View of AK BALANCED SCORECARD: PENDEKATAN ALTERNATIF UNTUK PENGUKURAN KINERJA

BALANCED SCORECARD: PENDEKATAN ALTERNATIF UNTUK PENGUKURAN KINERJ A

  Huriyah Akuntansi, Politeknik Pratama Mulia, Surakarta 57149 Surakarta

  ABSTRACT Business organizations today demanding more effective performance measurement system that not only enhance their performance levels but give them competitive advantage. Traditionally, performance measurement systems have had financial bias, and they have ignored the key issues of linking operational performance to strategic objectives and communicating these objectives and performance results to all levels of organizations. Kaplan and Norton (1992) developed a new approach to performance measurement: the Balance Scorecard. The Balance Scorecard approach is hot. Gartner Group Predicted that at least 40% of Fortune 1.000 companies will using the Balance Scorecard by the end of this years (Frigo and Krumwiede, 2000). The Balance Scorecard is a new tool that complements traditional measures of business unit performance, and a performance measurement system driven by strategy and includes performance measurement in the following areas: financial, customer, internal business process, and learning and growth. This paper has two objectives. First, presented the benefits of Balanced Scorecard, and second identified the difficulties that which occur on implementation of the concept of Balanced Scorecard. Keywords: The Balance Scorecard, Financial Perspective, Customer Perspective, Internal Business Process Perspective, Learning and Growth Perspective, Performance Measurement. Pendahuluan Perkembangan teknologi yang semakin pesat, mengakibatkan iklim persaingan bisnis semakin ketat. Sehingga mendorong kebutuhan akan informasi menjadi suatu hal yang penting. Dengan adanya pergeseran tingkat persaingan bisnis dari industrial competition ke information competition, maka hal itu juga mengubah alat ukur yang dipakai perusahaan untuk mengukur mengukur kinerjanya.

  Pengukuran kinerja merupakan salah satu factor yang amat penting bagi perusahaan. Pengukuran tersebut dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan dan digunakan sebagai dasar untuk menyusun system imbalan dalam perusahaan (Secakusuma, 1997). Selain itu aspek penting pengukuran kinerja perusahaan adalah bahwa pengukuran kinerja perusahaan digunakan oleh pihak manajemen sebagai dasar untuk melakukan pengambilan keputusan dan mengevaluasi kinerja manajemen serta unit-unit yang terkait di lingkungan organisasi perusahaan (Ciptani, 2000).

  Pengukuran kinerja sebagai salah satu bidang manajemen, dewasa ini mengalami kondisi yang sama. Peter Drucker seorang pakar manajemen terkenal, berpendapat bahwa pengukuran kinerja merupakan bidang terlemah dalam manajemen (Indriantoro, 2000). Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam pengukuran kinerja dipandang sudah usang, keusangan ini dikarenakan pengukuran kinerja secara tradisional hanya menitikberatkan pada ukuran- ukuran keuangan yang menghambat kemampuan perusahaan menciptakan nilai ekonomik dimasa datang.

  Sebuah survey yang diadakan oleh National Asssociation of Accountant dan Computer Aided Manufacturing International, mencatat bahwa 60% dari manajer keuangan dan eksekutif operasi tidak puas dengan system pengukuran kinerja mereka. Keluhan-keluhan yang muncul antara lain: (a) ukuran kinerja terlalu menekankan pada aspek keuangan, (b) ukuran kinerja tidak bersifat customer driven, (c) tidak adanya benang merah antara ukuran kinerja dengan strategi perusahaan, dan (d) karyawan tidak mengerti alat ukur yang digunakan (Indriantoro, 2000).

  Fokus pengukuran kinerja yang berlebihan terhadap aspek financial tanpa didukung dengan ukuran-ukuran lainnya dapat membuat perusahaan berinvestasi lebih banyak pada asset fisik dibandingkan pada asset intelektual. Ukuran financial hanya menyajikan sebagian dan bukan keseluruhan gambaran kinerja perusahaan. Kekurangan yang dimiliki oleh ukuran kinerja financial makin lama makin dirasakan makin besar. Perkembangan pasar yang mulai bergesr dari seller’s market ke buyer’s market, membuat kekurangan tersebut semakin menekan (Indriantoro, 2000).

  Untuk memperbaiki kekurangan tersebut, maka Kaplan dan Norton (1992) mengembangkan teknik dan metode pengukuran yang sifatnya non financial. Dimana metode pengukuran ini dapat mengukur keberasilan perusahaan dalam menerjemahkan tujuan dan strateginya sehingga perusahaan dapat bertahan dalam jangka panjang. Pengukuran ini dikenal dengan Balance Scorecard. Konsep Balance Scorecard menekankan bahwa pengukuran financial dan non finansial harus menjadi bagian dari system informasi bagi pekerja di semua lini (Kaplan, 1996). Melalui Balanced Scorecard memungkinkan; (a) para manajer perusahaan mengukur bagaiman unit bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan mempertimbangkan kepentingan- kepentingan masa yang akan datang, (b) manajer mengukur apa yang telah mereka investasikan dalam pengembangan sumber daya manusia, system dan prosedur iuntuk perbaikan kinerja di masa yang akan depan, (c) para manajer menilai apa yang telah mereka bina dalam intangible assets seperti goodwill, loyalitas pelanggan dan merek (Mirza, 1997).

  Balanced Scorecard (BSC) memperkenalkan system pengukuran kinerja perusahaan dengan menggunakan criteria- kriteria tertentu. BSC telah mengubah kinerja banyak perusahaan di seluruh penjuru dunia. Sejak 1992, sistem manajemen kinerja ini telah membantu banyak manajemen puncak menentukan tujuan dan strategi perusahaan dan menerjemahkannya secara konkret ke dalam suatu set cara pengukuran. Apa yang telah membuatnya begitu sukses adalah bahwa BSC mampu menerjemahkan strategi ke dalam sebuah proses yang bukan hanya menjadi milik manajemen puncak, namun juga setiap individu pada setiap level di dalam perusahaan. Setiap pegawai bukan hanya “apa” yang harus dilakukannya, namun juga “mengapa” dia melakukan itu. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa BSC tidak melulu memandang strategi dalam kaitan aspek finansial semata, namun juga aspek tiga “tambahan” lain yaitu: 1) hubungan dengan pelanggan, 2) proses internal, serta 3) pembelajaran dan pertumbuhan.

  Konsep Balanced Scorecard Konsep Balance

  Scorecard dikembangkan oleh Robert S Kaplan dan David P Norton pada tahun 1992. Kaplan dan Norton mengatakan kepada para eksekutif senior: “What you measure is what you get“. Secara singkat ungkapan tersebut ingin mengatakan bahwa sistem pengukuran kinerja betul-betul akan mempengaruhi kinerja dan perilaku individu-individu di dalam perusahaan. Masalahnya, perspektif apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengukuran kinerja? Ketika awal era industrialisasi, secara tradisional orang merasa cukup dengan ukuran-ukuran akuntansi keuangan seperti return on investment (ROI) atau earnings per share (EPS). Namun pengukuran perspektif keuangan saja ternyata tidak memuaskan. Orang juga mulai memerlukan informasi yang berkaitan dengan kinerja operasional. Bahkan ada sebagian orang yang mengatakan “Lupakan saja pengukuran perspektif keuangan. Fokuskan upaya pada perbaikan operasional seperti siklus waktu dan tingkat kerusakan produk. Pada akhirnya ini akan berdampak juga pada perspektif finansial.” Jelas bahwa pengukuran tunggal tidak lagi mencukupi. Ibarat seorang sopir yang tengah mengendarai mobil, tidak cukup dengan dashboard yang hanya menunjukkan pengukuran bahan bakar. Dia juga memerlukan petunjuk pengukuran kecepatan, temperatur mesin, putaran mesin, untuk menjawab dan sebagainya. Inilah yang pertanyaan bagaimana kemudian melatarbelakangi perusahaan memandang Kaplan dan Norton merumuskan pemegang saham. konsep pengukuran kinerja yang dinamakan The Balanced Kaplan dan Norton Scorecard (BSC). Keseimbangan menggambarkan keseimbangan (balanced) di sini menunjuk pada hubungan-hubungan perspektif adanya kesetimbangan pada pengukuran-pengukuran tersebut perspektif-perspektif yang akan sebagai berikut: diukur, yaitu antara perspektif keuangan dan perspektif nonkeuangan sebagai berikut:

  1. Perspektif pelanggan ( Customer Perspective) , yaitu untuk menjawab pertanyaan bagaimana customer memandang perusahaan.

  2. Perspektif internal ( Internal Business Process

  Perspective) , untuk

  menjawab pertanyaan pada bidang apa perusahaan memiliki keahlian.

  3. Perspektif inovasi dan pembelajaran ( Learning

  and Growth Perspective) ,

  You can not manage what you untuk menjawab can not measure, demikian guru pertanyaan apakah manajemen Peter Drucker pernah perusahaan mampu berujar. Spirit kalimat itu berkelanjutan dan mengindikasikan bahwa menciptakan value. pengelolaan kinerja manajemen

  4. Perspektif keuangan atau kinerja bisnis selalu mesti ( Financial Perspective) , dilakoni melalui proses dan hasil yang terukur. Tanpa manajemen yang berbasis pada indikator yang terukur dan objektif, sebuah gerak organisasi bisnis bisa terpeleset menjadi sejenis paguyuban yang tak produktif.

  Pengertian balanced scorecard sendiri jika diterjemahkan bisa bermakna sebagai rapot kinerja yang seimbang (balanced). Kenapa disebut seimbang karena pendekatan ini hendak mengukur kinerja organisasi secara komprehensif melalui empat dimensi utama, yakni : dimensi keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan dimensi learning & growth.

  Dimensi keuangan merupakan hasil akhir yang ingin digapai oleh sebuah organisasi bisnis. Sebab tanpa menghasilkan profit yang sustainable dan cash flow yang sehat, sebuah perusahaan mungkin akan lebih layak disebut sebagai paguyuban sosial. Dalam dimensi ini, beberapa indikator kinerja (atau lazim disebut sebagai key performance indicators atau KPI) yang kerap digunakan sebagai acuan antara lain adalah : tingkat profitabilitas perusahaan, jumlah penjualan dalam setahun (sales revenue), tingkat efisiensi biaya operasi

  (operation cost dibanding sales), ataupun juga sejumlah indikator keuangan seperti ROI (return on investment), ROA (return on asset) ataupun EVA (economic value added).

  Dimensi selanjutnya adalah dimensi pelanggan yang notabene merupakan tonggak penting untuk mencapai kejayaan dalam aspek keuangan. Sebab tanpa pelanggan, sebuah organisasi bisnis tak lagi punya alasan untuk meneruskan nafasnya. Demikianlah untuk menggapai kesuksesan, perusahaan juga mesti memetakan sejumlah ukuran keberhasilan dalam dimensi pelanggan. Sejumlah key performance indicator (KPI) yang lazim digunakan dalam dimensi pelanggan ini antara lain adalah : tingkat kepuasan pelanggan (customer satisfaction index), brand image index, brand loyalty index, persentase market share, ataupun market penetration level. Dimensi berikutnya adalah dimensi proses bisnis internal. Pertanyaan kunci yang layak diajukan disini adalah : untuk meraih keberhasilan keuangan dan memuaskan pelanggan kita, proses bisnis internal apa yang harus terus menerus disempurnakan? Beberapa elemen kunci dalam proses bisnis internal yang layak dikendalikan dengan optimal mencakup segenap mata rantai (supply chain) proses produksi/operasi, manajemen mutu, dan juga proses inovasi. Beberapa contoh KPI yang lazim digunakan dalam dimensi ini antara lain adalah : persentase produk yang cacat (defect rate), tingkat kecepatan dalam proses produksi, jumlah inovasi proses dan produk yang dikembangkan dalam setahun, jumlah produk/jasa yang di- delivery dengan tepat waktu, ataupun jumlah pelanggaran SOP (standard operating procedures).

  Dimensi yang terakhir adalah dimensi learning and growth. Dimensi ini sejatinya hendak berfokus pada pengembangan kapabilitas SDM , potensi kepemimpinan dan kekuatan kultur organisasi untuk terus dimekarkan ke titik yang optimal. Dengan kata lain, dimensi ini hendak meletakkan sebuah pondasi yang kokoh nan tegar agar sebuah organisasi bisnis terus bisa mengibarkan keunggulannya. Contoh KPI (key performance indicators) yang lazim digunakan untuk mengukur kinerja pada dimensi ini antara lain adalah : tingkat kepuasan karyawan (employee satisfaction index), level kompetensi rata-rata karyawan, indeks kultur organisasi (organizational culture index), ataupun jumlah jam pelatihan dan pengembangan per karyawan. Demikianlah empat dimensi utama yang mesti dikelola dan diukur kinerjanya secara konstan dari waktu ke waktu. Pada dasarnya keempat dimensi diatas bersifat sinergis dan saling behubungan erat secara hirarkis. Sebuah organisasi bisnis hampir tidak mungkin mencapai keunggulan finansial tanpa ditopang oleh barisan pelanggan yang puas dan loyal. Dan barisan pelanggan yang loyal ini tak akan pernah terus tumbuh jika sebuah organisasi tidak memiliki proses bisnis yang ekselen nan inovatif. Dan pada akhirnya, proses kerja yang ekselen ini hanya akan mungkin menjelma menjadi kenyataan jika organisasi tersebut ditopang oleh barisan SDM yang unggul, kepemimimpinan yang tangguh dan budaya organisasi yang positif.

  Pengelolaan kinerja organisasi terus tumbuh dan mekar menuju bisnis secara optimal dengan ranah kejayaan. demikian mesti mempertimbangkan keempat

  Selanjutnya Kaplan dan Norton dimensi diatas secara intregratif. memberikan contoh tujuan- Serangkaian key performance tujuan dan pengukuran indicators (beserta target angka) kinerjanya untuk keempat untuk tiap dimensi diatas mesti perspektif tersebut pada sebuah diidentifikasi dan kemudian perusahaan manufaktur sebagai dimonitor pencapaiannya secara berikut: periodik (misal setiap sebulan Terlihat dalam contoh tersebut, sekali dalam sesi monthly bagaimana pengukuran secara performance review meeting). spesifik dihubungkan pada Melalui proses pengelolaan tujuan-tujuan perusahaan. Pada kinerja yang komprehensif pada umumnya misi perusahaan empat dimensi inilah, sebuah berbicara secara umum mengenai organisasi bisnis mestinya bisa pelanggan. Namun dengan BSC, tujuan dan pengukurannya dibuat tujuan pada setiap level serta dengan lebih rinci dengan menetapkan sistem yang memperhitungkan ekspekstasi membantunya mengukur kinerja pelanggan terkait dengan waktu, yang harus dilakukan dalam kualitas, kinerja produk, dan mencapai visi dan tujuan biaya. Demikian pula dengan tersebut. Inilah mengapa BSC proses internal, secara rinci menjadi sistem pengukuran yang memusatkan pada kompetensi mendorong kinerja. inti, proses, keputusan, serta tindakan-tindakan yang

  Keunggulan Penerapan berpengaruh pada kepuasan Konsep Balance Scorecard pelanggan. Sedangkan inovasi dan pembelajaran menunjukkan

  BSC memiliki focus yang keberhasilan masa depan. sama dengan praktik manajemen

  Perspektif ini mengukur tradisiomal yang sama-sama perbaikan terus-menerus berorientasi pada customer dan terhadap produk dan proses yang efisiensi atas proses produksi, sedang berjalan yang tetapi yang membuat konsep memunculkan produk-produk

  BSC itu berbeda dan lebih baru serta meningkatkan unggul daripada praktek kemampuan perusahaan. manajemen tradiosional adalah:

  Dengan kombinasi berbagai

  1. BSC merupakan suatu perspektif tersebut, menjadikan turunan dari strategi dan pengukuran kinerja bukan lagi misi perusahaan secara semata domain dari direktur top-down. Sebaliknya, keuangan atau controller, namun ukuran kebanyakan juga orang-orang di lini bisnis perusahaan adalah secara yang mengetahui secara persis bottom-up: yaitu operasional yang berlangsung diperoleh dari aktivitas di dalam perusahaan. Juga, bawah datau bersifat ad- pengukuran bukan lagi bersifat hoc, sehingga seringkali satu arah dan bertujuan sebagai tidak relevan dengan pengendalian, namun bersifat strategi secara multi arah dimana setiap bagian keseluruhan (Towle, dan individu dalam perusahaan 2000). mengetahui visi perusahaan dan

  2. BSC bersifat memandang ke depan (forward looking). Hal tersebut memperhitungkan keberhasilan bukan hanya saat ini namun juga bagaimana perkiraannya di masa depan. Ini berbeda dengan pengukuran kinerja keuangan tradisional yang hanya menunjukkan kinerja periode yang telah lewat.

  3. BSC mengintegrasikan pengukuran internal dan eksternal. BSC tidak hanya mengukur net operating income, misalnya (eksternal) namun juga mengukur mengenai produk baru (internal). Ini membantu para manajer melihat di mana mereka telah melakukan trade-off di antara aspek pengukuran kinerja di masa lalu, dan membantu mereka memastikan bahwa keberhasilan masa mendatang untuk satu aspek bukan dengan merugikan aspek lainnya.

  4. BSC membantu perusahaan lebih fokus karena membuat para manajer mencapai kesepakatan hanya pada aspek pengukuran yang benar-benar kritikal terhadap strategi perusahaan.

  5. BSC memberikan pengukuran yang lebih komprehensif dan seimbang dengan memasukkan perspektif non keuangan, yang selama ini tidak diperhitungkan dalam pengukuran kinerja tradisional. Padahal sesungguhnya justru ketiga perspektif itulah yang menghasilkan apa yang diukur dalam perspektif keuangan.

  6. BSC memiliki perspektif yang koheren, dimana perspektif pembelajaran dan pertumbuhan akan mempengaruhi proses internal yang akan memperbaiki nilai kepada pelanggan dan pada akhirnya memperbaiki pula nilai pemegang saham.

  7. Measure it, we can manage it, if we can manage it, we can achieve it’. Manfaat Penerapan Konsep Balance Scorecard

  Di Amerika sendiri BSC telah diadopsi oleh banyak perusahaan diantaranya adalah: Advanted Micro Device dan Rockwater (Kaplan dan Norton, 1993), Cigna Property & Casualty ( Richard, 1996), FMC Corp (Kaplan, 1993), dan Mobil Corp (McWilliams, 1996) dalam Soetjipto (1997). Hasil survey yang dilakukan oleh Gartner Group (Frigo dan Krumwiede, 2000), sekurang-kurangnya 40% dari 1.000 perusahaan versi majalah Fortune yang menggunakan Balance Scorecard pada akhir tahun ini.

  Banyak perusahaan yang mengimplementasikan konsep Balance Scorecard dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya dan berhasil dalam penerapannta merasakan keuntungan atau manfaat yang diterimanya. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut : (1) dengan balanced scorecard , eksekutif perusahaan dapat mengukur bagaimana unit-unit dalam perusahaannya dapat menciptakan nilai bagi customer sekarang dan yang akan datang , bagaimana mereka harus membangun dan meningkatkan sekarang dan yang akan datang, bagaimana mereka harus membangun dan meningkatkan kapabilitas internal dan investasi pada manusia, system dan prosedur penting untuk memperbaiki kinerja yang akan datang, (2) Balance Scorecard memiliki kemampuan untuk mendapatkan aktivitas kreasi terhadap nilai kritikal yang dilakukan dengan skill, dan dapat memotivasi seluruh anggota perusahaan, (3). Balance Scorecard dapat memungfkinkan pengukuran keuangan dan non keuangan untuk menjadi bagian dari siatem informasi bagi karyawan pada setiap jenjang organisasi. Karyawan dapat memahami konsekuensi keuangan dari kepiutusan dan tindakan yang mereka lakukan dan eksekutif senior dapat memahami drivers yang mensukseskan keuangan jangka panjang, (4) Balance Scorecard dapat mewujudkan misi perusahaan dan strategi dalam tujuan dan pengukuran yang nyata, dan (5) keempat perspektif yang ada pada Balance Scorecard yaitu perspektif finasial, perspektif customer, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran memungkinkan terjadinya keseimbangan: (a) antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang, (b) antara pengukuran-pengukuran eksternal untuk shareholder dan customer dan pengukuran- pengukuran internal dari proses kritikal, inovasi dan proses pertumbuhan dan pembelajaran, (c) antara hasil yang diinginkan dan drivers kinerja dari hasil- hasil tersebut, dan (d) antara pengukuran-pengukuran yang objektif dan poengukuran- pengukuran yang lebih subjektif.

  Kesulitan Penerapan Balance Scorecard Walaupun terdapat keunggulan dan manfaat yang besar dari pengimplemintasian konsep Balance Scorecard, namun dalam pelaksanaanya banyak pula terjadi kesulitan dan timbulnya permasalahan- permaslahan. Diantara permasalahan tersebut adalah: Bagaimana mendesain sebuah Balance Scorecard. Desain scorecard yang baik pada dasarnya adalah desain yang mencerminkan tujuan stratejik organiusasi. Dalam prakteknya, masih banyak perusahaan yang tidak dapat merumuskan starteginya dan memiliki startegi yang tidak jelas sama sekali. Sehingga hal ini dapat menyulitkan desain scorecard yang sesuai dengan tujuan stratejik perusahaan yang ingin dicapai.

  Banyaknya alat ukur yang diperlukan. Yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana alat ukur-alat ukur yang ada bisa mencakup keseluruhan strategi perusahaan terutama dapat mengukur dimensi yang terpenting dari sebuah strategi. Disamping itu alat ukur tersebut juga harus dapat menjangkau perspektif peningkatan kinerja secara luas dengan pengukuran minimal. Apakah Scorecard cukup layak untuk dijadikan penilai kinerja. Menurut Sarah Marvinack (Marvinack, 1999) layak atau tidaknya scorecard yang dibentuk oleh perusahaan akan tergantung pada nilai dan orientasi strategi perusahaan yang bersangkutan. Perlunya Scorecard dikaitkan dengan gainsharing secara induvidu. Banyak perusahaan yang menghubungkan antara kinerja dalam Balance Scorecard dengan pembagian keuntungan (gainsharing) secara individual. Tetapi yang harus diperhatikan adalah bahwa dasar pembagaian keuntungan (gainsharing) tersebut adalah seberapa besar dukungan inovasi atau perubahan

  6. Kesulitan dalam kultur yang diberikan oleh mengadakan trade-off induvidu kepada peningkatan

  Salah satu kunci keberhasilan kinerja perusahaan. Balance Scorecard menurut

  Apakah scorecard yang ada O’Reilly (Mattson, 1999) adalah dapat menggantikan keseluruhan adanya dukungan penuh dari system manajemen lama. Dalam seluruh lapisan manajemen yang praktek, sangat sulit mengganti ada dalam organisasi. Balance system manajemen yang lama Scorecard tidak hanya berfungsi dengan system manajemen yang sebagai laporan saja tetapi lebih baru (Balance Scorecard), tetapi dari itu, Balance Scorecard perusahaan diharapakan dapat haruslah merupakan refleksi dari melakukannya apabila dirasa sebuah strategi perusahaan serta system manajemen yang lama visi dari organisasi. sudah tidak bisa mendukung

  Mattson (1999) dalam Ciptani tujuan organisasi selama ini. (2000), menyatakan ada 4

  Kesulitan-kesulitan langkah utama yang harus (permasalahan) lain yang dapat ditempuh oleh perusahaan jika membatasi kegunaan dalam akan menerapkan konsep penerapan konsep Balance Balance Scorecard, yaitu: Scorecard apabila terjadi hal-hal

  1. Memperoleh kesepakan berikut ini: dan komitmen bersama

  1. Kurang (tidak) adanya antara pihak manajemen korelasi antara puncak perusahaan pengukuran non financial

  2. Mendesain sebuah model dan hasil (Kerangka) Balance

  2. Fikasi (cenderung Scorecard yang berfokus) pada hasil-hasil memungkinkan financial perusahaan untuk

  3. Tidak adanya mekanisme menentukan beberapa untuk perbaikan factor penetu seperti

  4. Pengukuran-pengukuran tujuan strategic, tidak updated perspektif bisnis,

  5. Pengukuran overload indicator-indikator kunci (yang berlebihan) penilaian kinerja.

  3. Mengembangkan suatu program pendekatan yang paling tpat digunakan oleh perusahaan sehingga

  4. Balance Scorecard menjadi bagian dari kultur organisasi yang bersangkutan, karena scorecard yang dikembangkan dapat dijadikan salah satu pengendali jika teerjadi perubahan kultur dalam perusahaan.

  5. Aspek penggunaan teknologi. Penggunaan software computer dalam menentukan elemen- elemen scorecard dan mengotomatisasi data kedalam scorecard sangat diperlukan, sehingga dat- data scorecard yang berwujud angka-angka tersebut akan dapat direview dari periode ke periode secara terus menerus.

  Simpulan Kaplan dan Norton pada tahun 1992 mengembangkan teknik dan metode pengukuran yang sifatnya non financial.

  Dimana metode pengkuran ini dapat mengukur keberhasilan perusahaan dalam menterjemahkan tujuan dan strateginya sehingga perusahaan dapat bertahan dalam jangka panjang. Pengukuran ini dikenal dengan Balance Scorecard menekankan bahwa pengukuran financial dan non financial harus menjadi bagian dari system informasi bagi pekerja disemua lini (Kaplan, 1996). Balance Scorecard memperkenalkan suatu system pengukuran kinerja perusahaan yang digolongkan dalam 4 perspektif, yaitu: (a) fiansial, (b) customer, (c) internal business process, dan (d) learning and growth (Ciptani, 2000).

  Balance Scorecard terdiri dari dua kata: (1) kartu scor (scorecard), dan (2) berimbang (balanced). Kartu scor adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinreja seseorang, dan untuk merencanakan yang hendak diwujudkan seseorang di masa depan. Kata berimbang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kinerja seseorang diukur secara berimbang dari dua aspek: finansial dan non financial, jangka pendek dan jangka panjang, intern dan ektern. Keunggulan yang utama dari Balance Scorecard adalah membantu memfokuskan perhatian setiap orang pada masa datang. Dengan adanya keunggulan yang dimiliki

  Balance Scorecard tersebut mendorong semakin banyaknya perusahaan yang ingin mengimplementasikan konsep Balance Scorecard.

  Daftara Pustaka Ciptani, M.K. 2000. Balanced Scorecard Sebagai Pengukuran Kinerja Masa Depan: Suatu Pengantar. Jurnal akuntansi dan keunagan (Vol 2/1): 21-35 Corrigan, J. 1995. The Balance Scorecard: The New Approach to Performance Measurement.

  Australian Accountant (August): 47-48 Frigo, M.L., and Krumwiede, K.R. 2000. The Balance Scorecard: Winning Performance Measurement System. Strategic Finance (January): 50-54 Huseini, Martani. 1997. Balance Scorecard: Penyeimbang Pengukuran Kinerja Organisasi..

  Usahawan (Juni, 6/XXVI): 19-20 Indiantoro, N. 2000. Balance Scorecard: Sistem Pengukuran Kinerja yang Memacu Prestasi.

  Lokakarya STIE Perbanas Jakarta

  Kaplan, R.S. 1993. Implementing The Balanced Scorecard at FMC Corporation Harvard Business Review (September – October): 143 – 146 Kaplan, R.S, and Norton, D.P. 1996. The Balance Scorecard: Translating Strategy into Action.

  Edisi Satu. Boston, United States of America: Harvard Business Schol Press Mirza, T. 1997. Balance Scorecard. Usahawan (Juni, 6/XXVI): 14 – 18 Soetjipto, B.W. 1997. Mengukur Kinerja Bisnis dengan Balanced Scorecard. Usahawan (Juni, 6/XXVI): 21 -25 Towle, G. 2000. The Balanced Scorecard: Not Just Another Fad. Executive Journal (January/February): 12 -16