T1 802011057 Full text

PEMAAFAN (FORGIVENESS) SEBAGAI PREDIKTOR
TERHADAP REGULASI EMOSI KOGNITIF PADA WANITA
YANG HAMIL DI LUAR PERNIKAHAN

OLEH
ROSELINA SEKAR MIRA
802011057

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017

2


PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama

: Roselina Sekar Mira

Nim

: 802011057

Program Studi

: Psikologi

Fakultas

: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana


Jenis Karya

: Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
UKSW hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas
karta ilmiah saya berjudul:

PEMAAFAN (FORGIVENESS) SEBAGAI PREDIKTOR
TERHADAP REGULASI EMOSI KOGNITIF PADA WANITA
YANG HAMIL DI LUAR PERNIKAHAN
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan
mengalihmedia/mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkal data,
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selamatetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis dan pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Salatiga
Pada tanggal : 29 November 2016
Yang menyatakan,


Roselina Sekar Mira
Mengetahui,
Pembimbing,

Drs. Aloysius Soesilo., MA

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama

: Roselina Sekar Mira

Nim

: 802011057

Program Studi

: Psikologi


Fakultas

: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:

PEMAAFAN (FORGIVENESS) SEBAGAI PREDIKTOR
TERHADAP REGULASI EMOSI KOGNITIF PADA WANITA
YANG HAMIL DI LUAR PERNIKAHAN
Yang dibimbing:
Drs. Aloysius Soesilo., MA

Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan
atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau menirudalam
bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah
sebagai karya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber
aslinya.

Salatiga, 29 November 2016

Yang memberi pernyataan,

Roselina Sekar Mira

LEMBAR PENGESAHAN

PEMAAFAN (FORGIVENESS) SEBAGAI PREDIKTOR
TERHADAP REGULASI EMOSI KOGNITIF PADA WANITA
YANG HAMIL DI LUAR PERNIKAHAN
Oleh
Roselina Sekar Mira
802011057

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal:
Oleh
Pembimbing


Drs. Aloysius Soesilo., MA
Diketahui oleh,

Disahkan oleh,

Kaprogdi

Dekan

Drs. Chr. Hari s., MS

Prof. Dr. Sutarto Wijono., MA

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

PEMAAFAN (FORGIVENESS) SEBAGAI PREDIKTOR

TERHADAP REGULASI EMOSI KOGNITIF PADA WANITA
YANG HAMIL DI LUAR PERNIKAHAN

Roselina Sekar Mira
Aloysius L. S. Soesilo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran pemaafan (forgiveness)
sebagai prediktor regulasi emosi kognitif pada wanita yang hamil di luar
pernikahan. Sampel (N=30) diambil dengan menggunakan metode snowball
sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua skala, yaitu
skala pemaafan (forgiveness) dan skala CERQ. Hasil penelitian menggunakan
teknik analisis regresi sederhana diperoleh r = 0,716 dengan sig. 2-tailed =

0,001(p < 0,05) yang menunjukan bahwa pemaafan (forgiveness) dapat menjadi
prediktor regulasi emosi kognitif pada wanita yang hamil di luar pernikahan.
Kata kunci: pemaafan (forgiveness), regulasi emosi kognitif, wanita hamil
di luar pernikahan.

i

Abstract
The aim of this research is to find out the possibility of forgiveness for cognitive
emotion regulation of woman who pregnant out of marriage. 30 women were
recruited to participate in this research using snowball sampling. Two types of
questionnaires were distributed: forgiveness scale and CERQ scale. All gathered
and analyzed using a linear regression r = 0,716 with sig. 2-tailed = 0,001 (p<
0,05) and this research proved that forgiveness could be a cognitive emotion
regulation predictor for woman who pregnant out of marriage.
Keywords: forgiveness, cognitive emotion regulation, woman who
pregnant out of marriage.

ii


PENDAHULUAN
Kehamilan adalah anugerah bagi para pasangan yang sudah resmi menikah
secara agama maupun negara, namun untuk wanita yang tidak menikah dan sudah
mengandung adalah hal yang cukup berat untuk diterima apalagi kehamilan itu
tidak diinginkan atau diakui oleh pihak lelaki. Hal itu terjadi kebanyakan terjadi
pada wanita dengan usia yang masih cukup muda. Dari data yang diperoleh
BKKBN menyatakan bahwa angka kehamilan dan kelahiran pada kalangan
remaja putri masih tinggi yakni sekitar 48 per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun
(www.solopos.com).
Penolakan yang dilakukan oleh pihak pria mengenai kehamilan yang
dialami menimbulkan rasa sakit hati, keinginan untuk membalas dendam,
menciptakan kebencian yang ditujukan pada pihak yang menyakiti, serta
merasakan dirugikan atau ketidakadilan. Korban dari perbuatan yang tidak adil
dapat memberi respon berupa kemarahan, ketakutan, dan kebencian, serta dapat
menyimpan dendam terhadap pelaku kesalahan (Worthington, 2005).
Rasa sakit hati dapat menciptakan krisis pemberian maaf. Hal ini terjadi
tatkala rasa sakit hati tersebut selalu bersifat pribadi, tidak adil dan mendalam
(Smedes, 1984). Menurut Wardhati & Faturochman (2006) terdapat tiga hal yang
membuat rasa sakit hati berubah menjadi krisis pemberian maaf. Pertama,
ketidaksetiaan, seseorang yang tidak memenuhi janji kesetiaan melanggar

hubungan yang berdasarkan janji dan kepercayaan, hubungan itu tidak dapat
diterusakan kembali kecuali diperbaiki. Kedua, pengkhianatan, untuk menjadi
kekasih atau sahabat setelah melakukan pengkhianatan adalah merupakan hal

1

2

yang

sulit.

Ketiga,

kebrutalan,

perbuatan

brutal


seperti

penganiayaan,

pemerkosaan dengan kekerasan, penghinaan yang kejam, menghadang seseorang
pada tahap krisis pemberian maaf yang paling menyakitkan hati. Memaafkan
orang yang melakukan perbuatan brutal mungkin membuat para pelaku itu
menjadi manusiawi, tetapi ini hanyalah sebagian dari solusinya. Dalam kehidupan
sosial orang-orang yang melakukan tindak kekerasan seperti menyiksa atau
membunuh orang lain membutuhkan lebih daripada sekedar maaf agar mereka
tidak lagi melakukan tindak kejahatan serupa.
Saat seorang wanita berpikir dan memiliki motivasi untuk memaafkan pria
yang telah menghamilinya dan tidak bertanggung jawab maka wanita itu akan
mampu pelepaskan kebencian dan keinginan untuk membalas dendam, menerima
kehamilannya dan merawat, tidak menyalahkan diri sendiri ataupun orang lain.
Namun, saat wanita tersebut tidak memiliki sedikitpun keinginan dan motivasi
untuk memaafkan pria yang telah menghamilinya maka kebencian dan keinginan
membalas dendam sangat kuat dalam dirinya dapat pula dia menyalahkan dirinya
sendiri mengenai kejadian yang terjadi, tidak dapat menerima kehamilannya. Saat
wanita tersebut mampu untuk memaafkan pria yang telah menghamilinya maka
akan terjadi perubahan sikap pada wanita tersebut contohnya dengan tidak
menghindari untuk suatu saat bertemu dengan pria yang telah menghamilinya.
Semakin kuat seorang wanita memiliki motivasi untuk memaafkan pria
yang telah menghamilinya, maka regulasi emosi yang terjadi dalam dirinya akan
menjadi positif, begitupun sebaliknya jika seorang wanita tidak memiliki motivasi
memaafkan pada pria yang telah menghamilinya, maka regulasi emosi yang
terjadi dalam dirinya akan menjadi negatif. Hal tersebut merupakan aspek regulasi

3

emosi kognitif positif maupun negatif. Sehingga penelitian ini akan meneliti
apakah pemaafan dapat dijadikan sebagai prediktor terhadap regulasi emosi
kognitif pada wanita yang hamil di luar pernikahan.
Pemaafan (Forgiveness): Definisi, Aspek, dan Faktor yang Mempengaruhi
Definisi Pemaafan (forgiveness)
Menurut Enright dan Coyle (1998) pemaafan sebagai kesediaan untuk
melepaskan hak sendiri untuk menunjukkan kebencian, penghakiman negatif, dan
perilaku tidak peduli terhadap seseorang yang tidak seharusnya merugikan kita,
dan bersamaan dengan ini mengembangkan kualitas belarasa, kedermawanan, dan
bahkan kasih terhadap pelaku kendati dia sebenarnya tidak berhak menerima
kualitas. Sedangkan menurut Philpot (dalam Anderson, 2006) pemaafan dapat
diartikan sebagai suatu prosess (hasil dari proses) bahwa ada keterlibatan
perubahan emosi dan sikap pada pelaku.
Hargrave dan Sells (1997, dalam Snyder dan Lopez, 2003) mengatakan
bahwa pemaafan atau pemaafan sebagai upaya memulihkan cinta dan kepercayaan
hubungan sehingga korban dan pelaku dapat mengakhiri hak destruktif.
McCullough, Finicham, Tsang (dalam Lopez dan Snyder, 2003)
mengemukakan bahwa pemaafan mencerminkan perubahan prososial dalam
motivasi interpersonal yang seseorang alami: a) penurunan motivasi untuk
menghindari kontak pribadi dan psikologis dengan pelaku, b) penurunan motivasi
membalas dendam atau melihat-lihat bahaya datang pada pelanggar, c)
peningkatan motivasi terhadap kebajikan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemaafan adalah suatu perubahan prososial
yang didalamnya terdapat proses memaafkan dari seseorang terhadap pihak yang

4

bersalah sehingga akan ada perubahan emosi dan sikap yang positif terhadap
pelaku.
Aspek-aspek Pemaafan (Forgiveness)
Menurut McCullough (dalam Lopez dan Snyder, 2003), pemaafan dibagi
menjadi 3 aspek, yaitu motivasi menghindar (avoidance motivations), motivasi
pembalasan

(revenge

motivations),

motivasi

berbuat

baik

(benevolence

motivations). Aspek-aspek tersebut akan dijelaskan secara singkat.
Motivasi menghindar (avoidance motivations) diartikan sebagai penurunan
motivasi untuk menghindari kontak pribadi dan psikologis dengan pelaku. Korban
akan membuang keinginannya untuk menjaga jarak dengan pelaku.
Motivasi pembalasan (revenge motivations) diartikan sebagai penurunan
motivasi untuk balas dendam. Hal ini berarti, korban akan membuang keinginan
untuk membalas perlakuan yang telah diperbuat oleh pelaku. Korban akan
memperkecil rasa marah untuk membalas dendam pada pelaku yang telah
menyakitinya.
Motivasi berbuat baik (benevolence motivations) diartikan sebagai
peningkatan motivasi untuk berbuat baik kepada pelaku. Meskipun subjek sudah
merasa menjadi korban, akan tetapi subjek tetap ingin berbuat baik kepada pelaku.
Subjek dalam hal ini akan tetap menjaga hubungan baik dengan pelaku.

Faktor yang mempengaruhi pemaafan (forgiveness)
Wardhati dan Faturochman (2006) mengatakan ada beberapa faktor
pemaafan, yaitu empati, atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya, tingkat
kelukaan, karakteristik kepribadian, dan kualitas hubungan.

5

Empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau
pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan
pengambilalihan peran. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti, seseorang
dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah dan tertekan
akibat perilaku yang menyakitkan. Dengan alasan itulah beberapa penelitian
menunjukkan bahwa empati berpengaruh terhadap proses pemaafan (McCullough,
Worthington & Rachal 1997; McCullough dkk ,1998; McCullough, Bellah,
Kilpatrick & Johnson, 2003; Zechmeister & Romero, 2002; Macaskill, Maltby,
Liza, 2002; Takaku, 2001). Empati juga menjelaskan variabel sosial psikologis
yang mempengaruhi pemberian maaf yaitu permintaan maaf (apologies) dari
pihak yang menyakiti. Ketika pelaku meminta maaf kepada pihak yang disakiti
maka hal itu bisa membuat korban lebih berempati dan kemudian termotivasi
untuk memaafkannya.
Atribusi terhadap pelaku dan kesalahannya atau penilaian akan
mempengaruhi setiap perilaku individu. Artinya, bahwa setiap perilaku itu ada
penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku individu (termasuk
pemaafan) di masa mendatang. Dibandingkan dengan orang yang tidak
memaafkan pelaku, orang yang memaafkan cenderung menilai pihak yang
bersalah lebih baik dan penjelasan akan kesalahan yang diperbuatnya cukup
adekuat dan jujur (A1-Mabuk, Dedrick, Vanderah, 1998). Pemaaf pada umumnya
menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa bersalah dan tidak bermaksud
menyakiti sehingga ia mencari penyebab lain dari peristiwa yang menyakitkan itu.
Perubahan penilaian terhadap peristiwa yang menyakitkan ini memberikan reaksi

6

emosi positif yang kemudian akan memunculkan pemberian maaf terhadap pelaku
(Takaku, 2001).
Tingkat kelukaan, ada kalanya beberapa orang menyangkal sakit hati yang
mereka rasakan untuk mengakui rasa sakit hatinya sebagai sesuatu yang sangat
menyakitkan. Kadang-kadang rasa sakit membuat mereka takut seperti orang yang
dikhianati dan diperlakukan secara kejam. Mereka merasa takut mengakui sakit
hatinya karena dapat mengakibatkan mereka membenci orang yang sangat
dicintainya, meskipun melukai. Mereka pun menggunakan berbagai cara untuk
menyangkal rasa sakit hati mereka. Pada sisi lain, banyak orang yang merasa sakit
hati ketika mendapatkan bukti bahwa hubungan interpersonal yang mereka kira
akan bertahan lama ternyata hanya bersifat sementara. Hal ini sering kali
menimbulkan kesedihan yang mendalam. Ketika hal ini terjadi, maka pemaafan
tidak bisa atau sulit terwujudkan (Smedes,1984).
Karakteristik

kepribadian,

ciri

kepribadian

seperti

ekstravert

menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi,
dan asertif. Karakter yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri,
menyenangkan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi
empatik dan bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah cerdas,
analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan (McCullough dkk., 2001).
Namun, dari rangkaian faktor-faktor pemaafan karakteristik kepribadian
merupakan faktor yang paling jauh dalam rentang rangkaian tersebut
(McCullough, 2000).
Kualitas hubungan, seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat
dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Menurut McCullough

7

dkk (1998). Ada empat alasan mengapa kualitas hubungan berpengaruh terhadap
perilaku memaafkan dalam hubungan interpersonal. Pertama, pasangan yang mau
memaafkan pada dasarnya mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga
hubungan. Kedua, dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam
menilai hubungan di antara mereka. Ketiga , dalam kualitas hubungan yang tinggi
kepentingan satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu. Keempat, kualitas
hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihak-pihak yang
terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di antara mereka.
Regulasi Emosi Kognitif: Definisi, Aspek, dan Prosesnya
Definisi Regulasi Emosi Kognitif
Gross dan Thompson (2007) menyatakan bahwa regulasi emosi adalah
serangkaian proses dimana emosi diatur sesuai dengan tujuan individu, baik
dengan cara otomatis atau dikontrol, disadari, atau tidak disadari dan melibatkan
banyak komponen yang bekerja terus menerus sepanjang waktu. Regulasi emosi
melibatkan perubahan dalam dinamika emosi atau waktu munculnya, besarnya,
lamanya dan mengimbangi respon perilaku, pengalaman atau fisiologis. Regulasi
emosi dapat mempengaruhi, memperkuat atau memelihara emosi, tergantung pada
tujuan individu. Regulasi Emosi menekankan pada bagaimana dan mengapa
emosi itu sendiri mampu mengatur dan memfasilitasi proses-proses psikologis,
seperti memusatkan perhatian, pemecahan masalah, dukungan sosial dan juga
mengapa regulasi emosi memiliki pengaruh yang merugikan, seperti mengganggu
proses pemusatan perhatian, interferensi pada proses pemecahan masalah serta
mengganggu hubungan sosial antar individu (Cole, Martin, & Denis, 2004).

8

Gross dan John (2003) mengungkapkan bahwa regulasi emosi adalah
suatu proses pengenalan, pemeliharaan dan pengaturan emosi positif maupun
negatif, baik secara otomatis atau dikontrol, yang tampak maupun yang
tersembunyi, yang disadari maupun tidak disadari. Definisi lain disampaikan
Garnefski (2003) mendefinisikan regulasi emosi adalah kemampuan untuk
mengolah emosi serta mengekspresikannya. regulasi emosi sendiri terdiri dari
emosi yang bersifat adaptif dan maladaptif. aspek dalam regulasi emosi ada 4
yang bersifat maladaptif dan ada 5 yang bersifat adaptif.
Regulasi emosi kognitif mengacu pada, cara kesadaran kognitif
penanganan asupan informasi membangkitkan emosi (Garnefski, Kraaij, &
Spinhoven, 2001; Thompson, 1991) dan dapat dianggap sebagai bagian dari
konsep yang lebih luas dari regulasi emosi didefinisikan sebagai "semua ekstrinsik
yang dan proses intrinsik bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan
memodifikasi reaksi emosional, terutama fitur yang intensif dan temporal
mereka " (Gross, 1999; Thompson, 1994).
Penelitian yang telah dilakukan selama bertahun-tahun menunjukkan
bahwa regulasi emosi kognitif berkaitan dengan kehidupan manusia serta dapat
membantu seseorang untuk menjaga kontrol atas emosi mereka selama atau
setelah mengalami peristiwa yang mengancam atau stress (misalnya, Garnefski,
Kraaij, & Spinhoven, 2001;. Garnefski , van den Kommer et al., 2002). Sebagai
contoh, ketika mengalami peristiwa kehidupan yang negatif, kita mungkin
cenderung untuk memiliki pikiran menyalahkan diri kita sendiri atau kita dapat,
sebaliknya, menyalahkan orang lain. Kita mungkin memikirkan perasaan kita
dengan merenungkan atau kita dapat mencoba untuk menerima atau positif

9

menaksir situasi. Meskipun kemampuan berpikir maju dan emosi mengatur
melalui kognisi bersifat universal, perbedaan individu besar ada di jumlah
aktivitas kognitif dan isi pikiran dimana orang mengatur emosi mereka dalam
menanggapi pengalaman hidup, peristiwa, dan stres. Teori regulasi emosi kognitif
didasarkan pada asumsi bahwa berpikir dan bertindak mengacu berbeda proses
dan, karena itu, menganggap strategi kognitif dengan cara konseptual murni,
terpisah dari strategi perilaku (Garnefski, Kraaij, & Spinhoven, 2001;.. Garnefski,
van den Kommer et al, 2002).
Maka, dapat disimpulkan regulasi emosi kognitif adalah kemampuan
untuk mengolah atau mengatur emosi serta mengekspresikan emosi tersebut yang
didalamnya mencakup proses merespon berbagai macam reaksi yang disadari
maupun tidak dengan kondisi yang tepat sehingga dapat menyelesaikan masalah
secara lebih cepat.
Aspek-Aspek Regulasi Emosi Kognitif
Menurut Garnefski (2003) aspek-aspek regulasi emosi kognitif yaitu
menyalahkan diri sendiri (self blame), menyalahkan orang lain (blaming others),
memikirkan situasi yang terjadi (rumination or focus thought), Keburukan
(catastropizing), penerimaan (acceptance), pemusatan perhatian kembali pada
rencana (refocus on planning), pemusatan pikiran pada hal-hal positif (positive
refocusing), melihat dalam sudut pandang (putting into perspective), menilai
kembali dari sisi positif (positive reappraisal).
Menyalahkan diri sendiri (self blame), mengacu pada pola pemikiran yang
menyalahkan dirinya sendiri. Sejumlah penelitian mengemukakan bahwa selfblame berhubungan dengan masalah depresi dan masalah kesehatan lainnya.

10

Menyalahkan orang lain (blaming others), mengacu pada pola pemikiran
yang menyalahkan orang lain atas apa yang menimpa dirinya
Memikirkan situasi yang terjadi (rumination or focus thought),
kecenderungan individu untuk selalu memikirkan yang berhubungan dengan
situasi yang sedang terjadi. Nolen dkk (dalam Garnefski, 2003) menyatakan
bahwa rumination cenderung berasosiasi dengan tingkat depresi yang paling
tinggi.
Keburukan (catastropizing), kecenderungan individu untuk percaya
ataupun menganggap bahwa yang telah terjadi atau yang akan menimpa dirinya
begitu buruk sehingga dia merasa bahwa tidak ada yang dapat menahannya.
Penerimaan (acceptance), menerima dan pasrah atas apa yang telah menimpa
dirinya.
Pemusatan perhatian kembali pada rencana (refocus on planning),
pemusatan perhatian kembali pada perencanaan mengenai sesuatu hal. Dimensi
ini hanya pada kognitif saja. Tidak sampai pada tahap pelaksanaan.
Pemusatan
kecenderungan

pikiran

individu

pada
untuk

hal-hal
lebih

positif

memikirkan

(positive
hal-hal

refocusing),
yang

lebih

menyenangkan dan menggembirakan daripada memikirkan situasi yang sedang
terjadi. Berfokus pada hal-hal yang dianggap dapat membantu dalam jangka
pendek namun dalam jangka panjang dapat bersifat maladaptif.
Melihat dalam sudut pandang (putting into perspective), kecenderungan
individu untuk melihat atau memandang persoalan dalam sudut pandang yang
lebih baik. Menilai kembali dari sisi positif (positive reappraisal), kecenderungan
individu untuk memikirkan apa yang menjadi pikirannya.

11

Proses Regulasi Emosi
Gross (dalam Strongman, 2003) membuat daftar 5 rangkaian proses
regulasi emosi. Pertama, pemilihan situasi yaitu ketika kita dapat mendekati atau
menghindari orang, tempat atau objek. Tipe regulasi emosi ini melibatkan
mengambil tindakan yang memperbesar atau memperkecil kemungkinan bahwa
kita akan sampai pada sebuah situasi yang kita perkirakan akan muncul emosi
yang diharapkan maupun tidak.
Kedua, perubahan situasi, hal ini sama dengan problem-focused coping,
yaitu ketika kita dihadapkan pada situasi yang berpotensi membangkitkan emosi
dalam diri kita. Upaya untuk memodifikasi situasi secara langsung untuk
mengubah dampak emosionalnya merupakan salah satu bentuk regulasi emosi
yang kuat.
Ketiga, penyebaran perhatian yaitu salah satu proses regulasi emosi yang
pertama muncul di dalam perkembangan dan tampaknya digunaka sejak masa
bayi sampai masa dewasa. Hal ini terjadi terutama ketika kita tidak dapat
mengubah atau memodifikasi situasi. Penyebaran perhatian dianggap sebagai
versi internal dari seleksi situasi.
Keempat, perubahan kognitif yaitu perubahan penilaian yang dibuat dan
termasuk di sini adalah pertahanan psikologis dan pembuatan pembandingan
sosial dengan yang ada di bawahnya (keadaannya lebih buruk daripada saya).
Pada umumnya, hal ini merupakan transformasi kognisi untuk mengubah
pengaruh kuat emosi dari situasi. Perubahan kognitif mengacu pada mengubah
cara kita menilai situasi di mana kita terlibat di dalamnya untuk mengubah

12

signifikansi emosionalnya, dengan mengubah bagaimana kita memikirkan tentang
situasinya atau tentang kapasitas kita untuk menangani tuntutan-tuntutannya.
Kelima, Perubahan Respon hal ini terjadi pada bagian akhir dalam
serangkaian proses regulasi emosi yang termasuk didalamnya penggunaan obat,
alkohol, latihan, terapi, makan atau penekanan (Strongman, 2003). Modulasi
respon mengacu pada mempengaruhi respon fisiologis, pengalaman, atau perilaku
selangsung mungkin. Upaya untuk meregulasi aspek-aspek fisiologis dan
pengalaman emosi adalah hal yang lazim dilakukan.
Maka dari itu sebelum pengumpulan data untuk penelitian, menentukan
variabel menjadi hal yang harus dilakukan. Variabel penelitian akan membantu
dalam hal pengumpulan data dan teknik analisa data yang tepat dan relevan
dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang muncul
yaitu:


Variabel bebas (x) : Pemaafan (forgiveness)



Variabel terikat (y): Regulasi emosi kognitif

Berdasarkan kajian teoritis diatas maka dirumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut: Pemaafan sebagai prediktor terhadap regulasi emosi kognitif pada
wanita yang hamil di luar pernikahan.

13

METODE
Partisipan
Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah snowball sampling.
Subjek penelitian adalah 30 wanita dengan kriteria sebagai berikut:


Partisipan sudah mengalami hamil di luar pernikahan



Partisipan memiliki anak usia 0-2 tahun



Usia 20-25 tahun



Kehamilan tidak diterima oleh pihak laki-laki



Bersedia menjadi partisipan



Berdomisili di daerah Salatiga, Ambarawa, dan Bandungan

Alat Pengumpulan Data
Angket dalam penelitian ini terdiri dari 2 angket yaitu angket pemaafan
(forgiveness) dan regulasi emosi kognitif. Skala pemaafan ini yang dimodifikasi
dari skala milik Ghuzairoh (2015) yang berdasarkan pada aspek dari teori
McCullough (dalam Lopez dan Snyder, 2003) yaitu avoidance motivations,
revenge motivations, benevolence motivations. Skala tersebut terdiri dari 18 item
dengan koefisien alpha sebesar 0.714. Skala pemaafan disusun menggunakan
skala Likert dengan empat alternatif jawaban mulai dari sangat setuju sampai
sangat tidak setuju.
Sedangkan untuk skala regulasi emosi disusun dengan mengadaptasi
skala yang sudah ada yaitu CERQ dengan aspek dari teori Garnefski (2003) yaitu
self blame, blaming others, rumination or focus thought, catastropizing,

14

acceptance, refocus on planning, positive refocusing, putting into perspective,
positive reappraisal. Skala milik Garnefski dan Kraaij (2007) terdiri dari 36 item
dengan koefisien alpha sebesar 0.75 dan daya beda item valid berkisar dari 0.48
hingga 0.65 disusun menggunakan skala Likert dengan empat alternatif jawaban
mulai dari sangat setuju hingga sangat tidak setuju.
HASIL
Reliabilitas dan Seleksi Item
Pada skala pemaafan hasil uji reliabilitas dan daya diskriminasi item pada
tahap pertama diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0.904 dan didapati bahwa
ada 1 item yang gugur dari 16 item dari skala pemaafan yang ada. Setelah
dilakukan seleksi item dan membuang item yang gugur, pada tahap penghitungan
kedua didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0.908 dengan korelasi item total
bergerak antara 0.341 sampai 0.749.
Kemudian pada skala regulasi emosi kognitif hasil uji reliabilitas dan daya
diskriminasi item pada tahap pertama diperoleh koefisien reliabilitas sebesar .747
dan didapati bahwa dari 36 item pada skala regulasi emosi kognitif terdapat 8 item
yang gugur. Setelah dilakukan seleksi item dan membuang item yang gugur, pada
tahap penghitungan kedua didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0.818 dengan
korelasi item total bergerak antara 0.232 sampai 0.699.
Analisis Deskriptif
Kategorisasi bersifat relatif, maka interval dapat ditetapkan secara
subjektif

yang mencakup setiap kategori yang diinginkan selama penetapan

tersebut berada dalam batas kewajaran (Azwar, 1999). Dalam penelitian ini skor
digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu Sangat tinggi, Tinggi, Rendah, dan Sangat

15

Rendah. Untuk lebih jelasnya, kriteria skor dari setiap variabel dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2 dibawah ini.
Tabel 1. Kriteria skor untuk pemaafan (forgiveness)
No. Interval

Kategori

F

Persentase

1

65,37 < x

Sangat tinggi

-

0%

2

46,7 ≤ x < 65,37

Tinggi

22

73,33%

3

28,67 ≤ x < 46,7

Rendah

6

20%

4

x < 28,67

Sangat rendah

2

6,67%

30

100%

Total
Min : 25

Max :59

Std

:24,04

Mean

46,7

Mean : 46,7

Tabel 2. Kriteria skor untuk regulasi emosi kognitif
No. Interval

Kategori

F

Persentase

1

94.01 < x

Sangat tinggi

-

0%

2

79,7 ≤ x < 94,01

Tinggi

16

53,33%

3

65,39 ≤ x < 79,7

Rendah

14

46,67%

4

x < 65,39

Sangat rendah

-

0%

30

100%

Total
Min : 64

Max :91

Std

:19,09

Mean : 79,7

Mean

79,7

16

Uji Asumsi
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dalam penelitian ini memakai Uji Kolmogrov-Smirnov (K-S)
Tabel 3. One-Sample Kolmogrov-Smirnov (K-S) test
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Forgiveness

Regulasi

30

30

Mean

46.7000

79.7000

Std. Deviation

8.61094

7.50701

Absolute

.305

.130

Positive

.134

.074

Negative

-.305

-.130

Kolmogorov-Smirnov Z

1.672

.709

Asymp. Sig. (2-tailed)

.007

.696

N
Normal Parameters

a

Most Extreme Differences

a. Test distribution is Normal.

Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov pada Tabel 3 diketahui bahwa nilai
probabilitas pemaafan sebesar 0,007 (0,0070,005). Maka, dapat disimpulkan bahwa data
tersebut berdistribusi normal.
2. Uji Autokorelasi
Berdasarkan hasil perhitungan autokorelasi yang didapat dari nilai DurbinWatson (DW) sebesar 1.439 dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat autokorelasi.
Hal ini dapat dilihat dari nilai DW berada diatas 1 dan lebih kecil dari 3.

17

3. Uji Linearitas
Hasil uji linieritas pada pemaafan diketahui nilai signifikansi kurang dari 0,05
yaitu sebesar 0,046 dengan F(1, 14) = 4,60. Maka, dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara pemaafan dan regulasi emosi kognitif.
Tabel 4. Tabel Korelasi Pearson
Correlations

Pemaafan (forgiveness)

Pearson Correlation

Pemaafan

Regulasi Emosi

(forgiveness)

Kognitif

1

.716

Sig. (2-tailed)

Regulasi Emosi Kognitif

**

.000

N

30

Pearson Correlation

.716

Sig. (2-tailed)

.000

N

30

30
**

1

30

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari Tabel 4 di atas diketahui bahwa hubungan positif antara pemaafan
dengan regulasi emosi kognitif berada pada derajat yang kuat dengan besar nilai r
= 0,716 (p < 0,05). Untuk melihat pengaruh dari pemaafan terhadap regulasi
emosi kognitif, dilakukan analisis dengan menggunakan analisis regresi
sederhana.

18

Tabel 5. Hasil Uji regresi sederhana
b

ANOVA
Model
1

Sum of Squares df

Mean Square

F

Sig.

Regression

836.667

1

836.667

29.370

.000

Residual

797.633

28

28.487

Total

1634.300

29

a

a. Predictors: (Constant), Pemaafan (forgiveness)
b. Dependent Variable: Regulasi Emosi Kognitif
b

Model Summary

Adjusted
Model

R

1

.716

a

R Std. Error of the

R Square

Square

Estimate

Durbin-Watson

.512

.495

5.33731

1.439

a. Predictors: (Constant), Pemaafan (forgiveness)
b. Dependent Variable: Regulasi Emosi Kognitif

Dari perhitungan pada Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa adanya
kontribusi yang kuat pada koefisien korelasi (Ryx) = 0,716. Sedangkan kontribusi
secara simultan variabel pemaafan terhadap regulasi emosi kognitif (R2) = 0,512.
Hal ini dapat diartikan bahwa regulasi emosi kognitif yang diperoleh dari
pemaafan mendapat sumbangan sebesar 51,2%.
Melalui uji Anova diperoleh besar nilai F (1, 28) = 29, 370 dengan tingkat
probabilitas signifikansi 0,001 < 0,05 sehingga model regresi sederhana dapat
digunakan untuk memprediksi regulasi emosi kognitif.

19

Hasil Uji Hipotesis
Berdasarkan hasil uji variabel pemaafan dengan regulasi emosi kognitif
menunjukan pemaafan sebagai prediktor terhadap regulasi emosi kognitif pada
wanita yang hamil di luar pernikahan.
PEMBAHASAN
Hasil dari pengujian hipotesis menunjukan bahwa terdapat hubungan
positif yang kuat antara pemaafan (x) dengan regulasi emosi kognitif (y) pada
wanita yang hamil di luar pernikahan. Hasil tersebut ditunjukan dengan angka
koefisien korelasi rxy = 0,716, dengan besaran p = 0,001 (p< 0,05). Hal ini
menjelaskan bahwa pemaafan yang tinggi cenderung diikuti dengan tingginya
perubahan regulasi emosi kognitif pada wanita yang hamil di luar pernikahan.
Hal tersebut dapat dijelaskan oleh McCullough, Finicham, Tsang (dalam
Lopez dan Snyder, 2003) yang mengemukakan bahwa pemaafan mencerminkan
perubahan prososial dalam motivasi interpersonal yang seseorang alami seperti
penurunan motivasi untuk menghindari kontak pribadi dan psikologis dengan
laki-laki yang tidak mengakui kehamilannya, penurunan motivasi membalas
dendam atau melihat-lihat bahaya datang pada laki-laki tersebut, dan peningkatan
motivasi terhadap kebajikan.
Tingginya pengaruh pemaafan terhadap regulasi emosi kognitif tersebut
dapat pula dijelaskan menggunakan aspek pemaafan serta proses regulasi emosi
Gross (dalam Strongman, 2003). Saat seseorang memiliki motivasi untuk
memaafkan maka akan terjadi perubahan sikap dalam dirinya seperti tidak
menghindari lagi pria yang telah menghamili dirinya. Wanita tersebut dapat

20

membuat emosi dalam dirinya menjadi lebih positif saat bertemu pria tersebut dan
keinginan berbuat baik menjadi lebih tinggi.
Saat seorang wanita mampu untuk memaafkan pria yang pernah
menghamilinya maka akan terjadi transformasi kognitif untuk mengubah
pengaruh emosi pada situasi yang telah terjadi menjadi lebih baik dan tidak ada
rasa ingin balas dendam . sehingga perubahan respon yang terjadi pada wanita
tersebut akan terlihat saat dia dapat meregulasikan dirinya secara lebih positif.
Penelitian ini menunjukan bahwa tingkat pemaafan tergolong tinggi yaitu
sebesar 73,33%. Besaran kontribusi secara simultan variabel pemaafan dan
regulasi emosi kognitif ditunjukan dengan nilai R2 sebesar 0,512. Hal ini berarti
regulasi emosi kognitif wanita yang hamil di luar pernikahan mendapat
sumbangan sebesar 51,2%, sedangkan sisanya yaitu 48,8% dipengaruhi oleh
faktor yang lain, seperti lingkungan sosial, budaya, dan karakteristik individu
yang meliputi tempramen, status perkembangan, dan jenis kelamin dalam
penelitian yang dilakukan Pratisti (2012) pada responden usia remaja. Pratisti
(2012) mengatakan bahwa karakteristik individu dapat dilihat melalui kemampuan
untuk meregulasi emosinya, sedangkan lingkungan sosial dapat dilihat melalui
keluarga maupun budaya. Kemampuan meregulasi emosi tiap individu bisa
menggambarkan sejauh mana individu tersebut menerima dukungan dari
masyarakat sosial dalam kehidupan sehari-harinya. Penelitian yang dilakukan
Matsumoto (1990) mengemukakan bahwa salah satu fungsi dari budaya adalah
untuk menciptakan dan menjaga ketertiban sosial dengan menciptakan sistem
nilai yang memfasilitasi norma untuk mengatur emosi. Penekanan respon

21

emosional

mungkin

diperlukan

untuk

memungkinkan

individu

untuk

mempertimbangkan cara yang paling tepat untuk individu meregulasi emosi.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian maka didapatkan hasil bahwa pemaafan menjadi
prediktor regulasi emosi kognitif pada wanita yang hamil di luar pernikahan.
Dengan korban memaafkan dan meminta maaf dari korban kepada pelaku
sehingga akan ada perubahan emosi dan sikap yang positif terhadap pelaku.
SARAN
Belajar dari kekurangan penelitian ini bagi peneliti yang tertarik untuk
mengembangkan penelitian ini dapat menggunakan metode lain seperti kualitatif
deskriptif ataupun mix method guna mendaparkan hasil yang lebih mendalam dan
lebih akurat. Oleh karena spiritualitas atau religiusitas bisa saja berperan besar
dalam pengaruhya terhadap regulasi emosi kognitif pada kasus seperti ini, maka
dalam penelitian selanjutnyavariabel spiritualitas atau religiusitas bisa dimasukan
selain variabel-variabel lainnya.

22

DAFTAR PUSTAKA
Al-Mabuk, R. H., Dedrick, C. V. L., & Vanderah, K. M. (1998). Attributing
retraining in forgiveness theraphy. Journal of Family Psychoterapy, 9, 1130.
Ancok, D. J. (1987). Teknik pengukuran skala ukuran, (Edisi Pertama).
Yogyakarta: Pusat Kependidikan Universitas Gajah Mada.
Anderson, N. (2006). Forgiveness: A sampling of research result. Washington
DC: APA.
Azwar, S. (1999). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar, S. (2008). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Enright, R.D. & Coyle, C.T. (1998). Researching the process model of
forgiveness within psychological interventions. Dalam Worthington (Ed.),
Dimensions of forgiveness (hal. 139-161). Radnor, PA: Templeton
Foundation Press.
Cole, P.M., Martin, S.E., & Dennis, T.A. (2004). Emotion regulation as a
scientific construct methodological challenges and directions for child
development research. Child development. 75, 317-333.
Garnefski, N., Kraaij, V., & Spinhoven, P. (2001). Negative life events, cognitive
emotion regulation and depression. Personality and Individual Differences,
30, 1311–1327.
Garnefski, N., van den Kommer, T., Kraaij, V., Teerds, J., Legerstee, J., &
Onstein, E. (2002). The relationship between cognitive emotion regulation
strategies and emotional problems. European Journal of Personality, 16,
403–420.
Garnefski, N., Boon, S., & Kraaij, V. (2003). Relationships between cognitive
strategies of adolescents and depressive symptomatology across different
types of life events. Journal of Youth and Adolescence, 32, 401–408.
Garnefski, N. & Kraaij, V. (2006). The Cognitive emotion regulation
questionnaire: Psychometry features & prospective relationship with
deperssion and anxiety in adult. European journal of psychological
assesment, 23, 141-149.
Guzhairoh, T. (2015). Perbedaan forgiveness ditinjau dari jenis kelamin pada
budaya Jawa. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

23

Gross, J. J. & John, O.P. (2003). Individual differences in two emotion regulation
processes implications for affect, relationships and well-being. Journal of
Personality and Social Psychology, 85, 348-362.
Gross, J. J. (2006). Handbook of emotion regulation. New York: Guildford Press.
Gross, J. J. & Thompson, R. A. (2007). Emotion regulation: Conceptual
foundations. Dalam Handbook of regulation emotion (pp. 3-24). New York:
Guildford Press.
Lopez, S.J. & Snyder, C.R. (2003). Positive psychological assessment: A
handbook of model and measures. California: Sage Publications, Inc.
Macaskill,A, Maltby,J, and Liza D. (2002). Forgiveness of self and others and
emotional empathy, The Journal of social psychology, 142, 663-665.
Matsumoto, D. (1990). Cultural similarities and differences in display rules.
Motivation & Emotion, 14, 195–214
McCullough, M. E., Worthington, E. L., & Rachal, K. C. (1997). Interpersonal
forgiving in close relationships. Journal of personality and social
psychology, 73, 321-32.
McCullough, M. E., Rachal, K. C., Sandage, S. J., Worthington, E. L., Wade
Brown, S., & Hight, T.L. (1998). Interpersonal forgiving in close
relationships: II. Theoretical elaboration and measurement. Journal of
Personality and Social Psychology, 75, 1586-1603.
McCullough, M.E.(2000). Forgiveness as human strength : Theory, measurement,
and links to wellbeing. Journal of Sosial and Clinical Psychology, 19,43-55.
McCullough, M.E., Bellah, C.G., Kilpatrick, S.D., & Johnson, J.L. (2001).
Vengefulness: Relationship with forgiveness, rumination, well-being, and
the big five. Personality and social psychology bulletin, 27, 601-610.
McCullough, M., Fincham, F. D., and Tsang, J., (2003). Forgiveness, forbearance,
and time: The temporal unfolding of transgression-related interpersonal
motivations. Journal of personality and social psychology, 84, 540-557.
Pratisti, W.D. (2012). Peran kehidupan emosional ibu, budaya, dan karakteristik
remaja pada regulasi emosi remaja. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Smedes, L.B. (1984). Forgive and forget: Healing the hurts we don't deserve. San
Francisco: Harpersan.

24

Soesilo, A. (2013). Forgiveness Dan kesehatan: Forgiveness sebagai strategi
koping untuk promosi kesehatan dan reduksi resiko-resiko kesehatan.
Salatiga: UKSW.
Strongman, K.T. (2003). The Psychology of emotion, from everyday life to theory.
(5th edition). New York:McGraw-Hill.
Takaku, S. (2001). The affects of apology and perspective taking on interpersonal
forgiveness: A dissonance-attribution model of interpersonal forgiveness.
Journal of social psychology, 141, 494-508.
Thompson, G. (1994). Emotion regulation: A theme in search of definition. New
York: ohn Willey sons, Inc.
Wardhati, T. L. & Faturochman. (2006). Psikologi pemaafan. Diakses tanggal 17
Februari 2016.
Worthington, EL. (2005). Handbook of forgiveness. New York: BrunnerRoutledge.
Zechmeister, J. S., & Romero, C. (2002). Victim and offender accounts of
interpersonal conflict: Autobiographical narratives of forgiveness and
unforgiveness. Journal of personality and social psychology, 82, 675-686.
Antara. (2015). Kehamilan remaja: 48 dari 1000 remaja Indonesia melahirkan.
Diakses
tanggal
04
Januari
2016
dari
http://www.solopos.com/2015/01/06/kehamilan-remaja-48-dari-1-000remaja-indonesia-melahirkan-565537.
Dahlan, A.(2015). Definisi sampling dan teknik sampling. Diakses tanggal 26
Februari 2016 dari http://www.eurekapendidikan.com/2015/09/defenisisampling-dan-teknik-sampling.html.