Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit

Oleh karena itu, pihak Dinas Kesehatan KabupatenKota diharapkan dapat mengawasi pelaksanaan kesehatan dan keselematan di tempat kerja. Selain itu pihak Dinas Kesehatan KabupatenKota juga harus melakukan advokasi kepada para pengelola tempat kerja untuk mengadakan skrining dan kontrol penyakit hipertensi. Jenis pekerjaan berperan penting terhadap kejadian hipertensi. Namun, penelitian ini tidak meneliti variabel jenis pekerjaan walaupun Riskesdas 2013 sesungguhnya memiliki variabel jenis pekerjaan. Hal ini dikarenakan pengkategorian variabel jenis pekerjaan dalam Riskesdas 2013 belum spesifik dan tidak mempertimbangkan jenis pekerjaan yang berisiko hipertensi. Hal ini kemudian menjadi kelemahan dalam penelitian ini.

2. Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit

a. Obesitas Obesitas adalah kondisi dimana indeks masa tubuh 27 kgm 2 Kemenkes RI, 2013. Ketidaknormalan mekanisme kontrol terhadap tekanan arterial, seperti hiperinsulinemia terjadi pada penderita obesitas. Akibatnya, terjadi aktivasi sistem saraf simpatis dan penyimpanan sodium sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah dan hipertensi Goran M. I. dan Sothern, 2006; Hu, 2008. Hasil analisis menunjukkan bahwa persentase penderita hipertensi di perkotaan yang mengalami obesitas 30,28 lebih tinggi dibandingkan di pedesaan 20,67. Hasil penelitian sebelumnya di Ghana menunjukkan bahwa indeks massa tubuh pada masyarakat perkotaan 29,9 lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan 25,3 Obirikorang, 2015. Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa obesitas berisiko menyebabkan hipertensi Sobngwi dkk., 2004; Howteerakul dkk., 2006; Mendez-Chacon, 2008; Gao dkk., 2013; Forman, 2009; Natalia D., 2015. Obesitas berisiko 1,21 kali menyebabkan hipertensi pada laki-laki dan 5,45 kali pada perempuan di wilayah rural Brazil Pimenta dkk., 2008. Di Chennai, obesitas menimbulkan risiko 2,37 kali mengalami hipertensi dibandingkan orang normal Mohan dkk., 2007. Di Indonesia, seseorang yang mengalami obesitas berisiko 2,79 kali mengalami hipertensi Rahajeng dan Tuminah, 2009. Hasil analisis penelitian ini juga menemukan bahwa obesitas behubungan dengan hipertensi tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan tetapi di pedesaan juga terjadi. Besar risiko obesitas untuk menyebabkan hipertensi di masing-masing wilayah pun hampir sama. Masyarakat kota yang obesitas berisiko 2,869 kali mengalami hipertensi sedangkan masyarakat desa sedikit lebih kecil, yaitu 2,749 kali. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peran obesitas untuk menyebabkan hipertensi tidak dipengaruhi oleh wilayah desa atau kota sehingga penanggulangan obesitas menjadi penting baik di wilayah kota maupun desa. Orang yang mengalami obesitas berisiko mengalami hipertensi tanpa mengenal daerah atau wilayah tempat tinggal. Namun, jika dilihat dari penyebab terjadinya obesitas, seperti pola konsumsi dan aktivitas fisik maka adanya perbedaan persentase penderita hipertensi yang mengalami obesitas antara di kota dengan di desa dapat dijelaskan. Hasil analisis proporsi pola konsumsi masyarakat yang mengalami obesitas di perkotaan dan pedesaan menunjukkan bahwa sebagian besar pola konsumsi tidak sehat dilakukan oleh masyarakat kota yang. Persentase masyarakat kota yang mengalami obesitas dan mengonsumsi makanan berlemak ≥ 1 kalihari adalah sebesar 60,5 sedangkan masyarakat pedesaan hanya 39,5. Sekitar 56 masyarakat penderita obesitas yang kurang mengonsumsi sayur dan buah tinggal di kota. Selain itu, 66,3 masyarakat penderita obesitas yang beraktivitas fisik 600 METminggu juga tinggal di kota. Oleh karena itu pencegahan dan pengendalian hipertensi melalui edukasi dan pemberdayaan masyarakat terkait gaya hidup sehat perlu dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, terutama di perkotaan. b. Riwayat Diabetes Resistensi insulin yang biasanya dialami oleh penderita diabetes akan meningkatkan tekanan darah. Hal ini karena hilangnya aktivitas vasodilator normal dari insulin atau efek jangka panjang dari hiperinsulinemia Holt, 2011. Oleh karena itu, secara biologis riwayat diabetes menjadi salah satu faktor terjadinya hipertensi. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa persentase penderita hipertensi yang memiliki riwayat diabetes lebih tinggi di perkotaan dibandingkan pedesaan. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor obesitas dimana dalam penelitian ini persentase penderita hipertensi yang obesitas juga lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Sebagaimana hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor yang berhubungan dengan diabetes Jelantik dan Heryati, 2014; Hussain A. dkk., 2010 . Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara diabetes dengan hipertensi Peer dkk., 2013; Gao dkk., 2013. Di India, orang yang diabetes berisiko 4,32 kali mengalami hipertensi Kannan dan Satyamoorthy, 2009. Penelitian Basuki dan Setianto 2001 pada masyarakat Sunda di Kabupaten Bogor membuktikan bahwa riwayat diabetes berisiko 2,45 kali mengalami hipertensi. Namun, penelitian Rahajeng di Indonesia justru menunjukkan bahwa riwayat diabetes tidak memberikan risiko yang signifikan untuk mengalami hipertensi Rahajeng dan Tuminah, 2009. Tidak jauh berbeda dengan hasil analisis terhadap faktor obesitas, riwayat diabetes juga berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Risiko masyarakat yang memilki riwayat diabetes untuk mengalami hipertensi pun hampir sama antara di perkotaan dengan pedesaan. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa riwayat diabetes meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4,43 kali di perkotaan dan 4,61 kali pedesaan Brazil Moreira dkk., 2013. Oleh karena itu, penderita diabetes di perkotaan maupun pedesaan harus segera diobati dan dicegah agar tidak berdampak resistensi insulin yang dapat menyebabkan hipertensi. 3. Faktor Gaya Hidup a. Aktivitas Fisik Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi di perkotaan 86,47 maupun di pedesaan 89,74 memiliki aktivitas fisik ≥ 600 MET. Penelitian Moreira dkk. 2013 juga menunjukkan hal serupa dimana risiko hipertensi justru semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas fisik, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Padahal, WHO merekom endasikan untuk melakukan aktivitas fisik ≥ 600 METminggu agar dapat terhindar dari penyakit kardiovaskular WHO, 2013. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Hasil beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan ada hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi Peer N., 2013; Pooja dan Mittal, 2013; South dkk., 2013; Rahajeng dan Tuminah, 2009. Namun, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa risiko hipertensi sangat kecil pada responden dengan aktivitas fisik 600 METminggu. Sebaliknya, penelitian Forman 2009 menunjukkan bahwa latihan rutin 7 hari per minggu mampu menurunkan risiko hipertensi pada perawat hingga 0,87 kali dibandingkan yang 1 hari per minggu. Secara teoritis, aktivitas fisik mempengaruhi tekanan darah melalui peningkatan ataupun penurunan aktivitas saraf simpatis Mohler dan Towsend, 2006. Aktivitas fisik meningkatkan penggunaan glukosa dalam otot dan meningkatkan sensitivitas insulin yang menyebabkan penurunan aktivitas saraf simpatis sehingga menurunkan tekanan darah sistolik dan siastolik Lin dan Laura, 2012. Selain itu, aktivitas fisik yang rutin dapat mengurangi lemak jenuh, meningkatkan eliminasi sodium yang terjadi karena perubahan fungsi ginjal, mengurangi plasma renin dan aktivitas katekolamin yang dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan darah Rahl, 2010. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa aktivitas fisik ≤ 600 METminggu meningkatkan risiko hipertensi di wilayah pedesaan. Besar risiko dan persentase masyarakat pedesaan dengan aktivitas fisik ≤ 600 MET bahkan lebih besar daripada masyarakat perkotaan. Padahal menurut Moore 2001, masyarakat desa lebih terlindungi dari hipertensi karena gaya hidup mereka aktif, seperti lebih sering berjalan kaki setiap hari. Dampak urbanisasi dan globalisasi dapat menjadi alasan masyarakat desa tidak lagi memiliki gaya hidup yang aktif. Masyarakat desa yang berkunjung ke kota akan mengikuti gaya hidup modern masyarakat kota. Penduduk desa yang datang ke kota bahkan dapat mengalami peningkatan tekanan darah sekalipun hanya berkunjung dalam rentang waktu satu bulan Ekezie dan Anthony, 2011. Selain itu, teknologi informasi seperti televisi dan internet mulai berkembang di pedesaan APJII, 2012; Kemenkominfo, 2011; Hadiyat Y. D., 2014. Masyarakat desa pun kini dapat memperoleh informasi gaya hidup modern dengan mudah tanpa harus ke kota. Oleh karena itu, Puskesmas di pedesaan perlu membuat kegiatan yang dapat meningkatkan aktivitas fisik masyarakat, contohnya senam sehat. Selain itu, pengukuran aktivitas fisik yang kurang tepat mungkin menyebabkan bias pada hasil penelitian ini. Dalam kuesioner Riskesdas tahun 2013, dilakukan penggabungan pertanyaan untuk mengukur aktivitas fisik pada hari-hari kerja dan aktivitas fisik pada hari-hari libur. Sedangkan, WHO membuat pemisahan pertanyaan untuk kedua kondisi tersebut Kemenkes RI, 2013. b. Kebiasaan Merokok Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia belum pernah merokok. Namun, 31,83 penderita hipertensi di perkotaan dan 34,86 penderita hipertensi di pedesaan merupakan perokok. Penelitian Rahajeng dan Tuminah 2009 juga menunjukkan ada sekitar 30 penderita hipertensi yang merupakan perokok. Kebiasaan merokok ini berperan menyebabkan hipertensi karena rokok mengandung nikotin dan karbondioksida yang mempengaruhi tekanan darah. Nikotin dapat meningkatkan asam lemak, mengaktiviasi trombosit, memicu aterosklerosis dan penyempitan pembuluh darah Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006. Sedangkan karbon monoksida mengakibatkan hemoglobin dalam darah rusak sehingga menumpuk di membran pembuluh kapiler dan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah Schnitzer, 2000; Depkes RI, 2006. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia. Risiko hipertensi terdapat pada masyarakat yang pernah merokok dan risiko masyarakat perkotaan yang pernah merokok lebih tinggi dibandingkan masyarakat pedesaan. Hasil penelitian Moreira dkk. 2013 di wilayah perkotaan Brazil juga menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan hipertensi dan risiko masyarakat kota yang pernah merokok adalah 1,20 kali lebih berisiko dibandingkan yang tidak pernah merokok. Masyarakat yang pernah merokok berisiko terkena hipertensi karena orang yang pernah merokok diasumsikan memiliki durasi merokok yang lebih lama dibandingkan yang masih merokok. Hal ini didukung oleh penelitian Thuy A. B. 2010 bahwa kebiasaan merokok menyebabkan hipertensi dipengaruhi oleh lama waktu menjadi perokok. Namun, dalam penelitian ini durasi merokok tidak diteliti sehingga menjadi kelemahan dalam penelitian ini Masyarakat kota yang pernah merokok lebih berisiko mengalami hipertensi dibandingkan pedesaan dimungkinkan karena faktor stres. Penelitian Liu dkk. 2015 dan Cui dkk. 2012 menjelaskan bahwa faktor stres adalah penyebab perilaku merokok pada imigran Cina yang tinggal di kota, terutama stres kerja. Penelitian kualitatif pada mahasiswi di Kota Makassar juga menunjukkan bahwa stres menjadi salah satu faktor pemicu para mahasiswi berperilaku merokok Tarupay dkk., 2014. Stres juga menjadi penyebab perilaku merokok pada remaja laki-laki di kota Medan Kemala H., 2005. Penerapan konsep kota sehat harus terus dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia. Hal ini dapat menjadi solusi untuk mencegah dan mengendalikan perilaku merokok di masyarakat yang bersifat pemberdayaan, contohnya kampanye anti rokok oleh masyarakat. Selain itu, dapat mengatasi tingkat stres masyarakat melalui taman-taman kota yang nyaman. Jadi, masyarakat diajak untuk mandiri dalam menciptakan kehidupan kota yang aman, nyaman dan sehat sebagaimana definisi kota sehat Hidayat dan Abikusno, 2003. c. Konsumsi Makanan Asin Volume cairan dalam tubuh meningkat ketika seseorang mengonsumsi makanan asin atau yang mengandung garam tinggi. Hal ini karena garam menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan oleh tubuh sehingga volume dan tekanan darah meningkat Depkes RI, 2006. Dalam buku Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dijelaskan bahwa sering makan makanan asin ≥1 kalihari merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit jantung dan pembuluh darah pada penduduk umur 18 tahun ke atas Kemenkes RI, 2010. Konsumsi garam berlebih merupakan salah satu faktor pemicu meninggalnya 1,7 juta orang di tahun 2010 karena penyakit kardiovaskular. Data WHO juga menunjukkan bahwa konsumsi garam masyarakat secara global adalah sekitar 10 g per hari 4 ghari sodium. Asia Tenggara merupakan kawasan dengan tingkat konsumsi garam yang tinggi. Padahal, konsumsi garam melebihi 5 ghari lebih dari 1 sendok teh per hari berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah WHO, 2014. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 20,95 penderita hipertensi di perkotaan mengonsumsi makanan asin ≥1 kalihari sedangkan di pedesaan persentasenya sedikit lebih tinggi, yaitu 22,67. Selain itu, konsumsi makanan asin ≥1 kalihari juga berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Hasil penelitian Bartwal dkk. 2014 di Haldwani juga membuktikan bahwa ada hubungan antara asupan garam dengan hipertensi x 2 = 12,42. Urbanisasi dan globalisasi dapat menjadi alasan adanya perubahan gaya hidup masyarakat desa dalam hal konsumsi makanan asin sehingga berisiko hipertensi WHO, 2014. Fenomena urbanisasi dan globalisasi seharusnya diiringi oleh pengetahuan yang baik agar tidak menimbulkan dampak buruk. Namun, hasil penelitian di Desa Blulukan Karanganyar menunjukkan bahwa sebagian besar dari lansia memiliki pengetahuan yang kurang 48,7 tentang hipertensi Utomo P. T., 2013. Hasil penelitian pada masyarakat desa Patobong Kecamatan Pinrang pun menunjukkan bahwa 93,8 masyarakat memiliki pengetahuan yang kurang terkait hipertensi Maharani dkk., 2013. Oleh karena itu, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten dibantu dengan tenaga kesehatan Puskesmas desa dapat berperan dalam memberikan edukasi terkait faktor risiko hipertensi dan cara pencegahannya. Selain faktor urbanisasi dan globalisasi, karakteristik desa yang diteliti dalam penelitian ini juga berperan penting dalam hasil penelitian terkait hubungan konsumsi makanan asin dengan hipertensi. Hal ini karena sesungguhnya terdapat tingkatan dalam penentuan sebuah desa sehingga tidak semua desa adalah desa tertinggal. Data dari situs Kementerian Desa 2015 menunjukkan bahwa pada tahun 2013 sebanyak 70 desa tertinggal berlokasi di wilayah Timur Indonesia. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya disarankan untuk membuat tingkatan dalam pengkategorian desa- kota. Ada hubungan antara konsumsi makanan asin ≥1 kalihari dengan hipertensi. Namun, risiko hipertensi akibat konsumsi makanan asin ≥1 kalihari ternyata hanya terjadi pada masyarakat pedesaan. Sedangkan di perkotaan, konsumsi makanan asin ≥1 kalihari justru menunjukkan faktor protektif. Hasil analisis multivariat penelitian Indrawati dkk. 2009 mirip dengan hasil penelitian di perkotaan dalam penelitian ini dimana ada hubungan antara konsumsi makanan asin dengan hipertensi P = 0,001. Namun, konsumsi makanan asin yang sering atau jarang tidak berisiko menyebabkan hipertensi. Globalisasi sebenarnya memiliki dampak positif di bidang kesehatan. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta berkembangnya kualitas dan fasilitas pelayanan kesehatan di perkotaan justru dapat memudahkan masyarakat untuk memperoleh informasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas Martens P. dkk., 2010. Jadi, mungkin tidak semua masyarakat kota bergaya hidup tidak sehat. Masyarakat kota pun punya peluang yang besar terlindungi dari hipertensi terutama jika mereka bijak dalam menyikapi globalisasi. Pengukuran pola konsumsi makanan yang kurang valid juga dapat menjadi perilaku konsumsi makanan asin ≥1 kalihari masyarakat kota justru mengurangi risko hipertensi. Pengukuran pola konsumsi makanan yang digunakan saat Riskesdas 2013 adalah berdasarkan frekuensi makan sehingga kurang valid dan subjektif Rahajeng dan Tuminah, 2009. Selain itu, penelitian ini adalah penelitian berskala nasional sehingga data yang diperoleh lebih heterogen. Akibatnya, beberapa wilayah Indonesia yang memiliki budaya makan makanan asin jadi tersamarkan pengaruhnya. d. Konsumsi Makanan Berlemak Konsumsi makanan berlemak terlalu sering adalah mencapai ≥ 1 kalihari Kemenkes RI, 2010. Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia justru mengonsumsi makanan berlemak 1 kalihari. Hasil analisis konsumsi lemak pada penduduk Indonesia menunjukkan bahwa persentase lemak total penduduk Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan, yaitu 25. Namun, persentase lemak jenuh mencapai 18,2 sehingga melebihi persentase lemak jenuh yang dianjurkan WHO, yaitu 10 Hardiansyah, 2011. Konsumsi makanan berlemak secara berlebihan dapat menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia akan menyebabkan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL danatau penurunan kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol berperan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis yang kemudian menghambat aliran darah sehingga tekanan darah menjadi tinggi Depkes RI, 2006. Hasil penelitian ini menunjukkan baha ada hubungan antara konsumsi makanan berlemak ≥ 1 kalihari dengan hipertensi. Penelitian Stefhany 2012 juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi lemak dengan hipertensi pada lansia P = 0,010. Lansia yang sering mengonsumsi lemak berisiko kemudian berisiko 2,785 kali mengalami hipertensi Stefhany, 2012. Di Afrika, konsumsi lemak berlebih berhubungan dengan hipertensi P = 0,024 dan meningkatkan risiko hipertensi hingga 2,08 kali Ramirez dkk., 2010. Hasil penelitian ini justru menunjukkan hal sebaliknya untuk wilayah perkotaan dimana tidak ada hubungan antara konsumsi makanan berlemak ≥ 1 kalihari dengan hipertensi. Penelitian Indrawati dkk. 2009 menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi makanan berlemak dengan hipertensi. Namun, sejalan dengan penelitian ini, penelitian Indrawati dkk. 2009 juga menjelaskan konsumsi makanan berlemak yang terlalu sering justru tidak meningkatkan risiko hipertensi. Perubahan gaya hidup akibat pengaruh urbanisasi dan globalisasi pada masyarakat desa juga merupakan alasan adanya hubungan konsumsi makanan berlemak dengan hipertensi pada masyarakat desa WHO, 2013. Sedangkan, dampak positif globalisasi seperti kemajuan teknologi informasi menjadi faktor masyarakat kota juga dapat terlindungi dari risiko hipertensi, yaitu konsumsi makanan berlemak Martens P. dkk., 2010. Cara pengukuran pola makan yang kurang valid dan subjektif, tidak ada tingkatan pengkategorian desa-kota dan tidak dipertimbangakannya budaya makan daerah-daerah yang diteliti pun menjadi kelemahan dalam analisis konsumsi makanan berlemak dengan hipertensi. Oleh karena itu, perbaikan metode pengukuran konsumsi makanan dan penentuan desa-kota perlu diperhatikan untuk penelitian selanjutnya. e. Konsumsi Sayur dan Buah Konsumsi buah 3 porsihari dan sayur 2 porsihari dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Konsumsi sayur dan buah yang cukup dapat mencegah hipertensi. Serat yang terkandung dalam sayuran resisten terhadap enzim pencernaan manusia. Serat berperan dalam mengurangi tingkat insulin, dimana hiperinsulinemia menyebabkan intoleransi glukosa yang dapat menyebabkan hipertensi Lin dan Laura, 2012. Sedangkan, polifenol yang terkandung dalam buah-buahan dapat melindungi jantung. Beban glikemik yang rendah pada beberapa jenis buah tidak berisiko menyebabkan hipertensi McFarlane dan Bakris, 2012. Oleh karena itu, konsumsi buah dan sayur sebanyak 4-5 porsihari adalah yang dianjurkan dalam DASH Dietary Approach to Stop Hypertension Grodner dkk., 2004. Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa konsumsi sayur 3 porsihari berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan, tetapi tidak untuk di pedesaan. Selain itu, konsumsi buah 2 porsihari berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Namun, nilai POR menunjukkan bahwa konsumsi sayur 3 porsihari dan konsumsi sayur 2 porsihari justru menurunkan risiko hipertensi pada masyarakat di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Hasil peneletian Utsugi dkk. 2008 di Jepang menunjukkan bahwa banyak mengkonsumsi buah dan sayur berhubungan dengan rendahnya risiko terkena hipertensi. Hasil penelitian dari Bazzano dkk 2002 menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayur berhubungan dengan hipertensi P 0,001. Selain itu, hasil penelitian pada masyarakat rural Bangladesh menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah berhubungan dengan hipertensi P = 0,0006 dan P = 0,0138 Khanam dkk., 2015. Sejalan dengan hasil analisis dalam penelitian ini, penelitian Indrawati dkk. 2009 di Indonesia menunjukkan bhwa konsumsi buah dan sayur berhubungan dengan kejadian hipertensi P = 0,000. Namun, tidak ada perbedaan risiko hipertensi antara yang mengonsumsi buah dan sayur 3 porsihari dengan yang ≥ 3 porsihari Indrawati dkk., 2009. Penelitian Rahajeng dan Tuminah 2009 di Indonesia juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi sayur dan buah dengan hipertensi. Berdasarkan hasil penelitian ini dan didukung dari hasil penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara statistik kurang mengonsumsi sayur dan buah bukan merupakan faktor risiko hipertensi. Namun, hasil analisis penelitian ini juga menunjukkan sebagian besar penderita hipertensi mengonsumsi sayur 3 porsihari, bahkan persentasenya mencapai lebih dari 72, baik di perkotaan maupun di pedesaan Indonesia. Selain itu, sebagian besar penderita hipertensi juga mengonsumsi buah 2 porsihari, bahkan persentasenya mencapai lebih dari 98, baik di perkotaan maupun di pedesaan Indonesia. Artinya, kurang mengonsumsi sayur dan buah berkaitan dengan kejadian hipertensi walaupun tidak secara statistik Tingginya persentase penderita hipertensi yang kurang mengonsumsi sayur dan buah seharusnya tidak terjadi di pedesaan. Hal ini karena menurut Ngoye 2014 masyarakat desa memiliki periaku konsumsi tradisional dimana makanan yang dikonsumsi tinggi akan protein seperti susu fermentasi. Hal ini berarti perubahan gaya hidup sebagai dampak globalisasi dan akulturasi budaya di pedesaan juga turut berperan dalam pola konsumsi sayur dan buah masyarakat desa sehingga berisiko hipertensi. Seperti pembahasan terkait konsumsi makanan asin dan berlemak dengan hipertensi, hasil analisis hubungan antara konsumsi sayur dan buah dengan hipertensi pun dipengaruhi metode pengukuran pola makan yang kurang valid. Pengelompokkan desa- kota dalam Riskesdas 2013 yang tidak memperhatikan tingkatan karakterstik perkotaan dan pedesaan Indonesia juga berperan dalam hasil analisis penelitian ini. Oleh karena itu, kedua hal ini menjadi keterbatasan dalam peelitian ini sehingga perlu diperhatikan pada penelitian selanjutnya. Tidak semua pedesaan di Indonesia tergolong desa terpencil. Hanya 30 desa terpencil yang berlokasi di wilayah Barat Indonesia sedangkan sisanya berada di Indonesia bagian Timur. Kemendesa, 2013 Oleh karena itu, sebaiknya penelitian selanjutnya mempertimbangkan karakteristik desa maupun kota agar dapat diperoleh perbedaan yang jelas antara kejadian hipertensi di perkotaan dengan pedesaan.

BAB VII PENUTUP