TI001-1 PENGEMBANGAN LOGISTIK BENCANA: PEMBELAJARAN DARI PENANGANAN BENCANA ERUPSI MERAPI

  

PENGEMBANGAN LOGISTIK BENCANA:

PEMBELAJARAN DARI PENANGANAN BENCANA ERUPSI MERAPI

1 2 Agustinus Gatot Bintoro dan Y. Sigit Purnomo WP. 1)

Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari No. 43 Yogyakarta, 55281

2)

E-mail: a.bintoro@mail.uajy.ac.id

Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri

  

Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari No. 43 Yogyakarta, 55281

Abstract

  

Penanganan bencana khususnya dalam hal logistik selalu menghadapi permasalahan yang kompleks,

namun demikian metode, pembahasan dan hasil penelitian yang tersedia sampai saat ini masih

sangat terbatas dan belum memadai untuk solusi masalah. Untuk alasan ini, dukungan untuk para

pelaku logistik bencana sangat diperlukan terutama dari bidang operation research dan management

science (OR/MS). Studi ini membahas pengembangan model logistik bencana yang lebih aplikatif dan

fleksibel untuk penanganan bencana yang didasarkan pada studi literatur dan studi kasus. Studi

literatur dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan model dasar logistik, sedangkan studi

kasus digunakan untuk mempertajam analisis model yang diperoleh sekaligus untuk mengembangkan

alat evaluasinya. Studi kasus dilakukan pada kasus penanganan bencana erupsi Gunung Merapi di

DIY dan Jawa Tengah. Berdasarkan pada pengalaman operasi logistik yang telah dilakukan dan

studi literatur tersebut maka logistik bencana atau disaster relief operations (DROs) dapat

dikembangkan dari logistik komersial atau supply chain management (SCM). Banyaknya kemiripan

dari dua hal tersebut, maka secara prinsip, pendekatan dan teknik, DRO dapat dikembangkan dari

SCM bisnis/komersial. Selanjutnya dengan adanya cerita sukses dalam penanganan logistik bencana

akan digunakan sebagai acuan pengembangan dan evaluasi model. Hasil model yang diperoleh juga

dikemas dalam bentuk sistem informasi yang sangat potensial untuk diintegrasikan dengan sistem

informasi bencana dan secara riil akan diimplementasikan ke badan-badan yang menangani logistik

bencana.

  Keywords: DRO, logistik , bencana, supply chain.

  Latar Belakang

  Besarnya ancaman bencana meningkat dari waktu ke waktu, sehingga perlu meningkatkan kesiapsiagaan. Sehingga pada saat terjadi bencana tidak menimbulkan korban besar dan dampak yang berkepanjangan. Meningkatnya ancaman tersebut membuat manajemen logistik bencana menjadi bidang yang penting untuk dikaji (Whybark, 2007). Hal ini juga didorong seringnya terjadi bencana dengan skala yang besar dan dampak yang berkepanjangan, sehingga saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mengembangkan logistik bencana atau sering disebut disaster relief

  

operations (DROs). Perkembangan penelitian dan pembahasan dalam tataran konsep masih sangat

  terbatas dan cenderung belum mapan. Selain itu dalam pelaksanaannya juga masih banyak permasalahan (Pujawan et. al. (2009); Thomas dan Kopczak (2005)).

  Beberapa praktisi dan peneliti juga telah menuliskan pengalaman dalam penanganan bencana berskala besar seperti gempa bumi di Taiwan (Sheu, 2007), bencana angin ribut (Lodree dan Taskin, 2005). International Federation of the Red Cross (IFRC) juga menuliskan pengalaman penanganan bencana gempa bumi di DIY dan Jawa Tengah tentang cerita suksesnya dalam mengimplementasikan model penanganan bencana. Model yang dikembangkan yaitu model logistik bencana dengan sistem desentralisasi. Pujawan et. al. (2009) juga menggunakan penanganan logistik bencana di beberapa bencana besar di Indonesia sebagai kasus dalam penelitiannya, dan berhasil menyusun empat prinsip dasar DRO, yaitu visibilitas informasi, koordinasi, profesionalisme dan akuntabilitas.

  Sejauh ini hasil dan pengembangannya tidak seperti pada sistem logistik komersial atau

  

supply chain management (SCM), karena logistik untuk keadaan bencana/darurat (DRO) belum

  banyak mendapat perhatian (Altay dan Green, 2006). Pengembangan bidang ini menjadi tantangan, khususnya bagi bidang operation research atau mangement science (OR/MS). Ajakan penelitian dalam bidang ini telah banyak dilakukan (Editorial Tranportation Research, 2007 dan Editorial

  IJPE, 2010). Banyak gap yang masih ada dan ancaman bencana yang semakin besar, maka kontribusi peneliti atau praktisi sangat dibutuhkan. Ajakan ini diharapkan mampu mendorong kemajuan penelitian dan aplikasi hasilnya sehingga memberikan cerita sukses untuk menjawab berbagai permasalah yang terjadi pada DRO. Selain itu penanganan bencana yang telah terjadi juga memberi pengalaman dan pelajaran dalam bidang logistik bencana, seperti pada kasus bencana di DIY dan Jawa Tengah. Walaupun seringkali logistik bencana dijalankan tanpa dasar yang jelas, tetapi sangat membantu untuk membuat perbaikan sistem. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pengembangan dan implementasinya perlu terus dilakukan untuk mencapai hasil yang lebih baik.

  Dari SCM ke DRO

  Council of logistic management (Ballou, 1992), mendefinisikan logistik sebagai proses perencanaan, implementasi, dan pengendalian efisiensi, aliran biaya yang efektif dan penyimpanan material mentah, setengah jadi, barang jadi dan informasi yang berkaitan dengan tujuan memenuhi kebutuhan konsumen. Sedangkan misi utama logistik adalah memenuhi kebutuhan barang yang sesuai ke tempat yang tepat, pada waktu yang tepat dan pada kondisi yang diinginkan, sehingga memberikan manfaat pada pihak yang terlibat.

  Logistik dalam konteks bencana atau sering disebut disaster relief operations (DROs) meliputi penilaian perminataan, pengadaan barang, penentuan prioritas, menerima barang, seleksi, menyimpan, pencarian dan pengiriman. Konsep tersebut mirip dengan manajemen rantai pasok atau supply chain management (SCM) yang sering digunakan secara komersial dalam dunia bisnis. SCM komersial telah banyak dibahas, sehingga konsep dan aplikasi di bidang bisnis cukup mapan. Tidak demikian pada DRO, konsep dan aplikasi masih belum mapan, tetapi saat ini telah mendapat perhatian dari banyak pihak. Keduanya, komersial SCM dan DRO mempunyai banyak kemiripan, sehingga secara prinsip, pendekatan dan teknik DRO dapat dikembangkan dari SCM bisnis/komersial (Pujawan et. al, 2009).

  Jika terjadi bencana pada suatu wilayah tertentu maka akan mengakibatkan tidak berfungsinya elemen-elemen dalam masyarakat, sehingga akan mengakibatkan permintaan akan kebutuhan material/barang tertentu di masyarakat. Selain permintaan, faktor kemanusiaan juga akan mendorong terjadinya aliran material/barang untuk memenuhi permintaan kebutuhan masyarakat akibat bencana. Aliran bantuan ini akan membentuk sistem logistik yaitu sistem logistik bencana atau DRO yang mirip dengan sistem rantai pasok atau SCM bisnis/komersial.

  Kondisi yang dinamis dan tidak pasti akibat bencana mempengaruhi lingkungan dan komponen logistik sehingga membuat sistem logistik bencana menjadi lebih kompleks. Komponen sistem seringkali tidak teridentifikasi dengan jelas karena melibatkan banyak pelaku yang berbeda secara kapasitas. Logistik bencana memprioritaskan kecepatan pendistribusian, ketepatan sasaran, jumlah dan jenis (variasi) barang dan seringkali biaya bukan menjadi hal utama. Berbeda dengan logistik pada umumnya, bahkan seringkali peningkatan biaya tidak diperhatikan.

  Kemiripan antara SCM dan DRO secara karakteristik dibahas oleh Pujawan et. al. (2009), antara lain dalam hal: tujuan pengiriman barang yang efektif dari pemasok ke pemanfaat, melibatkan banyak komponen yang membentuk jaringan yang kompleks, mempunyai tingkat permintaan yang tidak pasti dan sulit untuk diprediksi, dan sama-sama membutuhkan koordinasi dan visibilitas guna meningkatkan efektivitas biaya dan tingkat respon. Tetapi keduanya juga mempunyai perbedaan, yaitu dalam hal: pihak-pihak yang terlibat dan bentuk konfigurasi jaringannya.

  SCM mempunyai komponen atau pihak-pihak yang terlibat yang terkoordinasi dengan baik dengan hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan secara komersial. Sedangkan pada DRO, hubungan terbentuk dalam waktu singkat dan cenderung pendek. Hubungan ini lebih dilandasi oleh prinsip kemanusian dan sosial, walaupun secara komersial juga terjadi. Perbedaan DRO dengan SCM komersial juga dapat dilihat dari arah aliran barang atau jasa. Pada DRO barang atau jasa mengalir dari banyak sumber ke satu sumber, yaitu tempat terjadinya bencana, sedangkan pada SCM sebaliknya.

  Bencana dan Logistik International Strategy for Disaster Reduction -United Nations, mendefinisikan bencana

  sebagai gangguan serius terhadap fungsi sistem masyarakat yang mengakibatkan kerugian berskala besar yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasinya dengan sumber daya mereka sendiri. Sedangkan di Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 24 tahun 2007 bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

  UU RI No. 27 tahun 2007 membagi tiga jenis bencana, yaitu: bencana alam, non-alam dan bencana sosial. Bencana alam merupakan peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam seperti epidemi, wabah penyakit dan kegagalan teknologi. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia seperti teror dan konflik sosial.

  Berdasarkan skala waktu, kejadian bencana dapat dilihat mulai dari kondisi sebelum, saat dan sesudah bencana. Hal ini merupakan rangkaian perjalanan waktu yang terhubung satu sama lain, dan jika dilihat dari konteks terjadinya bencana, maka hal ini merupakan sebuah siklus yang kejadiannya dapat berulang-ulang. Kapan siklus dimulai dan panjangnya masing-masing periode waktu merupakan hal yang tidak pasti dan sulit untuk diprediksi. Dalam konteks manajemen bencana, siklus bencana digambarkan menjadi tiga fase, yaitu fase sebelum bencana, fase tanggap darurat dan fase sesudah bencana. Saat terjadi bencana, keadaan kacau balau, karena banyak sistem yang mengalami kegagalan fungsi sehingga dinyatakan sebagai kondisi tanggap darurat sampai kondisi cukup membaik untuk memulai rehabilitasi dan rekonstruksi. Mobilisasi sumber daya termasuk material dan barang perlu dilakukan dari luar wilayah guna membantu kondisi darurat sampai pemulihan awal.

  Setelah fase tanggap darurat selesai segera dilakukan pemulihan awal yang dilanjutkan rehabilitasi dan rekonstrusi. Pada kondisi ini mobilisasi sumber daya dari luar masih diperlukan tetapi tidak sepenting/mendesak pada saat tanggap darurat. Sedikit demi sedikit kondisi akan membaik dan akan kembali ke keadaan normal. Pada kondisi normal ini penting dilakukan pencegahan, mitigasi dan melakukan kesiapsiagaan terhadap bencana. Sehingga jika terjadi bencana lagi masyarakat dan segala sistem yang ada akan menjadi lebih siap dan dampak yang terjadi dapat direduksi seminimal mungkin.

  Secara umum jika terjadi bencana maka akan ada bantuan yang datang baik berupa barang maupun jasa yang melibatkan banyak pihak. Pihak-pihak yang terlibat dan hubungannya dapat digambarkan seperti pada Gambar 1 (Bintoro, 2011). Hubungan ini akan membentuk jaringan yang kemudian jika dikategorikan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu donor, pengelola/penyalur dan pemanfaat (masyarakat korban bencana/masyarakat terdampak).

  MASYARAKAT TERDAMPAK Organisasi Donor Badan-badan Pemerintah NGO Lokal Negara-negara Donor Donor Masyarakat Umum (Internasional) Pihak-pihak Ketiga (Militer, Swasta, dll.) NGO Internasional Palang Merah Nasional Donor dari Masyarakat Lokal/ Nasional Palang Merah Internasional Badan-Badan PBB D O N O R PEN G EL O L A /PEN YA L U R PEMA N F A A T

  Gambar 1. Aliran bantuan Bantuan dari setiap negara dan masyarakat umum baik nasional maupun internasional disalurkan melalui badan donor dan akan dikelola kemudian disalurkan secara sistematis melalui partner lokal di wilayah bencana. Biasanya partner lokal menjadi tangan terakhir yang menyampaikan langsung ke pemanfaat. Dalam banyak kasus partner lokal merupakan pelaksana yang lebih baik, karena faktor kedekatan, relasi sosial dan budaya dengan masyarakat terdampak.

  Secara hipotetik bentuk dasar jaringan distribusi dalam kondisi darurat dapat dibagi menjadi 3 komponen utama, yaitu donor (supplier), penyalur/pengelola (distributor) dan pemanfaat (konsumen). Bentuk dasar jaringan DRO ini sama dengan SCM komersial.

  Pelaksanaan dan Pembelajaran

  Pelaksanaan DRO tidak selalu mudah, hal ini dapat dilihat dari pengalaman penanganan bencana-bencana besar yang dituliskan oleh para peneliti. Pujawan et. al. (2009) dalam studi kasusnya pada beberapa bencana di Indonesia, menemukan permasalahan dalam DRO yaitu kelemahan pelaku dan sulitnya koordinasi. Studi yang lebih luas dilakukan oleh Thomas dan Kopczak (2005), yaitu studi tentang evaluasi pelaksanaan penanganan logistik kemanusiaan, di mana dalam banyak kasus sama dengan logistik bencana. Berdasarkan pengalaman responden, penelitian ini mengidentifikasi lima kelemahan dalam menjalankan logistik kemanusiaan yaitu: kurangnya pengakuan tentang pentingnya logistik, pelaku kurang profesional, teknologi yang tidak memadai, kurangnya pembelajaran institusi, dan kurangnya kolaborasi antar pelaku.

  Studi ini menggunakan kasus penanganan logistik pada bencana di DIY dan Jawa Tengah, utamanya bencana alam gempa bumi 2006 dan erupsi Gunung Merapi 2010. Banyak pihak menilai penanganan bencana cukup baik walaupun jauh dari sempurna, sehingga baik untuk pembelajaran. Banyak hal khususnya bidang logistik dapat digunakan sebagai bahan studi untuk mengembangkan alat, metode atau konsep menjadi lebih baik. Dari studi literatur dipilih empat prinsip yang disampaikan oleh Pujawan et. al. (2009) untuk mengevaluasi penanganan logistik. Hasil evaluasi berdasarkan studi literatur dan studi lapangan diperoleh hal-hal sebagai berikut:

  Visibilitas Informasi

  Visibilitas pada DRO adalah kemudahan berbagai pihak yang terlibat untuk mengakses informasi-informasi penting, seperti apa saja, berapa besar dan dimana suplai dibutuhkan oleh masyarakat korban bencana. Dengan ketersediaan informasi, pelaku di lapangan dapat memperkirakan dan merencanakan pemenuhan kebutuhan korban tersebut berdasarkan kuantitas yang dibutuhkan, persediaan yang dimiliki, leadtime (waktu tunggu) apabila harus memesan tambahan material, dan menentukan lokasi penyimpanan yang paling sesuai. Salah satu contoh visibilitas di dalam DRO adalah peranan media dalam memberikan informasi mengenai korban bencana kepada publik secara rutin dan terus menerus diperbaharui. Visibilitas yang tinggi membuat publik bisa mengetahui aliran barang bantuan yang masuk dan melihat barang apa saja yang memiliki stok cukup maupun sebaliknya.

  Berdasarkan pada indikator visibilitas informasi dan penggunaan teknologi informasi maka DRO yang dilakukan di DIY dan Jawa Tengah cukup memadai, hal ini dapat diketahui dengan adanya penggunaan radio komunikasi, telepon/telepon seluler, media (cetak/elektronik) dan internet oleh sebagian besar pelaku logistik. Bahkan beberapa organisasi menggunakan website untuk meng-update informasi secara berkala. Hal baru yang cukup menarik yaitu adanaya organisasi yang memfasilitasi peran komunitas untuk memberikan informasi secara langsung melalui short massage service gate yang secara real-time dipublikasi dalam website. Selain itu juga aktifnya kelompok-kelompok kamunikasi seperti komunitas radio dan mailing lists, serta peran media cetak dan elektronik sangat membantu dalam visibilitas informasi.

  Koordinasi

  Sistem logistik bencana juga mensyaratkan adanya koordinasi di antara pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan. Banyaknya pihak yang terlibat, dalam kasus ini lebih dari 100 pelaku, baik yang sudah mengenal satu sama lain maupun sebaliknya, menyebabkan konflik kepentingan tidak dapat dihindari. Contoh konkrit dari konflik kepentingan ini dapat dilihat pada saat pelaksanaan DRO, dimana organisasi masyarakat dan partai politik saling bersaing untuk meraih simpati masyarakat. Persaingan antar organisasi tersebut menyebabkan koordinasi di antara pihak-pihak yang terlibat sulit terwujud. Idealnya, semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan DRO harus saling mempercayai satu sama lain dan berada di bawah satu kendali, dalam kasus ini kendali penanganan bencana idealnya berada di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

  Koordinasi sistem logistik bencana di dalam pelaksanaan DRO membutuhkan kendali dan kepemimpinan yang lebih tegas dibandingkan dengan rantai pasok komersial. Kepemimpinan yang tegas tersebut dibutuhkan untuk mengatasi munculnya konflik-konflik kepentingan pihak-pihak yang terlibat. Kegagalan koordinasi pada sistem ini dapat berakibat membengkaknya biaya operasional. Akibat-akibat dari kegagalan koordinasi yang sering terjadi adalah membengkaknya suplai barang-barang yang tidak begitu mendesak, kekurangan barang-barang pokok, dan pelaksanaan operasi yang tumpang-tindih. Pada pelaksanaannya, koordinasi akan lebih mudah dilakukan apabila terdapat visibilitas informasi yang tinggi di dalam sistem tersebut. Dengan demikian, kesalahpahaman dapat diminimalisir karena pihak-pihak tersebut merujuk pada data dan informasi yang sama.

  Pada kasus di DIY dan Jawa Tengah ada lebih dari 100 pelaku logistik baik organisasi pemerintah maupun non-pemerintah (NGO) baik lokal maupun internasional. Beberapa pihak utamanya organisasi pemerintah dan NGO internasional berusaha memotori koordinasi, sehingga terbentuk klaster logistik dan adanya forum yang berkaitan dengan bencana. Koordinasi sudah terjadi cukup baik, seperti penentuan wilayah kerja, pembagian tanggung jawab dan sharing data, sehingga organisasi yang menangani wilayah tertentu akan tetap berkoordinasi satu dengan yang lain baik langsung antar pelaku maupun melalui fungsi koordinasi. Peran koordinator sering kali belum maksimal, karena masih banyak permasalahan dan keterbatasan, seperti keakuratan data, sulitnya koordinasi, teknologi, kapasitas dan lain sebagainya.

  Profesionalisme

  Profesionalisme adalah melakukan pekerjaan sesuai dengan standar pedoman operasi, dimana pekerjaan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang sudah terlatih di bidangnya. Tingkat profesionalisme pada logistik bencana dalam pelaksanaan DRO berdasarkan definisi profesionalisme tersebut dianggap masih rendah. Hanya sedikit orang yang terlibat di dalam DRO yang memiliki pengetahuan mengenai logistik atau rantai pasok. Kondisi ini berbeda jauh dengan kondisi pada rantai pasok komersial, dimana mayoritas orang yang bekerja dalam rantai pasok komersial memiliki pengetahuan, pengalaman, serta pelatihan yang mencukupi.

  Banyak organisasi yang terlibat menganggap logistik dan rantai pasok hanya sebagai fungsi pendukung saja, sehingga organisasi tersebut tidak memprioritaskan untuk menempatkan orang- orang yang profesional/kompeten pada bidang tersebut. Selain hanya menganggap sebagai fungsi pendukung, tingkat turn-over sumber daya manusia yang tinggi menyebabkan pelatihan menjadi tidak efektif dan tidak terjadi pertukaran pengalaman antara pekerja senior dengan junior. Bahkan banyak organisasi menggunakan relawan yang latar belakang ketrampilam dan pendidikan tidak relevan.

  Akuntabilitas

  Sebuah sistem logistik bencana melibatkan banyak pihak terutama sumber pemasoknya, baik organisasi, kelompok maupun individu, yang memberikan bantuan dalam berbagai bentuk. Akuntabilitas diperlukan karena pihak-pihak yang terlibat tersebut memiliki keinginan untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan bantuan yang mereka berikan dalam penanganan bencana dan tidak disalahgunakan. Kesulitan yang umum dihadapi terkait dengan akuntabilitas adalah melakukan pelacakan dan pendataan tiap-tiap bantuan yang diberikan. Sehingga diperlukan alat bantu yang mampu mencatat, menghitung, menganalisis dan sekaligus membuat laporan yang siap dilaporkan atau dipublikasikan.

  Laporan yang berkaitan dengan keuangan dan distribusi telah dibuat oleh masing-masing organisasi dan dilaporkan kepada pihak-pihak yang meminta pertanggungjawaban, tetapi publikasi lebih luas belum banyak dilakukan. Beberapa organisasi telah mempublikasikan melalui website yang di-update secara periodik. Tetapi banyak organisasi yang mempublikasikan dalam lingkup yang lebih sempit dan bahkan tidak mempublikasikan sama sekali dan hanya melakukan pelaporan kepada pihak tertentu, seperti pihak donor.

  Pengembangan Logistik Bencana

  Berdasarkan hasil studi literatur (lihat: Thomas dan Kopczak (2005), Pujawan et.al. (2009), Gatignon et. al. (2010), Pujawan dan Mahendrawathi (2010), Bintoro (2010)), maka disimpulkan bahwa model logistik bencana memerlukan modul-modul yang berkaitan dengan perencanaan jaringan, pengelolaan permintaan dan persediaan, manajemen pengadaan, manajemen transportasi dan distribusi. Sebagai tambahan juga diperlukan modul untuk pengukuran kinerja dan pelaporan internal dan eksternal. Modul-modul tersebut sangat efektif dan efisien untuk strategi pencapaian tujuan DRO (Thomas dan Kopczak, 2005). Kompleksnya permasalahan, adanya keterbatasan, dan tantangan dalam logistik bencana maka modul-modul tersebut diintegrasikan menjadi sebuah sistem yang dapat dikelola dan diakses oleh semua pihak terkait dengan menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi yang populer saat ini. Selain itu juga diperlukan expert system yang menempel pada modul-modul tertentu guna mencatat, menghitung, mengoptimasi dan menganalisis setiap proses sehingga memberikan hasil yang terbaik untuk ukuran waktu, biaya, dan kapasitas (tiga indikator yang dipilih untuk DRO).

  Jaringan Logistik Perancangan jaringan logistik merupakan tahapan penting dalam manajemen logistik.

  Jaringan yang baik akan mampu memberikan waktu pelayanan yang pendek atau kecepatan respon yang tinggi dan service level (tingkat pelayanan) yang tinggi atau kemampuan memenuhi kebutuhan barang (Sourirajan et. al., 2009). Kecepatan respon dan service level yang tinggi pada umumnya akan berdampak naiknya biaya, sehingga harus dioptimasi.

  Pada suatu waktu bencana dapat terjadi lebih dari satu tempat dengan lokasi yang berjauhan dan jenis bencana yang berbeda. Pemerinah pusat dalam hal ini dinas terkait mempunyai tugas untuk menangani semua bencana tersebut, maka secara topologi jaringan, bencana-bencana dan koordinasinya dapat dilihat seperti pada Gambar 2. Secara teknis pusat tidak melakukan penanganan logistik secara langsung, tetapi berfungsi sebagai pusat komando dan pembuat kebijakan. Bencana 2

  

Bencana 3 Pusat Bencana 1

Bencana

ke..n

  Gambar 2. Koordinasi bencana Komando dari pusat tidak selalu mudah karena banyaknya pelaku logistik yang secara bersamaan melakukan kegiatan pada lokasi bencana yang berbeda. Hal lain juga karena banyaknya aliran barang berasal dari banyak pemasok menuju ke suatu titik besar sebagai tujuan, yaitu pemanfaat di wilayah bencana. Agar fungsi manajemen dapat dilakukan dengan baik, maka semua barang harus dikirimkan terlebih dulu melalui pusat distribusi, baik secara fisik maupun non-fisik (barang benar-benar dikirim ke pusat distribusi atau hanya pencatatanya saja). Konfigurasi jaringan seperti ini dapat digambarkan seperti pada Gambar 3. Selain aliran dari pemasok ke pemanfaat, dalam kasus ini juga dimungkinkan aliran antar pusat distribusi. Hal ini dimungkinkan karena aliran dari pemasok ke distributor tidak seimbang, sehingga memungkinkan terjadinya kelebihan kapasitas pada pusat distribusi tertentu dan pihak lain kekurangan.

  

Pemasok Pemasok

Pemasok

Distribusi

Pusat

Pemasok Pemasok

Permintaan

Pemasok Pemasok

Distribusi Distribusi

Pusat Pusat

Pemasok Pemasok Pemasok Pemasok

  Gambar 3. Model jaringan logistik bencana (Bintoro, 2010) Penentuan lokasi dan jumlah pusat distribusi merupakan hal penting dalam merancang konfigurasi jaringan. Lingkungan sekitar bencana dan lingkungan yang lebih luas perlu dipertimbangkan. Faktor-faktor lingkungan yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan pusat distribusi antara lain: faktor ekonomi, sosial, politik, teknologi dan keamanan. Sehingga penentuan lokasi pusat distribusi sulit untuk didefinisikan secara jelas, karena banyaknya faktor-faktor yang menjadi pertimbangan tersebut dan sering kali alasan politik menjadi dominan (Whybark, 2007).

  Fungsi pusat distribusi dapat berarti secara fisik dan non-fisik. Secara fisik merupakan fasilitas yang menerima barang dari pemasok dan mendistribusikan ke pemanfaat. Dalam kasus ini pusat distribusi dapat berfungsi sebagai gudang untuk menampung sementara atau cross-docking untuk fasilitas bongkar muat, lot sizing, pembagian muatan dan pemindahan alat transportasi. Sedangan kegiatan non-fisik, yaitu menjalankan fungsi pencatatan dan koordinasi. Sistem seperti ini mengakomodasi pemasok mengirimkan barang langsung ke pemanfaat, tetapi secara sistem tetap melalui pusat distribusi, karena adanya fungsi pencatatan dan koordinasi.

  Penentuan permintaan dan persedian

  Tidak seperti pada SCM permintaan dapat diramalkan dan bahkan dapat diketahui dengan pasti, sedangkan pada DRO permintaan sangat tidak pasti baik waktu, lokasi, jumlah dan jenisnya. Tetapi permintaan ini harus dipenuhi jika sewaktu-waktu ada, sehingga permasalahan ini perlu diselesaikan dengan kebijakan khusus yang sangat berbeda dengan SCM. Barang yang sulit disediakan, memerlukan waktu untuk memproduksi, tahan lama dan merupakan barang utama dalam penanganan bencana harus disediakan dalam jumlah cukup di lokasi-lokasi yang mempunyai risiko bencana tinggi walaupun akan membutuhkan holding cost yang tinggi. Kebijakan penentuan lokasi penyimpanan, jumlah dan jenis barang persedian ini memerlukan partisipasi banyak pihak dan juga data-data yang berkaitan dengan bencana masa lalu. Peramalan juga dapat dilakukan dalam kasus ini, walaupun hasilnya selalu tidak sesuai/salah, tetapi tetap menjadi lebih baik dibandingkan tidak melakukan sama sekali. Walaupun dalam konteks ini biaya bukan lagi menjadi pertimbangan utama, tetapi optimasi juga dilakukan untuk menekan biaya dan meningkatkan pelayanan.

  Manajemen pengadaan

  Jika ada permintaan atau untuk kepentingan persedian maka barang-barang tertentu perlu diadakan. Pengadaan dapat melalui pembelian dari penyedia atau bantuan dari pihak luar. Pengadaan barang melalui pembelian secara jelas diatur dengan dengan Peraturan Presiden RI No

  54. Peraturan ini secara mengikat dipakai untuk pengadaan dimana sumber dana berasal dari pemerintah. Jika sumber dana bukan dari pemerintah maka manjemen dapat menggunakan aturan sesuai dengan atauran pemberi dana. Aturan-aturan ini secara proses memberikan langkah-langkah yang jelas, kredibel dan akuntabel, tetapi seringkali dalam keadaan darurat hal ini menjadi kendala. Sehingga sumber suplai dari dana seperti ini sulit diaplikasikan pada kondisi darurat.

  Tetapi sumber suplai barang tidak hanya berasal dari dana pemerintah atau organisasi yang secara prosedur pengadaan ketat dan membutuhkan waktu, tetapi banyak yang berasal dari institusi (kecil) yang lebih fleksibel, kelompok masyarakat atau dari individu. Komunitas ini merupakan kelompok yang potensial memberikan respon suplai barang secara cepat. Untuk itu sebaiknya bantuan dari pihak ini diarahkan untuk suplai barang-barang yang dibutuhkan secara cepat. Dalam konteks ini visibilitas informasi sangat dibutuhkan dan teknologi informasi untuk menjangkau dan mengorganisir komunitas ini sangat penting. Bukan rahasia umum bahwa kesuksesan logistik di DIY dan Jawa Tengah tidak lepas dari peran komunitas ini. Oleh sebab itu kedepannya manajemen pengadaan sebaiknya memberikan porsi perhatian yang lebih besar kepada komunitas ini dalam hal pengadaan.

  Transportasi dan distribusi

  Transportasi dan distribusi berfungsi untuk menyalurkan barang dari suatu tempat pemasok/pusat distribusi sampai ke tempat dimana barang tersebut akan digunakan. Secara fisik kegiatan ini merupakan penyaluran barang yang dilakukan menggunakan alat transportasi baik melalui darat, laut dan udara, seperti truk, kereta, kapal, dan pesawat udara. Kegiatan ini tidak hanya meliputi kegiatan fisik saja tetapi juga kegiatan non fisik seperti komunikasi, pengolahan data dan pelayanan. Pada prinsipnya kegiatan ini bertujuan untuk memberikan tingkat pelayanan penyaluran barang yang tinggi kepada pemanfaat, yang diukur dari kecepatan pengiriman, ketepatan lokasi, pemenuhan kapasitas dan kesempurnaan barang sampai tujuan.

  Perencanaan transportasi dan distribusi dilakukan di tingkat manajemen, dan pelaksanaan dapat dilakukan oleh pihak ketiga atau membentuk gugus tugas khusus. Siapapun yang melaksanakan, manajemen sebaiknya merencanakan sistem transportasi dan distribusi DRO dengan melakukan sejumlah fungsi dasar sebagai berikut: konsolidasi informasi, konsolidasi pengiriman, penentuan rute pengiriman, penentuan sistem trasportasi yang akan digunakan, pembuatan jadwal pengiriman.

  Dalam prakteknya sering mengalami kesulitan karena kondisi lingkungan yang terkena bencana berbeda-beda, hal ini akan mempengaruhi sistem transportasi dan distribusi. Pemilihan strategi distribusi yang tepat akan sangat berpengaruh, karena setiap strategi mempunyai kekurangan dan kelebihan serta tergantung dari keadaan lingkungan. Strategi yang dapat digunakan pada logistik bencana antara lain: pengiriman langsung, pengiriman melalui gudang, dan pengiriman melalui pusat distribusi.

  Teknologi Informasi

  Informasi merupakan hal penting untuk membuat kebijakan dan mengambil keputusan dalam manajemen logistik. Kurangnya informasi dapat mengakibatkan kesalahan dan akhirnya dapat menimbulkan merugikan. Tidak semua informasi dapat dimanfaatkan, tetapi informasi yang yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan (Chopra dan Meindl, 2007), yaitu: akurat, tepat dan dapat diakses pada saat dibutuhkan. Informasi yang menyatakan hal sebenarnya atau akurat kadang sulit diperoleh, tetapi informasi yang mendekati/menggambarkan kondisi sebenarnya harus diperoleh dan disimpan dengan sistem yang mudah diakses. Karena dengan menggabungkan banyak informasi dan melakukan analisis, informasi tersebut menjadi lebih bermakna.

  Sistem informasi

  Teknologi informasi berkembang sangat cepat seiring dengan perkembangan teknologi komputer dan teknologi komunikasi. Pengumpulan data real time yang cepat dan dalam kapasitas besar merupakan fungsi teknologi yang dapat mengeleminasi kelemahan sumber daya manusia. Selain itu dengan tambahan sistem perangkat lunak, maka sistem mampu membaca, mengolah dan bahkan menganalisis informasi yang siap dipakai untuk pengambilan keputusan.

  Pengembangan perangkat lunak di banyak bidang baik skala kecil maupun besar terus dilakukan. Hasil pengembangan ini sangat fantastik karena terintegrasinya teknologi komputer dengan teknologi komunikasi utamanya internet. Usaha untuk mengintegrasikan dengan bidang- bidang lain juga terus dilakukan dan hasilnya juga cukup fantastis. Sebagai contoh dalam bidang logistik, yaitu integrasi dengan bidang geografi, yang kemudian dikenal dengan geographic

  

information system (GIS). Sistem informasi yang terintegrasi dengan data geografi akan sangat

  membantu dalam sistem logistik, seperti pengelompokan lokasi permintaan dan pendistribusiannya, penentuan rute dan monitoring.

  Sistem informasi dalam sistem logistik bencana sangat penting, dan sistem informasi ini mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Perangkat lunak yang dirancang untuk sistem jaringan intranet dan internet.

  b. Mengintegrasikan komponen-komponen yang terlibat.

  c. Mampu mengakses basis data internal dan ekternal secara real time.

  d. Mampu memproses transaksi.

  e. Mampu merekam dan melakukan fungsi analisis. Untuk memenuhi karakteristik tersebut maka sistem informasi juga membutuhkan dukungan perangkat keras, seperti komputer sebagai client dan server, jaringan lokal, internet dan alat komunikasi.

  Expert System Expert system merupakan algoritma dalam program komputer yang dapat

  merepresentasikan dan mewakili keahlihan manusia atau organisasi dalam hal membuat perhitungan, menganalisis dan membuat keputusan. Seringkali sistem ini disebut dengan sistem cerdas karena kemampuannya dalam memproses input menjadi output yang sangat cepat, akurat dan berdaya guna. Agar sistem logistik tetap berorientasi pada indikator waktu, biaya dan kapasitas maka penggunaan expert system sangat disarankan. Implementasi sistem ini juga cukup mudah karena banyaknya model-model yang berkaitan dengan logistik telah dipublikasikan dan terbukti baik hasilnya.

  Berdasarkan studi literatur dan studi kasus, maka sistem logistik yang dirancang mengimplementasikan expert system antara lain: vendor assesment, sistem inventori, algoritma penjadwalan, dan network system.

  Sistem Informasi Geografis (SIG)

  Bencana berhubungan erat dengan letak geografis, hal ini telah disepakati oleh banyak pihak, sehingga pengembangan dan penggunaan sistem informasi geografis (SIG) atau GIS terus dilakukan. Pemanfaatan SIG juga telah dilakukan dalam sistem logistik bencana. Salah satu aktifitas logistik adalah transportasi dan distribusi, dalam hal ini SIG sangat membantu dalam banyak hal. Informasi yang telah tersedia dalam SIG dapat dimanfaatkan oleh semua komponen yang terlibat. Seperti bagaimana manajemen mengatur rute berdasarkan peta, menentukan kelompok permintaan dan pendistribusian, bahkan saat ini pemanfaat atau pihak luar juga dapat membantu pemasok/donor dengan menginformasikan kebutuhan/permintaan melalui SIG.

  Permasalahan yang dihadapi saat ini pengembangan SIG belum mapan dan belum merata. Besarnya wilayah dan keanekaragaman konten membuat skala pekerjaan yang besar, sehingga pembangunan SIG yang berbasis komunitas perlu dilakukan.

  Pengukuran Kinerja dan Evaluasi

  Pengukuran kinerja juga perlu dilakukan seperti pada SCM komersial, tetapi hal ini sering kali dilupakan. Selain untuk keperluan manajemen sendiri hal ini juga berguna untuk evaluasi sehingga terjadi perbaikan sistem yang berkelanjutan. Karena tidak semua metode yang ada dapat diaplikasikan dalam logistik bencana, maka pengukuran kinerja logistik bencana masih membutuhkan kerja ekstra.

  Chan dan Qi (2003) mengusulkan model yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja aktifitas yang merupakan bagian dari SCM. Kinerja aktifitas diukur dalam dimensi, antara lain: biaya, waktu, kapasitas, kapabilitas, produktivitas, utilisasi dan outcome. Tetapi tidak semua dimensi mudah digunakan untuk pengukuran, hal ini sangat tergantung dari indikator yang digunakan. Alternatif indikator seperti biaya, waktu, kapasitas lebih mudah digunakan karena indikatornya jelas, sedangkan yang lain tidak demikian.

  Keterbatasan literatur dan pembelajaran dari praktek-praktek sebelumnya, studi ini menggunakan pengukuran logistik bencana dengan lebih sederhana yaitu dengan menggunakan dimensi yang relatif lebih mudah, yaitu: waktu, kapasitas dan biaya, sehingga secara kuantitatif pengukuran kinerja dapat dilakukan. Hal ini cukup memadahi untuk pengukuran kinerja karena dalam konteks DRO (Bintoro, 2011). Pengukuran lebih lanjut dapat dilakukan secara kualitatif dengan memanfaatkan umpan balik dari pihak luar, seperti media, pemanfaat, dan pemangku kepentingan yang lain.

  Kesimpulan

  Pelaksanaan logistik bencana/DRO masih menghadapi banyak permasalahan, sedangkan penelitian di bidang ini masih relatif sedikit. Meningkatnya perhatian terhadap DRO akhir-akhir ini, memberikan peluang untuk melakukan perbaikan dan pengembangan konsep maupun pelaksanaan. Hal ini membutuhkan peran dari banyak pihak, utamanya bidang OR/MS. Momen yang sangat baik ini juga didukung oleh perkembangan teknologi komputer dan telekomunikasi yang sangat pesat akhir-akhir ini. Studi ini memberikan dukungan sistem informasi yang lebih lengkap (lintas bidang), mudah diakses, dan mempunyai data real time untuk menjawab kelemahan-kelemahan yang masih sering dijumpai, utamanya masalah koordinasi dan informasi. Sistem logistik DRO yang cepat, efisien dan fleksibel ini dikemas dalam sistem informasi yang terintegrasi.

  Pengembangan secara kontinyu DRO perlu dilakukan, dan kedepannya juga perlu dipertimbangkan keterlibatan isu lintas sektoral seperti lingkungan dan kesehatan dan jika dimungkinkan juga melibatkan isu pengarusutamaan gender dan difabel. Kemampuan sistem untuk merespon isu-isu tersebut dapat memberikan nilai tambah, walaupun sering kali akan menurunkan kinerja dan penambahan biaya. Dalam kasus khusus dan utamanya berkaitan dengan kemanusiaan penurunan kinerja dan penambahan biaya tidak dipermasalahkan.

  Keterlibatan banyak pihak semakin menguatkan pengembangkan DRO, utamanya pemangku kepentingan yang secara intens terlibat dalam kegiatan ini. Sebagai tindak lanjut, penulis juga sedang bekerjasama dengan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) melalui program penelitiannya untuk menyempurnakan model yang telah dibangun, dan keterlibatan lebih luas sangat diharapkan baik organisasi pemerintah maupun non-pemerintah.

  Daftar Pustaka

  Altay, N. dan Green, W.G., 2006, OR/MS research in disaster operations management, European Journal of Operational Research 175, 475 –493. Ballou, Ronald H., 1992, Business Logistics Management, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc. Bintoro, Agustinus Gatot, 2010, Dari manajemen rantai pasok ke logistik bencana: perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, Jurnal Teknologi Industri, Vol. 13, 81-90. Bintoro, Agustinus Gatot, 2011, Logistik bencana: konsep, tantangan, dan kesempatan, Komunikasi Bencana . Chan, F.T.S. dan Qi, H.J., 2003, Measuring supply chain performance, International Journal of Operations and Production Management 19 (3), 275-292. Chopra, S. dan Meindl, P., 2007, Supply Chain Management: Strategy, Planning and Operations, Third Edition, Pearson Education Inc. Editorial, 2007, Challenges of emergency logistics management, Tranportation Research Part E 43, 655-659. Editorial, 2010, Resilient supply chains for extreme situations: Outling a new field of study, International Journal of Production Economics 126, 1-6.

  Gatignon, A., Van Wassenhove, L.N dan Charles A., 2010, The Yogyakarta earthquake: Humanitarian relief through IFRC’s decentralized supply chain, International Journal Productions Economics 126, 102-110.

  Lodree, E.J. dan Taskin, S., 2005, Supply chain planning for hurricane response with wind speed information updates, Computers & Operations Research 36, 2

  • – 15. Pujawan, N., Kurniati, N. dan Wessiani N.A., 2009, Supply Chain Management for Disaster Relief Operations: Principles and Case Studies, International Journal of Logistics Systems and Management 5 (6), 679 - 692. Pujawan I.N. dan Mahendrawathi E.R., 2010, Supply Chain Management, Penerbit Guna Widya. Saourirajan, K., Ozsen, L., dan Uzsoy, R., 2009, A genetic algorithm for a single product network design model with lead time and safety stock consideration, European Journal of Operation Research 197, 599-608. Sheu, Jiuh-Bing, 2007, Challenges of emergency logistics management, Transportation Research Part E 43, 655-659. Thomas, Anisya S. dan Kopczak, L. R., 2005, From logistics to supply chain management: the

  path forward in the humanitarian sector , Fritz Institute.

  Whybark, D.C., 2007, Issues in managing disaster relief inventories, International Journal of 108, 228-235.

  Production Economics