T1 802013713 Full text

HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG TUA-REMAJA TENTANG
SEKSUALITAS DENGAN PERILAKU SEKS PADA MAHASISWA

Oleh :
Ary Pratama Putra
802013713

TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi guna memenuhi sebagian
dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi

Program Studi: S1 Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014

i

ii


iii

iv

HUBUNGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL ORANG TUA-REMAJA TENTANG
SEKSUALITAS DENGAN PERILAKU SEKS PADA MAHASISWA

Ary Pratama Putra
Chr. Hari Soetjiningsih
Berta Esti Ari Prasetya

Program Studi: S1 Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014

v


ABSTRAKSI
Akhir-akhir ini fenomena tentang perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja cukup
memprihatinkan. Kurangnya komunikasi interpersonal antara orang tua dan remaja mengenai
seksualitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku seksual
pranikah pada remaja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan antara
komunikasi orang tua dan remaja tentang seksualitas dengan perilaku seks pranikah pada
mahasiwa. Komunikasi interpersonal orang tua-remaja tentang seksualitas sebagai variabel
bebas dan perilaku seks pada mahasiswa sebagai variabel terikat. Subjek yang digunakan
untuk penelitian ini adalah mahasiswa

Universitas Kristen Satya Wacana Fakultas

Ekonomika dan Bisnis yang berusia 18-21 tahun dan masih tinggal bersama orang tua.
Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Teknik analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi product moment dari Pearson.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan negatif yang
signifikan antara komunikasi interpersonal orang tua – remaja tentang seksualitas dengan
perilaku seks pranikah ( r = -0,109, sig. = 0,276 → p>0,05 )


Kata kunci : komunikasi interpersonal orang tua – remaja tentang seksualitas, perilaku seks
pranikah, mahasiswa

vi

ABSTRACT
Lately the phenomenon about parental sexual behavior committed by teenagers quite
alarming. The lack of interpersonal communication between parents and teenagers abouth
sexuality is one of factor affecting the occurance of sexual behavior. This study aims see
wheter there is a relationships with communication sexual behavior. The interpersonal
communication between parents and teenagers about sexuality as free variable and sexual
behavior in college student as the dependent variable. The subjects used for this study is
collage student at Satya Wacana Chistian Univercity, Faculty of Economics and Business. Aged
18 until 21 years old. And they’re stay with their parents. The sampling technique used is the
purposive sampling technique. The data analysis technique used is correlation analysis
product moment from Pearson. The result obtainted from this study showed that there was no
significant negative correlation between interpersonal communication parents and teenager
sexuality behavior ( r = -0,109, sig. = 0,276 → p>0,05 )

Keyword: interpersonal communication between parents and teenager, sexuality, sexuality

behavior,andcollegestudent.

vii

PENDAHULUAN
Masalah seksualitas adalah topik yang tidak pernah habis untuk dibicarakan hingga
saat ini. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang
sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas adalah konsep yang sangat luas dan mencakup
berbagi aspek. Gunawan dalam bukunya “filsafat seks” mendefinisikan masalah seksualitas
sebagai kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, dan sikap seorang yang berkaitan dengan
perilaku dan orientasi seksualnya. Pengetahuan akan seksualitas itu sendiri sangat penting
dipahami, Sarwono (2001) menerangkan beberapa manfaat pengetahuan seksualitas adalah
mengerti tentang perbedaan seksualitas antara pria dan wanita dalam keluarga, pekerjaan, dan
seluruh kehidupan yang selalu berubah dan berbeda dalam tiap masyarakat dan kebudayaan;
mengerti tentang peranan seksual dalam kehidupan manusia, keluarga, dan pekerjaan;
mengembangkan pengertian tentang diri sendiri sehubungan dengan fungsi dan kebutuhan
seks, dan membantu untuk mengembangkan kepribadian sehingga remaja mampu untuk
mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
Dengan pemahaman yang baik akan seksualitas, seseorang akan memunculkan
perilaku seksual yang baik, dalam hal ini lebih berhati-hati dan bertanggung jawab akan

perilakunya. Sebaliknya seseorang yang kurang paham seksualitas tentu akan memunculkan
perilaku seksual yang menyimpang, saat ini yang semakin mengkhawatirkan adalah
berkembangnya perilaku seksual pranikah. Akbar (1992) menyebutkan bahwa perilaku
seksual pranikah merupakan segala bentuk perilaku atau aktivitas seksual yang dilakukan
sebelum perkawinan. Perilaku seksual remaja yang telah menjerumus kepada hubungan
seksual pranikah ini berdampak negatif pada remaja, misalnya kehamilan. Kehamilan yang
terjadi pada usia remaja dan diluar ikatan perkawinan menjadi suatu masalah yang kompleks.

1

Hal tersebut mengakibatkan mereka harus menanggung beban moral, karena kehamilan
diluar nikah belum dapat diterima oleh masyarakat.
Pada periode remaja awal (13-17 Tahun), terjadi perubahan jasmani yang cepat,
sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan dan kekhawatiran.
Berkaitan dengan perkembangan budaya dalam masyarakat (yang tidak jarang bertentangan
dengan nilai-nilai, beredarnya film-film dan foto-foto yang tidak senonoh atau porno), dan
kecenderungan remaja awal yang memiliki rasa ingin tahu yang kuat, hal tersebut
menimbulkan daya tarik yang kuat bagi remaja awal untuk mencobanya (Yusuf, 2002).
Ketertarikan untuk mencoba tersebut cendrung akan meningkat pada remaja akhir (18-21
Tahun). Hal tersebut berkaitan dengan tugas perkembangan yang berhubungan dengan seks

yang harus dikuasainya yaitu membentuk hubungan baru yang lebih matang dengan lawan
jenis (Hurlock, 1980). Lebih lanjut Christiani (2004) mengemukakan bahwa pada saat-saat
ini remaja akhir cendrung terlihat lebih permisif terhadap perilaku seks yang melibatkan
lawan jenis. Mereka lebih mengekspresikan perilakunya secara terang-terangan. Periode
remaja akhir pada umumnya dialami oleh orang muda yang berada pada tingkat akhir sekolah
Menengah Umum (SMU) dan mahasiswa perguruan tinggi tingkat awal. Menurut Wijayanto
(2003), usia mahasiswa (remaja akhir) merupakan masa-masa yang paling rawan dan identik
dengan seks.
Perilaku seks yang tidak sehat dikalangan remaja khususnya bagi remaja yang belum
menikah cendrung meningkat (http://m.merdeka.com/peristiwa/remaja-kota-doyan-ngesekssebelum-nikah.html). Perilaku seksual pada remaja dapat di wujudkan dalam tingkah laku
yang bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik, berkencan, berpegangan tangan,
mencium pipi, berpelukan, mencium bibir, memegang buah dada diatas baju, memegang
buah dada di balik baju, memegang alat kelamin di atas baju, memegang alat kelamin dibalik
baju, dan melakukan senggama (Sarwono, 2003).
2

Berdasarkan survey sumber kesehatan reproduksi remaja (SKKRI) di tahun 20022003, remaja mempunyai teman yang pernah yang berhubungan seksual pada usia: 14-19
tahun, perempuan 37,7%, laki-laki 30,9%. Sedangkan pada usia 20-24 tahun perempuan
48,6% dan laki-laki 46,6%. SKRRI pun melanjutkan analisanya pada 2003 dengan
memetakan beberapa faktor yang mempengaruhi mereka melakukan seks pranikah. Menurut

SKKRI, faktor yang mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual antara lain:
Pertama, pengaruh teman sebaya atau punya pacar. Kedua, punya teman yang setuju dengan
hubungan seks pranikah. Ketiga, punya teman yang mendorong untuk melakukan seks
pranikah. Dari penelitian ini harusnya membuat orang tua lebih maksimal dalam mengawasi
ataupun

berkomunikasi

dengan

anak

terlebih

masalah

seksual

(http://news.okezone.com/read/2010/12/04/338/400182/tiap-tahun-remaja-seks-pra-nikahmeningkat).
Demikian pula pada mahasiswa – mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Dalam wawancara penulis dengan salah satu
mahasiswa yang berada pada masa remaja akhir (18-21) tahun, pada tanggal 1 mei 2012
diketahui bahwa kehidupan subjek yang telah memiliki pacar cenderung melakukan seks
pranikah, hal ini dikarenakan subjek tidak memiliki kedekatan dan komunikasi yang baik
dengan keluarganya (orang tua).
Pada umumnya remaja memiliki dorongan keingintahuaan yang kuat tentang
seksualitas (Rezki dalam Saraswati dkk., 2000). Namun, sampai sekarang banyak orang tua
menganggap tabu apabila membicarakan masalah seksualitas (Saraswati dkk., 2000). Hal
tersebut mengakibatkan pengetahuan remaja tentang seksualitas sangat kurang atau seringkali
tidak akurat, yang selanjutnya mengakibatkan remaja selalu berusaha mencari lebih banyak
informasi mengenai seks melalui buku-buku, teman, video, laser disk, maupun video compact
3

disk. Media-media tersebut memberi peluang yang besar dalam akses informasi tanpa sensor,
sehingga menambah daya dorong seksual yang sangat mungkin mengakibatkan remaja
terjerumus dalam perilaku seks bebas. Oleh sebab itu, remaja membutuhkan pengarahan yang
tepat,

sehingga


mereka

mampu

mengenali

dorongan

seksualnya

serta

mampu

mengendalikannya secara tepat dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, orang tualah yang
pertama kali bertanggung jawab untuk membantu anaknya dalam membentuk sikap-sikap,
nilai-nilai dan pengetahuan mengenai tanggung jawab dalam perilaku seksual. (James, 1980).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual menurut Sarwono (2001) adalah
meningkatnya libido seksualitas, penundaan usia perkawinan, tabu atau larangan sosial dan
agama, kurangnya informasi tentang seks yang benar dan pergaulan semakin bebas.

Sementara itu menurut Seotjiningsih (2008) menunjukan faktor-faktor yeng mempengaruhi
perilaku seks pranikah remaja adalah hubungan orangtua – remaja, tekanan negatif teman
sebaya, pemahaman tingkat agama (religiusitas), dan eksposur media pornografi memiliki
pengaruh yang signifikan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seksual
pranikah remaja.
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat belajar sebagai
makhluk sosial juga merupakan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, dan
pendidikan anak. Interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula tingkah laku terhadap
orang lain dalam masyarakat. Orang tua sangat besar peranan dan tanggung jawabnya dalam
mendidik dan membimbing anak-anaknya (Sarwono, 1989)
Disamping memiliki kebutuhan untuk mendapatkan pengarahan yang tepat mengenai
masalah seksualitas, remaja juga membutuhkan kehadiran orang dewasa (orang tua) yang
mampu memahami dan memperlakukan meraka secara bijaksana, serta membatu
memecahkan masalah yang mereka hadapi. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang
4

tua mampu memahami dan memperlakukan remaja secara bijaksana. Begitu pula sebaliknya,
remaja juga seringkali merasa enggan mengemukakan perasaanya kepada orang tuanya,
sehingga sering mengakibatkan terjadinya jurang komunikasi antara remaja dan orang tuanya
(Indrijati, 2001)

Terjalinnya komunikasi antara orang tua dan anak akan lebih memberikan
kesempatan pada orang tua dalam memberikan pendidikan seksual secara dini secara benar
dan sehat sehingga terbentuk persepsi positif tentang perilaku seksual mereka. Di sisi lain
orang tua adalah tempat paling awal berhubungan dengan anak, oleh karena itu orang tua
diharapkan dapat menjaga keakraban dan komunikasi, dengan demikian remaja tidak segan
untuk bersikap terbuka dan setiap masalah yang dihadapi bisa dikemukakan tanpa rasa ragu.
Demikian halnya jika yang dihadapi tentang masalah seksualitas, sehingga komunikasi dan
keterbukaan selalu terjaga, remaja tidak akan segan untuk mengemukakannya sekalipun
bersifat pribadi (Simandjuntak, 1984).
Komunikasi dalam keluarga mempunyai peranan penting bagi remaja untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Selain itu, komunikasi dalam keluarga dapat
dijadikan sebagi wahana untuk melakukan fungsi penanaman nilai-nilai dan kesadaran
tentang tanggung jawab yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan seks diluar
perkawinan.
Beberapa hasil penelitian di Amerika menunjukan bahwa ketika orang tua dapat
menerima ketertarikan anak terhadap seksualitas dan mempunyai kemauan untuk
mendiskusikan seksualitas dengan anaknya, maka anak-anak tersebut cendrung menunda
sexual intercourse yang pertama (Zelnik dan Kim dalam Allgeier dan Allgeier, 1991). Lebih
lanjut Sarwono (2003) mengungkapkan perilaku seksual remaja dapat dikurangi atau dicegah
melalui kedekatan hubungan orang tua dan anak, Pelaksanaan kehidupan beragama secara
5

aktual sehari-hari dan mengkomunikasikan seks (pendidikan seks) pada remaja. Pendidikan
seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks mengandung
pengalihan nilai-nilai, seperti peran pria dan wanita dalam pergaulan, peran ayah – ibu dan
anak-anak dalam keluarga, dan sebagainya. Pendidikan seks seyogianya tetap dimulai dari
rumah, yaitu dengan mengkomunikasikan masalah seks secara lebih efektif pada remaja.
Salah satu yang menjadi alasan utama pendidikan seks dimulai dari rumah adalah karena
masalah seks merupakan masalah yang sifatnya sangat pribadi.
Menurut Dagun (Yuwanto, 2002) mengatakan bahwa peran orangtua dalam hal
komunikasi akan membantu remaja dalam memahami dan mengerti perilaku tertentu
terutama perilaku seksualnya sehingga dapat menghindari perilaku seks pranikah. Hal ini
didukung oleh hasil dari penelitian Laily dan Matulessy (2004) yang menyimpulkan bahwa
para orang tua memakai semua pola komunikasi dalam mengkomunikasikan masalah seksual
kepada anaknya, namun orang tua hendaknya tetap mempertahankan pola sex expressive,
yaitu para orang tua tidak berbelit-belit ketika melakukan pendekatan masalah seks kepada
anaknya, karena pola ini merupakan pola komunikasi yang paling ideal dalam menyampaikan
masalah seksual kepada anaknya. Orang tua memperkenalkan seks sebagai sesuatu yang
sehat dan positif serta menekankan kepada anaknya bahwa seks yang dilakukan tidak pada
“tempat dan waktu” yang tepat hanya akan merugikan diri sendiri.
Mengkomunikasikan masalah seks secara efektif pada remaja bukan merupakan hal
yang mudah. Komunikasi yang berkualitas atau komunikasi yang baik sering disebut
komunikasi yang efektif. Suatu komunikasi disebut efektif jika komunikasi tersebut memiliki
unsur-unsur keterbukaan, empati, dukungan, sikap positif dan kesetaraan (Devito, 1995).
Senada hal tersebut, Indrijati (2001) mengemukakan bahwa kualitas komunikasi
mengindikasikan frekuensi ibu dan ayah menjelaskan alasan tentang suatu ide dan mencoba
6

untuk memahami alasan anaknya mengenai suatu ide. Suatu komunikasi yang efektif akan
meminimalkan kesalahpahamaan (Gudykust, 1991). Sementara itu , Gordon dan Alexander
(dalam Fuhrman, 1990) menyatakan bahwa sikap orang tua yang efektif juga ditunjukan
dengan mengajak anak berdiskusi secara terbuka untuk mencapai pemecahan suatu masalah.
Dengan kata lain, komunikasi yang berkualitas antara orang tua dan anak melibatkan secara
langsung kedua belah pihak, seperti kehangatan, keterbukaan, diskusi yang suportif, saling
menghormati dan lain-lain dalam rangka mencari jalan guna menyelesaikan konflik yang
dihadapi oleh remaja.
Tidak terpenuhinya kesempatan untuk berkomunikasi dalam keluarga dapat
memberikan dampak yang merugikan bagi remaja. Hal tersebut mengakibatkan remaja tidak
puas dengan keluarganya. Selain itu, sulitnya komunikasi remaja khususnya dengan orang tua
pada akhirnnya akan menyebabkan perilaku seksual yang tidak diharapkan.
Hurlock (1993) mengungkapkan bahwa remaja yang mendapatkan pendidikan seks
dari orang tua cendrung berperilaku seks yang lebih baik daripada remaja yang
mendapatkannya dari orang lain. Sementara Sarwono (2006) mengungkapkan bahwa
komunikasi orang tua dan anak dapat menentukan seberapa besar kemungkinan anak tersebut
melakukan tindakan seksual. Berbagai studi yang dilakukan menunjukan bila anak dan
remaja tahu akan resiko dan konsekuensi dari hubungan seksual pranikah, mereka justru akan
berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap perilakunya sendiri (Dobiariasto dalam
Amrillah, 2007). Komunikasi orang tua dan remaja dapat menghindarkan remaja dari
perilaku seksual pranikah, hal ini dikarenakan antara orang tua dan anak (remaja) terjalin
hubungan atau komunikasi yang intensif sehingga memungkinkan terjadinya diskusi,
sharing, dan pemecahan masalah bersama (Laily & Matulessy, 2004). Penelitian yang
bertentangan dilakukan oleh Wijoyo (2006) yang mengatakan bahwa keterbukaan
7

komunikasi ibu-remaja dan ayah-remaja (tentang seks) tidak berkolerasi secara signifikan
dengan sikap remaja terhadap seks pranikah
Mencermati uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji masalah ini dalam suatu
penelitian dengan judul: Hubungan Antara Komunikasi interpersonal Orang tua – Remaja
tentang masalah Seksualitas Dengan Perilaku Seks Pranikah Pada Mahasiswa
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan rumusan diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Apakah
terdapat hubungan yang signifikan Komunikasi interpersonal Orang tua – Remaja tentang
masalah Seksualitas Dengan Perilaku Seks Pranikah Pada Mahasiswa?”
TINJAUAAN PUSTAKA
Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual merupakan perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual
atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku (Wahyudi,
2000). Hal senada diungkapkan oleh Kartono dan Gulo (1987) yang berpendapat bahwa
perilaku seksual adalah perilaku yang berhubungan dengan fungsi-fungsi reproduksi atau
merangsang sensasi dalam reseptor-reseptor yang terletak pada atau sekitar organ-organ
reproduktif dan daerah-daerah erogen. Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku
yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan dua orang, pria dan wanita diluar
perkawinan sah (Sarwono, 2005). Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa perilaku seksual
pranikah merupakan perilaku yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi
menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

8

Sementara Luthfi (dalam Amrillah dkk, 2001) menungkapkan bahwa perilaku
seksual pranikah adalah perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang
resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu.
Simanjuntak (dalam Prastawa & Lailatushifa, 2009) menyatakan bahwa perilaku seksual
pranikah adalah segala macam tindakan seperti bergandengan tangan, berciuman sampai
dengan bersenggama yang dilakukan dengan adanya dorongan hasrat seksual sebelum ada
ikatan pernikahan yang resmi menurut hukum dan agama. Pengertian sama juga
diungkapkan oleh Akbar (1992). Ia menyebutkan bahwa perilaku seksual pranikah
merupakan segala bentuk perilaku atau aktivitas seksual yang dilakukan tanpa adanya ikatan
perkawinan.
Berdasarkan definisi – definisi yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa
perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat seksual seperti bergandengan
tangan, berciuman, bercumbu dan bersenggama yang dilakukan oleh pria dan wanita tanpa melalui
proses pernikahan yang resmi menurut hukum dan agama.
Tahap Perilaku Seksual
Menurut Irawati (2002) remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual
bereksiko yang terdiri atas tahapan – tahapan tertentu yaitu dimulai dari berpegangan
tangan, cium kering, cium basah, berpelukan, memegang atau meraba bagian sensitif,
petting, oral sex, bersenggama sexual intercourse).
Dalam tahap perilaku seksual remaja pada diagram group dalam buku sex: A user’s
manual yang dimodifikasi oleh Soetjiningsih (2008) dapat dirinci sebagi berikut:
a. Berpegangan tangan
b. Memeluk/dipeluk di bahu
9

c. Memeluk/dipeluk di pinggang
d. Ciuman bibir
e. Ciuman bibir sambil pelukan
f. Meraba/diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan berpakaian
g. Mencium/dicium dareah erogen dalam keadaan berpakaian
h. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaiaan
i. Meraba/diraba daerah erogen dala keadaan tanpa berpakaian
j. Mencium/ dicium daerah erogen dalam keadaan tenpa berpakaian
k. Saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa berpakaiaan
l. Berhubungan seksual.

Faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah
Secara umum perilaku seksual pranikah dipengaruhi oleh peningkatan hormonhormon seksual. Hormon-hormon seksual yang meningkat juga menyebabkan peningkatan
dorongan seks pada remaja. Dorongan seks muncul dalam bentuk ketertarikan pada lawan
jenis dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual dari pasangannya (Herdalena
dalam Prajaningtyas, 2009) selanjutnya Hurlock (1992) menyatakan bahwa manifestasi
dorongan seksual dalam perilaku seksual dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor
eksternal.
a. Faktor internal, yaitu stimulus yang berasal dari dalam diri individu yang berupa
bekerjanya hormon-hormon alat reproduksi sehingga menimbulkan dorongan seksual pada
individu yang bersangkutan dan hal ini menuntut untuk segera dipuasakan
b. Faktor eksternal, yaitu stimulus yang berasal dari luar individu yang menimbulkan
dorongan seksual sehingga memunculkan perilaku seksual. Stimulus eksternal tersebut
10

dapat diperoleh melalui pengalaman kencan, informasi mengenai seksualitas, diskusi
dengan teman, pengalaman masturbasi, jenis kelamin, pengaruh orang dewassa serta
buku-buku bacaan dn tontonan porno.
Menurut Soetjiningsih (2008) faktor yang berpengaruh kuat pada perilaku seksual
pranikah remaja diantaranya:
a. Faktor individual (self esteem/ harga diri dan religiusitas)
b. Faktor keluarga ( hubungan orang tua-remaja)
c. Faktor diluar keluarga (tekanan teman sebaya dan media pornografi)
Dari beberapa faktor yang dikemukakan diatas, maka disimpulkan bahwa faktor
yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh remaja terdiri atas
faktor individual (self esteem/ harga diri dan religiusitas), keluarga ( hubungan orang tuaremaja), dan faktor yang berasal dari luar keluarga berupa tekanan teman sebaya dan media
pornografi.
Komunikasi Interpersonal Orang Tua-Remaja
Istilah komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin, yaitu
communicatio yang berarti pemberitahuan atau pertukaran. Kata sifatnya communis, yang
bermakna umum atau bersama-sama.
Johnson (1981), mengatakan bahwa secara luas komunikasi adalah setiap bentuk
tingkah laku seseorang, baik verbal maupun non verbal yang mengungkapkan pesan tertentu
dan ditanggapi oleh orang lain. Secara sempit, komunikasi diartikan sebagai pesan yang
dikirim seseorang kepada satu atau lebih penerima, dengan maksud untuk mempengaruhi
tingkah laku si penerima.

11

Menurut Soelaiman dan Shochib (2000), keluarga adalah sekumpulan orang
yang hidup bersama dalam tempat
merasakan

tinggal bersama dan

masing - masing anggota

adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi,

saling

memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Efektivitas komunikasi pada orang tua adalah
proses penyampaian informasi antara remaja dengan orang tua sehingga menimbulkan
perhatian dan efek tertentu
Monk, dkk (1994) mengatakan bahwa kualitas hubungan dengan orang tua
memegang peranan yang penting. Adanya komunikasi antara orang tua pada masa remaja
akan menimbulkan kedekatan. Dapat dikatakan bahwa komunikasi orang tua dan remaja
bersifat dua arah, disertai dengan pemahaman bersama terhadap suatu hal dan setiap pihak
berhak menyampaikan perasaan, pikiran, informasi ataupun nasehat sehingga menimbulkan
pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang lebih baik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa komunikasi orang tua dan remaja adalah proses
penyampaian pesan yang dilakukan oleh orang tua kepada remaja yang bersifat dua arah,
disertai dengan pemahaman bersama terhadap suatu hal dan setiap pihak berhak
menyampaikan perasaan, pikiran, informasi ataupun nasehat sehingga menimbulkan
pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang lebih baik.
Aspek komunikasi interpersonal tentang seksualitas antara orangtua-remaja
Berdasarkan model humanistik terdapat lima aspek komunikasi interpersonal yang
baik antara orang tua dan anak remaja seperti diungkapkan oleh De Vito (1995):
a.

Keterbukaan (openness)
Keterbukaan merupakan keinginan untuk membuka diri pada orang lain,
meliputi 3 aspek yaitu:
12

1) Kemauan untuk membuka diri, yaitu menyikap informasi tentang diri sendiri yang
biasanya mungkin disembunyikan (memberi informasi tentang diri sendiri kepada
orang lain)
2) Kemauan untuk memberikan reaksi secara jujur terhadap pesan-pesan dengan
orang lain (bereaksi secara spontan memberi umpan balik kepada orang lain)
3) “memiliki” perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran; bertanggung jawab
terhadap apa yang dirasakan kepada orang lain.
b.

Empati (emphaty)
Empati merupakan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain dari sudut pandang orang tersebut. Tindakan untuk dapat mencapai rasa
empati tersebut, meliputi:
1) Menghindari tindakan mengevaluasi atau mengkritik perilaku orang lain
2) Sebanyak mungkin mempelajari tentang keinginan, pengalaman, kemampuan,
ketakutan, yang dimiliki oleh orang lain, sehingga dapat ikut melihat apa yang
orang lain lihat, dan mersakan apa yang orang lain rasakan.
3) Mencoba untuk memahami alasan dan dorongan perasaan orang lain
4) Mencoba untuk mengalami secara emosional apa yang orang lain rasakan, dari
sudut pandang orang tersebut.

c.

Dukungan (supportiveness)
Dukungan merupakan kesediaan untuk mendampingi dan mendengarkan
pandangan orang lain yang berlawanan dengan pandangannya sendiri. Gibb (Devito,
1995) mengemukakan konsep dari dukungan sebagai berikut:
1) Lebih bersifat mendeskripsikan dari pada mengevaluasi, karena pernyataan
evaluative membuat lawan bicara benyak membela diri. Dalam mendeskripsikan,
13

Brougher (dalam Devito (1995), meyarankan agar mendeskripsikan apa yang
terjadi, apa yang dirasakan, menjelaskan bagaimana hasil tersebut berhubungan
terhadap orang lain.
2) Lebih bersifat provisional (sementara) dari pada pasti. Menjadi provisional berarti
memiliki kebiasaan untuk berfikir terbuka dan memiliki kemauan untuk
mendengarkan suatu sudut pandang yang berbeda serta memiliki kemauan untuk
merubah kedudukan (pandangannya sendiri) jika hal tersebut memang
dibutuhkan.
d.

Sikap positif (positiveness)
Sikap positif merupakan kesediaan menghargai keberadaan dan pentingnya
orang lain; perilaku ini bertentangan dengan ketidak-acuhan.

e.

Kesetaraan (equality)
Komunikasi

yang

mengandung

kesetaraan

meliputi

kesediaan

untuk

bekerjasama dengan orang lain dalam menyelesaikan masalah dengan saling
memahami perbedaan yang ada. Sebuah komunikasi akan dikatakan sukses kalau
komunikasi tersebut menghasilkan sesuatu yang diharapkan yakni kesamaan
pemahaman. Perselisihan dan perbedaan paham akan menjadi sumber persoalan bila
tidak ditangani dengan bijaksana, sehingga memerlukan usaha-usaha komunikatif
antar anggota keluarga. Dalam usaha untuk menyelesaikan persoalan maka pemikiran
harus dipusatkan dan ditujukan kea rah pemecahan persoalan, supaya tidak
menyimpang dan mencari-cari kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan
masing-masing. Oleh karena itu sebuah komunikasi harus dilakukan secara kontruktif
dan dengan dasar kasih sayang.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan aspek komunikasi interpersonal antara
14

orangtua-remaja yang dikemukan oleh De Vito (1995) meliputi aspek keterbukaan, empati,
dukungan, sikap positif, dan kesetaraan.
Definisi Komunikasi Orang Tua - Remaja Tentang Seksualitas
Seksualitas adalah kebutuhan dasar dari setiap manusia yang tidak bisa dipisahkan
dari aspek kehidupan lainnya dan merupakan salah satu topik atau permasalahan yang cukup
penting dlam komunikasi antara orang tua dan anak. Gunawan (1993) menjelaskan bahwa
seksualitas adalah keseluruhan kompleksitas emosi, perasaan, kepribadian, dan sikap
seseorang yang berkaitan dengan perilaku dan orientasi seksualnya. Sedangkan Sarwono dan
amisiamsidar dalam Tirtasari (2005) mendefinisikan seksualitas sebagai hal yang berkaitan
dengan genetalis dan organ seks sekunder atau manifest actifity seks manusia secara fisik.
Ulwan (1999) mengatakan bahwa komunikasi antara orang tua dan anak tentang
seksualitas adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah
seksual yang diberikan kepada anak melalui komunikasi efektif dua arah, sejak ia mengerti
masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri, dan perkawinan. Dalam hal ini orang
tua menyediakan waktu kapan saja untuk menguraikan topik seksualitas secara terbuka,
dimana orang tua sebaiknya memberikan jawaban-jawaban yang edukatif yaitu dengan cara
memberikan jawaban yang sederhana, singkat, dan jelas serta mudah di mengerti remaja.
Selain itu, pembicaraan hendaknya tidak hanya terbatas pada fakta biologis, melainkan juga
tentang nilai-nilai moral, emosi dan jiwa.
Walaupun sedikit orang tua menjadi pendidik seks yang utama bagi putra putri
mereka (Fox dalam Sarwono, 2003), hasil dari beberapa penelitian menunjukan bahwa orang
tua yang bercakap-cakap dengan anak mereka mengenai seks, anak remaja tersebut cendrung
tidak melakukan hubungan seks pranikah (Brody, Ottey, dan Langrande dalam Sarwono,
15

2003). Hal senada diungkapkan oleh Zelnik & Kim (Allgeier and Allgeier, 1991). Mereka
mengatakan bahwa ketika orang tua dapat menerima ketertarikan anak terhadap seksualitas
dan mempunyai kehendak untuk mendiskusikan masalah seksualitas dengan anaknya, maka
anak-anak tersebut cendrung menunda sex intercourse yang pertama. Dengan komunikasi
seksualitas yang nyaman, akhirnya orang tua akan mampu mempengaruhi sikap remaja
(Linggarwati, 2004).
Somers (2003) dalam jurnalnya mengenai “the sexual communication scale”
membahas 20 topik komunikasi seksual antara orang tua dan remaja, antara lain:
a. System reproduksi seksual (“dari mana datangnya bayi”)
b. Peran ayah dalam konsepsi
c. Periode menstruasi
d. Mimpi basah
e. Masturbasi/onani
f. Hubungan kencan (pacaran)
g. Petting/bercumbu
h. Hubungan seksual
i. Control kelahiran secara umum
j. Penggunaan kontrasepsi
k. Konsekuensi dari kehamilan diluar nikah
l. Penyakit menular seksual
m. Cinta dan/ataupernikahan
n. Apakah seks paranikah benar atau salah
o.

Aborsi

p. Prostitusi/pelacuran
16

q. Hubungan sejenis
r. AIDS
s. Pelecehan seksual
t.

Pemerkosaan
Sehingga dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal orang tua – remaja

tentang seksualitas adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalahmasalah seksual yang diberikan kepada anak melalui komunikasi efektif dua arah, sejak ia
mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri, dan perkawinan. Dalam hal
ini orang tua menyediakan waktu kapan saja untuk menguraikan topik seksualitas secara
terbuka. Menurut somers (2003) dalam jurnalnya mengenai “the sexual communication
scale” membahas 20 topik komunikasi seksual antara orang tua dan remaja, antara lain:
system reproduksi seksual (“dari mana datangnya bayi”), peran ayah dalam konsepsi, periode
menstruasi, mimpi basah, masturbasi/onani, hubungan kencan (pacaran), petting/bercumbu,
hubungan seksual, control kelahiran secara umum, penggunaan kontrasepsi, konsekuensi dari
kehamilan di luar nikah, penyakit menular seksual, cinta dan/atau pernikahan, apakah seks
pranikah benar atau salah, aborsi, prostitusi/pelacuran, hubungan sejenis. AIDS, pelecehan
seksual, pemerkosaan.
Remaja Akhir
Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti
“tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescane (dari bahasa inggris) yang
dipergunakan saat ini mempunyai arti luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial
dan fisik (Hurlock, 1999). Pada umumnya para ahli menggagap masa remaja dimulai saat
seseorang mencapai kemasakan seksual dan berakhir bila telah diakui dewasa. Sementara itu,
Stainberg (2002) menyatakan bahwa masa remaja sebagai masa peralihan dari
17

ketidakmatangan pada masa kanak-kanak menuju kematangan pada masa dewasa. Ia juga
menyatakan masa remaja merupakan periode transisi yang meliputi segi-segi biologis,
fisiologis, sosial dan ekonomis yang didahului oleh perubahan fifsik (bentuk tubuh dan
proporsi tubuh) maupun fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual).
Batasan Masa Remaja
Konopko (dalam Pudjianto, 2000), membagi masa remaja dalam tiga tingkatan yaitu:
a.

Remaja awal, yaitu berkisar antara 12-15 tahun

b.

Remaja tenggah, berkisar antara usia 15-18 tahun

c.

Remaja akhir, berkisar antara usia 18-21 tahun
Dengan demikian dapat disimpulkan batasan usia masa remaja yaitu antara usia

12-21 tahun. Namun dalam penelitian ini batasan usia masa remaja yang akan menjadi
subyek usia 18-21 tahun
Hubungan komunikasi orang tua dan remaja tentang seksualitas dengan perilaku
seksual remaja.
Stanberg (2002) menyatakan masa remaja sebagai masa peralihan dari
ketidakmatangan masa kanak-kanak menuju kematangan pada masa dewasa. Ia juga
menyatakan masa remaja merupakan periode transisis yang meliputi segi-segi biologis,
fisiologis, sosial dan ekonomis yang didahului oleh perubahan fisik (bentuk tubuh dan
proporsi tubuh) maupun fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual). Oleh karena itu
masa remaja merupakan masa dimana seseorang dihadapkan pada tantangan dan masalah
baik itu masalah perkebangan maupun lingkungan. Tantangan

dan masalah ini akan

berdampak pada perilaku remaja, khususnya perilaku seksualnya. Secara umum perilaku
seksual remaja dipengaruhi oleh hormon-hormon seksual yang meningkat juga menyebabkan
18

peningkatan dorongan seksual pada remaja.
Salah stau faktor terjadinya perilaku seksual pranikah menurut Sarwono (2001)
adalah informasi yang kurang tepat mengenai seksualitas. Informasi yang diberikan orang tua
dan remaja. Jaccard dan Dittus (1991) menyebutkan bahwa komunikasi oang tua dan remaja
mengenai seks dapat memprediksi perilaku seksual remaja. Pada masa remaja, rasa ingin tahu
mengenai seksualitas sanga penting dalam pembentukan hubungan baru dengan lawan
jenisnya. Berbagai masalah, konflik yang dihadapi oleh remaja membutuhkan kehadiran
orang tua dan orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukan secara bijak serta
membantu mereka memecahkan masalahnya.
Orang tua merupakan orang yang paling bertanggung jawab dalam
mengembangkan eksistensi remaja termasuk kebutuhan fisik dan psikis, sehingga remaja
dapat tumbuh dan berkembang kearah yang matang dan harmonis. Di sinilah peran orang tua
snagat dibutuhkan, karena peran orang tua dalam menciptakan komunikasi baik dalam
keluarga sangat penting sebagai wahana untuk mentrasfer nilai-nilai dan sebagai agen
transformasi kebudayaan. Seperti yang diungkapkan oleh Monks, dkk (1994) bahwa kualitas
hubungan dengan orang tua memegang peranan yang penting. Adanya komunikasi antara
orang tua dan remaja pada masa remaja akan menimbulkan kedekatan.
Menurut Hurlock (1972), anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang
tua cendrung berperilaku seks yang lebih baik daripada anak yang mendapatkannya dari
orang lain. Pendidikan seks yang diperoleh melalui komunikasi yang baik antara orang tua
dan remaja. Dalam berkomunikasi diperlukan pengertian antara orang tua dengan remaja
untuk menciptakan kesenangan baik bagi orang tua sendiri serta bagi anak remajanya agar
orang tua dapat mempengarui sikap dalam melakukan hubungan sosial yang baik yang
ditunjukan untuk mendorong remaja berperilaku.
19

Komunikasi yang baik antara orang tua dan remaja adalah dengan menjadikan
remaja merasa dihargai sehingga remaja akan merasa bebas mengungkapan perasaan serta
keinginannya. Pada masa perkembangannya, masa remaja membutuhkan orang yang dekat
untuk mengungkapkan perasaannya yang berkaitan dengan masalah seksualitas. Empati
berarti kemampuan orang tua dalam merespon keinginan remaja yang tak terucap sehingga
remaja akan mampu mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai suatu
permasalahan. Masalah seksualitas yang dinyatakan dengan jujur, diungkapkan secara
realistis, masuk akal, dan tidak dibuat-buat akan membawa kesenangan sendiri bagipara
remaja karena remaja akan merasa dimengerti oleh orangtua sehingga remaja akan lebih
senang berbagi dengan orangtua.
Dengan adanya hubungan yang baik antara orang tua dan remaja melalui
komunikasi yang terjalin diantara keduanya maka diharapkan akan membantu orang tua
dalam menghadapi memecahkan permasalahan anak remajanya kaitanya dengan seksualitas
dan perilaku seksual pranikah. Remaja pun akan merasa diterima dapat tumbuh dan
berkembang ke arah yang lebih matang karena orang tua dapat membantu, memahami dan
memberi pengertian kepada mereka terhadap masalah yang dihadapi terutama masalah
seksualitas. Oleh karena itu dengan adanya komunikasi antara orang tua dan anak, ramaja
diharapkan lebih memiliki pemahaman yang benar tentang seksualitas sehingga remaja tidak
kaget menghadapi perubahan yang ada pada dirinya dan mampu menjadi pribadi yang
bertanggung jawab secara dalam perilakunya. Remaja tidak perlu lagi mencari-cari informasi
seputar masalah seksualitas dalam kelompok-kelompok diluar keluarga, sehingga terhindar
dari pemahaman yang keliru tetang seksualitas.
Hipotesis

20

Dalam penelitian ini penulis mengajukan hipotesis, bahwa terdapat hubungan
negatif signifikan antara komunikasi orang tua - remaja tentang seksualitas dengan perilaku
seksual remaja akhir. Semakin baik komunikasi orang tua-remaja tentang seksualitas, maka
akan semakin rendah perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh remaja. Sebaliknya
semakin rendah komunikasi orang tua - remaja tentang seksualitas, maka semakin tinggi
perilaku seksual dari remaja.
METODE PENELITIAN
1. Desain dan variabel penelitian
Penelitian ini merupakan studi korelasi menggunakan pendekatan kuantitatif.
Adapun variabel - variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Variable bebas (x) : komunikasi orang tua-remaja tentang seksualitas.
2. Variable terikat (y) : perilaku seksual remaja akhir.
2. Definisi Operasional
Komunikasi interpersonal orang tua – remaja tentang seksualitas adalah proses
penyampaian pesan, pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah
seksual yang dilakukan oleh orang tua kepada remaja yang bersifat dua arah, disertai dengan
pemahaman bersama terhadap suatu hal dan setiap pihak berhak menyampaikan perasaan,
pikiran, informasi ataupun nasehat sehingga menimbulkan pengertian, kesenangan, pengaruh
pada sikap, hubungan yang lebih baik.
Perilaku seksual remaja adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat seksual seperti
bergandengan tangan, berciuman, bercumbu dan bersenggama yang yang timbul dari dalam diri
maupun dari luar diri dan dilakukan oleh para remaja tanpa melalui proses pernikahan yang
resmi menurut hukum dan agama.

21

3. Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini sebanyak 32 orang mahasiswa dan mahasiswi Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Subyek dipilih
menggunakan teknik purposive sampling Semua sampel adalah remaja akhir yang berusia 1821 tahun. Subjek dibatasi hanya subjek yang pernah berpacaran selama 6 bulan belakangan
ini, yang masih tinggal bersama orang tua dan belum menikah
4. Tahap Pengambilan Data
Penelitian ini dilaksanakan dengan cara menyebarkan skala psikologi yang
dilaksanakaan pada tanggal 20 dan 21 maret 2014. Pengambilan data dilakukan di area
sekitar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW, dengan meminta waktu sekitar ± 5 menit.
Peneliti menjelaskan kepada partisipan bahwa mereka diharapkan untuk mengerjakan dengan
sebaik-baiknya dan jujur (tidak mempengaruhi nilai mata kuliah). Partisipan diminta untuk
mengisi lembar kesediaan dengan memberikan tanda tangan di lembar kesediaan sebagai
bentuk ijin akses pengambilan data.
5. Instrumen Alat Ukur
Dalam penelitian ini penulis menggunakan 2 alat ukur skala psikologi.:
1. Skala Komunikasi Interpersonal Orang tua-Remaja yang disusun oleh penulis
berdasarkan pada aspek komunikasi interpersonal menurut Devito (1995) yang dikaitkan
dengan topik komunikasi seksual menurut Somers dan Canivez dalam jurnalnya “the
sexual communication Scale” (2003) yang terdiri dari 20 topik seksual, yaitu
a. Keterbukaan seksual antara orang tua dan remaja tentang kedua puluh topik
seksual antara lain: sistem reproduksi seksual (“dari mana datangnya bayi”), peran
ayah dalam konsepsi, periode menstruasi, mimpi basah, masturbasi/onani,
22

hubungan kencan (pacaran), petting/bercumbu, hubungan seksual, control
kelahiran secara umum, penggunaan kontrasepsi, konsekuensi dari kehamilan
diluar nikah, penyakit menular seksual, cinta dan/atau pernikahan, apakah seks
pranikah benar atau salah, aborsi, prostitusi/ pelacuran, hubungan sejenis, AIDS,
Pelecehan seksual, pemerkosaan
b. Empati yang diberikan oleh orang tua kepada anak remaja yang berkaitan dengan
masalah seksualitas.
c. Dukungan yang diberikan oleh orang tua kepada anak remaja menyangkut
seksualitas.
d. Sikap positif yang ditunjukan orang tua kepada anak remaja dalam berkomunikasi
mengenai topik seksual.
e. Kesetaraan yang ditunjukan orang tua dalam menyelesaikan masalah seksualitas
yang sedang di hadapi oleh remaja.
Perhitungan seleksi aitem dilakukan dengan menggunakan teknik statistik Corrected
Item-Total Correlation dengan bantuan program komputer SPPS 17.0 for windows. Kriteria
pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem total dengan batasan koefisien korelasi yang
dianggap memuaskan dan memberikan kontribusi yang baik adalah sebesar >0,30 (Azwar,
2012). Pada skala skala komunikasi orang tua dan remaja tentang seksualitas bahwa dari 40
aitem yang diuji terdapat 20 aitem gugur, sehingga terdapat 20 aitem terpakai. Nilai r
(corrected item-total correlation) bergerak dari 0,317 - 0,721 dengan koefisien alpha
cronbach sebesar 0,894 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.
2. Skala Perilaku Seksual Remaja disusun berdasarkan pada aspek-aspek perilaku seksual
menurut Soetjiningsih (2008) yaitu: berpegangan tangan, memeluk/dipeluk di bahu,
memeluk/dipeluk di pinggang, ciuman bibir, ciuman bibir sambil pelukan, meraba/diraba
daerah erogen (alat kelamin/payudara) dalam keadaan berpakaiaan, menciumi/dicum
23

daerah erogen (alat kelamin/payudara) dalam keadaan berpakaiaan, saling menempelkan
alat kelamin dalam keadaan berpakaiaan, meraba/diraba di daerah erogen (alat kelamin
atau payudara) dalam keadaan tanpa berpakaiaan, menciumi/dicium daerah erogen (alat
kelamin/payudara) dalam keadaan tenpa berpakaiaan, saling menempelkan alat kelamin
dalam keadaan tanpa berpakaiaan, berhubungan seksual.
Pernyataannya skala komunikasi interpersonal orang tua –remaja

disusun dalam

bentuk favourable dan unfaourable dengan empat tingkat penilaian (skala Likert) yaitu nilai 1
sampai 4. Respon-respon subyek untuk pernyataan favourable diberikan bobot masingmasing nilai 4 untuk jawaban sangat sesuai, nilai 3 untuk jawaban sesuai, nilai 2 untuk
jawaban tidak sesuai, nilai 1 untuk jawaban sangat tidak sesuai. Sebaliknya pernyataan
unfavourable diberi bobot 1 untuk jawaban sangat sesuai, nilai 2 untuk jawaban sesuai, nilai
3 untuk jawaban tidak sesuai, nilai 4 untuk jawaban sangat tidak sesuai, sedangkan skala
perilaku seksual pranikah menggunakan skala Gutmann yaitu nilai 1 untuk jawaban sudah,
nilai 0 untuk jawaban belum. apabila jawaban subyek sudah melakukan tahap berhubungan
seksual, tetapi belum melakukan tahap sebelumnya. Subjek dianggap sudah melakukan tahap
sebelumnya.
Pada skala perilaku seksual pranikah, diperoleh bahwa ke-12 item dinyatakan valid
Nilai r (corrected item-total correlation) bergerak dari 0,304 - 0,718 dengan koefisien alpha
cronbach sebesar 0,850 yang berarti alat ukur ini tergolong reliabel.

24

HASIL PENELITIAN
1.

Hasil deskriptif

Tabel 1.1. kategorisasi hasil pengukuran skala Komunikasi interpersonal orang tuaremaja tentang seksualitas
Kategori

Frekuensi

percent

20 ≤ x ≤ 35 : sangat rendah

0

0%

36 ≤ x ≤ 50 : rendah

11

34,4%

51 ≤ x ≤ 65 : tinggi

14

43,8%

66 ≤ x ≤ 80 : sangat tinggi

7

21,9%

Jumlah subyek

32

100%

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 32 mahasiswa yang dijadikan sampel
penelitian skala komunikasi interpersonal orang tua-remaja tentang seksualitas diperoleh 11
orang subyek (34,4%) berada dikategori rendah, sedangkan 14 orang subyek (43,8%) berada
dikategori tinggi, dan sebanyak 7 orang subyek berada (21,9%) berada di kategori sangat
tinggi. Untuk skala perilaku seksual pranikah diperoleh 16 orang subyek (50%) berada di
kategori rendah, sedangkan 14 orang subyek (43,8%) berada dikategori sedang, dan sebanyak
2 orang subyek (6,3%) berada dikategori tinggi.

25

Tabel 1.2. kategorisasi pengukuran skala perilaku seksual pranikah
Kategori

Frekuensi

percent

1 ≤ x ≤ 4 : rendah

16

50%

5 ≤ x ≤ 8 : sedang

15

43,8%

9 ≤ x ≤ 12 : tinggi

2

6,3%

Jumlah subyek

32

100%

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 32 mahasiswa yang dijadikan sampel
penelitian skala perilaku seksual diperoleh bahwa 16 orang (50%) berada dikategori rendah,
14 (43,8%) orang subyek berada di kategori sedang, dan 2 orang subyek (6,3%) tinggi.
2.

Hasil Uji Korelasi
Sebelum melakukan uji korelasi, alat uji asumsi dalam penelitian ini menggunakan uji

normalitas dilihat melalui Kolmogrov-Smirnov untuk melihat apakah residual terdistribusi
normal atau tidak. Data yang dikatakan normal jika nilai p >0,05 (Hadi,2000). Berdasarkan
hasil pengujian normalitas, kedua variabel memiliki signifikansi lebih besar 0,05. Variabel
Komunikasi interpersonal orang tua-remaja tentang seksualitas diperoleh koefisien kolmogrov
sebesar 0,874 sehingga memiliki distribusi normal karena nilai p > 0,05 sedangkan variabel
perilaku seksual pranikah diperoleh nilai 0.293 sehingga memiliki distribusi normal.
Hasil uji linearitas dilakukan untuk mengetahui linearitas hubungan antara variabel
bebas dengan variabel terikat dan untuk mengetahui signifikansi penyimpangan dari linearitas
hubungan tersebut. Dalam penelitian ini hubungan variable Komunikasi interpersonal orang
26

tua-remaja tentang seksualitas dengan perilaku seksual pranikah remaja akhir diperoleh nilai
0,783 dengan p > 0,05 yang menunjukan bahwa komunikasi interpersonal orang tua-remaja
tentang seksualitas dan perilaku seksual pranikah berkolerasi linear.

Tabel 1.3. Hasil Uji Korelasi Pearson Correlation
Correlations

skor
komunikasi Skor_Perilaku

skor komunikasi Pearson Correlation

1

Sig. (1-tailed)

N

Skor_Perilaku

Pearson Correlation

Sig. (1-tailed)

N

-.109

.276

32

32

-.109

1

.276

32

32

Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis menggunakan korelasi product moment
menunjukan besarnya koefisien korelasi sebesar (r) -0,109 dengan nilai signifikasi 0,276
(p>0,05) oleh karena nilai signifikasi lebih > 0,05 maka hasil uji dinyatakan tidak ada
signifikansi. Hasil uji tersebut menyatakan bahwa tidak ada hubungan negatif yang signifikan
27

antara komunikasi interpersonal orang tua-remaja dengan perilaku seksual pranikah. Dengan
demikian hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara
komunikasi interpersonal orang tua-remaja tentang seksualitas dengan perilaku seksual
pranikah remaja akhir di tolak.
PEMBAHASAN
Berdasarkan perhitungan berdasarkan perhitungan korelasi diperoleh nilai koefisien
korelasi (r) -0,109 dengan nilai signifikasi 0,276 (p>0,05) menunjukan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara komunikasi

interpersonal orang tua-remaja tentang

seksualitas dan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh 3
mahasiswa Universitas muhammadiah Surakarta (Amrillah, dkk, 2007) yang meneliti
hubungan antara pengetahuan seksualitas dan komunikasi orang tua-remaja dengan perilaku
seksual pranikah pada remaja yang menyatakan terdapat hubungan negatif yang signifikan
antara kualitas komunikasi orang tua dan remaja dengan perilaku seksual pranikah. Namun
memperkuat hasil penelitian Wijoyo (2006) yang mengatakan bahwa keterbukaan komunikasi
ibu-remaja dan ayah-remaja (tentang seks) tidak berkolerasi secara signifikan dengan sikap
remaja terhadap seks pranikah.
Tidak adanya hubungan antara komunikasi interpersonal orang tua-remaja tentang
seksualitas dengan perilaku seksual pranikah mahasiswa pada penelitian ini juga tidak sesuai
dengan yang dikatakan oleh Sarwono (2006) yaitu bahwa komunikasi orang tua dan remaja
dapat menentukan seberapa besar kemungkinan remaja tersebut melakukan tindakan seksual,
semakin rendah komunikasi tersebut, maka akan semakin besar remaja tersebut melakukan
tindakan seksual. Begitu juga dengan yang diungkapkan Laily dan Matulessy (2004)
28

komunikasi orang tua dan remaja menghindarkan remaja dari perilaku seksual pranikah, hal
ini dikarenakan antara orang tua dan remaja terjalin hubungan atau komunikasi yang intensif
sehingga memungkinkan terjadinya diskusi, sharing, dan pemecahan masalah bersama.
Perilaku seksual pranikah pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.
Faktor lain seperti yang dikemukakan oleh Soetjiningsih (2008) di antaranya faktor individual
(self esteem/harga diri dan religiusitas), faktor keluarga (hubungan orang tua dan remaja),
faktor diluar keluarga (tekanan negatif teman sebaya dan media pornografi). Sementara itu
Sarwono (2001) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual
pranikah pada remaja, antara lain: meningkatnya libido seksualitas, penundaan usia
perkawinan, larangan sosial (tabu), kurangnya informasi mengenai seks yang benar, dan
pergaulan yang semakin bebas.
Tidak terdapatnya hubungan negatif yang signifikan antara komunikasi interpersonal
orang tua-remaja dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa Fakultas Ekonomika dan
Bisnis UKSW Salatiga kemungkinan disebabkan karena pertanyaan skala komunikasi
interpersonal yang diajukan lebih bersifat umum, dimana pada skala penelitian yang diajukan
lebih bersifat diskusi.
Informasi mengenai seksualitas yang diperoleh mahasiswa dari teman sebaya lebih
selektif remaja akhir memiliki sifat kemandirian bisa menjadi faktor yang mempengaruhi