kewenangan daerah melalui otonomi daerah diharapkan dapat memberikan
pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, sehingga dapat
mendorong laju pertumbuhan daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan kondisi di atas maka otonomi daerah diharapkan bisa menjadi suatu
solusi bagi permasalahan yang ada di daerah. Perbedaan kandungan sumber daya
alam, perbedaan kondisi demografis, kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa,
konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu serta alokasi
besaran investasi sebagai sumber-sumber ketimpangan dapat dinetralisir oleh
kewenangan pemerintah daerah dengan penerapan konsep otonomi daerah.

3

Provinsi Lam pung ya ng merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah menjalankan otonomi daerah sejak tahun 2001. Sejalan
dengan semangat otonomi daerah Provinsi Lampung dituntut untuk melakukan
pembenahan dan pengembangan potensi-potensi lokal secara produktif serta
menetapkan kebijakan yang menitikberatkan pada sektor-sektor yang memberikan
kontribusi terbesar bagi pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).
Salah satu perubahan yang telah dilakukan oleh Provinsi Lampung dalam rangka
merespon undang-undang tentang otonomi daerah, adalah dengan memekarkan
wilayah kabupaten/ kota yang sebelum otonomi daerah jumlah kabupaten/kota di
Provinsi Lampung sebanyak 4 kabuapten/kota, maka setelah pelaksanaan otonomi
daerah bertambah menjadi 15 kabupaten/kota. Tujuan pemekaran wilayah ini adalah
untuk meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat, sehingga pada
akhirnya akan mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah. Hingga saat ini struktur
perekonomian daerah Lampung secara umum masih didominasi oleh sektor pertanian.
Gambaran tentang struktur perekonomian Provinsi Lampung lima tahun terakhir sejak
diberlakukannya otonomi daerah seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kontribusi Sektor terhadap Total PDRB Provinsi Lampung
(persentase)
No

Lapangan Usaha

2009

2010

2011

2012

2013

Rata2

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Pertanian
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air bersih
Bangunan
Perdag, hotel dan Restoran
Pengangkutan dan Telekom.
Keu, Persewaan & Jasa Persh
Jasa-jasa

38,89
2,09
14,07
0,58
4,21
13,44
9,90
6,67
10,15

36,82
1,99
15,79
0,55
3,66
15,25
10,16
6,31
9,46

35,56
2,09
16,07
0,54
3,44
16,01
11,51
5,97
8,82

35,92
1,96
15,55
0,55
3,36
15,86
11,54
6,15
9,11

35,54
2,04
15,52
0,56
3,16
15,94
11,76
6,22
9,27

37,00
2,20
15,00
0,60
3,70
15,00
10,70
6,30
9,50

Sumber: BPS Provinsi Lampung, beberapa terbitan

4

Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat bahwa struktur perekonomian Provinsi Lampung
masih d i dominasi oleh sektor primer yaitu sektor pertanian kemudian diikuti sektor
sekunder yaitu industri pengolahan dan sektor tersier (jasa-jasa) . Dominannya sektor
primer disebabkan besarnya kontribusi sektor pertanian yang mencapai rata-rata 37
persen per tahun selama lima tahun terakhir.
Terkonsentrasinya perekonomian Provinsi Lampung pada satu sektor saja
menyebabkan kondisi perekonomiannya secara sektoral mengalami stagnan, dimana
rata-rata tingkat pendapatan per kapita masyarakat menjadi rendah. Hal ini disebabkan
komoditas yang dihasilkan adalah komoditas primer sehingga memiliki daya saing yang
rendah di pasaran. Sebagai akibatnya pendapatan yang diterima masyarakat menjadi
rendah. Gambaran tentang pendapatan per kapita masyarakat Provinsi Lampung
selama lima tahun terakhir seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Pendapatan per kapita Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung
Tahun 2009 – 2013 (juta rupiah)
Kabupaten/Kota
2009 2010 2011 2012 2013
Lampung Barat
6.15
6.74
7.98
9.18
9.85
Tanggamus
7.88
8.94 10.21 11.85 14.10
Lampung Selatan
9.88 11.16 12.64 14.72 16.45
Lampung Timur
9.48 10.95 12.26 13.69 15.08
Lampung Tengah
11.75 14.18 16.29
18.4 20.60
Lampung Utara
11.40 13.91 17.60 21.20 24.06
Way Kanan
6.32
7.40
8.46
9.68 10.81
Tulang Bawang
12.23 14.22 16.03 18.74 21.84
Pasawaran
10.45 12.61 14.53 16.52 18.47
Pringsewu
6.97
8.15
9.30 10.50 11.80
Masuji
10.47 12.81 15.53 18.04 20.84
Tulang Bawang Barat
14.07 15.65 16.96 19.25 21.90
Bandar Lampung
19.63 21.95 24.67 27.66 30.93
Metro
7.16
7.98
8.88
9.96 11.50
Provinsi Lampung
11.82 14.24 16.70 18.61 20.72

Sumber: BPS Provinsi Lampung Tahun 2014.

5

Selain itu dominannya sektor pertanian juga mengakibatkan rendahnya pertumbuhan
antar wilayah. Besarnya kontribusi sektor pertanian pada PDRB Provinsi
Lampung ternyata tidak banyak membawa pengaruh untuk mendongkrak
pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lain. Ketiadaan industri pengolahan hasil
pertanian di Provinsi Lampung menyebabkan hampir seluruh hasil pertanian dikirim
keluar Provinsi Lampung tanpa melalui proses produksi.
Desentralisasi fiskal sebagai wujud otonomi daerah mengindikasikan bahwa
pemerintah daerah sudah saatnya tidak terlalu mengandalkan dana dari pemerintah
pusat. Oleh karena itu pemerintah daerah dituntut untuk mampu mengatur
keuangannya sendiri dengan memanfaatkan potensi-potensi ekonomi yang ada untuk
membiayai pembangunan daerahnya. Adanya inisiatif pemerintah daerah
mengembangkan potensi-potensi ekonomi yang ada diharapkan mampu
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber dana untuk membiayai
pelaksanaan pembangunan di daerah. Meningkatnya pembangunan di daerah
diharapkan dapat mengurangi ketimpangan antar wilayah yang terjadi.
Pembangunan daerah dalam jangka panjang harus dapat menjadi suatu usaha
untuk menumbuhkan perekonomian daerah dan nasional sehingga diharapkan
kedepannya daerah otonom dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri.
Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung selama lima tahun terakhir sejak
diberlakukannya otonomi daerah sangat fluktuatif. Jika dibandingkan dengan laju
pertumbuhan ekonomi secara nasional, nampak pertumbuhan ekonomi Provinsi
Lampung berada di bawah rata-rata nasional dan relatif mengalami stagnan sejak
pelaksanaan otonomi daerah. Meskipun mengalami pertumbuhan, namun

6

pertumbuhannya relatif lambat. Fluktuatifnya laju pertumbuhan ekonomi Provinsi
Lampung disebabkan oleh laju pertumbuhan sektor pertanian. Seluruh sumbangan
sektor pertanian dalam PDRB Provinsi Lampung berasal dari hasil produksi pertanian
tanaman pangan dan perkebunan. Besar atau kecilnya persentase kenaikan maupun
penurunan sub sektor pertanian tanaman pangan dan perkebunan sangat ditentukan
oleh kondisi alam seperti cuaca dan pengetahuan petani.
Tabel 3. Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Lampung Dirinci menurut
Lapangan Usaha Tahun 2009 - 2013 (Persentase)
No SEKTOR
1
Pertanian
2
Pertambangan & Penggalian
3
Industri Pengolahan
4
Listrik, Gas & Air Bersih
5
Bangunan
6
Perdagangan, Hotel & Restoran
7
Pengangkutan & Komunikasi
8
Keu, Persewaan,&Jasa Perush.
9
Jasa-Jasa
PDRB non migas
PDB Indonesia non migas

2009
2010
2011
2012
2013
2,63
1,07
4,96
4,20
3,95
-9,21
-3,38 13,48
2,28 10,66
5,88
6,11
4,88
4,39
7,56
2,84
10,41
9,86 10,51 10,05
4,87
3,71
7,77
5,82
2,50
7,60
4,78
5,50
5,59
4,70
11,47
15,42 12,98 13,63
7,83
12,91
26,88
7,48 12,44
9,48
5,59
5,59
8,24
9,42
9,39
5,52
6,02
6,44
6,54
5,95
5,00
6,60
6,98
6,85
6,25

Sumber: BPS Provinsi Lampung, beberapa terbitan

Berdasarkan kondisi tersebut, terlihat bahwa PDRB Provinsi Lampung masih
didominasi oleh sektor pertanian, dengan kondisi yang demikian ternyata belum
memberikan manfaat yang lebih besar kepada perekonomian Provinsi Lampung.
Hal ini terlihat dari tingkat pendapatan perkapita masyarakat Provinsi Lampung yang
masih relatif masih rendah dan cenderung mengalami ketimpangan antar
kabupaten/kota. Atas dasar inilah maka perlu suatu analisis untuk melihat besarnya
ketimpangan antar wilayah yang terjadi dan analisis identifikasi sektor-sektor basis
yang mampu menjadi tumpuan perekonomian Provinsi Lampung.

7

B.

Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor basis di Provinsi Lampung pada
periode lima tahun terakhir (2009 – 2013) setelah pemberlakuan otonomi daerah ?
2. Bagaimana ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Lampung pada
periode lima tahun terakhir (2009 -2013) setelah pemberlakukan otonomi daerah ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang dan perumusan masalah maka tujuan penelitian
ini secara umum yaitu :
1.

Mengidentifikasi sektor-sektor basis yang berpotensi untuk dikembangkan di
Provinsi Lampung selama lima tahun terakhir.

2.

Menganalisis ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Lampung
selama lima tahun terakhir.

D.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna :
1. Bagi peneliti, sebagai sarana dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
analisis mengenai perkembangan dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di
Provinsi Lampung.
2. Bagi mahasiswa dapat menjadi refrensi untuk penelitian selanjutnya terutama yang
berkaitan dengan ketimpangan antar wilayah dan penentuan sektor basis bagi suatu
daerah.

8

3. Bagi Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, dapat menjadi bahan masukan dalam
mengelola dan mengembangkan wilayahnya berdasarkan potensi yang ada.

E.

Kerangka Pemikiran

Kondisi perekonomian suatu wilayah dapat dipengaruhi oleh potensi sumber
daya manusia dan sumber daya alam. Sumber daya manusia yang handal dan
didukung oleh potensi sumber daya alam yang besar akan mampu
mewujudkan kondisi perekonomian yang lebih baik yang ditunjukkan dengan
adanya pemerataan pembangunan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di
wilayah tersebut.

Perekonomian Provinsi Lampung yang didukung dengan sumber daya alam besar
ternyata belum diimbangi dengan penyediaan sumber daya yang handal. Akibatnya
potensi-potensi ekonomi belum termanfaatkan secara optimal. Perekonomian masih
didominasi oleh sektor pertanian, sehingga potensi- potensi ekonomi yang lain
belum terlihat peranannya terhadap perekonomian Lampung. Adanya otonomi daerah,
dimana kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola pembangunan di
wilayahnya sangat luas, namun sektor-sektor ekonomi yang ada belum mampu
dioptimalkan, dimana struktur perekonomian Provinsi Lampung sebagian besar
kontribusinya berasal dari sektor pertanian. Berdasarkan data statistik sumbangan
sektor pertanian pada perekonomian semakin menurun, karena keberadaannya tidak
banyak memberikan nilai tambah bagi sektor-sektor yang lain di provinsi lampung.
Adanya dominasi sektor pertanian menyebabkan adanya ketimpangan pembangunan
antar wilayah dan ketimpangan secara sektoral. Untuk mengetahui besarnya

9

ketimpangan wilayah ini dilakukan analisis dengan indeks Williamson. Ketimpangan
sektoral yang ada tampak sangat besar akibat dominasi sektor pertanian pada
PDRB Provinsi Lampung. Untuk dapat mengetahui potensi sektor- sektor ekonomi
maka dilakukan analisis dengan menggunakan Location Quotient. Jadi analisis
dilakukan dengan memisahkan adanya peranan sektor pertanian dan tidak
memperhitungkan sektor pertanian sehingga akan didapatkan sektor-sektor unggulan
yang lain selain sektor pertanian.

Kondisi Perekonomian
Provinsi Lampung

Dominasi Pertanian

Ketimpangan
Wilayah

Analisis
Ketimpangan
Antar Wilayah

Ketimpangan
Sektoral

Indeks
Willianson

Location
Quotien

Indeks
Ketimpangan
Wilayah

Analisis
Sektor Basis

Sektor Basis /
Unggulan

Kebijakan Otonomi Daerah

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Konsep Otonomi Daerah

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan urusan
pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah bawahnya
yang menjadi urusan rumah tangganya. Otonomi daerah adalah hak dan wewenang
serta kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pergeseran paradigma dari sentralistik menjadi desentralistik diwujudkan dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Pemberlakuan undang-undang tersebut diharapkan akan mengubah
pandangan pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional dalam menentukan
arah dan kebijakan pembangunan. Undang-undang tersebut memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah
kabupaten/kota, sehingga pemerintah daerah kabupaten/kota mempunyai peluang
untuksecara leluasa mengatur dan melaksanakan pembangunan berdasarkan potensi
dan prakarsa daerah (Putra, 2004).

11

Pasal 1 (h) Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 menyebutkan otonomi daerah
adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan perundang-undangan. Berdasarkan pasal tersebut, kewengan daerah
tidak hanya terbatas pada urusan yang akan diatur dan dikelola berdasarkan aspirasi
dan kebutuhan masyarakatnya (Ramadhanny, 2007). Oleh karena itu ada tiga
prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah.
a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah.
c. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada kepala daerah
dan desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang
disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya
kepada yang menugaskan.
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, otonomi daerah pada hakekatnya
adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom, artinya
penetapan kebijakan sendiri, serta pembiayaan sendiri dan pertanggungjawaban daerah
sendiri (Aser, 2005).

12

Berpegang pada landasan hukum di atas maka pemerintah daerah mempunyai
wewenang secara penuh untuk untuk mengembangkan dan mengelola wilayahnya
sendiri berdasarkan potensi yang ada. Untuk itu, pemerintah daerah perlu untuk
mengidentifikasi potensi-potensi yang dimiliki daerah karena potensi tersebut sangat
menentukan dalam prioritas pembangunan terutama sektor-sektor unggulan.

2. Dampak Otonomi Daerah
Penerapan otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk
menentukan arah pembangunan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Perubahan
dalam sistem ketatanegaraan ini tentu saja melahirkan warna baru dengan dampak
positif dan negatif yang ditimbulkannya terhadap kehidupan masyarakat. Dalam hal
kebijakan dan kewenangan tertentu pemerintah pusat masih memegang kendali
dan memiliki kewenangan mutlak. Di sisi lain, hasil-hasil pembangunan telah
merubah pola kehidupan masyarakat dan cenderung mengikuti potensi, latar belakang
dan keadaan suatu daerah yang pada akhirnya dapat mengakibatkan adanya perbedaan
tingkat kesejahteraan antara satu provinsi dengan provinsi yang lain, bahkan antar
kabupaten/kota dalam satu provinsi. Tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah
baik provinsi maupun kabupaten/kota sangat dipengaruhi oleh berbagai potensi yang
dimiliki, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lain.
Perbedaan potensi yang dimiliki masing-masing daerah ini mendorong perlunya
dibentuk suatu indeks ketimpangan antar wilayah yang dapat digunakan sebagai
ukuran baku dalam membandingkan tingkat hidup antar kabupaten/kota di Provinsi
Lampung.

13

Sehingga pada akhirnya dapat diketahui dampak otonomi daerah terhadap kemajuan
suatu daerah dan kesenjangan yang timbul antar daerah dalam aspek sosial ekonomi.
Selanjutnya dianalisa seberapa besar ketimpangan antar wilayah dan faktor-faktor
penyebab terjadinya ketimpangan antar wilayah.

3. Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)
Dalam pengertian ekonomi regional dikenal adanya pengertian sektor basis dan
sektor non basis. Pengertian sektor basis (sektor unggulan) pada dasarnya harus
dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala
internasional, regional maupun nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup
internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing
dengan sektor yang sama dengan negara lain. Sedangkan dengan lingkup nasional,
suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila sektor di
wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh
wilayah lain di pasar nasional atau domestik (Wijaya, 1996).
Inti dari teori basis ekonomi menurut Arsyad, dalam Sadau (2002)
menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah
adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah.
Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga
kerja dan bahan baku untuk diekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan
penciptaan peluang kerja (job creation).
Pendekatan basis ekonomi sebenarnya dilandasi pada pendapat bahwa yang perlu
dikembangkan di sebuah wilayah adalah kemampuan berproduksi dan menjual hasil
produksi tersebut secara efisien dan efektif. Secara umum, analisis ini digunakan

14

untuk menentukan sektor basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan untuk
melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor
andalannya. Pentingnya ditetapkan komoditas unggulan di suatu wilayah
(nasional, provinsi dan kabupaten) dengan metode LQ didasarkan pada
pertimbangan bahwa ketersediaan dan kapabilitas sumberdaya (alam, modal dan
manusia) untuk menghasilkan dan memasarkan semua komoditas yang dapat
diproduksi di suatu wilayah secara simultan relatif terbatas. Selain itu hanya
komoditas-komoditas yang diusahakan secara efisien yang mampu bersaing
secara berkelanjutan, sehingga penetapan komoditas unggulan menjadi keharusan
agar sumberdaya pembangunan di suatu wilayah lebih efisien dan terfokus (Handewi,
2003). Lebih lanjut model ini menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah atas
dua sektor, yaitu:
1.

Sektor basis, yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang melayani baik pasar
domestik maupun pasar luar daerah itu sendiri. Sektor basis mampu
menghasilkan produk/jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah. Itu
berarti daerah secara tidak langsung mempunyai kemampuan untuk
mengekspor barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor tersebut ke daerah lain.
Artinya sektor ini dalam aktivitasnya mampu memenuhi kebutuhan daerah
sendiri maupun daerah lain dan dapat dijadikan sektor unggulan.

2.

Sektor non basis, yaitu sektor atau kegiatan yang hanya mampu melayani pasar
daerah itu sendiri sehingga permintaannya sangat dipengaruhi kondisi ekonomi
setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah.
Sektor seperti ini dikenal sebagai sektor non unggulan.

15

Menurut Tarigan (2007), metode untuk memilah kegiatan basis dan kegiatan non
basis adalah sebagai berikut:
a. Metode Langsung
Metode langsung dilakukan dengan survei langsung kepada pelaku usaha
kemana mereka memasarkan barang yang diproduksi dan dari mana mereka
membeli bahan-bahan kebutuhan untuk menghasilkan produk tersebut.
Kelemahan metode ini yaitu : pertanyaan yang berhubungan dengan
pendapatan data akuratnya sulit diperoleh, dalam kegiatan usaha sering
tercampur kegiatan basis dan non basis.
b. Metode Tidak Langsung
Metode ini dipakai karena rumitnya melakukan survei langsung ditinjau dari
sudut waktu dan biaya. Metode ini menggunakan asumsi, kegiatan tertentu
diasumsikan sebagai kegiatan basis dan kegiatan lain yang bukan dikategorikan
basis adalah otomatis menjadi kegiatan basis.
c. Metode Campuran
Metode ini dipakai pada suatu wilayah yang sudah berkembang, cukup
banyak usaha yang tercampur antara kegiatan basis dan kegiatan non basis.
Apabila dipakai metode asumsi murni maka akan memberikan kesalahan
yang besar, jika dipakai metode langsung yang murni maka akan cukup
menyulitkan. Oleh karena itu dilakukan gabungan antara metode langsung dan
metode tidak langsung yang disebut metode campuran. Pelaksanaan metode
campuran dengan melakukan survei pendahuluan yaitu pengumpulan data
sekunder, kemudian dianalisis untuk menentukan kegiatan basis dan non basis.
Asumsinya apabila 70 persen atau lebih produknya diperkirakan dijual ke luar

16

wilayah maka maka kegiatan itu langsung dianggap basis. Sebaliknya apabila
70 persen atau lebih produknya dipasarkan ditingkat lokal maka langsung
dianggap non basis. Apabila porsi basis dan non basis tidak begitu kontras maka
porsi itu harus ditaksir. Untuk menentukan porsi tersebut harus dilakukan survei
lagi dan harus ditentukan sektor mana yang surveinya cukup dengan
pengumpulan data sekunder dan sektor mana yang membutuhkan sampling
pengumpulan data langsung dari pelaku usaha.
d. Metode Location Quotient
Metode LQ membandingkan porsi lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor
tertentu untuk lingkup wilayah yang lebih kecil dibandingkan dengan porsi
lapangan kerja/nilai tambah untuk sektor yang sama untuk lingkup wilayah yang
lebih besar.

LQ =
Dimana:
li
=
e
=
Li =
E =

banyaknya lapangan kerja/nilai tambah sektor i di wilayah analisis
banyaknya lapangan kerja/nilai tambah di wilayah analisis
banyaknya lapangan kerja/nilai tambah sektor i secara nasional
banyaknya lapangan kerja/nilai tambah secara nasional

Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model
ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang
menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat
spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Dari rumus
diatas, apabila LQ > 1 berarti porsi lapangan kerja atau nilai tambah sektor i di
wilayah analisis terhadap total lapangan kerja atau nilai tambah wilayah adalah
lebih besar dibandingkan dengan porsi lapangan kerja atau nilai tambah untuk

17

sektor yang sama secara nasional. LQ > 1 memberikan indikasi bahwa sektor
tersebut adalah basis sedangkan apabila LQ < 1 berarti sektor tersebut adalah non
basis.
Location Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang sederhana
dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Menurut Hendayana (2000),
kelebihan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain
penerapannya sederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data
yang rumit. Keterbatasannya adalah karena demikian sederhananya pendekatan
LQ ini, maka yang dituntut adanya akurasi data. Oleh karena itu validitas data
sangat diperlukan dan sebaiknya untuk series datanya tidak kurang dari 5 tahun.
Inti dari model ekonomi basis menerangkan bahwa arah dan pertumbuhan suatu
wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah. Ekspor itu sendiri tidak terbatas pada
bentuk barang-barang dan jasa, akan tetapi dapat juga berupa pengeluaran orang
asing yang berada di wilayah tersebut terhadap barang-barang tidak
bergerak (Budiharsono, 2001).
4. Teori Ketimpangan Antar Wilayah
Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan antar wilayah merupakan aspek yang
umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini terjadi
disebabkan adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan
kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Adanya perbedaan ini
menyebabkan kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga
menjadi berbeda. Oleh karena itu pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju
(Developed Region) dan wilayah terbelakang (Underdeveloped Region).

18

Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat
kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Selain itu ketimpangan antar wilayah
juga membawa implikasi pada perumusan kebijakan pembangunan wilayah yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
a.

Hipotesa Neo Klasik

Secara teoritis, permasalahan ketimpangan antar wilayah mula-mula
dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisisnya tentang Teori Pertumbuhan
Neo Klasik. Dalam teori tersebut dibahas tentang sebuah tentang hubungan antara
tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan
pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lebih dikenal sebagai
Hipotesa Neo-Klasik. Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses
pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung
meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik
puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara berangsurangsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun.
Berdasarkan hipotesa ini, bahwa pada negara-negara sedang berkembang umumnya
ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada
negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain,
kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk huruf u terbalik.
Kebenaran Hipotesa Neo-Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh
Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang ketimpangan pembangunan
antar wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan
menggunakan data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa Hipotesa Neo-Klasik yang diformulasi secara teoritis

19

ternyata terbukti benar secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan
suatu negara tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan pembangunan antar
wilayah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal yang sebaliknya.

b. Penyebab Ketimpangan Antar Wilayah
Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah
menurut Sjafrizal (2008) yaitu:
1.

Perbedaan kandungan sumber daya alam.
Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan
produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya
alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan
biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai
kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan
daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya
akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi
sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan
daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih
lambat. Dengan demikian terlihat bahwa perbedaan kandungan sumber daya
alam dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah
menjadi lebih tinggi.

2.

Perbedaan kondisi demografis.
Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan
struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan

20

kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta
etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis
akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah
dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas
kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan
investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
3.

Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa.
Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan
migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan.
Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi
suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan.
Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung
tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah.
Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana
konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang selanjutnya
akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan
lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.
5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah.
Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem
pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan
ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung
lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan

21

pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan
kekuatan yang berperan banyak dalam menarik investasi swasta. Keuntungan
lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi yang
harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat
persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investasi akan cenderung
lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.
c. Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah.
Salah satu model yang cukup representatif untuk mengukur tingkat
ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah indeks williamson yang
dikemukakan oleh Williamson (1965). Williamson mengemukakan model Iw
(indeks tertimbang atau weighted index terhadap jumlah penduduk) dan Iuw
(tidak tertimbang atau un-weighted index) untuk mengukur tingkat ketimpangan
pendapatan per kapita suatu negara pada waktu tertentu. Formula yang digunakan
menurut Sjafrizal (2008) yaitu :

IW =

 i    fi / n

0 < IW < 1

Y

Dimana : yi

=

PDRB Perkapita daerah i

Y

=

PDRB Perkapita rata-rata seluruh daerah

Fi

=

Jumlah penduduk daerah i

n

=

Jumlah penduduk seluruh daerah

22

B. Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti yang mengamati tentang proses terjadinya kesenjangan diantaranya
adalah.
1. Lessmann, dalam Direktorat Kewilayahan I (2007). Ia meneliti mengenai
hubungan desentralisasi fiskal dengan kesenjangan wilayah. Penelitian ini
mengunakan beberapa data statistik ekonomi 17 negara OECD yang diolah
melalui analisis statistik deskriptif. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa
negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi memiliki kesenjangan
wilayah