img src=" images banners Aksi.0102_s.jpg" border="0" width="170" height="230" style="float: left;"

Edisi 1 // No. 2 // 2013

VIDEO HOME SYSTEM
ILLUSTRATION BY SHELLA HP

Jika anda bertanya tentang kepanjangan dari VHS

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 2

9

Catatan Kecil Tentang Kizuna
// Oleh: Bawuk Respati

12

A Little Piece From Japan

Edisi 1 No.2 2013


// Oleh: Karin Sentosa

14

Kampus IKJ
// Oleh: Sischa Monalisa
Andini Januarty
Cemara Chrisalit

22

Alice Guy-Blaché
// Oleh: Bawuk Respati

30

Ariah
// Oleh: Orizon Astonia


37

Ziarah Gerhana
// Oleh: Orizon Astonia
Sischa Monalisa

40

Bunraku
// Oleh: Devina Sofiyanti
Karin Sentosa
Leontius Tito

44

LYTRO
// Oleh: Rizky Ichramsyah

45


Ultrapixel
// Oleh: Leontius Tito

46

Jalan-Jalan ke Gunung Kidul
// Oleh: Supriyanta

52

Kemacetan Jakarta
// Oleh: Febi Nandia Anisa

60

Tokoh FFTV
// Oleh: Devina Sofiyanti

62


Kenduri Seni
// Oleh: Rini Dwi Artini

65

Salam dari Sendal IKJ

67

Kritik Seni
// Oleh: German G Mintapradja

69

Kajian ?
// Oleh: Fira Budiman

71

Kembalinya Four Horsemen

// Oleh: Rifqi Pramesworo

74

IKAFI

76

In Memoriam IKJ “Lama”
// Oleh: Arda Muhlisiun

79

Comic Strip
// Oleh: Shela HP, Badrus Zeman

Majalah AKSI | 3

KAMPUS BARU
Ini kampus IKJ di Matraman,

bukan Yayasan, maupun Sd

SENDAL IKJ
Senangnya, seperti lulus Mata Seni

DEMI METALLICA
Jemaah Heavy Metal sedang Umrah

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Penasihat Umum
RB. Armantono
Penasihat Teknis
Ki. Hartanto
Sam Sarumpaet
Bambang Supriadi
Pemimpin Redaksi
German G. Mintapradja
Wakil Pemimpin Redaksi
Arda Muhlisiun

Sekretaris Redaksi
Bawuk Respati
Sischa Monalisa
Reporter
Andrie Sasono
Devina Soiyanti
Karin Sentosa
Leontius Tito
Orizon Astonia
Raphael Wregas Bhanutedja
Rini Dwi Artini
Rizky Ichramsyah
Kolumnis
Fira Budiman
Koordinator Fotograi
Asaf Kharisma Putra Utama
Fotografer
Fransisca Engeline
Desain Grais
Anies Wildani

Ilustrator
Shela HP
Ratna Muthya

AKSI 1979
Halaman 2

Editor
M. Ariansah
Tungga Buana Dharma
Divisi E-Publication
Agni Putri Raraswulan

Majalah AKSI diterbitkan oleh Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Majalah ini bertujuan untuk membangun semangat seluruh
anggota Fakultas Film dan Televisi dalam dunia menulis, serta menjadi sarana komunikasi, tidak hanya dalam Fakultas Film dan Televisi sendiri,
tapi juga dengan dua fakultas lain, Fakultas Seni Rupa dan Fakultas Seni Pertunjukan

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 4


SELAMAT PAGI TEMAN AKSI
Assalamu’alaikum Wr, Wb.
Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua pembaca setia majalah AKSI, utamanya sivitas akademika Fakultas Film
dan Televisi - Institut Kesenian Jakarta.
Sejujurnya pada edisi perdana, edisi 1, No. 1, 2013, kami menemukan beberapa kesalahan tata letak dan aturan
penulisan yang tidak sesuai dengan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) serta Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Hal ini berdampak pada kalimat menjadi bermakna ganda, bahkan bermakna lain atau tidak sesuai dari apa
yang dimaksud penulisnya. Untuk itu kami, Pemred dan seluruh redaksi majalah AKSI, memohon maaf yang sebesar-besarnya. Ke depan kami akan lebih teliti dalam tata letak dan aturan penulisan dengan mengacu pada pedoman
EYD dan KBBI.
Sebagai mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta –yang notabene generasi penerus yang berkecimpung di dunia perilman– adalah wajib hukumnya membaca dan menulis ilm. Karena dengan membaca dan
menulis ilm kita akan lebih mengenal, mengetahui dan memahami ilm.
Film adalah anugrah seni tinggi dan seni terbesar yang pernah dimiliki oleh umat manusia. Sebagai seni termuda
di antara seni murni dan seni-seni lainnya yang terlebih dahulu lahir dan tercipta sekaligus sebagai fenomena maha
karya cipta adi luhung dari sejarah umat manusia.
Sebagai seni pandang-dengar, ilm juga sudah beradaptasi melewati beberapa dekade kurun waktu. Sejak kelahirannya pada Era Analog lalu ber-trans-morphosis ke Era Digital dan setelah berkutat panjang lebar pada Era Digital Migran serta seiring jalannya perubahan-perubahan yang semakin signiikan pada unsur-unsur seni lainnya juga
pengayaan yang terus menerus, maka ilm bukan lagi sekedar hiburan massa (seni populer –Kitsch), namun menjadi
perwujudan Seni Tinggi (avant-garde –istilah yang digunakan oleh Clement Greenberg)
Bersyukur kita akan semua hal itu, terima kasih pada teknologi, penciptaan- penciptaan yang luar biasa serta kemudahan dalam segala hal pada Era Digital. Tetapi jangan sampai kita dibutakan oleh hal itu semata dan menjadikan
kita hanya sebatas pengguna.

Ke depan free market sudah akan terlaksana, senang atau tidak senang kita harus menjalaninya. Oleh karena itu, kini
saatnya untuk kembali berAKSI dan menuliskan kembali semua hal dengan kreatif.
Selamat membaca dan selamat menulis, salam AKSI.

Wassalam,
German G.Mintapradja
Pemimpin Redaksi

German G. Mintapradja, lelaki yang tidak asing lagi di kalangan insan perilman dan
akrab disapa Pak Haji dari Bekasi, dikenal sebagai pribadi yang mempunyai segudang
pengalaman dan prestasi baik nasional maupun internasional. Ia dikenal sebagai Pembuat
Dokumenter di: BBC-NHU (Natural History Unit), BBC-Fast Track, Discovery Channel dan
Nat Geo Television. Sebagai Cameraman News as Video Journalist (VJ) di CNN (Cable
News Network); ESPN (Entertainment and Sport Programming Network); EBU (European
Broadcasting Union); APTN (Associate Press Television). Prestasi yang diraih antara lain:
Best Cameraman, judul ilm “Mencari Pelangi”; Oscar Nominated for foreign ilm – judul
ilm “Ca Bau Kan”; Best Documentary Film For National Geographic in Brazil International
Film Festival “Indonesian Beyond The Reef” as Cameraman; Best Documentary Film in
Pyong Yang–Seoul, South Korea “Ngu Yen Face The Future” as Director and Cameraman;
The Best Cinematography on feature ilm “Biola Tak Berdawai” as DoP.


Majalah AKSI | 5

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

PROFIL KONTRIBUTOR
Karin Sentosa
Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Penyutradaraan. Ia mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti student exchange JENESYS 2.0 Batch 2 yang diadakan dari tanggal 25 Mei
2013 sampai 2 Juni 2012 oleh pemerintah Jepang. Pengalamannya di Jepang adalah pengalaman yang takkan terlupakan dan ia siap berbagi pengalamannya untuk membangun
Indonesia. (karinaire@gmail.com) (@karinaire)

Rini Dwi Artini
Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Produksi.

Bawuk Respati
Mahasiswi FFTV-IKJ 2011, mayor Kajian Sinema. Suka semua hal yang berhubungan dengan Frankenstein, Fred Astaire dan Ginger Rogers, dan Old Hollywood. Akhir Juni 2013
lalu, berpartisipasi dalam JENESYS 2.0 Batch 3 dan jalan-jalan di Jepang selama seminggu.

Devina Soiyanti
Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Penulisan Skenario.

Sischa Monalisa
Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Produksi.

Andini Januarty - Reporter baru, selamat datang !
Mahasiswi peminatan Editing FFTV-IKJ 2010 yang gemar mencoba hal baru.
Keinginannya saat ini ialah "belajar menikmati hidup".

Cemara Chrisalit - Reporter baru, selamat datang !
Mahasiswi FFTV-IKJ 2012, senang membuat ilm dan main ilm. Ia punya satu cita-cita luhur: bertemu dengan Christopher Nolan.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 6

Orizon Astonia
Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Penyutradaraan.

Rizky Ichramsyah
Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Kamera.

Leontius Tito
Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Kamera.

Fira Budiman
Mahasiswi FFTV-IKJ 2011, mayor Kajian Sinema.

Suprianta
Kontributor Fotograi.

Febi Nandia Anisa
Kontributor Fotograi.

Rifqi Pramesworo - Kontributor tamu
Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Editing.

Majalah AKSI | 7

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Don't get left behind!! Theory isn't enough to survive in today's technologically run
industry. From CG animation to Audio Mixing, Digital Video Broadcasting to Motion
Capture and Virtual Production, EVERYTHING from Pre to post production!
Join the exhibition and you will meet ilmmaker like yourselves. Producers, distributors,
production and animation houses from Europe, USA, Korea, China, India, Philippines and
Singapore!

Do not miss out on this golDen
opportunity to be a part of this
rewarDing traDe experience!

be part of asia’s most integrateD
broaDcasting, Digital multimeDia
anD entertainment event!

trip Duration: 4 Days, 3 nights
total approximate cost: rp. 4.000.000,the amount above alreaDy incluDes:
- two-way flight ticket (+ airport tax)
- loDging
- mrt carD
[make

a plan to save at least

15.000/Day. keep
experience will be worth it.]

month or

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

rp. 500.000/

in minD that the

for more information email:
mas german

organizing committee

german_freelancer@yahoo.com

Put "Broadcast Asia" in the subject line

aksi.redaksi@gmail.com

Majalah AKSI | 8

TULISAN DAN FOTOGRAFI
O L E H : B A W U K R E S PAT I

*Didedikasikan untuk grup Nara H,
from your Indonesian friend, B
Di sebuah Sabtu di bulan Juni lalu, tiga
puluh enam mahasiswa terpilih dari seantero Indonesia berkumpul di Gedung
Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Mereka
terlihat gugup dan excited. Kebanyakan
dari mereka belum mengenal satu sama
lain, namun mereka tidak sungkan untuk
mulai bertukar kata-kata kecil satu dengan
yang lain, berusaha mengakrabkan diri
dengan sekitarnya. Malam itu, mereka akan
berangkat ke negeri matahari dan memulai
program JENESYS 2.0, yaitu sebuah youth
exchange programme yang mengundang
sejumlah mahasiswa dari seluruh penjuru
ASEAN untuk berkunjung ke Jepang selama seminggu. Malam itu, mereka akan
memasuki sebuah petualangan yang tidak
terlupakan. Malam itu, saya adalah salah
satu diantara mereka.

Majalah AKSI | 9

22 Juni 2013, pukul 21.55 WIB, sebuah
mesin terbang modern lepas landas dan
melayang ke utara. Di dalamnya, kami, peserta JENESYS 2.0 Batch 3 dari Indonesia,
berusaha mempersiapkan diri untuk menyambut Jepang di tengah rasa gugup dan
excitement. Sekitar delapan jam kemudian, ditemani rasa lelah karena kurang tidur,
kami malah disambut duluan oleh pagi pertama kami di tanah Jepang.
Kami memang bukan sekelompok orang
Indonesia pertama yang menjejakkan kaki
di Jepang, maupun sekelompok mahasiswa pertama yang diundang untuk mengikuti program JENESYS 2.0 itu. Sudah ada
dua batch sebelum kami yang, jika ceritanya bisa dipercaya, mendapatkan pengalaman yang sangat tidak terlupakan selama
berada di Jepang. Tentu saja, kami semua
sangat tidak sabar untuk segera memulai

program tersebut.
Seperti batch sebelumnya, seluruh peserta
dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: Kelompok Sains, Kelompok Ilmu Sosial,
dan Kelompok Seni dan Budaya. Lalu, ketiga kelompok besar ini dibagi kembali ke
dalam beberapa kelompok sesuai dengan
prefektur yang akan dikunjungi. Kelompok
Seni dan Budaya sendiri dibagi menjadi
empat kelompok—dua akan mengunjungi
Kyoto dan sisanya akan mengunjungi Nara.
Tentunya, sebagai mahasiswa perwakilan
dari IKJ, saya berada dalam Kelompok Seni
dan Budaya dan akan mengunjungi prefektur Nara, bersama grup Nara H.
Sebelum berangkat ke Nara, seluruh peserta menghabiskan sehari dan semalam
di ibu kota Tokyo. Jauh sebelum berangkat ke Jepang, saya sudah membayang-

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

JENESYS REPORT

KUIL GANGO-JI, NARA

Tokyo baru terasa berbeda di malam hari,
apalagi di daerah Shibuya yang saya kunjungi dengan beberapa peserta lain. Begitu banyak orang yang berlalu-lalang, entah
baru pulang sekolah, kerja, atau memang
hanya sedang berusaha bersenang-senang
seperti kami para turis. Right there, Tokyo

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

was alive. Begitu pula dengan persahabatan diantara peserta JENESYS 2.0. Hampir
seluruh peserta pergi keluar untuk mengeksplorasi Tokyo malam itu dan hal ini menjadi titik awal dari ikatan kuat diantara kami.
Turis-turis muda asal sepuluh negara ASEAN tersebut berbondong-bondong berusaha memanfaatkan satu malam di Tokyo
sebaik-baiknya. Hampir semuanya kembali
ke hotel dengan cerita-cerita seru mengenai pengalaman Tokyo mereka, meskipun
malam sudah cukup larut.
Keesokan harinya, petualangan baru dimulai. Kelompok Seni dan Budaya berangkat
ke Kyoto dengan menggunakan kereta
Shinkansen. Ini sungguh pengalaman berkereta yang tidak terlupakan. Shinkansen
adalah salah satu bukti seberapa jauh
Jepang telah berkembang dalam ranah teknologi. Perjalanan ke Kyoto itu merupakan
perjalanan kereta paling nyaman yang pernah saya alami. Lalu sesampainya di tujuan,

dua grup tinggal di Kyoto, sementara dua
yang lain melanjutkan perjalanan ke Nara.
Nara sungguh jauh berbeda dari Tokyo
yang bising. Lebih sepi, lebih damai. Kegirangan para peserta seakan menyesuaikan
diri dengan lokasi baru yang kami kunjungi
dan menjadi sedikit lebih tenang. Saat itu,
banyak diantara kami sudah menemukan
teman-teman yang klop. Perjalanan sudah
tidak terasa seperti sesuatu yang asing,
melainkan sebuah petualangan bersama
sahabat-sahabat baru. Sesampainya di
Nara, kami langsung disambut hangat oleh
pemerintah setempat dan langsung diajak
berkeliling di sekitar Nara City. Kami akan
menghabiskan sekitar empat hari di bagian
Jepang yang satu ini. Saya kira kami semua
sangat menyukai sambutan Nara pada sore
hari itu.
Aktivitas kami selama di Nara kebanyakan
adalah berkunjung ke beberapa kuil dan
tempat wisata lain. Secara keseluruhan,

SEMALAM DI SHIBUYA, TOKYO

Majalah AKSI | 10

PHOTOS COURTESY OF MAxIE

kan bagaimana rasanya memandang Tokyo. Sebagai ibu kota, bisa dibilang Tokyo
adalah ikon Jepang yang paling terkenal.
Meskipun begitu, pengetahuan saya mengenai Tokyo masih cukup minim dan saya
sungguh penasaran mengenai apa saja
yang bisa saya temukan di sana. Maklum,
pengetahuan saya mengenai Jepang masih
sebatas menonton anime dan membaca
manga semasa kecil dulu. Lucunya, berada
di Tokyo tidak begitu terasa seperti berada di tempat yang baru pertama kali saya
kunjungi. Lewat tempat duduk dekat jendela di dalam bis, saya mengamati Tokyo
dan merasa seperti sudah pernah berada
di situ sebelumnya. Ada semacam sense of
familiarity yang saya rasakan selama berada
di Tokyo. Sebagai sebuah kota metropolitan, suasana hingar-bingarnya sebenarnya
tidak jauh seperti apa yang saya hadapi sehari-hari di Jakarta. Hanya saja, Tokyo jauh
lebih bersih, lebih rapi, dan yang paling
membuat berbeda, tidak berpolusi. Kebetulan, saat itu sedang awal musim panas, jadi
pada siang hari, Tokyo bisa terasa sangat
panas, namun karena tidak banyak menghirup asap kendaraan, saya tidak begitu
terganggu.

SEBUAH TOKO IKAN DI KONYA
STREET, YAMATOKORIYAMA
kami mengunjungi empat kuil, yaitu Gango-Ji Temple, Hotokuji Temple, dan Todaiji
Temple, yang merupakan kuil Buddha, serta
Kasuga Taisha Shrine—sebuah kuil agama
Shinto. Setiap kuil menyimpan pesona dan
rahasianya masing-masing, namun semuanya punya satu hal yang sama. Kuil-kuil ini
adalah bukti betapa seriusnya Jepang dan
penduduknya dalam melestarikan hal-hal
yang bersifat tradisional dan turun-temurun. Merupakan kontras yang menarik
jika kita membandingkan kereta Shinkansen
dengan kuil-kuil ini. Dua hal yang berasal
dari dua spektrum waktu yang berbeda,
namun keduanya masih dapat ditemukan
di Jepang saat ini juga. Dan keduanya sama-sama merupakan hal yang membuat
Jepang menarik.
Selain kegembiraan yang berasal dari
kunjungan kesana kemari di sekitar Nara,
sebuah kesenangan lain pun terasa sangat
kental diantara para peserta, khususnya di
grup yang saya anggotai, Nara H. Persahabatan yang awalnya ditanam saat sehari
dan semalam di Tokyo telah tumbuh menjadi lebih kuat diantara kami. Seiring berjalannya waktu kami di Nara, grup ini semakin
terasa seperti sebuah keluarga. Saya masih
takjub mengenai bagaimana tiga puluh
orang dari sepuluh negara berbeda bisa
kenal dan akrab begitu cepat, hanya dalam
waktu yang singkat. Kami begitu menikmati
kegiatan-kegiatan yang mengharuskan kami

Majalah AKSI | 11

menghabiskan waktu bersama dan berdiskusi. Lucunya, kegiatan yang paling kami
senangi bukanlah program yang direncanakan dari pihak penyelenggara. Kami punya
rutinitas sendiri, yaitu saling bertukar pengetahuan mengenai bagaimana mengatakan
beberapa ekspresi, seperti “I love you”
dalam berbagai bahasa yang digunakan di
ASEAN. Setiap hari, kami berlatih mengatakan frase sederhana dalam bahasa Indonesia, Melayu, Tagalog, Thailand, Kamboja,
dan lain-lain. Di luar susunan kegiatan yang
resmi, kami seperti membuat klub bahasa
kecil-kecilan dan impromptu setiap hari. Hal
ini seperti menyiratkan bahwa kami punya keinginan untuk dapat memahami satu
sama lain dengan lebih baik.
Selama satu minggu lamanya saya menghabiskan waktu bersama orang-orang di grup
Nara H ini dan dalam waktu sesingkat itu,
mereka menjadi teman yang sangat akrab.
Setiap malam, kami tidak banyak pergi keluar dan mengeksplor Nara lebih jauh, tapi
kami sering berkumpul di salah satu kamar
hotel dan mengobrol, bergosip, ngemil,
dan saling mencoba baju adat dari setiap
negara. Mungkin bagi orang lain, kami terlihat konyol karena sudah berada di Jepang,
tapi malah diam di kamar hotel. Tapi bagi
kami, kebersamaan dan obrolan lepas di setiap malam itu adalah apa yang paling kami
nikmati dari perjalanan ini. Kami memang
cukup beruntung untuk dapat melakukan

semua ini di Jepang.
Saking akrabnya grup Nara H, koordinator
grup kami, Yuki-san, memberikan sebuah
label kepada kami: Kizuna. Katanya, kata ini
dalam bahasa Jepang berarti ‘bond’ atau
‘ikatan’. Saat diberi tahu tentang kata itu,
kami semua langsung tersenyum. We love
that word. Menurut kami, kata itu benar-benar pas untuk mendeskripsikan kami.
Memang masih banyak pengalaman saya
selama di Jepang yang mungkin bisa saya
ceritakan, namun orang-orang yang saya
temui ini—teman-teman baru saya ini—
adalah hal yang paling berkesan dari partisipasi saya dalam JENESYS 2.0. Program ini
sendiri memiliki tujuan untuk meningkatkan
pemahaman dan pengertian antar bangsa
di ASEAN dalam menyambut AEC (ASEAN Economic Community). Menurut saya,
kami, anggota grup Nara H, mencapai tujuan itu. Lewat waktu yang kami habiskan
bersama, kami merasakan adanya kedekatan yang semakin erat diantara kami, tiga
puluh pemuda dari sepuluh negara ASEAN.
Ya, mungkin memang apa yang kami punya masih terlampau personal untuk disandingkan dengan tujuan asli dari program ini
sebagai sebuah gambaran yang besar. Tapi,
apa salahnya memulai hubungan baik antarnegara lewat sesuatu yang personal?
BAWUK RESPATI

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

TULISAN DAN FOTOGRAFI
OLEH: KARIN SENTOSA

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 12

JENESYS REPORT
Pertengahan musim semi dan panas tahun
2013, saya bersama 30 teman dari Indonesia tiba di Bandara Tokyo Narita. Angin
sejuk menyambut kami semua. Jepang,
akhirnya kami tiba. Kami menantikan pengalaman menarik selama 8 hari kedepan.
Pertama kami dikumpulkan bersama
seluruh peserta JENESYS 2.0 Batch 2
dari seluruh negara di ASEAN dan dibagi
kelompok. Kami diberi pengetahuan dasar
tentang Jepang. Panitia bahkan tidak lupa
untuk memberi kami bekal bagaimana cara
menghadapi gempa bumi karena tingkat
kemungkinan gempa di Jepang memang
tinggi. Langkah-langkah menghadapi gempa di Jepang tidak jauh berbeda dengan di
Indonesia, hanya saja jika seseorang berada di dalam gedung atau rumah, lebih baik
orang tersebut tetap berlindung di dalam
rumah. Masyarakat Jepang percaya dengan
kualitas bangunan yang mereka bangun dalam hal berhadapan dengan gempa.
Hari berikutnya kami pergi dengan bus
menuju Tokyo. Masuk ke kota Tokyo, serasa
seperti ke peradaban yang jauh berbeda.
Gedung-gedung pencakar langit berhimpitan satu sama lain. Hampir tidak disisakan
ruang untuk berjalan. Begitu banyak gedung sampai rasanya tidak bisa dihitung.
Disinilah kami melihat Jepang yang kami
harapkan ketika masih masih berada di negara masing-masing. Pejalan kaki sibuk lalu-lalang dengan kecepatan luar biasa dan
mengenakan baju rapih, kalau tidak hitam,
putih, ya abu-abu. Segalanya bersih, rapi,
dan teratur. Kami pun dikenalkan dengan
program AEC (Asean Economic Community) yang adalah program kerjasama antar
ASEAN melalui perdagangan bebas. Kerjasama ini tidak akan bisa terjalin sempurna jika tidak ada ikatan dan kesadaran dari
negara-negara ASEAN. Maka kami generasi
muda ASEAN diharapkan dapat membawa
negara-negara ASEAN lebih maju.
Jika bicara tentang teknologi, Jepang terkenal dengan Shinkansennya. Kereta super
cepat yang lebih nyaman ketimbang pesawat terbang dengan rekor kecepatan
maksimum 320 km/jam. Perjalanan dari Tokyo ke Kyoto hanya memakan waktu 2 jam.
Selama perjalanan kami di perlihatkan dengan pemandangan pemukiman di Jepang,
perkebunan, dan juga Gunung Fuji. Perjalanan yang kami lalui ini seperti memutar
balik sejarah. Dari Tokyo, ibu kota Jepang
sekarang ke Kyoto, ibu kota Jepang sebelum Kyoto, lalu ke Nara, ibu kota pertama
Jepang. Suasana di Nara jauh berbeda den-

Majalah AKSI | 13

gan di Tokyo. Nara masih memiliki keasliannya sebagai ibu kota tua di Jepang. Ada
banyak temple dan shrine, rumah-rumah
bergaya kuno, dan banyak unsur budaya
Jepang lainnya yang masih terlihat. Jika di
Tokyo saya hanya melihat eksekutif muda,
di Nara saya melihat anak-anak SD sedang
bertamasya di Nara.
Nara sangat terkenal dengan rusa. Banyak
rusa-rusa liar yang sudah jinak berkumpul
didepan temple atau di taman-taman terbuka. Melihat rusa-rusa ini mengingatkan
saya dengan Istana Negara di Bogor yang
memiliki banyak rusa juga. Di Jepang, kita
juga bisa membeli makanan rusa jika ingin
memberi makan rusa. Perlu diingat bahwa
di Jepang sangat bersih dan teratur.
Mungkin saya bisa menghabiskan satu lembar sendiri untuk membahas keramahan
orang-orang di Nara ini. Ketika kami sampai di Nara Prefectural Government kami
disambut oleh mereka. Mereka melambai-lambaikan bendera-bendera kecil dari
masing-masing negara di ASEAN sambil
menyambut kami, membuat kami seperti
memasuki sebuah amusement park.
Kami mengunjungi temple buddha terbesar, Todai-ji sampai ke sebuah temple kecil
penuh bunga, Hanniya-ji. Di Hanniya-ji ini
saya mendapat sebuah pengalaman pribadi, karena kami dapat berbincang langsung
dengan monk disana. Monk di Jepang
berbeda dengan di negara lain, mereka
dapat menikah dan memiliki anak, seperti keluarga Kudo di Hanniya-ji. Kudo-San

menjelaskan kepada kami mengapa banyak
sekali bunga di Hanniya-ji. Mereka mempersembahkan tiga hal untuk Buddha yaitu
lowers, fragnance, dan food. Mereka membuat wewangian, karangan bunga, ataupun
makanan setiap harinya. Di dalam temple
kecil ini juga ada sebuah monumen kecil
dengan api yang terus menyala 24/7. Api
ini berasal dari api bom atom di Hiroshima.
Kudo-San mengatakan bahwa api ini akan
terus menyala sampai semua radiasi di dunia tidak ada lagi.
Satu lagi tempat yang kami kunjungi, yaitu
Doshisha University, salah satu universitas
terbaik di Jepang. Kampus Doshisha sangat berbeda dengan Kampus IKJ yang kita
miliki sekarang (walaupun sekarang sedang
direnovasi). Kampus Doshisha sangat besar,
indah, dan fasilitasnya lengkap. Mengakses
ilmu menjadi kegiatan yang menyenangkan
jika semua fasilitas sudah disiapkan. Seorang teman baru saya yang menjalani studi
hukum di Doshisha, Minamoto-San mengatakan bahwa kami pelajar dari ASEAN
adalah orang-orang yang sangat bahagia
karena kami selalu tersenyum dan ramah
kepada orang, termasuk orang yang baru
dikenal. Saya menjawab, mungkin memang
itu budaya di Asia, karena dia pun selalu
tersenyum. Baik di Asia maupun di ASEAN keragaman budaya menjadi hal yang
unik dari masing-masing daerah, tetapi
bagaimana kita belajar budaya satu sama
lain dan tetap membuka pikiran menerima
setiap keberagaman yang akan membuat
ASEAN lebih maju.
KARIN SENTOSA

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

PHOTOS COURTESY OF ANIES WILDANI

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 14

Majalah AKSI | 15

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Mahasiswa baru seni rupa angkatan 2013
berada di Matraman, sementara fakultas
seni rupa tetap berada di TIM. Fakultas seni
pertunjukan berada di sekitar Pasar Baru
dan Fakultas Film & Televisi berada di Cempaka Putih bergabung dengan Kampus
Akademi Pariwisata Jakarta.
Selama sekitar satu tahun ke depan, para
mahasiswa dan mahasiswi FFTV akan melakukan perkuliahan di Cempaka Putih.
Fakultas FFTV sendiri terpencar di tiga tempat, sebagian masih berada di TIM untuk
para Dekan, Wadek dan Rektorat IKJ. Sementara itu, untuk bagian peralatan lampu
dan studio berada di PSKD dan juga sebagian perkuliahan yang harus menggunakan
komputer dilaksanakan di gedung PSKD
yang terletak di Kalipasir, Cikini Jakarta
pusat. Dan untuk bagian akademik serta
perkuliahan terletak di Cempaka putih.
Keadaan kampus FFTV yang terpisah-pisah seperti itu, bagi sebagian mahasiswa
terutama mahasiswa baru sedikit mengalami kesulitan jika harus berpindah-pindah
tempat. Karena mereka belum mengetahui
di mana letak PSKD. Kesulitan lain yang
dialami mahasiswa adalah saat mata kuliah pertama berada di Cempaka Putih, lalu

jam mata kuliah kedua berada di Cikini dan
mata kuliah ketiga kembali berada di Cempaka Putih. Hal ini cukup membuat mahasiswa kerepotan, terutama bagi mereka yang
tidak memiliki kendaraan pribadi. Bukan
hanya masalah tempat perkuliahan yang
berpindah-pindah, namun juga bagi mahasiswa yang akan melakukan shooting serta
akan menggunakan alat dari kampus harus meminjam alat ke PSKD, dan jika ingin
membuat surat yang membutuhkan tanda
tangan Dekan maupun Wakil Dekan harus
berjalan menuju TIM. Selain itu kampus IKJ
yang terpencar-pencar menyebabkan mahasiswa baru FFTV dengan FSR dan FSP
menjadi tidak dekat dan saling kenal.
Selama perpindahan FFTV ke Cempaka
Putih telah terjadi perubahan jam perkuliahan yang dimulai lebih lama dari biasanya
dibandingkan saat kampus masih berada
di lingkungan TIM. Jika sebelumnya jam
perkuliahan pagi dimulai pada jam 08.00,
maka semenjak kampus berpindah di Cempaka Putih perkuliahan pagi hari dimulai
pada jam 08.20. Hal ini sebagai bentuk pengertian kampus terhadap mahasiswanya,
berdasarkan pendapat serta opini dari mahasiswa serta staf tetap maupun tidak tetap
akademik tentang perpindahan gedung
sementara di Cempaka Putih.
Sebagian besar mahasiswa merasa akses
untuk menuju kampus yang berada di Cempaka Putih lebih susah dan lebih lama
dibandingkan saat kampus FFTV berada
di TIM. Waktu yang dibutuhkan jadi lebih
lama, sehingga beberapa mahasiswa yang
sebelumnya pergi dari rumah ke kampus
lebih memilih untuk mencari kos di daerah sekitar kampus Cempaka Putih. Meskipun untuk kos harus mengeluarkan biaya

tambahan, hal itu tidak menjadi masalah
bagi mereka agar setiap hari terhindar dari
kemacetan. Namun ada juga sebagian mahasiswa yang tetap bertahan dengan tetap
pulang-pergi dari rumah ke kampus Cempaka Putih karena jumlah mata kuliah yang
sedikit. Sehingga mereka tidak setiap hari
kuliah dan harus pergi ke kampus. Meski
ada juga yang beralasan bahwa pilihannya untuk tidak kos atau pindah kos dekat
kampus karena harga di sekitar kampus
Cempaka Putih yang lumayan mahal bagi
mahasiswa.
Selain masalah jarak, fasilitas kampus yang
kurang memadai selama FFTV pindah ke
Cempaka Putih antara lain seperti tempat
parkir yang tidak terlalu luas, mushola yang
bergabung antara laki-laki dan perempuan,
dan tidak adanya kantin di dalam kampus
yang dapat menampung banyak mahasiswa untuk makan siang. Sehingga ketika jam
makan siang tiba kebanyakan mahasiswa
akan lebih memilih untuk jalan keluar kampus dan membeli makanan dari luar kampus. Meski hal ini masih dapat dimaklumi
oleh mahasiswa, karena keadaan kampus
yang sedang menumpang di kampus lain.
Selain para mahasiswa, para staf akademik
dan tata usaha ikut memberikan pendapat
tentang perpindahan kampus ke Cempaka
Putih. Giyarsih ( mbak Asih ) merupakan salah satu staf akademik FFTV yang tinggal di
VMS Pondok Jagung Serpong, di mana setiap harinya pulang-pergi dari rumah menuju
kampus menggunakan kendaraan umum. Ia
mengatakan bahwa
“Tidak ada pengaruh dan perubahan yang
besar selama kampus berada di Cempaka
Putih. Hanya saja semenjak kampus berada

PHOTOS COURTESY OF SISCHA MONALISA

IKJ atau Institut kesenian Jakarta merupakan pusat pendidikan seni terkemuka
di indonesia, yang didirikan oleh mantan
Gubernur DKI Ali Sadikin pada tahun 1970.
Selama hampir empat dekade IKJ berada
di daerah Strategis, Cikini Jakarta Pusat.
Namun pembangunan gedung baru IKJ
menyebabkan 3 fakultas didalamnya, yakni; FFTV ( Fakultas Film & Televisi ), FSR (
Fakultas Seni Rupa ), dan FSP ( Fakultas Seni
Pertunjukan ) menjadi terpisah-pisah.

DYNAMIC
DUO
BLONDE
REDHEAD
Mbak
Asih dan Mas Ari
Rak
lightning.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 16

KAMPUS IKJ
BLONDE REDHEAD
Anehnya lampu ini masih saja di
simpan oleh pihak kampus

di Cempaka Putih para staf mendapatkan
dispensasi waktu masuk kerja menjadi pukul
08.30 yang sebelumnya pukul 08.00”.
Hal tersebut cukup membantu mbak Asih
dan para staf lain yang rata-rata rumahnya
jauh dari kampus di Cempaka Putih, serta
merasa akses menuju kampus menjadi lebih lama. Bahkan terkadang untuk mengejar waktu harus menggunakan kendaraan
umum dan berhenti di depan jalan Rumah
Sakit Islam, serta harus menggunakan ojek
lagi untuk masuk ke dalam kampus untuk
mengejar waktu agar tidak terlambat sampai di kampus. Karena sanksi yang didapatkan jika staf datang terlambat sampai di
kampus adalah uang transport mereka akan
dipotong. Dan jika staf pada hari itu membolos tidak masuk kantor tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, maka uang transportasi dan uang makan akan dipotong.
Jika ingin izin untuk tidak masuk kantor
karena ada urusan keluarga atau keperluan lain, maka staf harus membuat surat izin
dari jauh-jauh hari yang nantinya akan ditujukan kepada Kasubag Umum, Kaur Kepeg-

awaian serta atasan langsung. Sedangkan
bagi para staf yang tidak dapat masuk kerja
karena sedang sakit, maka sebisa mungkin
harus menunjukkan surat dokter.
Potongan tersebut sudah ada perhitungannya masing-masing, tergantung dari berapa
jam staf terlambat. Sedangkan untuk transport sendiri, uang yang dikeluarkan selama
kampus pindah jadi bertambah karena akses yang semakin jauh. Lalu Selama kampus
yang berpindah-pindah menjadi tiga tempat di TIM, PSKD dan Cempaka Putih, bagi
para staf selama masih bisa saling berkomuniksi tidak terlalu menjadi masalah dengan
kondisi kampus yang seperti ini.
Salah satu staf tidak tetap akademik, Arie
Guteng ( mas Arie ) mengatakan bahwa
tidak ada perbedaan saat kampus ketika
masih di TIM dengan di Cempaka Putih.
Hanya saja dengan pindahnya kampus,
mas Arie harus berpindah kos yang jaraknya lebih dekat dari kampus. Di mana jam
kerja mas Arie tetap dimulai pada pukul

08.00. Ia hanya kasihan pada nasib mahasiswa yang menjadi kesulitan dengan kondisi
kampus yang terpisah-pisah. Lalu karena
perkuliahan FFTV yang tidak hanya terletak
di Cempaka Putih, membuat mas Arie tidak
bisa melayani dosen yang akan melakukan
perkuliahan di PSKD, sehingga Rizky yang
sebelumnya menjadi cleaning service sekarang harus membantu di akademik untuk
menyiapkan perkuliahan di PSKD.
Berbeda dengan keadaan kampus Cempaka Putih yang cukup ramai, staf yang
berada di PSKD merasa lebih sepi karena
ruangannya yang berada di lantai 2 dan staf
yang berada di sana juga sangat sedikit.
berbeda dengan dulu saat semuanya masih
bergabung
Sebagian besar mahasiswa, dan para staf
berharap agar pembangunan gedung baru
IKJ dari semua Fakultas segera selesai. Agar
semua Fakultas dapat kembali berkumpul
menjadi satu lagi, dan untuk FFTV yang
sekarang terpisah di tiga tempat berbeda
segera bersatu kembali.
SISCHA MONALISA

Majalah AKSI | 17

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

PHOTOS COURTESY OF ANDINI JANUARTY

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 18

KAMPUS IKJ
Siang itu, selasa 01 Oktober 2013 saya
dan rekan liputan TV IKJ, Ratna Muthya
Hariyani berkunjung ke Gedung Santo Antonius yang terletak di Jalan Matraman Raya
nomor 119, Jakarta Timur, dimana Fakultas
Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (FSR IKJ)
melaksanakan kegiatan perkuliahan sementara selama proses pembangunan gedung
baru Kampus IKJ berlangsung. Proses pembangunan gedung baru ini mengharuskan
tiga Fakultas IKJ, Fakultas Seni Rupa, Fakultas Seni Pertunjukan, dan Fakultas Film dan
Televisi IKJ berpencar. Untuk menuju bagian
gedung yang di gunakan FSR, kita menaiki
tangga terlebih dahulu menuju lantai dua,
lalu melewati koridor besar yang sekaligus
menjadi kantin. Terdapat beberapa meja
penjual makanan dan minuman berjajar rapi
memanjang di tepi koridor. Beberapa mahasiswa tampak asik menggambar di pojok
kantin sambil bercengkerama. Setelah melewati koridor kantin, kami berada di lorong
dimana tampak jajaran ruangan yang digunakan untuk kegiatan perkuliahan. Suasana
lorong ruangan sepi dan sunyi, karena saat
itu mahasiswa sedang mengikuti perkuliahan diruangan kelas.
Berdasarkan informasi yang didapat dari
Mas Irvan selaku wakil Staff Akademik yang
bertugas di Matraman, ada sembilan ruangan yang digunakan FSR untuk kegiatan
perkuliahan, tujuh ruangan untuk kelas mahasiswa, satu ruangan akademik yang menyatu dengan ruang dosen, terakhir ruangan
koperasi yang juga menjadi satu dengan
Musholla. Sedangkan meja dan bangku serta alat penunjang lainnya tetap di bawa dari
FSR. Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan disini hanya mahasiswa baru, angkatan
2013. Sedangkan mahasiswa FSR angkatan
diatasnya tetap berkuliah seperti biasa di
Kampus FSR di Taman Ismail Marzuki. “Gedung A dan gedung C FSR sedang dalam
proses pembangunan, sedangkan gedung
B belum mengalami proses pembangunan
sehingga masih bisa dimanfaatkan untuk
melaksanakan perkuliahan. Dengan memisahkan angkatan baru dengan seniornya, ya
bisa dikatakan plus minusnya itu pasti ada
ya, anak-anak lebih fokus mengerjakan tugas disini, minusnya itu mungkin jadi kurang
mengenal kakak kelas, tapi plusnya juga
mereka jadi lebih konsen mengerjakan tugas dan fokus mengikuti perkuliahan”, ujar
Mas Irvan.
Mas Irvan menambahkan, peluang mahasiswa baru untuk mengenal Kampus dan para
senior tetap ada. Karena terdapat mata
kuliah umum, Etika Berbangsa dan Berkese-

Majalah AKSI | 19

KANTOR SEMENTARA
Sementara untuk 1 tahun (katanya)

nian juga Apresiasi Kesenian yang diadakan
di Kampus IKJ tiap hari kamis dan jum’at.
Mata kuliah menggambar dasar juga memberikan kesempatan mahasiswa 2013 FSR
untuk mengenal lingkungan kampus dan
TIM melalui pembelajaran menggambar
sketsa bangunan disekitar TIM pada minggu kemarin.
Menurut Natalie, mahasiswi FSR 2013, dipisahkannya kegiatan perkuliahan mahasiswa baru dengan senior sedikit berdampak
dengan sulitnya berbaur dengan para seniornya. “Fasilitas disini lumayan, tapi suasananya agak kurang, karena kalo di TIM
kan lingkungannya lebih luas, jadi bisa lebih
leluasa mencari objek menggambar yang
diinginkan”, jawabnya ketika ditanyakan
mengenai suasana pembelajaran di Matraman. “Tapi interaksi sama senior masih
bisa diatasi kalo pas lagi gambar bareng
di Beringin sih”, tambah Natalie. Lain lagi
dengan Zakirah yang mengatakan tidak ada
perbedaan jauh mengenai fasilitas dan sarana yang ada, “Fasilitasnya sama-sama enak,
paling yang kurang mendukung musholah
karena musolahnya gabung dengan koperasi, dan ruangannya kecil, sedangkan yang
sholat lumayan”.
Dosen mata kuliah Anatomi, Ibu Dolorosa
Sinaga mengatakan perpindahan sementara ini tidak menjadi kendala dalam kegiatan
pembelajaran. “Ya ada perbedaan mengajar disini dengan di TIM, bedanya atmosfer
kampus tidak ada. Akan tetapi, sebagai

pengajar kami punya tanggung jawab untuk
tetap menjalankan pengajaran pendidikan
dimanapun itu. Mengenai fasilitas, justru
ruangan yang ada disini lebih baik. Karena
kami mempunyai kelas yang lebih kecil sehingga tertata dengan baik seperti di SMA.
Harus bisa dimengerti, Tapi ini kan sementara, jadi tidak menjadi masalah. Karena
kualitas mengajar pendidik dan goal dari
pendidik untuk pendidikan dasar di tahun
pertama memang tidak boleh berkurang
mesti kalian mesti diajar di bawah pohon,
kami tetap harus commit untuk mengajar dengan baik. Kita kayak tentara, kalo
disuruh kesana, tetep kesana tapi keahlian
untuk menembak tidak berkurang,” ujar Ibu
Dolorosa Sinaga.
Usai berbincang dengan Ibu Dolorosa, kami
mengelilingi sekitar ruangan kelas, sempat
juga mengintip Pak Adjie, salah satu dosen
FSR yang sedang mengajar mata kuliah
menggambar anatomi. Ruang kelas tidak
terlalu besar, diisi kurang lebih dua puluhan mahasiswa ditiap kelasnya. Suasana
tenang membuat kegiatan pembelajaran
terasa nyaman. Walaupun ketiga Fakultas
berpencar sementara, namun civitas akademika IKJ masih bisa berkumpul dengan
adanya kegiatan-kegiatan yang diselenggarakanan nantinya, sehingga bisa memupuk
keakraban antar civitas akademika, seperti
kegiatan Program Pengenalan Studi Akademik (PPSA) yang telah berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta pada bulan september 2013.
ANDINI JANUARTY

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

PHOTOS COURTESY OF CEMARA CHRISALIT

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 20

KAMPUS IKJ
JAMMING
Tempat baru tidak menjadi
masalah untuk berlatih

Belum lama ini IKJ mengadakan perombakan besar-besaran pada kampusnya. Akibatnya, ketiga fakultas harus berpisah untuk
sementara waktu. Para penghuni kampus
pun harus melakukan adaptasi di lingkungan baru.
Saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi kampus sementara Fakultas Seni
Pertunjukan (FSP) di Pasar Baru. Setelah
menempuh perjalanan dari Cikini, tibalah
saya di sana.
Dari luar, gedung itu terlihat begitu kecil.
Itu adalah pertama kalinya saya mengunjungi kampus tersebut. Saya mengenali bahwa itu adalah gedung kampus FSP karena
ada spanduk bertuliskan Selamat Datang di
Kampus Sementara FSP yang terpasang di
dekat situ. Saya segera masuk dan melakukan tur kecil.
Interior gedung tersebut cukup luas. Kampus FSP terdiri dari tiga lantai. Semua lantai
memiliki ruangan-ruangan kecil yang digunakan sebagai ruang kelas. Sementara itu,
ruang kantor dan keperluan administrasi
terletak di lantai dua.
Hampir seluruh ruangan kelas digunakan untuk program studi musik karena
memang sebagian besar mata kuliahnya
adalah praktek dengan instrumen. Maka,
otomatis mereka membutuhkan ruangan
masing-masing. Sementara itu, kegiatan
perkuliahan program studi teater dan tari
lebih banyak berlangsung di teater halaman
TIM karena tidak banyak menggunakan peralatan. Untuk mata kuliah teori seperti Etika
Berbangsa dan Bernegara dan pendidikan
agama diadakan di gedung auditorium pascasarjana IKJ. Akan tetapi tidak hanya mata
kuliah praktek saja yang berlangsung di

Majalah AKSI | 21

Pasar Baru. Di sana juga diadakan perkuliahan untuk etnomusikologi dan antropologi
tari.
Baik mahasiswa, karyawan, maupun dosen
tentu harus beradaptasi selama beberapa
bulan sampai renovasi di Cikini rampung.
Dan setelah satu bulan di Pasar Baru, mereka mulai memiliki kesan tersendiri terhadap
gedung yang mereka tempati.
Ada beberapa kendala yang dihadapi selama kegiatan perkuliahan berlangsung.
Kendala utama yang dihadapi adalah daya
listrik yang sering mati. Hal itu tentu sangat
mengganggu kenyamanan semua orang
dan menghambat kegiatan administrasi.
Kendala kedua adalah kapasitas gedung
yang terlampau kecil. Berdasarkan informasi dari Pak Damar, sekretaris Prodi musik,
daya tampung dari tiap kelas hanya sekitar
duapuluh orang. Akibatnya, petinggi fakultas sepakat untuk menunda mata kuliah
umum seperti bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia. Sementara untuk mata kuliah
lain yang kapasitasnya lebih dari duapuluh
orang disediakan sebuah ruang serbaguna,
yang sebetulnya merupakan sebuah lorong
gedung. Kapasitasnya pun sebetulnya tidak
terlalu besar.
Kendala ketiga adalah tempat parkir. Kampus FSP berada di deretan komplek pertokoan dan terletak di pinggir jalan raya,
sehingga alhasil lahan parkir yang tersedia tidak memadai. Pengunjung yang
mengendarai mobil tentu akan kesulitan
mendapatkan tempat parkir.
Naomi, mahasiswi musik angkatan 2013,
juga memberikan testimoninya terhadap
kampus tersebut. Sejauh ini ia merasa tidak

ada masalah selama kuliah di Pasar Baru.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kiky
yang juga merupakan mahasiswa musik angkatan 2013. Yang menjadi permasalahan
adalah silaturahmi antar fakultas menjadi sulit. Baik Naomi maupun Kiky berkata
bahwa mereka belum sempat berkenalan
lebih jauh dengan mahasiswa-mahasiswi
dari fakultas lain sejak Program Pengenalan
Studi Kampus di Gedung Kesenian Jakarta
September lalu.
Ketika saya berkeliling, sayup-sayup terdengar suara musik dari dalam ruangan-ruangan kelas. Di salah satu ruang kelas yang
kosong, hanya ada satu orang yang sedang
memeriksa peralatan musik. Sementara
itu di lorong-lorong terdapat kardus-kardus yang belum sempat dibereskan. Ada
sebuah ruang kosong yang dimanfaatkan
sebagai kantin sekaligus sekadar sebagai
tempat bersantai para penghuni kampus.
Selama kunjungan saya di kampus Pasar
Baru, saya melihat bahwa kegiatan perkuliahan berlangsung seperti biasanya. Hal ini
membuktikan bahwa lingkungan baru dan
gedung baru yang memiliki banyak kendala
tidak memutuskan semangat belajar para
mahasiswa. Namun, Pak Damar berharap
bahwa proses renovasi kampus di Cikini dapat selesai tepat waktu. Beliau juga
mengharapkan adanya penambahan fasilitas yang lebih baik di gedung kampus baru
nantinya.
Saya sendiri juga berharap bahwa renovasi
dapat selesai secepatnya agar para mahasiswa dari ketiga fakultas dapat saling berkumpul dan mengenal satu sama lain.

CEMARA CHRISALIT

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

PHOTOS COURTESY OF PAMELA GREEN & PIC AGENCY

ALICE GUY-BLACHÉ
Filmmaker wanita pertama di dunia
Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 22

ALICE GUY-BLACHÉ:
THE WOMAN YOU
SHOULD KNOW ABOUT
Oleh: Bawuk Respati

Sang Wanita

J

ika kita mempelajari sejarah sinema, maka nama-nama seperti Lumiére Bersaudara dan Georges Meliés tidak akan terdengar asing. Bahkan mungkin, sebagian dari kita mengenal nama-nama tersebut dari film garapan sutradara Martin Scorsese yang berjudul Hugo. Bagaimanapun
juga, kita mengenal nama-nama tersebut sebagai pionir dalam dunia perfilman. Lumiére Bersaudara dikenal sebagai salah satu pihak pertama yang menemukan dan memanfaatkan teknologi
film untuk merekam realitas, lalu mempertunjukkannya kepada publik. Sementara itu, Meliés
mendapat reputasi sebagai pelopor dalam bercerita lewat film dengan karya-karyanya yang imajinatif. Tapi berbicara tentang pelopor dalam dunia perfilman selain Lumiére dan Meliés, apakah
kalian pernah mendengar nama Alice Guy-Blaché?

Majalah AKSI | 23

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

BE NATURAL
Motto seorang Alice Guy-Blache,
terpampang di depan studio miliknya,
Solax Company

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Pada masa di mana wanita masih belum
bisa mengikuti pemilu, Alice tidak membiarkan gender menghentikan dirinya
dalam berkecimpung di dunia perilman
yang notabene didominasi oleh pria. Alice Guy-Blaché diklaim sebagai ilmmaker
wanita pertama di dunia. Dimulai dari Gaumont Film Company, Alice dipercaya untuk
mengepalai berbagai produksi ilm. Lalu
pada tahun 1910, ketika ia pindah ke Amerika Serikat, Alice pun membangun studio
ilmnya sendiri bersama suaminya saat itu,
Herbert Blaché, bernama Solax Company.
Dalam karier yang berlangsung kurang lebih 20 tahun, Alice menulis, menyutradarai,
dan memproduksi hampir 1000 ilm.
Prestasi Alice sangat mengagumkan, namun sayang, namanya saat ini tidak banyak
diketahui oleh publik, bahkan oleh mereka
yang menganggap dirinya sebagai pecinta
ilm. Meskipun begitu, baru-baru ini Alice
sedang berada dalam perjalanan untuk
mengklaim kembali posisinya yang hampir

terlupakan dalam sejarah sinema. Ternyata, meskipun secara isik Alice sudah tidak
ada, semangat dari “Sang Wanita” kembali
hidup dalam sebuah proyek ilm dokumenter, Be Natural: The Untold Story of Alice
Guy-Blaché.
Menghidupkan Alice Kembali
Be Natural: The Untold Story of Alice GuyBlaché merupakan sebuah proyek ilm
dokumenter yang akan bercerita tentang
seluk-beluk kehidupan seorang tokoh pelopor perilman, Alice Guy-Blaché—seorang wanita yang perlu kita kenal. Dengan
prestasi Alice yang mengagumkan—ia
membuat sekitar 1000 ilm selama kariernya. Film ini berusaha mempertanyakan
mengapa nama Alice tidak banyak diketahui oleh publik. Namun, ilm ini bukanlah
ilm dokumenter biasa yang hanya akan
menampilkan sebatas biograi singkat mengenai Alice dan prestasinya. Menurut duo
sutradara di balik ilm ini, Pamela Green dan
Jarik van Sluijs, ilm ini akan menampilkan
semacam cerita detektif, di mana mereka akan mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mereka miliki tentang Alice dan kehidupannya dulu, seperti:
Apa yang mendorong, menginspirasi, dan
menggugah Alice dan imajinasinya dalam
berkreasi dengan medium ilm? Dan, apa
atau siapa yang membuat namanya menghilang dari sejarah? Mengapa?
Selain akan bercerita tentang persona dari
Alice Guy-Blaché sebagai seorang ilmmaker, ilm ini juga akan menceritakan perjalanan sinema dari awal mula ditemukannya
teknologi ilm. Menurut Green dan van
Sluijs, mempelajari tentang bagaimana seorang Alice dan para pelopor ilm lainnya
bernavigasi dengan teknologi baru di akhir

Majalah AKSI | 24

PHOTOS COURTESY OF PAMELA GREEN & PIC AGENCY

Pada 1895 di Paris, ketika Lumiére Bersaudara memamerkan penemuan gambar bergerak yang diproyeksikan dengan
sebuah mesin bernama Cinématographe,
Alice merupakan salah satu penonton yang
hadir dalam acara itu. Saat itu, Alice baru
berumur 23 tahun dan bekerja sebagai sekretaris untuk Léon Gaumont. Tidak lama
setelah itu, Gaumont pun memulai perusahaan ilmnya sendiri—Gaumont Film Company—dan memberikan Alice kesempatan
untuk bereksperimen dengan penemuan
baru yang disebut “sinema” tersebut. Pada
1896, Alice membuat sebuah ilm yang bisa
dibilang sebagai salah satu ilm naratif pertama. Beberapa pihak menganggap bahwa
Alice mendahului Meliés dalam memanfaatkan kemungkinan naratif dari ilm. Jika
begitu, Alice pun pantas mendapatkan titel
pelopor dalam dunia perilman. Namun,
bukan hanya hal itu saja yang menarik dari
seorang Alice; well, jika kalian belum bisa
menebak, Alice Guy-Blaché adalah seorang
wanita.

ALICE GUY-BLACHÉ

abad ke-19, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang kita hadapi sekarang.
Yaitu dengan teknologi-teknologi baru
yang muncul di abad ke-21 ini. Meskipun
terpisahkan oleh lebih dari 100 tahun, banyak yang dapat kita pelajari dari perjalanan
Alice untuk dapat menghadapi tantangan
yang berada di depan mata kita.
Satu hal lain yang akan membuat ilm dokumenter ini menjadi spesial adalah pendekatan yang akan digunakan oleh Green
dan van Sluijs dalam bercerita. Karena latar
belakang pekerjaan mereka, lalu diputuskan untuk mencoba merekonstruksi dunia
Alice, dengan menggunakan VFx (3D modeling, compositing, dan animation), supaya
bisa mendapatkan efek seperti mengajak
penonton masuk ke dalam dunia Alice. Tentunya, pendekatan ini akan didukung dengan riset yang ekstensif, sehingga meskipun VFx digunakan, masih banyak materi
lain yang telah mereka temukan yang dapat
juga digunakan dalam menceritakan kisah
Alice.
“Singkat kata, kami bertujuan tidak hanya
untuk melihat kembali masa lalu Alice, tapi
juga untuk berdiri berdampingan dengannya dan melihat masa depannya—masa
kita sekarang.” tulis Green dan van Sluijs di
halaman Kickstarter mereka.

Majalah AKSI | 25

Tim Penyelamat Alice
Pamela Green dan Jarik van Sluijs merupakan duo sutradara yang menjadi dalang dari
proyek ilm dokumenter mengenai Alice
Guy-Blaché ini. Mereka merupakan partner
sekaligus pendiri dari PIC Agency, sebuah
studio komunikasi audio-visual yang berkutat dalam dunia entertainment dan motion
design, berbasis di Los Angeles, California. Agensi Mereka telah mendesain dan
memproduksi banyak muatan visual untuk
berbagai ilm, acara televisi, dan iklan, diantaranya mereka telah membuat title sequence untuk ilm-ilm seperti The Bourne
Supremacy, Fantastic Four, Sex and the City,
Twilight, The Muppets, Now You See Me,
Fast & Furious 6, dan masih banyak lagi.
Bulan Juli lalu, Green dan van Sluijs memulai sebuah kampanye mencari dana di situs
Kickstarter untuk ilm mereka, Be Natural:
The Untold Story of Alice Guy Blaché. Pada
saat itu, mereka telah menyelesaikan riset mengenai Alice selama dua tahun dan
mereka siap untuk mulai merangkai hasil
riset mereka tersebut menjadi sebuah feature documentary. Untuk dapat melakukan
hal itu, tentunya mereka membutuhkan
dana.
Meskipun portofolio mereka sudah terbilang impresif, namun mendapatkan

pendanaan tetap bukan hal yang mudah.
Mereka butuh sekitar $200,000 untuk dapat
memulai mengerjakan proyek mereka ini.
Mereka memilih untuk menggalang dana
lewat Kickstarter. Kickstarter adalah sebuah
situs yang dapat digunakan untuk mempromosikan sebuah proyek kreatif dan memberikan bagi siapapun yang mempunyai
ide untuk dapat mewujudkan ide tersebut
lewat bantuan donasi dan kontribusi dari
sesama pengguna situs tersebut. Metode
ini disebut juga crowd-funding.
Kampanye Kickstarter Be Natural sempat
berjalan lambat. Pada minggu-minggu pertama, jumlah dana yang sudah digalang
tidak begitu banyak. Namun, di minggu-minggu terakhir, dengan semakin banyaknya pihak yang mempromosikan proyek
ini, mulai dari pers hingga pengguna sosial media, jumlah itu sedikit demi sedikit
naik. Dan pada deadline pendanaan, yaitu
tanggal 27 Agustus 2013, Be Natural mencapai target $200,000 mereka dan bahkan
mendapatkan hampir $20,000 ekstra. Kini,
menurut perhitungan di Kickstarter, proyek
Be Natural mempunyai 3,840 pendukung.
Sekumpulan orang-orang ini pun ikut berpartisipasi bersama Green dan van Sluijs,
sekaligus Robert Redford sebagai Produser
Eksekutif dan Jodie Foster sebagai Narator,
dalam sebuah tim penyelamat untuk Alice.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

EXCLUSIVE
Beberapa waktu setelah kesuksesan tim Be Natural dalam mencapai targetnya di Kickstarter, AKSI berusaha
menghubungi salah satu sutradaranya, yaitu Pamela Green, via Facebook, untuk melakukan sebuah wawancara
kecil mengenai Alice Guy-Blaché, kesuksesan kampanye Kickstarter-nya, dan prospek dari ilm Be Natural ini.
iman. Tidak semua orang bisa mempunyai
kedua bakat ini. Hal ini sangat menarik dan
menginspirasi saya.

PG: Gila! Saya suka keduanya.
BR: Kita di sini akan ngobrol tentang
proyek ilm anda, sebuah ilm dokumenter tentang Alice Guy-Blaché, wanita yang
dianggap sebagai il