Sosiologi Sastra (1) sosiologi sosiologi sosiologi

BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra, Sosiologi berasal dari akar kata
sosio (yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti
sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna,
sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai
asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari
keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional,
dan empiris.Sastra dari akar sas (Sansakerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra adalah kumpulan alat untuk
mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.
Karya sastra sebagai cermin masyarakat pada suatu zaman bisa juga dianggap sebagai
dokumen sosial budaya, meskipun unsur-unsur imajinasi tidak bisa dilepaskan begitu saja,
sebab tidak mungkin seorang pengarang dapat berimajinasi jika tidak ada kenyataan yang
melandasinya. Karya sastra juga bisa menjadi media untuk menyampaikan gagasan atau ideide penulis. Max Adereth dalam salah satu karangannya membicarakan litterature engage
(sastra yang terlibat) yang menampilkan gagasan tentang keterlibatan sastra dan sastrawan
dalam politik dan ideologi (Sapardi, 2002:15).
Sastra dalam prespektif sosiologi sastra merupakan sebuah cermin dari realitas yang
terjadi di masyarakat. Dalam pandangan Lowethal (Laurenson & Swingewood dalam
Endraswara, 2004:88) sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan

perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu
menyosialisasikan diri melalui struktur sosial.
1.2 Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah dari makalah ini antara
lain:
1. Bagaimana konteks pengarang dalam novel “Pulang” Karya Leila S Chudori?
2. Apa novel “Pulang” termasuk cerminan masyarakat? Jelaskan!
3. Apa novel “Pulang” terdapat nilai politik? Jelaskan!

1

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain:
1. Mengetahui lebih rinci tentang konteks pengarang dalam novel “Pulang” Karya Leila
S Chudori.
2. Mengerti tentang karya sastra (novel pulang) sebagai cerminan masyarakat.
3. Mengerti tentang nilai politik dalam karya sastra.

2


BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Hakikat Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah suatu tealaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakatdan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana
masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial
dan masalah-masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain. (Atar Semi: 52).
Pandanga Atar Sami mendeskripsikan kajian sosiologi sastra tidak jauh beda dengan
unsur-unsur ekstrinsik karya sastra. Sosiologi sastra ingin mengaitkan penciptaan karya
sastra, keberadaan karya sastra, serta peranan karya sastra dengan realitas sosial (Retno,
2009:164). Lebih jauh Wolf (Faruk dalam Endraswara, 2004:77) memberikan defiinisi
bahwa sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan
dengan baik, terdiri dari studi, studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak
lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa
semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu manusia dalam
masyarakat,memahami hubungan-hubungan antarmanusia danproses yang timbul dari
hubungan-hubungan tersebutdi dalam masyarakat.Bedanya, kalau sosiologi melakukan
telaah objektif dan ilmiah tentang manusia dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan
proses sosial, mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia

berlangsung dan bagaimana ia tetap ada, maka sastra menyusup, menembus permukaan
kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan
perasaannya, melakukan telaah secara subjektifdan personal (Damono,2002).
Telaah sosiologis mempunyai tiga klasifikasi (Wellek dan Werren dalam Atar Semi: 53)
yaitu:
1. Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi
politik, dan lain-lain yang menyangkut status pengarang.
2. Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tenatang suatu karya sastra tersebut
dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya.
3. Sosiologi sastra: yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya
terhadap masyarakat.

3

2.2

Objek Kajian Sosiologi Sastra

1. Konteks Sosial Pengarang
a) Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima

bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja
rangkap.
b) Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap
pekerjaannya sebagai suatu profesi.
c) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara
sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa
masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka
(Damono, 2002: 3-4).

2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
a) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis,
sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah
tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
b) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan
penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
c) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan
sikap sosial seluruh masyarakat.
d) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermatcermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin
masyarakat. (Damono, 2002: 4)
2.3 Karya Sastra dalam Perspektif Sosiologi Sastra

Sebagai

pendekatan

yang

memahami

dan

menilai

karya

sastra

dengan

mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial), maka dalam perspektif sosiologi
sastra, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang otonom, sebagaimana

pandangan strukuralisme. Keberadaan karya sastra, dengan demikian selalu harus
dipahami dalam hubungannya dengan segi-segi kemasyarakatan. Sastra dianggap sebagai
salah satu fenomena sosial budaya, sebagai produk masyarakat. Pengarang, sebagai
pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat. Dalam menciptakan karya sastra, tentu
dia juga tidak dapat terlepas dari masyarakat tempatnya hidup, sehingga apa yang
digambarkan dalam karya sastra pun sering kali merupakan representasi dari realitas
yang terjadi dalam masyarakat.
4

Demikian juga, pembaca yang menikmati karya sastra. Pembaca pun merupakan
anggota masyarakat, dengan sejumlah aspek dan latar belakang sosial budaya, poltik, dan
psikologi yang ikut berpengaruh dalam memilih bacaan maupun memaknai karya yang
dibacanya.
Bertolak dari hal tersebut, maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra
antara lain dapat dipandang sebagai produk masyarakat, sebagai sarana menggambarkan
kembali (representasi) realitas dalam masyarakat. Sastra juga dapat menjadi dokumen
dari realitas sosial budaya, maupun politik yang terjadi dalam masyarakat pada masa
tertentu. Di samping itu, sastra juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan nilainilai ataupun ideologi tertentu pada masyarakat pembaca. Bahkan, sastra juga sangat
mungkin menjadi alat melawan kebiadaban atau ketidakadilan dengan mewartakan nilainilai yang humanis. Uraian berbagai macam varian sosiologi sastra pada bab berikutnya,
akan menjelaskan berbagai macam perspektif sosiologi sastra dalam memandang

keberadaan karya sastra.
Sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif.
Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi
kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti
menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang
pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu penelitian
menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra (Endraswara, 2004:81).
Ian Watt (Damono, 2002:5) merumuskan pendekatan sosiologi sastra melalui tiga cara:
1) Konteks pengarang. Ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
2) Sastra sebagai cerminan masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat.
3) Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan
dengan nilai sosial, dan sampai berapa jauh pula nilai sastra dipengaruhi oleh nilai
sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur
dan sekaligus politik bagi masyarakat pembaca.
2.4 Sinopsis
Novel “Pulang” bercerita tentang 3 peristiwa bersejarah yaitu: G 30 S PKI tahun 1965
di Indonesia, revolusi mahasiswa di Paris, Prancis pada Mei 1968, dan tragedi kerusuhan
Mei 1998 yang menandai runtuhnya rezim Orde Baru di Indonesia.


5

Pulang adalah kisah suka duka para eksil politik yang melarikan diri ke luar negeri
karena sudah diharamkan menginjak tanah air sendiri. Empat pria yang menyebut diri
mereka Empat Pilar Tanah Air: Nugroho, Tjai, Risjaf, dan Dimas Suryo melarikan diri
dari Indonesia dan luntang-lantung di Kuba, Cina, dan Benua Eropa sampai akhirnya
memutuskan untuk menetap di Paris. Melalui surat-menyurat dan telegram, mereka terus
memantau teman-teman di Indonesia yang harus menderita karena dikejar dan
diinterogasi aparat. Kabar bahwa salah satu rekan karib mereka, Hananto Prawiro,
ditangkap setelah bersembuyi beberapa waktu membuat mereka bersedih hati.
Sesungguhnya, perempuan yang dinikahi oleh Hananto, Surti Anandari, adalah mantan
kekasih Dimas. Dimas tidak bisa melupakan Surti, meski wanita ini telah melahirkan tiga
orang anak bagi Hananto. Setelah menetap di Paris Dimas pun menikahi seorang wanita
Prancis bernama Vivienne Deveraux dan mempunyai seorang putri yang mereka
namakan Lintang Utara. Tinggal di negara yang asing ternyata tidak menyurutkan cinta
Dimas Suryo dan kawan-kawan terhadap Indonesia. Buktinya, sejak kecil Lintang sudah
dicekoki ayahnya dengan kisah-kisah-kisah wayang Ramayana dan Mahabharata, belum
lagi literatur Indonesia di samping buku-buku lain yang juga dimiliki oleh Dimas. Selain
itu, Dimas juga jago masak. Karena keahliannya itulah ia dan tiga rekannya memutuskan

untuk mendirikan Restoran Tanah Air yang menawarkan berbagai masakan Indonesia di
Paris. Lintang Utara pun beranjak dewasa, dan untuk menyelesaikan pendidikan
Sinematografi di Universitas Sorbonne, ia harus membuat film dokumenter tentang
Indonesia. Lintang harus pergi ke Indonesia, padahal kondisi Indonesia sedang kacau.
Krisis ekonomi sedang parah-parahnya dan para mahasiswa berorasi dimana-mana untuk
mendesak Soeharto mundur. Dengan bantuan Alam, putra bungsu Hananto, dan Bimo
putra Nugroho serta beberapa kawan lain, Lintang berusaha dengan sekuat tenaga untuk
mengerjakan tugas akhirnya, walaupun terancam oleh bahaya.

6

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Konteks Pengarang dalam Novel “Pulang” Karya Leila S Chudori
Suatu karya sastra, khususnya novel selalu memiliki relasi dengan pengarangnya.
Berbagai aspek yang sangat berpangaruh dari pengarang dalam menuangkan ide,
gagasan kreatifnya dalam karya sastra. Aspek sosial-politik pengarang merupakan aspek
yang paling berperan dalam medeskripsikan cerita dalam sebuah novel.
Seperti halnya dalam novel “Pulang” karya Leila S Chudori. Leila sangat lihai dan
cermat dalam mengisahkan para tokoh dalam novel tersebut. Novel Pulang, terdapat

tujuh orang juru-kisah: Hananto Prawiro, Dimas Suryo, Lintang Utara, Vivienne
Deveraux, Segara Alam, Bimo Nugroho, dan orang ketiga di luar cerita. Kecuali narator
terakhir yang hanya digunakan Leila pada sub-bab Keluarga Aji Suryo (hlm. 329-363),
enam narator lain berbicara mengenai diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya
secara personal. Namun tentu saja porsinya tak sama banyak. Bisa dikatakan, yang
paling dominan suaranya dalam novel ini adalah Dimas dan Lintang. Dimas sebagai
perwakilan generasi pertama generasi yang berhubungan secara langsung dengan prahara
1965 dan Lintang sebagai juru bicara generasi kedua, generasi yang terkena imbas masa
silam dan diharuskan ikut menanggung beban sejarah. Pulang berkisah tentang orangorang yang merindukan tanah kelahiran sebagai tempat terindah dalam kehidupannya.
Pulang adalah sebuah cerita keluarga, persahabatan, cinta dan pengkhianatan berlatar
belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965; Prancis Mei 1968; dan
Indonesia Mei 1998”.
Ringkasan ini mengindikasikan kompleksitas cerita yang tinggi. Keluarga, cinta dan
pengkhianatan, meski dalam kenyataan memang seringkali berkaitan sebagai tiga tema
besar. Apalagi peristiwa 30 September 1965 di Indonesia masih kabur dalam sejarah
Indonesia. Leila menyelesaikan buku ini dengan riset tajam selama enam tahun (20062012) mencari-cairi informasi tentang ketiga kejadian tersebut sebelum beliau
menuangkan semuanya kedalam karya sastranya atau bisa dikatakan novel. Laela
beranggapan sebuah karya sastra itu tidak hanya bisa dibuat melalui imajinasi saja, akan
tetapi karya sastra bisa berupa kejadian yang benar-benar terjadi kemudian dipadukan
dengan imajinasinya sehingga karya sastra tersebut bisa menjadi lebih hidup sehingga

para pembaca sedikit banyak mengetahui kejadian yang ada di masa lalu tersebut.
Dengan riset tajam itu, akhirnya novel Pulang mendapat penghargaan Khatulistiwa
7

Literary Award (KLA) 2014. Pulang mampu menarik pembaca untuk terus membacanya
sampai akhir, terpikat, dan terhibur. Pembaca mendapatkan apa yang selayaknya
diperoleh dari cerita: Penyajian Pulang membantu pembaca memaknai sebuah
nasionalisme dan memeriksa kembali keyakinan dan konstruk pembaca tentang
Indonesia. Kini, Novel Pulang

kurang lebih sudah memikat dan membantu para

pembaca memaknai kembali Indonesia. Kekuatan penyajian novel ini berperan besar
menghasilkan daya pikat dan daya gugahnya.
3.2 Novel “Pulang” Sebagai Cerminan Masyarakat
Keberadaan karya sastra tidak terlepas dari adanya hubungan timbal balik antara
pengarang, masyarakat, dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra
dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan
kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu
yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Menurut pendekatan
sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya
sastra itu mencerminkan kenyataan. Seperti dalam kutipan berikut:
“Aku tidak bisa marah pada Nara. Selain Maman, Nara adalah orang yang paling
memahami hatiku. Dia tahu, ada sebuah ruang di dalam diriku yang tak kukenal, begitu
asing, begitu ganjil yang bernama Indonesia. Kami sama-sama generasi yang lahir di
Paris dari orang tua Prancis dan Indonesia. Bedanya, Nara dan orang tuanya bisa bebas
keluar masuk Jakarta tanpa masalah. Orangtua Nara tak dikerangkeng oleh sejarah
buruk. Sedangkan Ayah dan ketiga sahabatnya akan selalu dipagari oleh teralis yang
dinamakan G 30 S (pemerintah Indonesia menambahkan kata ‘PKI’ di belakangnya).
Aku menjelaskan soal pagar dan sejarah ini pada Nara. “Kalaupun aku membuat film
dokumenter ini, isinya menjadi testimoni para eksil. Aku tak akan bisa ke Indonesia
untuk mewawancarai pihak pemerintah Indonesia. Aku bahkan tak akan bisa menginjak
KBRI untuk sekadar merekam pandangan resmi mereka terhadap eksil politikseperti
Ayah, Om Nug, Om Tjai, Om Risjaf, dan...” (Chudori.2013:155)
Dalam kutipan tersebut, si penulis menggambarkan betapa ingin tahunya anak eksil
politik tentang Indonesia, karena seumur hidupnya dia tidak pernah tahu bagaimana
negara tempat tinggal Ayahnya. Dia ingin sekali ke Indonesia dan mewawancarai pihak
KBRI untuk meminta pendapat mereka tentang eksil politik secara resmi, walaupun itu
sangat sulit terwujud karena dia adalah anak dari salah satu eksil politik di Indonesia
yang sudah diusir ke luar negeri, akan tetapi tekadnya untuk ke Indonesia sangatlah kuat.

8

“Ayah dan ibunya saling memandang, kaget. Jantung Aji mulai bedebar.
‘Sejak saya bekerja di PT Citra Karya, saya berkenalan dengan dia.’ ‘O, teman kerja?’
tanya Dini. ‘Bukan. Dia anak Pak Pri.’ ‘Pak Pri?’ ‘Ya, Pa. Pak Priasmoro, direktur.’
‘Bukan Pak Dirjen kan?’ ‘Di bawahnya Pa. Pak Priasmoro adalah atasan saya di
bidang kontruksi.’ ‘Ooo...’ Mereka semua terdiam. Baik Aji, Retno, maupun Andini
sudah sudah tahu bahwa sejak empat tahun terakhir Rama bekerja sebagai salah satu
akuntan tepercaya di BUMN yang bergerak di bidang konstruksi. Mereka juga
mafhum bahwa Rama bisa lolos litsus masuk BUMN, itu berarti dia pasti tak
menggunakan nama Suryo dan berbohong tentang latar belakangnya. Aji tahu betul
untuk masuk ke dalam perusahaan milik negara harus melalui birokrasi yang luar
biasa yang memastikan calon pegawainya betul-betul bebas dari ‘kekotoran’
hubungan darah dengan tahanan politik atau eksil politik. (Chudori.2013:340-341)
Dalam kutipan di atas si penulis menggambarkan Rama sebagai keponakan eksil
politik yang sangat membenci pamannya dan ingin melupakan masa lalu yang dianggap
sangatlah kelam. Untuk itu dia ingin merubah hidupnya dengan tidak menggunakan
nama belakang Suryo dan menyembunyikan identitasnya sebagai salah satu saudara eksil
politik dan bekerja di salah satu perusahaan negara. Namun keputusan yang diambil
Rama membuat Ayah dan ibunya sangatlah kecewa kepadanya.
3.3 Nilai Politik yang Terdapat dalam Novel “Pulang”
Sebagai sebuah karya sastra yang tidak terlepas dari faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhinya, sastra juga merupakan sebuah maha karya manusia yang tidak
terlepas dari nilai-nilai ideologi, baik ideologi dari pengarang, ataupun ideologi-ideologi
luar luar yang mempengaruhi perkembangan karya sastra itu sendiri. Salah satu fungsi
dari karya sastra adalah sebagai alat untuk penyampai ideolog, pengetahuan, dan nilainilai sosial. Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan kesusastraan adalah politik,
pengarang dengan pandangan politik tentu biasanya juga menyalurkan ideologi
politiknya ke dalam karya sastra yang dihasilkannya. Ideologi dan politik dalam
kesusastraan tidak hanya terangkum dalam karya sastra melalui sentuhan dari penulis
kesusastraan tersebut, namun ada kalanya pengaruh dari ideologi dan politik itu datang
dari luar dengan memberikan batasan-batasan terhadap karya sastra apa saja yang bisa
dipublikasikan. Seperti dalam kutipan berikut:
“Kali ini kampus Trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa dan alumni,
tetapi terlihat banyak tokoh yang datang menghadiri aksi berkabung ini. aku melihat
Amien Rais, Megawati Sukarnoputri, Emil Salim, Ali Sadikin, dan Adnan Buyung
Nasution. Aku mencoba mendekat ke tengah untuk merekam mereka berorasi secara
bergantian.
Saat ini ada yang berbeda. Jika kemarin para mahasiswa masih dalam suasana
duka dan terkejut, hari ini terasa ada kemarahan dan perasaan terinjak. Ditambah lagi,
9

seluruh negeri menyorot kampus ini dan mengirim rasa simpati. “Hidup Bang Ali,
Hidup Bang Ali,” demikian para mahasiswa untuk menyampaikan orasinya. Aku
berdesak lebih dekat agar bisa merekam dia. “Saya ikut serta mendirikan Orde Baru,
tapi kecewa!” katanya dengan suara lantang.” (Chudori.2013:414-415).
Dalam kutipan tersebut terdapat nilai politik dimana pengarang ingin memaparkan
kejadian yang terjadi pada Mei 1998 dimana para mahasiswa ingin menolak pemilihan
kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali
sejak awal orde. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang
dilanda krisis. Akan tetapi hal ini berujung kematian para mahasiswa trisakti.

10

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Sosiologi sastra adalah suatu tealaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakatdan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana
masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial
dan masalah-masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain.
pendekatan sosiologi sastra dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain:
4) Konteks pengarang. Ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
5) Sastra sebagai cerminan masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat.
6) Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan
dengan nilai sosial, dan sampai berapa jauh pula nilai sastra dipengaruhi oleh nilai
sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur
dan sekaligus politik bagi masyarakat pembaca.

11

DAFTAR PUSTAKA
Atar Semi. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Chudori, S, Leila.2013. Pulang. Jakarta: PT Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwardi Endraswara. 2004. Metodologi Penelitian Saatra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama

12