5 pendekar sadis tamat
PAGI yang amat cerah dan indah! Matahari, sesuatu yang perkasa adil dan murah hati, juga amat
indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa keriangan dan
kesegaran kepada semua yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan
cahayanya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak.
Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran
tenggelam dalam kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan,
pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang kecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di
udara maupun yang berjalan dan merayap di atas bumi.
Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya keemasan yang menerobos di antara gumpalangumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di
ujung daun-daun, kicau burung gembira, semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan
den kesunyian dan keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi,
melainkan hanya sementara saja. Demikian pula sebaliknya, kecerahan dan keriangan yang datang
bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan.
Baik buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Kalau kita sudah menilai bahwa yang siang
itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan
susah. Sebaliknya, kalau kita menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di dunia
ini tanpa penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan tidak mungkin bahwa kita
akan menemukan keindahan dalam kegelapan den kesunyian malam itu!
Pagi hari yang amat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada semua mahluk, kecuali
manusia! Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu menonjolkan
keakuannya. Manusia terlalu mudah mengeluh, juga terlampau mudah mabuk. Di waktu menghadapi
peristiwa yang tidak menyenangkan, manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara
di dunia ini, dan di waktu menikmati peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi mabuk den lupa
diri!
Di dalam hutan di lereng bukit pada pagi hari itu pemandangannya amatlah indahnya. Dari ujung daun-
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
1
daun dan rumput sampai kepada awan, semua seolah-olah tersenyum gembira bersama cahaya
matahari pagi yang lembut dan menghidupkan. Akan tetapi, seorang wanita yang berjalan mendaki
lereng bukit itu, yang memanggul tubuh seorang pria, berjalan sambil menangis sedih! Sungguh, di
manapun juga di dunia ini, selalu terdapat manusia yang merasa sengsara dan tenggelam dalam
kedukaan.
Wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, paling banyak dua puluh empat tahun usianya, berwajah
serius dan gagah. Biarpun dia memanggul tubuh seorang pria di pundaknya, namun langkahnya yang
tegap dan ringan itu jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita ini adalah seorang pendekar wanita
yang amat lihai, juga terkenal sekali, bukan hanya karena kelihaiannya sendiri melainkan karena dia
adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal. Wanita ini bernama Lie Ciauw Si,
cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan dialah satu-satunya cucu Cin-ling-pai yang menerima
penggemblengan langsung dari mendiang kakeknya, yaitu mendiang Cia Keng Hong, pendekar sakti
yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya karena dia
telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, biarpun harus diakui bahwa dia tidak atau belum menguasai
ilmu-ilmu tinggi itu secara sempurna seperti kakeknya.
Tubuh pria yang dipanggulnya itu seperti sudah mati saja, lemas dan wajahnya pucat seperti mayat, di
ujung bibirnya nampak darah, napasnya tinggal satu-satu. Siapakah pria itu? Dia pun masih muda,
bahkan masih amat muda, kurang lebih dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, amat tampan
dan pakaiannya amat mewah, seperti pakaian pria-pria bangsawan. Pria ini adalah suami Lie Ciauw Si!
Dia adalah seorang Pangeran, bahkan Pangeran dari dua kerajaan. Dia adalah putera kandung dari
Puteri Khamila yang menjadi isteri Raja Sabutai, seorang raja liar di utara daerah Mongol, maka tentu
saja dia adalah seorang Pangeran kerajaan utara ini. Akan tetapi, ayah kandungnya bukanlah Raja
Sabutai, melainkan mendiang Kaisar Ceng Tung, Kaisar Kerajaan Beng-tiauw dan hal ini selain
diketahui oleh Raja Sabutai, juga diakui oleh mendiang Kaisar itu sebelum meninggal dunia sehingga
secara resmi dia pun menjadi seorang Pangeran dari Kerajaan Beng-tiauw. Namanya adalah Pangeran
Oguthai, yaitu sebagai Pangeran utara, atau Ceng Han Houw, sebagai Pangeran Kerajaan Beng-tiauw.
Ceng Han Houw ini adalah seorang Pangeran muda yang semenjak kecil suka bertualang dan suka
sekali mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari
orang-orang sakti sehingga dalam hal ilmu silat, dia bahkan lebih lihai dibandingkan dengan isterinya
yang lihai itu! Kepandaiannya yang hebat membuat Pangeran ini menjadi tinggi hati dan sombong, di
samping ambisinya yang amat besar untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, bahkan kaiau mungkin
untuk merampas tahta Kerajam Beng-tiauw. Sikap inilah yang telah menjatuhkannya! Di bawah
Pimpinan Pangeran Hung Chih, yang dianggap sebagai Pangeran Mahkota, para pendekar yang sakti
telah bergerak menentangnya dan akhirnya Pangeran ini roboh dan terluka secara hebat sekali ketika
terjadi pertempuran. Juga semua pengikutnya, pasukannya, telah dihancurkan sehingga semua
usahanya itu mengalami kehancuran dan kegagalan. Pangeran Ceng Han Houw sudah kehilangan
segala-galanya, kecuali isterinya yang amat setia dan amat mencintanya itu. Isterinya inilah yang
membawa tubuhnya yang terluka parah itu, membawanya lari meninggalkan gelanggang pertempuran
di mana suaminya mengalami kegagalan, melarikannya siang malam sampai pada pagi hari itu, dengan
tubuh amat letih, pendekar wanita Lie Ciauw Si tiba di lereng bukit itu sambil menangis.
Hampir dia tidak kuat melangkah lagi, namun dipaksanya karena dia harus dapat membawa suaminya
yang sudah lebih mendekati mati daripada hidup itu sampai ke puncak. Dia mendengar bahwa di
puncak bukit itu tinggal seorang pertapa yang pandai sekali mengobati orang, maka harapan satusatunya hanyalah membawa suaminya menghadap pertapa itu.
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
2
Semua peristiwa di atas telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga. Dia telah melakukan
perjalanan dua hari dua malam, hanya berhenti untuk memberi minum, atau lebih tepat memasukkan
air ke dalam perut suaminya, karena suaminya itu hampir terus-menerus dalam keadaan tidak sadar.
Dia sendiri selama itu hanya minum sedikit air saja! Maka, ketika dia mendaki lereng bukit ini, kedua
kakinya sudah gemetar dan dia harus menggigit bibir dengan air mata menetes-netes untuk
menguatkan dirinya. Betapapun juga, berkat kepandaiannya yang tinggi, langkahnya masib nampak
ringan ketika dia terus mendaki ke atas, ke arah sebuah pondok di puncak yang sudah kelihatan dari
bawah. Melihat pondok kecil itu, Ciauw Si merasa seperti melihat cahaya yang penuh harapan,
tenaganya timbul kembali dan setengah berlari dia berloncatan naik ke atas puncak.
Pondok itu kecil sederhana dan pintunya terbuka! Maka Ciauw Si yang sudah merasa betapa matanya
berkunang dan kepalanya pening, melangkah masuk. Samar-samar dia melihat seorang kakek duduk
bersila di dalam pondok. Dia cepat melangkah maju dan sempat berkata lirih, “...mohon... mohon
Locianpwe sudi... menolong suami saya...” dan tergulinglah isteri setia ini bersama suami yang
dipanggulnya, roboh ke depan kaki pria tua yang duduk bersila itu.
“Siancai..., siancai...! Jarang di dunia ini ditemui wanita seperti dia ini....” Kakek itu berkata lembut, lalu
turun dari atas pembaringan dan dengan tidak mudah karena dia sudah tua dan tenaganya sudah
lemah, dia mengangkat suami isteri itu seorang demi seorang dan merebahkan mereka di atas
pembaringan kayu sederhana. Dia berdiri menggeleng kepala dan menarik napas panjang memandang
kepada suami isteri yang tampan dan cantik lagi muda itu, yang keduanya dalam keadaan pingsan dan
kelihatan amat menderita. Kemudian, dia menggulung lengan bajunya, mendekati Han Houw dan
dengan teliti sekali dia memeriksa denyut nadi dan detak jantung pria muda itu. Wajah yang keriput itu
nampak terkejut sekali.
“Aihhh... kacau dan remuk keadaan dalam tubuh orang muda ini! Hemm... tak tahu aku apakah aku
akan dapat mengobati... sungguh hebat, mengapa kekerasan saja yang timbul dari penumpukan
kepandaian?”
Setelah memeriksa dengan teliti dan berkali-kali dia menggeleng kepala, dia lalu memeriksa keadaan
Ciauw Si dan mengangguk-angguk. “Terlampau lelah, terlampau duka dan gelisah, menderita
kelaparan dan kehausan. Sungguh wanita luar biasa, penuh kasih sayang dan kesetiaan...”
Karena maklum benar bahwa keadaan Ciauw Si tidak apa-apa sebaliknya keadaan Han Houw amat
berbahaya, kakek itu cepat-cepat mengambil akar yang masih segar, lalu mengirisnya tipis-tipis dan
menggodoknya dalam periuk, mencampurinya dengan beberapa macam daun dan bubukan buah
kering. Sambil mengipasi api arang, dia bersenandung mengikuti irama kipas yang dia gerak-gerakkan.
Siapakah kakek ini? Kakek ini adalah seorang sasterawan ahli obat yang sudah lama bertapa di puncak
bukit sunyi itu, menjauhkan dunia ramai dan hanya tekun memperdalam ilmunya untuk mengobati.
Hanya di waktu timbul wabah yang menyerang dusun-dusun atau kota-kota, kakek ini keluar dari
tempat pertapaannya untuk memerangi wabah itu. Selain ini, juga setiap kali ada orang sakit datang
kepadanya, dia selalu mengobatinya dan ternyata obatnya amat manjur sehingga sebentar saja
namanya terkenal di seluruh daerah perbatasan dekat Tembok Besar itu. Karena dia tidak pernah mau
mengakui namanya, maka dia segera diberi julukan Yok-sian (Dewa Obat) yang diterimanya dengan
senyum saja.
Setelah godokan obat itu masak, dia lalu mendinginkannya di atas cawan dan dengan hati-hati dia lalu
memasukkan obat itu sesendok demi sesendok ke dalam mulut Han Houw yang dalam keadaan
setengah sadar meneguk obat itu dengan susah payah. Tak lama kemudian Ciauw Si sadar dari
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
3
pingsannya, mengeluh dan membuka mata. Melihat kakek itu sedang menyuapi obat kepada suaminya,
dia cepat bangkit duduk.
“Mengasolah dulu, anak yang baik, engkau perlu mengaso dan makan...”
“Tidak, Locianpwe, saya tidak apa-apa...” Ciauw Si memaksa diri turun dari pembaringan. Pada saat itu,
Yok-sian sudah selesai memindahkan air obat itu ke dalam perut Han Houw dan dia memandang
kepada Ciauw Si sambil tersenyum ramah.
“Engkau kuat bukan main, akan tetapi sebaiknya engkau mengisi perutmu dengan bubur. Aku masih
mempunyai bubur, di meja itu...”
Ciauw Si sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. “Locianpwe, harap jangan
memusingkan diri saya, akan tetapi... bagaimanakah dengan dia...?” Dia menoleh ke arah suaminya
yang masih rebah terlentang dengan muka pucat seperti mayat.
Kakek itu memegang kedua pundak Ciauw Si dengan sikap halus dan mengangkatnya bangun.
“Jangan begitu, duduklah, Nyonya muda, dan mari kita bicara dengan tenang.”
Ucapan yang halus dan serius itu membuat Ciauw Si tidak berani membantah dan dia pun lalu bangkit
dan duduk di atas bangku berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja kecil penuh rempah-rempah
dan obat-obatan.
“Harap Locianpwe katakan, bagaimana dia?” dia bertanya, sinar matanya penuh permohonan,
mukanya yang pucat dan penuh kekhawatiran itu menyedihkan sekali.
“Engkau adalah seorang wanita gagah, maka kurasa engkau pun akan berhati tabah dan tidak lemah.
Terus terang saja, keadaannya amat parah, luka-lukanya di dalam tubuh amat hebat. Akan tetapi, tentu
saja aku tidak berani mendahului kehendak Tuhan, tidak berani menentukan apakah aku akan dapat
menyembuhkannya atau tidak. Betapapun juga, aku hendak mencobanya.”
“Ah, terima kasih, Locianpwe, terima kasih...” Suara Clauw Si mengandung isak keharuan karena
pengharapannya timbul kembali. “Hanya Locianpwe yang dapat saya harapkan... hanya Locianpwe
yang dapat menyembuhkannya...”
“Apamukah dia itu?”
“Dia suami saya, Locianpwe... sudah dua hari dua malam...”
“Dan kau terus-menerus memanggulnya selama itu? Ah, engkau harus makan dulu, nah, kaumakanlah
bubur ini, kemudian istirahatiah. Masih banyak waktu bagi kita untuk bicara.”
Setelah mengatakan demikian, kakek itu lalu keluar dari pondok untuk mencari daun-daun obat segar
yang diperlukan untuk mengobati orang yang terluka parah itu, diam-diam dia menduga-duga apa yang
telah terjadi dengan orang itu dan siapa adanya suami isteri muda belia yang kelihatan bukan orangorang sembarangan itu. Diam-diam hatinya khawatir. Kakek ini lebih suka menolong dan berhubungan
dengan penduduk dusun yang sederhana daripada berhubungan dengan orang-orang kang-ouw yang
memiliki kebiasaan untuk saling pukul, saling melukai dan saling membunuh itu, kebiasaan yang
membuat dia merasa jijik sekali.
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
4
Sementara itu, Ciauw Si maklum bahwa anjuran kakek itu adalah demi kebaikannya. Dia harus sehat
agar dia dapat merawat suaminya setelah kini timbul harapan di dalam hatinya. Setelah tiba di sini,
melihat Hen Houw, dia hampir putus harapan. Apa artinya hidup ini baginya tanpa adanya Hen Houw di
sampingnya? Dia sudah terbuang dari keluarganya, sudah dianggap kambing hitam atau anak durhaka!
Terbayanglah dia betapa keluarga Cin-ling-pai, keluarganya, membantu fihak pemerintah menentang
Han Houw, bahkan ibu kandungnya sendiripun menentang. Dia maklum bahwa tidak ada seorang pun
di antara keluarga Cin-ling-pai yang suka melihat dia menjadi isteri Han Houw! Dan setelah dia merasa
dibuang atau diasingkan dari keluarga Cin-ling-pai, maka hanya Han Houw seoranglah yang dia miliki.
Dan dia amat mencinta Pangeran itu, lepas dari soal apakah suaminya itu memberontak atau tidak,
jahat atau tidak.
Harapan untuk suaminya ini mengembalikan semangat Ciauw Si den mulailah dia makan bubur dengan
sekedar sayur asin yang didapatkannya di tempat itu. Kelemasan tubuhnya segera berangsur lenyap,
tenaganya pulih kembali setelah dia mekan bubur den minum air teh. Kemudian dia mencuci mangkok
piring dan membersihkan meja den ruangan pondok itu. Dilihatnya suaminya masih tidur nyenyak,
agaknya karena pengaruh obat yang telah diminumkan oleh kakek tadi, maka hatinya terasa lapang
den dia menanti kembalinya kakek ahli obat itu.
Setelah matahari naik tinggi barulah Yok-sian pulang, membawa banyak daun den akar obat. Ciauw Si
menyongsongnya dan membantunya membawa rempah-rempah itu masuk pondok.
“Engkau sudah makan?”
Ciauw Si mengangguk. “Terima kasih Locianpwe.”
Ketika Kakek itu memasuki pondok den melihat pondoknya bersih den rapi, dia tersenyum girang, lalu
dia langsung memeriksa keadaan Han Houw, “Kau taruh daun yang ini, akar yang ini dan buah-buahan
ini ke atas tambir dan jemur di luar. Ini adalah obat-obat pembersih darah untuk suamimu. Sungguh
beruntung baginya bahwa tidak ada hawa beracun mengeram dalam tubuhnya...”
“Saya... saya sudah mengeluarkannya dalam perjalanan, Locianpwe...”
Kakek itu memandangnya dengan heran. “Apa maksudmu? Mengeluarkannya bagaimana?”
“Dengan pengerahan sin-kang, mendorong semua hawa beracun keluar tubuhnya...”
“Ah, engkau selihai itu? Hemm, kiranya kalian adalah suami isteri pendekar yang amat tinggi ilmunya.
Akan tetapi dengar, mulai sekarang jangan lagi engkau mempergunakan kekuatan dalam untuk
mencoba mengobatinya!”
“Mengapa, Locianpwe?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Terus terang saja, keadaannya amat parah, entah mengapa
keadaannya sampai seperti itu. Menggunakan tenaga besar untuk memaksakan penyembuhan bahkan
akan membahayakan, karena dia sudah kehilangan tenaga untuk menerima pengobatan seperti itu.
Pengobatan harus dilakukan dengan wajar, sedikit demi sedikit, mengandalkan kemanjuran obat dan
perawatan alam yang sewajarnya. Entah berapa lama engkau harus merawatnya, dan dengan cara
demikian barulah dapat diharapkan dia sembuh.”
“Baik, baik... saya akan mentaati semua pesan Locianpwe,” kata Ciauw Si dengan hati khawatir karena
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
5
dia sendiri maklum bahwa suaminya mengalami luka hebat yang menurut dia sendiri tak mungkin dapat
disembuhkan.
“Sekarang ceritakanlah, siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan suamimu sehingga
keadaannya sampai sedemikian rupa?”
Sejenak Ciauw Si diam saja, berpikir. Akan tetapi dia lalu mengambil keputusan untuk menceritakan
keadaan dirinya secara terus terang saja. Kakek ini adalah seorang luar biasa dan yang diharapkannya
akan dapat menghidupkan kembali suaminya, maka sebagai seorang penolong besar tentu saja dia
harus menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada kakek ini.
“Locianpwe, saya adalah seorang anak yang durhaka, yang mendurhakai dan menyusahkan ibu
kandung dan keluarga karena cinta kepada seorang pria. Saya... saya bernama Lie Ciauw Si dan ibu
kandung saya adalah puteri dari mendiang ketua Cin-ling-pai...”
“Ahhh...! Kiranya begitu? Tak kusangka bahwa engkau adalah cucu pendekar sakti yang budiman itu.
Pengakuanmu sebagai anak durhaka menandakan bahwa engkau tidaklah demikian, anak baik,
lanjutkan ceritamu.”
“Saya telah saling mencinta dengan suami saya ini dan... kami menikah di luar persetujuan keluarga
saya. Suami saya seorang yang bercita-cita terlalu besar... akhirnya dia gagal dan dalam pertempuran,
dia roboh oleh seorang sakti lain... juga cita-citanya gagal dan hancur. Saya tidak berduka tentang
gagalnya cita-citanya itu, saya tidak peduli akan hal itu... dan terus terang saja, saya sendiri tidak setuju
dengan semua yang telah dilakukannya, akan tetapi... Locianpwe, saya... saya cinta padanya...” Dan
Ciauw Si menunduk, menahan air matanya. Dalam keadaan biasa, memang seolah-olah pantang bagi
wanita perkasa ini untuk terlalu cengeng, terlalu mudah menjatuhkan air mata.
Sejenak sepasang mata kakek tua itu memandang penuh kagum kepada kepala yang menunduk itu,
juga terkandung perasaan iba yang besar. “Bahagialah dia yang telah mendapatkan cinta kasih seorang
wanita sepertimu cinta yang tanpa kecuali. Nah, mulai sekarang, kau belajarlah bagaimana cara
mengobatinya, obat-obat apa yang harus kauberikan setiap hari karena terus terang saja, engkau akan
harus merawatnya sampai berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun baru dia akan dapat
sembuh sama sekali. Engkau akan menghadapi masa yang amat sulit, anak yang baik, akan tetapi itu
juga merupakan suatu ujian bagi kesetiaan dan cinta kasihmu.”
Demikianlah, kakek itu lalu membuat ramu-ramuan obat-obatan dan dia mengajarkan kepada Ciauw Si
tentang obat-obat itu, di mana mencarinya. Dan memang kepandaian kakek itu hebat sekali. Setelah
menerima pengobatan selama kurang lebih sebulan, Han Houw memperoleh kembali kesadarannya
dan bahaya yang mengancam nyawanya telah lewat, dia telah tertolong sungguhpun keadaan tubuhnya
masih amat lemah sehingga dia belum mampu turun dari pembaringan. Bekas Pangeran ini merasa
amat terharu atas kecintaan isterinya. Dia sampai menangis mengguguk ketika mendengar akan
penderitaan isterinya ketika menyelamatkannya dan diam-diam Pangeran ini mulai menyesali semua
sepak terjangnya untuk mengejar ambisi dan cita-citanya. Baru sekarang, setelah dia gagal dan
mengalami kesengsaraan sebagai akibat daripada pengejaran cita-citanya itu, nampak jelas olehnya
betapa bodohnya dia, betapa gilanya dia, digilakan oleh berkilaunya semua cita-cita yang dijangkaunya.
Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang, jauh lebih indah daripada
apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang menyesatkan
bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak
berdaya cipta, dan tidak akan maju! Benarkah demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
6
kalau kita hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita
sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu?
Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih
baik, lebih menyenangkan daripada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu
keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau
keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada
yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya
sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggapnya akan mendatangkan
kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan yang lebih
tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan
mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita
menerima saja sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti
mendatangkan kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan
sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagiaan! Dan seperti dapat dilihat
dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah
merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang
dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka apa yang didapat itu hanya mendatangkan
kesenangan sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan,
kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis
sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan
pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, tidak
pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah dari citacita atau ambisi itu saja.
Kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu apakah sesungguhnya? Kalau kita mau meneliti diri
sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan kepada kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran
kata “kemajuan” bagi kita bukan lain adalah uang dan kedudukan! Majukah seseorang kalau dia sudah
memiliki kedudukan tinggi atau banyak uang? Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita!
Bahagiakah seseorang kalau dia sudah berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang? Kalau kita
menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar, maka jawabannya
ternyata akan berbunyi : TIDAK!
Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan
menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu kita tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapa
juga yang menjadi penghalang. Kita tidak segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan,
korupsi, kelicikan, jegal-menjegal, perebutan kursi, apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi
mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan menyenangkan itu.
Dan apakah artinya semua “kemajuan” lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya cinta kasih
antar manusia dalam batin kita? Dunia sekarang membuktikannya. Semua “kemajuan” yang serba
hebat, tenaga-tenaga yang serba dahsyat, lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling
menghancurkan, saling membunuh. Mari kita sama-sama membuka mata melihat keadaan yang
sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang senjata-senjata yang serba dahsyat, serba
maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan dalam politik. Lihatlah kelicikan-kelicikan dalam perdagangan.
Lihatlah perbedaan-perbedaan antara si kaya dan si miskin. Lihatlah negara ini berlimpah-ruah, negara
itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada umumnya. Apakah kita boleh berbangga hati dan
membusungkan dada mengatakan bahwa kita manusia ini telah “maju”? Betapa menyedihkan!
Setelah Ciauw Si mempelajari bagaimana dia harus mengobati suaminya, dia lalu mencari sebuah
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
7
rumah di dalam sebuah dusun kecil di lereng bukit itu. Dengan sisa perhiasan yang menempel di
tubuhnya, cukuplah baginya untuk membeli sebidang tanah dengan rumah yang sederhana, dan di
situlah dia merawat suaminya sambil mempergunakan tenaga petani mengusahakan tanahnya, cukup
untuk keperluan sehari-hari selama dia merawat suaminya dengan penuh ketekunan.
Ciauw Si amat mencinta suaminya. Dengan penuh cinta kasih dalam dada, biarpun dia hidup
sederhana, berpakaian wanita petani, tinggal di rumah sederhana, namun wanita muda ini nampak
segar dan kedua pipinya kemerahan seperti buah tomat yang ditanamnya, sepasang matanya selalu
bening berseri, murah senyum. Di sini, dia tidak pernah memikirkan tentang kekerasan, melainkan
hidup penuh tenteram dan damai di antara penduduk dusun yang hanya memiliki sedikit kebutuhan
hidup mereka secara wajar.
Han Houw semakin terharu oleh sikap isterinya. Dia maklum bahwa nyawanya tertolong, akan tetapi
sebagai seorang ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tahu bahwa ada beberapa bagian
tubuhnya yang rusak sehingga dia tidak akan mampu lagi mengerahkan seluruh tenaga sin-kang
seperti dahulu. Kepandaian, yaitu ilmu silatnya, memang masih ada, akan tetapi apa artinya kalau sinkangnya sudah lenyap dan tidak sedikit tenaga dalam yang tidak ada artinya itu? Maka, dalam keadaan
masih setengah lumpuh, kedua kakinya masih belum kuat dipakai jalan, dia mulai mencatatkan ilmuilmunya yang paling rahasia dan tinggi, yang didapatnya dari pelajaran kitab ciptaan Bu Beng Hudcouw. Dia menuliskan ilmu-ilmu Hok-liong-sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga ilmu menghimpun tenaga,
dengan cara yang amat cerdik, dengan tulisan-tulisan rahasia dan kalau orang lain yang membaca kitab
itu, maka dia takkan mungkin mengerti semua isinya dan kalau orang berani mempelajarinya tanpa tahu
akan rahasianya, maka orang itu akan memperoleh pelajaran sesat yang berbahaya bagi dirinya
sendiri! Dengan tekun, sama tekunnya dengan isterinya yang merawatnya, Han Houw menuliskan kitab
itu. Diapun, seperti isterinya, dapat mulai merasakan ketenteraman hidup, ketenangan batin tinggal di
tempat sunyi ini, penuh dengan kesegaran hawa gunung dan sinar matahari.
Yok-sian kadang-kadang datang berkunjung, atau kadang-kadang Ciauw Si yang datang berkunjung ke
puncak dan ke pondok kakek itu untuk minta nasihat tentang pengobatan suaminya. Mereka menjadi
sahabat-sahabat baik dan Yok-sian diam-diam kagum akan pengetahuan bekas Pangeran itu yang
cukup luas, karena memang Han Houw banyak mempelajari kitab-kitab sejarah dan kesusastraan.
Ketika Han Houw mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, kakek ini juga memiliki keahlian untuk
meramal, dia tertawa.
“Ah, kalau begitu, tolonglah engkau lihatkan garis nasibku, Locianpwe,” katanya sambil bangkit duduk
dan menyeret kedua kakinya yang masih setengah lumpuh itu agar dia dapat duduk di pembaringan.
Yok-sian tertawa juga melihat kegembiraan wajah tampan dari Pangeran muda itu.
“Aihh, ilmu meramal hanyalah ilmu iseng-iseng saja, Pangeran. Perlu apa mengetahui keadaan yang
belum tiba?”
“Aku pun hanya iseng-iseng mau tahu saja Locianpwe. Habis, untuk apa Locianpwe mempelajari ilmu
meramal kalau tidak mau melihat garis nasib orang?” kata Han Houw sambil menyodorkan tangan
kirinya. Pada saat itu, Ciauw Si masuk dan dia pun ikut gembira, ikut mendesak kakek itu untuk isengiseng melihat garis tangan suaminya dan dia pun duduk di samping Han Houw dengan sikap gembira.
Karena didesak, akhirnya Yok-sian memeriksa garis-garis tangah Pangeran itu dan tak lama kemudian
dia pun mengerutkan sepasang alisnya yang sudah putih dan wajahnya nampak serius ketika dia
berkata, “Pangeran, dari garis tangan ini saya dapat mengetahui jelas bahwa Pangeran akan sembuh
dan selamat dari bahaya maut ini.”
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
8
Suami isteri itu saling pandang dengan gembira dan Han Houw mencela dengan gaya berkelakar, “Ah,
tanpa melihat garis tangan sekalipun Locianpwe tentu tahu bahwa aku sudah terbebas dari bahaya.
Bukankah Locianpwe yang telah mengobati dan menyelamatkan diriku?”
“Ah, jangan mencela dan memandang rendah!” Ciauw Si menegur suaminya. “Locianpwe, harap
teruskan membaca garis nasibnya.”
Kakek itu terus menyusuri garis-garis telapak tangan Han How, kemudian, tanpa mempedulikan teguran
Pangeran itu tadi, dia berkata lagi, “Pangeran akan mempunyai keturunan, seorang putera...”
Han Houw menoleh kepada isterinya dan mereka saling pandang dengan penuh arti. Sejak Han Houw
terluka, kedua kakinya dan tubuh bawahnya seperti dalam keadaan lumpuh sehingga dia tidak mampu
melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami. Bagaimana mungkin dia akan dapat mempunyai
seorang putera?
“Tapi... tapi...” katanya ragu.“
“Ini hanya ramalan iseng saja, Pangeran, tidak perlu terlalu dipercaya. Akan tetapi menurut garis nasib,
jelas bahwa Pangeran akan mempunyai seorang putera. Akan tetapi yang terlebih penting lagi...” Kakek
itu mengerutkan alisnya dan meneliti garis-garis tangan itu, kelihatan serius sekaii sehingga Han Houw
dan Ciauw Si ikut pula merasa tegang.
“Ada apakah, Locianpwe?” tanya Ciauw Si khawatir.
“Inilah kebaikannya ilmu meramal,” akhirnya kakek itu berkata, “manusia dapat berhati-hati menghadapi
bintang gelap. Saya melihat bintang gelap sekali dalam perjalanan hidup Pangeran, dan bahaya besar
mengancam kalau Pangeran mendekati keluarga. Oleh karena itu, saya hanya dapat menganjurkan
agar Pangeran dan isteri mengasingkan diri dan hidup tenteram di sini, jangan sekali-kali mendekati
keluarga.”
“Yang Locianpwe maksudkan, keluarga... yang mana?” Ciauw Si bertanya khawatir sedangkan Han
Houw hanya tersenyum saja karena dia tidak percaya akan semua ini.
“Tidak dijelaskan dalam garis-garis itu, hanya ada tanda bahwa bahaya itu ditang melalui keluarga.
Maka sebaiknya kalau ji-wi (kalian) tinggal tenteram saja di tempat ini dan lupakan semua masa lalu
dan hubungan keluarga.”
Ramalan yang dilakukan secara iseng-iseng itu mendatangkan kesan mendalam dalam hati Clauw Si.
Akan tetapi Han Houw tidak mempedulikannya, sungguhpun untuk waktu itu dia sama sekali tidak
berkeinginan untuk berhubungan dengan keluarganya. Keluarga mana yang akan dihubunginya? Ayah
kandungnya telah tiada, dan saudara-saudaranya, kaisar dan para pangeran di Kerajaan Beng tentu
semua benci dan menganggapnya sebagai musuh dan pemberontak. Sedangkan ayah tirinya, Raja
Sabutai, tentu juga marah kepadanya karena kegagalannya. Di samping itu, dia merasa malu untuk
berjumpa dengan siapapun juga dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya ini.
Demikianlah, dengan penuh cinta dan kesetiaan, Ciauw Si pendekar wanita yang gagah perkasa dan
cantik manis itu merawat suaminya. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, kesehatan Han Houw makin
membaik dan kedua kakinyapun mulai dapat digerakkan! Agaknya ramalan Yok-sian itu mendekati
kebenaran karena Han Houw yang tadinya mengira akan lumpuh selamanya itu kini mulai dapat
berjalan dan setelah dirawat selama dua tahun, benar saja, dia telah sembuh sama sekali! Dia telah
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
9
sehat lagi, tidak lumpuh, dan dia dapat melakukan tugas sebagai suami normal, dan dapat berjalan,
bahkan berlari dan bergerak cepat, sungguhpun tenaga sin-kangnya telah banyak hilang sehingga
biarpun dia dapat mainkan kembali semua ilmu silatnya, namun tidak dapat sepenuh tenaga dan tentu
saja dia telah kehilangan kelihaiannya. Bahkan dengan sisa tenaga sin-kang yang tidak berapa kuat itu,
dia tidak lagi mampu memainkan ilmu-ilmu silatnya yang dipelajarinya dahulu dari kitab-kitab Bu Beng
Hud-couw. Tentu saja Pangeran ini menjadi kecewa dan berduka, akan tetapi isterinya yang
mencintanya itu menghiburnya dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta di tempat yang
sunyi itu.
Beberapa bulan kemudian, suami isteri itu merasa amat gembira dan berbahagia dengan kenyataan
bahwa Ciauw Si mulai mengandung! Dan sembilan bulan kemudian terbuktilah ramalan Yok-sian
dengan lahirnya seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil! Akan tetapi, kegembiraan bagi suami
isteri itu disuramkan dengan peristiwa kematian Yok-sian! Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari
seratus tahun itu meninggal dunia dalam keadaan tenang dan karena kakek itu tidak berkeluarga, maka
Han Houw dan Ciauw Si yang mengganggap kakek itu sebagai penolong mereka, lalu merawat dan
mengurus jenazahnya, dibantu oleh para penghuni dusun mereka.
Anak laki-laki itu mereka beri nama Ceng Thian Sin. Tentu saja suami isteri itu merasa amat berbahagia
dan mereka merawat Thian Sin penuh kasih sayang. Sejak kecil sekali Thian Sin telah menunjukkan
bahwa dia amat cerdik di samping memiliki wajah yang sangat tampan sekali. Dengan adanya Thian
Sin, suami isteri itu merasa terhibur dan agaknya mereka sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi,
sudah cukup berbahagia hidup bertiga di dusun itu, mempunyai para tetangga orang-orang dusun yang
amat jujur dan bersahaja hidupnya, hidup sehat dekat dengan alam, jauh dari keributan karena ulah
manusia kota yang selalu bersaing untuk mengejar kesenangan, memperebutkan uang, kedudukan dan
nama serta menjadi hamba yang membuta dari nafsu-nafsu mereka.
Bertahun-tahun lewat dengan cepatnya tanpa terasa dan tahu-tahu delapan tahun telah lewat sejak
Thian Sin terlahir ke dalam dunia. Setelah berusia delapan tahun, makin nampak betapa anak ini
memiliki wajah yang amat tampan, wajah yang sedemikian eloknya sehingga nampak manis seperti
wajah seorang anak perempuan! Akan tetapi wataknya cukup jantan karena anak ini selain cerdik, juga
memiliki pribadi yang kuat dan tabah dan semenjak kecil tentu saja dia telah digembleng oleh ayahnya
sendiri. Biarpun dia sendiri sudah kehilangan sin-kangnya, namun tentu saja Han Houw tahu
bagaimana caranya mendidik dan melatih ilmu-ilmu silat kepada puteranya yang amat disayangnya.
Dasar-dasar ilmu silat tinggi telah diajarkan kepada anak itu semenjak anak itu berusia lima tahun.
Bukan hanya ilmu silat bahkan anak itu pun sejak kecil telah diajarkan ilmu tulis dan baca karena ayah
bundanya menghendaki agar putera mereka kelak bukan hanya menjadi seorang ahli silat, akan tetapi
juga seorang ahli dalam kesusastraan, patut menjadi keturunan keluarga Kaisar dan keturunan
keluarga Cin-ling-pai!
Han Houw dan Ciauw Si juga tidak merahasiakan keturunan mereka dan anak itu telah mendengar
penuturan orang tuanya bahwa ayahnya sebetulnya adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng
Han Houw, seorang pangeran kerajaan besar dari Kaisar Beng-tiauw, sedangkan ibu kandung ayahnya
adalah Permaisuri Khamila di utara. Dan ibunya adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, sebuah
perkumpulan silat yang amat terkenal di seluruh dunia persilatan. Penuturan ini tentu saja menanamkan
sesuatu dalam batin Thian Sin, dan semenjak mendengar tentang keturunan ini, dia merasa bahwa
dirinya jauh lebih tinggi dalam hal keturunan dan derajat daripada semua anak di dalam dusun itu. Dia
tidak menjadi tinggi hati atau sombong karenanya, hanya dia merasa seperti menyimpan suatu rahasia
yang membuatnya merasa amat bangga! Dari ibunya, Thian Sin memperoleh pelajaran tentang sikap
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
10
seorang pendekar besar yang selalu harus membela kebenaran dan keadilan, harus melindungi yang
lemah tertindas den harus menentang setiap kejahatan dan orang-orang kuat yang bertindak
sewenang-wenang, harus pula selalu merendahkan hati dan menjauhi sikap sombong.
Pada suatu hari, selagi Thian Sin berada di depan rumahnya, seorang hwesio memasuki halaman
rumah itu. Seorang hwesio yang berpakaian sederhana berwarna kuning, memegang tongkat den
sebuah mangkok butut. Hwesio itu masih belum tua benar, belum ada empat puluh tahun usianya,
berwajah tegap dan nampak kuat, wajahnya tampan den bundar, sepasang matanya mengeluarkan
sinar ketulusan dan kejujuran, mulutnya tersenyum wajar tidak dibuat-buat. Melihat hwesio itu
memasuki halaman dengan langkah lambat tanpa ragu-ragu, Thian Sin bangkit dan memandang tajam.
Dia adalah seorang anak yang sejak lahir berada di dalam dusun, namun pengetahuannya telah cukup
banyak berkat bimbingan ayah bundanya sehingga melihat hwesio ini, tahulah dia apa yang
dikehendaki oleh pendeta itu. Apalagi, di dusun itu sudah beberapa kali lewat hwesio-hwesio berkelana
yang singgah di dusun untuk minta diberi makanan sekedarnya untuk penyambung hidup.
“Losuhu, apakah Losuhu seorang hwesio yang sedang melakukan perjalanan berkelana dan kebetulan
lewat di tempat ini?” tanyanya tanpa ragu, suaranya bening dan pandang matanya tajam. Hwesio itu
tertarik sekali. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang cerdik luar biasa,
maka dia tersenyum ramah dan memandang penuh kagum.
“Benar, dugaanmu, sahabat kecil.”
“Dan apakah Losuhu singgah di sini untuk minta bantuan makanan?” Dia memandang ke arah mangkok
kosong di tangan kanan hwesio itu.
“Sekali lagi dugaanmu tepat, sahabat kecil. Pinceng kebetulan lewat dan melihat bahwa rumah ini
adalah rumah paling besar di antara rumah-rumah di dusun ini, maka pinceng singgah dengan harapan
untuk mendapatkan sekedar makanan kalau ada makanan lebih di dalam rumah ini.”
“Tentu saja, Losuhu. Silakan duduk dulu di ruangan depan, aku akan memberi tahu kepada ibu untuk
menyediakan makanan.”
“Omitohud... sahabat kecil sungguh berhati murah! Harap jangan repot-repot, kalau engkau suka
mengisi mangkokku ini dengan makanan, sudah cukuplah itu bagi pinceng,” Dia lalu menyerahkan
mangkok putih itu kepada Thian Sin. Anak itu menerima mangkok dan dia melihat bahwa di topi
mangkok itu ada tulisan cat hitam yang berbunyi LIE. Sejenak dia tertegun, lalu dia berlari masuk
membawa mangkok butut itu kepada ibunya yang sedang sibuk di dapur.
“Anak baik... Anak baik...” Hwesio itu mengangguk-angguk dengan kagum dan juga heran bagaimana di
dalam sebuah dusun sederhana seperti itu dia dapat bertemu dengan seorang anak laki-laki yang
demikian cerdik dan pandai membawa diri seperti seorang anak terpelajar saja. Diam-diam timbul rasa
sukanya kepada anak itu.
Sementara itu, Thian Sin berlari-lari ke dalam dan ketika bertemu dengan ibunya di dalam dapur, dia
cepat berkata, “Ibu...! Ibu...! Di luar ada seorang hwesio minta sedekah makanan!”
Ciauw Si tersenyum. Nyonya yang usianya telah tiga puluh tiga tahun lebih itu masih nampak muda dan
cantik segar, berkat kehidupan bersih di pegunungan dan berkat keadaan batin yang tenteram dan
bahagia. Dia tersenyum memandang puteranya penuh kasih sayang. “Aihh, Sin-cu (Anak Sin), kenapa
engkau ribut-ribut? Apa anehnya sih dengan kedatangan seorang hwesio minta sedekah? Engkau
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
11
kelihatan tegang dan terengah-engah. Tenanglah, menghadapi apa pun juga, apalagi hanya seorang
hwesio minta sumbangan.”
“Tapi dia bukan hwesio biasa, ibu. Dia masih muda dan kelihatan gagah. Aku percaya bahwa dia tentu
seorang hwesio yang lihai! Dan ibu lihat mangkok ini, lihat huruf apa yang tertulis di sini!” Dia
memperilhatkan mangkok putih itu kepada ibunya.
Ciauw Si masih tersenyum ketika menerima mangkok itu, akan tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap, dan
mukanya berubah penuh keheranan ketika dia membaca huruf LIE yang tertulis pada mangkok itu.
“Dia she Lie? Ataukah kebetulan saja mangkok ini pemberian orang she Lie?” Ciauw Si termangumangu, akan tetapi dia lalu mengisi mangkok itu sepenuhnya dengan nasi dan beberapa macam
masakan sayur tanpa daging. Ketika Thian Sin membawa mangkok yang sudah terisi makanan itu
keluar, Ciauw Si tak dapat menahan keinginan tahunya dan dia mengikuti dari belakang.
Hwesio itu bangkit berdiri sambil tersenyum ramah ketika dia melihat Thian Sin datang membawa
mangkoknya yang telah terisi, akan tetapi ketika dia melihat nyonya muda yang berjalan di belakang
anak itu, dia memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali. Demikian pula, ketika Ciauw Si
melihat wajah hwesio itu, wajahnya seketika berubah pucat dan matanya terbelalak. Sejenak mereka
berdua berdiri bengong saling pandang, kemudian wajah hwesio itu tersenyum kembali, agaknya hanya
sedetik saja dia terangsang oleh rasa kaget.
“Omitohud... semoga Sang Buddha memberkahi kita semua... bukankah engkau... Ciauw Si, adikku...?”
“Seng-koko...!” Ciauw Si menjerit dan menangis, lari menghampiri lalu menubruk kedua kaki hwesio itu
sambil sesenggukan. “Seng-ko... bagaimana... bagaimana engkau bisa menjadi begini...?” Ciauw Si
menangis sesenggukan sambil mengangkat muka memandang.
“Kehendak Tuhan... kehendak Tuhanpun jadilah...” kata hwesio itu yang kemudian berdoa. “Berkah
Sang Buddha Yang Maha Murah sajalah yang mempertemukan kita hari ini, Si-moi. Dan anak itu... dia
puteramu...?”
Thian Sin juga menjadi bengong dan melihat ibunya menubruk kaki hwesio itu sambil menangis dan
menyebut Seng-koko, dia cepat menaruh mangkok itu di atas meja dan lari menghampiri, ikut berlutut di
dekat ibunya.
“Ibu apakah dia ini Toapek (Uwa) Lie Seng? Kenapa dia seorang hwesio?” anak itu sudah bertanya
dengan heran. Dia pernah mendengar cerita ibunya tentang kakak ibunya yang bernama Lie Seng,
seorang pendekar perkasa.
“Benar, anakku, dia ini adalah Toapekmu. Seng-ko, ini adalah Ceng Thian Sin, anakku...”
“Ceng...?” Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio itu bertanya. Tentu saja dia merasa terheran-heran.
karena selama ini dia mengasingkan diri dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, tekun
mempelajari agama sehingga dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan keluarganya, dengan
adiknya ini.
Hwesio itu yang dahulu bernama Lie Seng, seorang pendekar yang lihai, murid dari mendiang Kok
Beng Lama yang sakti. Lie Seng ini adalah kakak dari Lie Ciauw Si, Cucu luar dari mendiang ketua Cinling-pai. Dibandingkan dengan adik kandungnya itu, keadaannya lebih menyedihkan lagi, peristiwa yang
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
12
menimpa kehidupannya membuat dia putus asa dan memaksa dia masuk menjadi seorang hwesio!
Seperti juga adiknya, dia saling mencinta dengan seorang dara yang tidak disetujui oleh keluarga Cinling-pai. Tidak dapat menyalahkan sikap keluarga Cin-ling-pai memang karena dara yang dicintanya itu,
yang bernama Sun Eng, adalah seorang gadis yang pernah melakukan penyelewengan besar, pernah
menyerahkan diri begitu saja kepada pria-pria bangsawan dan hartawan yang hidung belang. Biarpun
kemudian antara dua orang muda ini terjalin cinta kasih yang murni, yang tidak mau mengingat lagi halhal yang lampau, namun keluarga Cin-ling-pai tidak setuju dan akibatnya Lie Seng pergi berdua
bersama Sun Eng dan hidup sebagai suami isteri tanpa restu dari orang tuanya!
Kemudian, Sun Eng yang merasa rendah diri itu melakukan pengorbanan demi keselamatan keluarga
Cin-ling-pai yang difitnah dan menjadi buronan pemerintah. Sun Eng merayu dan berhasil memikat hati
Pangeran Ceng Han Houw yang ketika itu masih mempunyai kekuasaan besar. Akan tetapi kemudian
perbuatan Sun Eng ini diketahui oleh Han Houw dan akibatnya Sun Eng tewas dalam keadaan tersiksa
oleh anak buah Pangeran Ceng Han Houw!
Lie Seng hampir gila melihat wanita yang dicintanya itu seolah-olah membunuh diri demi keluarga Cinling-pai, hatinya penuh sesal dan duka. Kemudian muncul seorang hwesio tua yang berhasil
mendatangkan penerangan dalam hatinya dan dia pun lalu meninggalkan dunia ramai, ikut bersama
hwesio tua itu mempelajari kebatinan dan agama di dalam kuil dengan masuk menjadi hwesio pula.
Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga dan sejak memasuki Kuil Thian-totang di bukit kecil sebelah selatan kota raja, dia tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia. Saking
tekunnya mempelajari agama, setelah hwesio tua yang menyadarkannya itu meninggal dunia, dialah
yang dipilih menjadi ketua Kuil Thian-to-tang itu dan berjuluk Hong San Hwesio. Seperti kebiasaan para
hwesio lainnya, Hong San Hwesio sering kali mengadakan perjalanan berkelana, menyebarkan
pelajaran agama mendatangkan penerangan kepada banyak orang, di samping itu juga tekun
berprihatin dan makan hanya dari hasil pemberian dan kasih sayang orang-orang lain saja. Maka pada
hari itu dia tiba di dusun tempat tinggal adik kandungnya juga tanpa sengaja dan hanya kebetulan
belaka.
Mendengar pertanyaan kakaknya yang terkejut mendengar bahwa anaknya memiliki she Ceng, Ciauw
Si lalu bangkit, menggandeng tangan kakaknya diajak duduk di ruangan tamu. “Mari kita duduk dan
bicara dengan leluasa, koko.”
Lie Seng atau lebih tepat kita sebut Hong San Hwesio sudah memperoleh kembali ketenangannya
ketika dia duduk berhadapan dengan Ciauw Si yang merangkul puteranya. Dia menatap wajah adiknya
dan melihat wajah adiknya yang cantik segar dan menyinarkan cahaya kebahagiaan itu, diam-diam dia
memuji syukur dan merasa ikut berbahagia.
“Seng-ko, bagaimana tiba-tiba engkau menjadi hwesio? Kukira engkau telah... di mana adanya Sun
Eng?”
Mulut itu masih tersenyum dan memang kini peristiwa yang dulu pernah membuat hatinya berdarah itu
kini tidak lagi membekas. “Dia telah bebas dari kesengsaraan, dia telah meninggalkan dunia yang
penuh dengan kepalsuan dan kesengsaraan ini.” jawabnya lembut.
“Ahhh...!” Ciauw Si terbelalak dan menatap wajah kakaknya penuh rasa iba. “Dan... sejak itu... engkau
lalu menjadi hwesio?”
“Ya, sejak aku sadar melihat betapa hidup ini penuh dengan kepalsuan, dendam, kebencian,
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
13
permusuhan, maka aku mengalihkan langkah hidup menyusuri lorong yang bersih dan diterangi oleh
sinar cinta kasih. Dan engkau sendiri, bagaimana tahu-tahu bisa tinggal di sini, Si-moi? Aku girang
sekali melihat bahwa engkau hidup berbahagia.”
Adik itu memandang kepada kakaknya dan melihat bahwa kakaknya tersenyum dengan wajah berseri
itu, dia pun tidak lagi merasa berduka dan kini wajahnya malah berseri. “Memang aku hidup
berbahagia, koko! Lihat, ini keponakanmu, Thian Sin. Aku hidup tenteram dan bahagia di sini, jauh
daripada segala macam kekerasan dan permusuhan.”
Hong Sian Hwesio meraih pundak anak itu dan memangkunya sambil mengelus kepalanya. “Anak
baik... anakmu ini baik sekali...” dia memuji dan berdoa untuk memberkahi anak itu. Thian Sin hanya
tersenyum dan memandang kepada wajah Toapek-nya dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama
sekali bahwa kakak ibunya yang dikabarkan seorang pendekar perkasa itu kini telah menjadi seorang
hwesio!
“Si-moi, anakmu ini she Ceng, apakah engkau menjadi...”
“Ceng Han Houw adalah suamiku, koko.” jawab Ciauw Si cepat sambil menatap wajah kakaknya. Dia
tidak akan heran kalau melihat wajah itu terkejut, akan tetapi kini dia malah agak heran akan tetapi juga
lega melihat betapa wajah kakaknya itu tetap biasa dan tenang saja, sungguhpun ada sinar keheranan
pada pandang mata yang lembut itu.
“Ya, aku telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Sin ini adalah anak kita. Dan...
koko... perjodohan antara kami juga tiada bedanya dengan perjodohanmu dengan Sun Eng, aku
mengalami penderitaan batin yang hebat, hampir saja aku tidak kuat menanggungnya, koko. Akan
tetapi semua itu telah berlalu dan kini kami hidup bahagia, sungguhpun putus dengan keluarga.”
Kemudian Ciauw Si lalu menceritakaan semua pengalamannya kepada kakaknya, dengan singkat
namun cukup jelas. Diceritakannya betapa dia membantu usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han
Houw karena dianggapnya suaminya itu benar dan kaisar yang lalim dan telah memusuhi keluarga Cinling-pai. Kemudian betapa fihak Cing-ling-pai malah membantu pemerintah menumpas gerakan
suaminya dan sebagai akibatnya, suaminya menderita luka-luka parah dan hampir saja suaminya tewas
kalau tidak bertemu dengan mendiang Yok-sian dan mengalami perawatan secara teliti selama dua
tahun.
“Pengalaman yang amat pahit, koko, akan tetapi kami sudah melupakan itu semua, kami anggap
sebagai mimpi buruk saja dan kini kami hidup bertiga penuh bahagia di tempat sunyi ini.”
Hong San Hwesio mengangguk-angguk dan masih tersenyum. Memang hebat sekali perubahan yang
terjadi dalam batin hwesio ini. Adik kandungnya kini telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw,
padahal Pangeran itulah yang menyebabkan kematian kekasihnya secara demikian menyedihkan. Akan
tetapi, mendengar semua itu, batinnya tenang saja dan sedikit pun tidak timbul kemarahan atau
kebencian terhadap Pangeran Ceng Han Houw!
“Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa segala-galanya berakhir dengan baik, Si-moi. Sekarang, di mana
adanya suamimu?”
“Dia sedang mencangkul di sawah tadi.” kata Ciauw Si.
Hong San Hwesio tertawa. Seorang Pangeran yang demikian tinggi kedudukannya dahulu, kini
mencangkul di sawah. Betapa aneh dan lucu kedengarannya.
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
14
“Itu ayah pulang...!” Thian Sin turun dari atas pangkuan Toapek-nya dan menuding keluar, menyambut
ayahnya yang datang memanggul cangkul.
“Eh, ada tamu? Siapa tamunya? Seorang hwesio...?” Ceng Han Houw yang kini sama sekali tidak
kelihatan seperti seorang pangeran melainkan seperti seorang petani yang tampan dan gagah itu
bertanya sambil memandang ke dalam dengan heran.
Ketika dia memasuki ruangan depan, Hong San Hwesio bangkit berdiri dan merangkap kedua
tangannya memberi hormat. “Selamat bertemu, Pangeran,” katanya hormat.
“Eh, siapakah... suhu...?” Ceng Han Houw membalas penghormatan itu, agak terkej
indahnya, muncul di permukaan bumi mengusir segala kegelapan dan datang membawa keriangan dan
kesegaran kepada semua yang berada di permukaan bumi, memandikan segala sesuatu dengan
cahayanya yang keemasan dan yang menjadi sumber tenaga dari segala sesuatu yang tidak nampak.
Cahaya matahari seolah-olah membangkitkan semua yang tadinya penuh ketakutan dan kekhawatiran
tenggelam dalam kegelapan malam, mendatangkan kembali semangat hidup pada tumbuh-tumbuhan,
pohon-pohon besar, binatang-binatang dari yang kecil sampai yang paling besar, yang beterbangan di
udara maupun yang berjalan dan merayap di atas bumi.
Matahari pagi yang demikian indahnya, cahaya keemasan yang menerobos di antara gumpalangumpalan awan yang berarak bebas teratur rapi di atas langit, embun-embun pagi yang berkilauan di
ujung daun-daun, kicau burung gembira, semua itu seolah-olah mengingatkan kita bahwa kegelapan
den kesunyian dan keseraman yang timbul bersama datangnya malam bukanlah peristiwa yang abadi,
melainkan hanya sementara saja. Demikian pula sebaliknya, kecerahan dan keriangan yang datang
bersama matahari pagi itu pun akan terganti oleh sang malam yang membawa kegelapan.
Baik buruknya siang dan malam timbul dari penilaian kita. Kalau kita sudah menilai bahwa yang siang
itu baik dan yang malam buruk, maka kita akan terseret ke dalam lingkaran baik dan buruk, senang dan
susah. Sebaliknya, kalau kita menghadapi siang dan malam, atau segala sesuatu yang terjadi di dunia
ini tanpa penilaian, maka tidak akan timbul pula baik buruk itu. Dan bukan tidak mungkin bahwa kita
akan menemukan keindahan dalam kegelapan den kesunyian malam itu!
Pagi hari yang amat cerah dan indah itu selalu mendatangkan keriangan pada semua mahluk, kecuali
manusia! Manusia terlalu diperbudak oleh perasaan yang timbul karena terlalu menonjolkan
keakuannya. Manusia terlalu mudah mengeluh, juga terlampau mudah mabuk. Di waktu menghadapi
peristiwa yang tidak menyenangkan, manusia mengeluh seolah-olah dialah orang yang paling sengsara
di dunia ini, dan di waktu menikmati peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi mabuk den lupa
diri!
Di dalam hutan di lereng bukit pada pagi hari itu pemandangannya amatlah indahnya. Dari ujung daun-
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
1
daun dan rumput sampai kepada awan, semua seolah-olah tersenyum gembira bersama cahaya
matahari pagi yang lembut dan menghidupkan. Akan tetapi, seorang wanita yang berjalan mendaki
lereng bukit itu, yang memanggul tubuh seorang pria, berjalan sambil menangis sedih! Sungguh, di
manapun juga di dunia ini, selalu terdapat manusia yang merasa sengsara dan tenggelam dalam
kedukaan.
Wanita itu masih amat muda dan cantik sekali, paling banyak dua puluh empat tahun usianya, berwajah
serius dan gagah. Biarpun dia memanggul tubuh seorang pria di pundaknya, namun langkahnya yang
tegap dan ringan itu jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita ini adalah seorang pendekar wanita
yang amat lihai, juga terkenal sekali, bukan hanya karena kelihaiannya sendiri melainkan karena dia
adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai yang amat terkenal. Wanita ini bernama Lie Ciauw Si,
cucu luar dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan dialah satu-satunya cucu Cin-ling-pai yang menerima
penggemblengan langsung dari mendiang kakeknya, yaitu mendiang Cia Keng Hong, pendekar sakti
yang pernah menggegerkan dunia persilatan itu. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya karena dia
telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, biarpun harus diakui bahwa dia tidak atau belum menguasai
ilmu-ilmu tinggi itu secara sempurna seperti kakeknya.
Tubuh pria yang dipanggulnya itu seperti sudah mati saja, lemas dan wajahnya pucat seperti mayat, di
ujung bibirnya nampak darah, napasnya tinggal satu-satu. Siapakah pria itu? Dia pun masih muda,
bahkan masih amat muda, kurang lebih dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, amat tampan
dan pakaiannya amat mewah, seperti pakaian pria-pria bangsawan. Pria ini adalah suami Lie Ciauw Si!
Dia adalah seorang Pangeran, bahkan Pangeran dari dua kerajaan. Dia adalah putera kandung dari
Puteri Khamila yang menjadi isteri Raja Sabutai, seorang raja liar di utara daerah Mongol, maka tentu
saja dia adalah seorang Pangeran kerajaan utara ini. Akan tetapi, ayah kandungnya bukanlah Raja
Sabutai, melainkan mendiang Kaisar Ceng Tung, Kaisar Kerajaan Beng-tiauw dan hal ini selain
diketahui oleh Raja Sabutai, juga diakui oleh mendiang Kaisar itu sebelum meninggal dunia sehingga
secara resmi dia pun menjadi seorang Pangeran dari Kerajaan Beng-tiauw. Namanya adalah Pangeran
Oguthai, yaitu sebagai Pangeran utara, atau Ceng Han Houw, sebagai Pangeran Kerajaan Beng-tiauw.
Ceng Han Houw ini adalah seorang Pangeran muda yang semenjak kecil suka bertualang dan suka
sekali mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, bahkan yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi dari
orang-orang sakti sehingga dalam hal ilmu silat, dia bahkan lebih lihai dibandingkan dengan isterinya
yang lihai itu! Kepandaiannya yang hebat membuat Pangeran ini menjadi tinggi hati dan sombong, di
samping ambisinya yang amat besar untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, bahkan kaiau mungkin
untuk merampas tahta Kerajam Beng-tiauw. Sikap inilah yang telah menjatuhkannya! Di bawah
Pimpinan Pangeran Hung Chih, yang dianggap sebagai Pangeran Mahkota, para pendekar yang sakti
telah bergerak menentangnya dan akhirnya Pangeran ini roboh dan terluka secara hebat sekali ketika
terjadi pertempuran. Juga semua pengikutnya, pasukannya, telah dihancurkan sehingga semua
usahanya itu mengalami kehancuran dan kegagalan. Pangeran Ceng Han Houw sudah kehilangan
segala-galanya, kecuali isterinya yang amat setia dan amat mencintanya itu. Isterinya inilah yang
membawa tubuhnya yang terluka parah itu, membawanya lari meninggalkan gelanggang pertempuran
di mana suaminya mengalami kegagalan, melarikannya siang malam sampai pada pagi hari itu, dengan
tubuh amat letih, pendekar wanita Lie Ciauw Si tiba di lereng bukit itu sambil menangis.
Hampir dia tidak kuat melangkah lagi, namun dipaksanya karena dia harus dapat membawa suaminya
yang sudah lebih mendekati mati daripada hidup itu sampai ke puncak. Dia mendengar bahwa di
puncak bukit itu tinggal seorang pertapa yang pandai sekali mengobati orang, maka harapan satusatunya hanyalah membawa suaminya menghadap pertapa itu.
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
2
Semua peristiwa di atas telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga. Dia telah melakukan
perjalanan dua hari dua malam, hanya berhenti untuk memberi minum, atau lebih tepat memasukkan
air ke dalam perut suaminya, karena suaminya itu hampir terus-menerus dalam keadaan tidak sadar.
Dia sendiri selama itu hanya minum sedikit air saja! Maka, ketika dia mendaki lereng bukit ini, kedua
kakinya sudah gemetar dan dia harus menggigit bibir dengan air mata menetes-netes untuk
menguatkan dirinya. Betapapun juga, berkat kepandaiannya yang tinggi, langkahnya masib nampak
ringan ketika dia terus mendaki ke atas, ke arah sebuah pondok di puncak yang sudah kelihatan dari
bawah. Melihat pondok kecil itu, Ciauw Si merasa seperti melihat cahaya yang penuh harapan,
tenaganya timbul kembali dan setengah berlari dia berloncatan naik ke atas puncak.
Pondok itu kecil sederhana dan pintunya terbuka! Maka Ciauw Si yang sudah merasa betapa matanya
berkunang dan kepalanya pening, melangkah masuk. Samar-samar dia melihat seorang kakek duduk
bersila di dalam pondok. Dia cepat melangkah maju dan sempat berkata lirih, “...mohon... mohon
Locianpwe sudi... menolong suami saya...” dan tergulinglah isteri setia ini bersama suami yang
dipanggulnya, roboh ke depan kaki pria tua yang duduk bersila itu.
“Siancai..., siancai...! Jarang di dunia ini ditemui wanita seperti dia ini....” Kakek itu berkata lembut, lalu
turun dari atas pembaringan dan dengan tidak mudah karena dia sudah tua dan tenaganya sudah
lemah, dia mengangkat suami isteri itu seorang demi seorang dan merebahkan mereka di atas
pembaringan kayu sederhana. Dia berdiri menggeleng kepala dan menarik napas panjang memandang
kepada suami isteri yang tampan dan cantik lagi muda itu, yang keduanya dalam keadaan pingsan dan
kelihatan amat menderita. Kemudian, dia menggulung lengan bajunya, mendekati Han Houw dan
dengan teliti sekali dia memeriksa denyut nadi dan detak jantung pria muda itu. Wajah yang keriput itu
nampak terkejut sekali.
“Aihhh... kacau dan remuk keadaan dalam tubuh orang muda ini! Hemm... tak tahu aku apakah aku
akan dapat mengobati... sungguh hebat, mengapa kekerasan saja yang timbul dari penumpukan
kepandaian?”
Setelah memeriksa dengan teliti dan berkali-kali dia menggeleng kepala, dia lalu memeriksa keadaan
Ciauw Si dan mengangguk-angguk. “Terlampau lelah, terlampau duka dan gelisah, menderita
kelaparan dan kehausan. Sungguh wanita luar biasa, penuh kasih sayang dan kesetiaan...”
Karena maklum benar bahwa keadaan Ciauw Si tidak apa-apa sebaliknya keadaan Han Houw amat
berbahaya, kakek itu cepat-cepat mengambil akar yang masih segar, lalu mengirisnya tipis-tipis dan
menggodoknya dalam periuk, mencampurinya dengan beberapa macam daun dan bubukan buah
kering. Sambil mengipasi api arang, dia bersenandung mengikuti irama kipas yang dia gerak-gerakkan.
Siapakah kakek ini? Kakek ini adalah seorang sasterawan ahli obat yang sudah lama bertapa di puncak
bukit sunyi itu, menjauhkan dunia ramai dan hanya tekun memperdalam ilmunya untuk mengobati.
Hanya di waktu timbul wabah yang menyerang dusun-dusun atau kota-kota, kakek ini keluar dari
tempat pertapaannya untuk memerangi wabah itu. Selain ini, juga setiap kali ada orang sakit datang
kepadanya, dia selalu mengobatinya dan ternyata obatnya amat manjur sehingga sebentar saja
namanya terkenal di seluruh daerah perbatasan dekat Tembok Besar itu. Karena dia tidak pernah mau
mengakui namanya, maka dia segera diberi julukan Yok-sian (Dewa Obat) yang diterimanya dengan
senyum saja.
Setelah godokan obat itu masak, dia lalu mendinginkannya di atas cawan dan dengan hati-hati dia lalu
memasukkan obat itu sesendok demi sesendok ke dalam mulut Han Houw yang dalam keadaan
setengah sadar meneguk obat itu dengan susah payah. Tak lama kemudian Ciauw Si sadar dari
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
3
pingsannya, mengeluh dan membuka mata. Melihat kakek itu sedang menyuapi obat kepada suaminya,
dia cepat bangkit duduk.
“Mengasolah dulu, anak yang baik, engkau perlu mengaso dan makan...”
“Tidak, Locianpwe, saya tidak apa-apa...” Ciauw Si memaksa diri turun dari pembaringan. Pada saat itu,
Yok-sian sudah selesai memindahkan air obat itu ke dalam perut Han Houw dan dia memandang
kepada Ciauw Si sambil tersenyum ramah.
“Engkau kuat bukan main, akan tetapi sebaiknya engkau mengisi perutmu dengan bubur. Aku masih
mempunyai bubur, di meja itu...”
Ciauw Si sudah menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. “Locianpwe, harap jangan
memusingkan diri saya, akan tetapi... bagaimanakah dengan dia...?” Dia menoleh ke arah suaminya
yang masih rebah terlentang dengan muka pucat seperti mayat.
Kakek itu memegang kedua pundak Ciauw Si dengan sikap halus dan mengangkatnya bangun.
“Jangan begitu, duduklah, Nyonya muda, dan mari kita bicara dengan tenang.”
Ucapan yang halus dan serius itu membuat Ciauw Si tidak berani membantah dan dia pun lalu bangkit
dan duduk di atas bangku berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja kecil penuh rempah-rempah
dan obat-obatan.
“Harap Locianpwe katakan, bagaimana dia?” dia bertanya, sinar matanya penuh permohonan,
mukanya yang pucat dan penuh kekhawatiran itu menyedihkan sekali.
“Engkau adalah seorang wanita gagah, maka kurasa engkau pun akan berhati tabah dan tidak lemah.
Terus terang saja, keadaannya amat parah, luka-lukanya di dalam tubuh amat hebat. Akan tetapi, tentu
saja aku tidak berani mendahului kehendak Tuhan, tidak berani menentukan apakah aku akan dapat
menyembuhkannya atau tidak. Betapapun juga, aku hendak mencobanya.”
“Ah, terima kasih, Locianpwe, terima kasih...” Suara Clauw Si mengandung isak keharuan karena
pengharapannya timbul kembali. “Hanya Locianpwe yang dapat saya harapkan... hanya Locianpwe
yang dapat menyembuhkannya...”
“Apamukah dia itu?”
“Dia suami saya, Locianpwe... sudah dua hari dua malam...”
“Dan kau terus-menerus memanggulnya selama itu? Ah, engkau harus makan dulu, nah, kaumakanlah
bubur ini, kemudian istirahatiah. Masih banyak waktu bagi kita untuk bicara.”
Setelah mengatakan demikian, kakek itu lalu keluar dari pondok untuk mencari daun-daun obat segar
yang diperlukan untuk mengobati orang yang terluka parah itu, diam-diam dia menduga-duga apa yang
telah terjadi dengan orang itu dan siapa adanya suami isteri muda belia yang kelihatan bukan orangorang sembarangan itu. Diam-diam hatinya khawatir. Kakek ini lebih suka menolong dan berhubungan
dengan penduduk dusun yang sederhana daripada berhubungan dengan orang-orang kang-ouw yang
memiliki kebiasaan untuk saling pukul, saling melukai dan saling membunuh itu, kebiasaan yang
membuat dia merasa jijik sekali.
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
4
Sementara itu, Ciauw Si maklum bahwa anjuran kakek itu adalah demi kebaikannya. Dia harus sehat
agar dia dapat merawat suaminya setelah kini timbul harapan di dalam hatinya. Setelah tiba di sini,
melihat Hen Houw, dia hampir putus harapan. Apa artinya hidup ini baginya tanpa adanya Hen Houw di
sampingnya? Dia sudah terbuang dari keluarganya, sudah dianggap kambing hitam atau anak durhaka!
Terbayanglah dia betapa keluarga Cin-ling-pai, keluarganya, membantu fihak pemerintah menentang
Han Houw, bahkan ibu kandungnya sendiripun menentang. Dia maklum bahwa tidak ada seorang pun
di antara keluarga Cin-ling-pai yang suka melihat dia menjadi isteri Han Houw! Dan setelah dia merasa
dibuang atau diasingkan dari keluarga Cin-ling-pai, maka hanya Han Houw seoranglah yang dia miliki.
Dan dia amat mencinta Pangeran itu, lepas dari soal apakah suaminya itu memberontak atau tidak,
jahat atau tidak.
Harapan untuk suaminya ini mengembalikan semangat Ciauw Si den mulailah dia makan bubur dengan
sekedar sayur asin yang didapatkannya di tempat itu. Kelemasan tubuhnya segera berangsur lenyap,
tenaganya pulih kembali setelah dia mekan bubur den minum air teh. Kemudian dia mencuci mangkok
piring dan membersihkan meja den ruangan pondok itu. Dilihatnya suaminya masih tidur nyenyak,
agaknya karena pengaruh obat yang telah diminumkan oleh kakek tadi, maka hatinya terasa lapang
den dia menanti kembalinya kakek ahli obat itu.
Setelah matahari naik tinggi barulah Yok-sian pulang, membawa banyak daun den akar obat. Ciauw Si
menyongsongnya dan membantunya membawa rempah-rempah itu masuk pondok.
“Engkau sudah makan?”
Ciauw Si mengangguk. “Terima kasih Locianpwe.”
Ketika Kakek itu memasuki pondok den melihat pondoknya bersih den rapi, dia tersenyum girang, lalu
dia langsung memeriksa keadaan Han Houw, “Kau taruh daun yang ini, akar yang ini dan buah-buahan
ini ke atas tambir dan jemur di luar. Ini adalah obat-obat pembersih darah untuk suamimu. Sungguh
beruntung baginya bahwa tidak ada hawa beracun mengeram dalam tubuhnya...”
“Saya... saya sudah mengeluarkannya dalam perjalanan, Locianpwe...”
Kakek itu memandangnya dengan heran. “Apa maksudmu? Mengeluarkannya bagaimana?”
“Dengan pengerahan sin-kang, mendorong semua hawa beracun keluar tubuhnya...”
“Ah, engkau selihai itu? Hemm, kiranya kalian adalah suami isteri pendekar yang amat tinggi ilmunya.
Akan tetapi dengar, mulai sekarang jangan lagi engkau mempergunakan kekuatan dalam untuk
mencoba mengobatinya!”
“Mengapa, Locianpwe?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Terus terang saja, keadaannya amat parah, entah mengapa
keadaannya sampai seperti itu. Menggunakan tenaga besar untuk memaksakan penyembuhan bahkan
akan membahayakan, karena dia sudah kehilangan tenaga untuk menerima pengobatan seperti itu.
Pengobatan harus dilakukan dengan wajar, sedikit demi sedikit, mengandalkan kemanjuran obat dan
perawatan alam yang sewajarnya. Entah berapa lama engkau harus merawatnya, dan dengan cara
demikian barulah dapat diharapkan dia sembuh.”
“Baik, baik... saya akan mentaati semua pesan Locianpwe,” kata Ciauw Si dengan hati khawatir karena
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
5
dia sendiri maklum bahwa suaminya mengalami luka hebat yang menurut dia sendiri tak mungkin dapat
disembuhkan.
“Sekarang ceritakanlah, siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan suamimu sehingga
keadaannya sampai sedemikian rupa?”
Sejenak Ciauw Si diam saja, berpikir. Akan tetapi dia lalu mengambil keputusan untuk menceritakan
keadaan dirinya secara terus terang saja. Kakek ini adalah seorang luar biasa dan yang diharapkannya
akan dapat menghidupkan kembali suaminya, maka sebagai seorang penolong besar tentu saja dia
harus menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada kakek ini.
“Locianpwe, saya adalah seorang anak yang durhaka, yang mendurhakai dan menyusahkan ibu
kandung dan keluarga karena cinta kepada seorang pria. Saya... saya bernama Lie Ciauw Si dan ibu
kandung saya adalah puteri dari mendiang ketua Cin-ling-pai...”
“Ahhh...! Kiranya begitu? Tak kusangka bahwa engkau adalah cucu pendekar sakti yang budiman itu.
Pengakuanmu sebagai anak durhaka menandakan bahwa engkau tidaklah demikian, anak baik,
lanjutkan ceritamu.”
“Saya telah saling mencinta dengan suami saya ini dan... kami menikah di luar persetujuan keluarga
saya. Suami saya seorang yang bercita-cita terlalu besar... akhirnya dia gagal dan dalam pertempuran,
dia roboh oleh seorang sakti lain... juga cita-citanya gagal dan hancur. Saya tidak berduka tentang
gagalnya cita-citanya itu, saya tidak peduli akan hal itu... dan terus terang saja, saya sendiri tidak setuju
dengan semua yang telah dilakukannya, akan tetapi... Locianpwe, saya... saya cinta padanya...” Dan
Ciauw Si menunduk, menahan air matanya. Dalam keadaan biasa, memang seolah-olah pantang bagi
wanita perkasa ini untuk terlalu cengeng, terlalu mudah menjatuhkan air mata.
Sejenak sepasang mata kakek tua itu memandang penuh kagum kepada kepala yang menunduk itu,
juga terkandung perasaan iba yang besar. “Bahagialah dia yang telah mendapatkan cinta kasih seorang
wanita sepertimu cinta yang tanpa kecuali. Nah, mulai sekarang, kau belajarlah bagaimana cara
mengobatinya, obat-obat apa yang harus kauberikan setiap hari karena terus terang saja, engkau akan
harus merawatnya sampai berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun baru dia akan dapat
sembuh sama sekali. Engkau akan menghadapi masa yang amat sulit, anak yang baik, akan tetapi itu
juga merupakan suatu ujian bagi kesetiaan dan cinta kasihmu.”
Demikianlah, kakek itu lalu membuat ramu-ramuan obat-obatan dan dia mengajarkan kepada Ciauw Si
tentang obat-obat itu, di mana mencarinya. Dan memang kepandaian kakek itu hebat sekali. Setelah
menerima pengobatan selama kurang lebih sebulan, Han Houw memperoleh kembali kesadarannya
dan bahaya yang mengancam nyawanya telah lewat, dia telah tertolong sungguhpun keadaan tubuhnya
masih amat lemah sehingga dia belum mampu turun dari pembaringan. Bekas Pangeran ini merasa
amat terharu atas kecintaan isterinya. Dia sampai menangis mengguguk ketika mendengar akan
penderitaan isterinya ketika menyelamatkannya dan diam-diam Pangeran ini mulai menyesali semua
sepak terjangnya untuk mengejar ambisi dan cita-citanya. Baru sekarang, setelah dia gagal dan
mengalami kesengsaraan sebagai akibat daripada pengejaran cita-citanya itu, nampak jelas olehnya
betapa bodohnya dia, betapa gilanya dia, digilakan oleh berkilaunya semua cita-cita yang dijangkaunya.
Memang demikianlah, ambisi atau cita-cita selalu nampak indah cemerlang, jauh lebih indah daripada
apa adanya saat kita mengejar cita-cita itu! Dan telah menjadi pendapat umum yang menyesatkan
bahwa kita manusia hidup HARUS bercita-cita, karena kalau tidak ada cita-cita, kita akan mati, tidak
berdaya cipta, dan tidak akan maju! Benarkah demikian? Tidak sehat dan tidak cerdaslah namanya
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
6
kalau kita hanya menerima pendapat begini atau begitu tanpa menyelidikinya dalam kehidupan kita
sehari-hari. Sebaliknya kalau kita menyelidiki, apakah sesungguhnya ambisi atau cita-cita itu?
Cita-cita adalah bayangan akan sesuatu yang belum ada, akan sesuatu yang kita anggap akan lebih
baik, lebih menyenangkan daripada keadaan yang ada sekarang ini. Cita-cita adalah bayangan suatu
keadaan yang lebih menyenangkan. Bukankah demikian? Jadi, cita-cita adalah pengejaran, atau
keinginan akan sesuatu yang dianggap akan lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang ini. Ada
yang bercita-cita untuk menjadi kaya raya, atau setidaknya jauh lebih kaya daripada keadaannya
sekarang, berarti dia ini mengejar-ngejar harta kekayaan yang dianggapnya akan mendatangkan
kesenangan dalam hidupnya. Ada pula yang bercita-cita untuk memperoleh kedudukan yang lebih
tinggi daripada sekarang, tentu saja cita-cita itu muncul karena dianggap bahwa hal itu akan
mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Pendapat umum mengatakan demikian, dan kita
menerima saja sebagai sesuatu yang sudah pasti! Padahal, apakah kekayaan dan kedudukan itu pasti
mendatangkan kesenangan? Memang, mendatangkan kesenangan, akan tetapi juga kesusahan
sebagai tandingannya. Yang jelas, tidak akan mendatangkan kebahagiaan! Dan seperti dapat dilihat
dari bukti sehari-hari, yang dikejar-kejar yang masih merupakan ambisi atau cita-cita itu hanyalah
merupakan kesenangan yang pada kenyataannya tidaklah seindah dan sekemilau seperti yang
dikejarnya. Setelah yang dikejarnya itu terdapat, maka apa yang didapat itu hanya mendatangkan
kesenangan sepintas saja, lalu membosankan, karena mata kita sudah melihat lagi jauh ke depan,
kepada yang kita anggap lebih menyenangkan lagi, yang merupakan penyakit yang takkan habis
sebelum kita mati, yaitu penyakit mengejar sesuatu yang kita anggap lebih menyenangkan. Dan
pengejaran atau penyakit ini membuat kita tidak pernah dapat merasakan keindahan saat ini, tidak
pernah dapat menikmati keadaan saat ini. Kita hanya menikmati bayangan-bayangan indah dari citacita atau ambisi itu saja.
Kemajuan yang dijadikan pendapat umum itu apakah sesungguhnya? Kalau kita mau meneliti diri
sendiri, segala sesuatu telah kita dasarkan kepada kebendaan, kepada lahiriah belaka sehingga ukuran
kata “kemajuan” bagi kita bukan lain adalah uang dan kedudukan! Majukah seseorang kalau dia sudah
memiliki kedudukan tinggi atau banyak uang? Beginilah memang pendapat umum, pendapat kita!
Bahagiakah seseorang kalau dia sudah berkedudukan tinggi atau memiliki banyak uang? Kalau kita
menyelidiki mereka yang umum anggap berkedudukan tinggi atau berharta besar, maka jawabannya
ternyata akan berbunyi : TIDAK!
Pengejaran kesenangan sudah pasti mendatangkan perbuatan-perbuatan yang kejam dan
menyeleweng, karena demi pencapaian cita-cita itu kita tidak segan-segan untuk menyingkirkan siapa
juga yang menjadi penghalang. Kita tidak segan-segan melakukan penyelewengan-penyelewengan,
korupsi, kelicikan, jegal-menjegal, perebutan kursi, apa saja tanpa ada yang diharamkan, demi
mencapai cita-cita atau demi tercapainya yang kita anggap akan menyenangkan itu.
Dan apakah artinya semua “kemajuan” lahir tanpa disertai kebersihan batin, tanpa adanya cinta kasih
antar manusia dalam batin kita? Dunia sekarang membuktikannya. Semua “kemajuan” yang serba
hebat, tenaga-tenaga yang serba dahsyat, lebih banyak dipergunakan oleh manusia untuk saling
menghancurkan, saling membunuh. Mari kita sama-sama membuka mata melihat keadaan yang
sebenarnya dari kehidupan kita di dunia. Lihatlah perang senjata-senjata yang serba dahsyat, serba
maut! Lihatlah kepalsuan-kepalsuan dalam politik. Lihatlah kelicikan-kelicikan dalam perdagangan.
Lihatlah perbedaan-perbedaan antara si kaya dan si miskin. Lihatlah negara ini berlimpah-ruah, negara
itu kelaparan. Lihatlah, lihatlah keadaan dunia pada umumnya. Apakah kita boleh berbangga hati dan
membusungkan dada mengatakan bahwa kita manusia ini telah “maju”? Betapa menyedihkan!
Setelah Ciauw Si mempelajari bagaimana dia harus mengobati suaminya, dia lalu mencari sebuah
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
7
rumah di dalam sebuah dusun kecil di lereng bukit itu. Dengan sisa perhiasan yang menempel di
tubuhnya, cukuplah baginya untuk membeli sebidang tanah dengan rumah yang sederhana, dan di
situlah dia merawat suaminya sambil mempergunakan tenaga petani mengusahakan tanahnya, cukup
untuk keperluan sehari-hari selama dia merawat suaminya dengan penuh ketekunan.
Ciauw Si amat mencinta suaminya. Dengan penuh cinta kasih dalam dada, biarpun dia hidup
sederhana, berpakaian wanita petani, tinggal di rumah sederhana, namun wanita muda ini nampak
segar dan kedua pipinya kemerahan seperti buah tomat yang ditanamnya, sepasang matanya selalu
bening berseri, murah senyum. Di sini, dia tidak pernah memikirkan tentang kekerasan, melainkan
hidup penuh tenteram dan damai di antara penduduk dusun yang hanya memiliki sedikit kebutuhan
hidup mereka secara wajar.
Han Houw semakin terharu oleh sikap isterinya. Dia maklum bahwa nyawanya tertolong, akan tetapi
sebagai seorang ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tahu bahwa ada beberapa bagian
tubuhnya yang rusak sehingga dia tidak akan mampu lagi mengerahkan seluruh tenaga sin-kang
seperti dahulu. Kepandaian, yaitu ilmu silatnya, memang masih ada, akan tetapi apa artinya kalau sinkangnya sudah lenyap dan tidak sedikit tenaga dalam yang tidak ada artinya itu? Maka, dalam keadaan
masih setengah lumpuh, kedua kakinya masih belum kuat dipakai jalan, dia mulai mencatatkan ilmuilmunya yang paling rahasia dan tinggi, yang didapatnya dari pelajaran kitab ciptaan Bu Beng Hudcouw. Dia menuliskan ilmu-ilmu Hok-liong-sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, juga ilmu menghimpun tenaga,
dengan cara yang amat cerdik, dengan tulisan-tulisan rahasia dan kalau orang lain yang membaca kitab
itu, maka dia takkan mungkin mengerti semua isinya dan kalau orang berani mempelajarinya tanpa tahu
akan rahasianya, maka orang itu akan memperoleh pelajaran sesat yang berbahaya bagi dirinya
sendiri! Dengan tekun, sama tekunnya dengan isterinya yang merawatnya, Han Houw menuliskan kitab
itu. Diapun, seperti isterinya, dapat mulai merasakan ketenteraman hidup, ketenangan batin tinggal di
tempat sunyi ini, penuh dengan kesegaran hawa gunung dan sinar matahari.
Yok-sian kadang-kadang datang berkunjung, atau kadang-kadang Ciauw Si yang datang berkunjung ke
puncak dan ke pondok kakek itu untuk minta nasihat tentang pengobatan suaminya. Mereka menjadi
sahabat-sahabat baik dan Yok-sian diam-diam kagum akan pengetahuan bekas Pangeran itu yang
cukup luas, karena memang Han Houw banyak mempelajari kitab-kitab sejarah dan kesusastraan.
Ketika Han Houw mendengar bahwa selain ilmu pengobatan, kakek ini juga memiliki keahlian untuk
meramal, dia tertawa.
“Ah, kalau begitu, tolonglah engkau lihatkan garis nasibku, Locianpwe,” katanya sambil bangkit duduk
dan menyeret kedua kakinya yang masih setengah lumpuh itu agar dia dapat duduk di pembaringan.
Yok-sian tertawa juga melihat kegembiraan wajah tampan dari Pangeran muda itu.
“Aihh, ilmu meramal hanyalah ilmu iseng-iseng saja, Pangeran. Perlu apa mengetahui keadaan yang
belum tiba?”
“Aku pun hanya iseng-iseng mau tahu saja Locianpwe. Habis, untuk apa Locianpwe mempelajari ilmu
meramal kalau tidak mau melihat garis nasib orang?” kata Han Houw sambil menyodorkan tangan
kirinya. Pada saat itu, Ciauw Si masuk dan dia pun ikut gembira, ikut mendesak kakek itu untuk isengiseng melihat garis tangan suaminya dan dia pun duduk di samping Han Houw dengan sikap gembira.
Karena didesak, akhirnya Yok-sian memeriksa garis-garis tangah Pangeran itu dan tak lama kemudian
dia pun mengerutkan sepasang alisnya yang sudah putih dan wajahnya nampak serius ketika dia
berkata, “Pangeran, dari garis tangan ini saya dapat mengetahui jelas bahwa Pangeran akan sembuh
dan selamat dari bahaya maut ini.”
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
8
Suami isteri itu saling pandang dengan gembira dan Han Houw mencela dengan gaya berkelakar, “Ah,
tanpa melihat garis tangan sekalipun Locianpwe tentu tahu bahwa aku sudah terbebas dari bahaya.
Bukankah Locianpwe yang telah mengobati dan menyelamatkan diriku?”
“Ah, jangan mencela dan memandang rendah!” Ciauw Si menegur suaminya. “Locianpwe, harap
teruskan membaca garis nasibnya.”
Kakek itu terus menyusuri garis-garis telapak tangan Han How, kemudian, tanpa mempedulikan teguran
Pangeran itu tadi, dia berkata lagi, “Pangeran akan mempunyai keturunan, seorang putera...”
Han Houw menoleh kepada isterinya dan mereka saling pandang dengan penuh arti. Sejak Han Houw
terluka, kedua kakinya dan tubuh bawahnya seperti dalam keadaan lumpuh sehingga dia tidak mampu
melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami. Bagaimana mungkin dia akan dapat mempunyai
seorang putera?
“Tapi... tapi...” katanya ragu.“
“Ini hanya ramalan iseng saja, Pangeran, tidak perlu terlalu dipercaya. Akan tetapi menurut garis nasib,
jelas bahwa Pangeran akan mempunyai seorang putera. Akan tetapi yang terlebih penting lagi...” Kakek
itu mengerutkan alisnya dan meneliti garis-garis tangan itu, kelihatan serius sekaii sehingga Han Houw
dan Ciauw Si ikut pula merasa tegang.
“Ada apakah, Locianpwe?” tanya Ciauw Si khawatir.
“Inilah kebaikannya ilmu meramal,” akhirnya kakek itu berkata, “manusia dapat berhati-hati menghadapi
bintang gelap. Saya melihat bintang gelap sekali dalam perjalanan hidup Pangeran, dan bahaya besar
mengancam kalau Pangeran mendekati keluarga. Oleh karena itu, saya hanya dapat menganjurkan
agar Pangeran dan isteri mengasingkan diri dan hidup tenteram di sini, jangan sekali-kali mendekati
keluarga.”
“Yang Locianpwe maksudkan, keluarga... yang mana?” Ciauw Si bertanya khawatir sedangkan Han
Houw hanya tersenyum saja karena dia tidak percaya akan semua ini.
“Tidak dijelaskan dalam garis-garis itu, hanya ada tanda bahwa bahaya itu ditang melalui keluarga.
Maka sebaiknya kalau ji-wi (kalian) tinggal tenteram saja di tempat ini dan lupakan semua masa lalu
dan hubungan keluarga.”
Ramalan yang dilakukan secara iseng-iseng itu mendatangkan kesan mendalam dalam hati Clauw Si.
Akan tetapi Han Houw tidak mempedulikannya, sungguhpun untuk waktu itu dia sama sekali tidak
berkeinginan untuk berhubungan dengan keluarganya. Keluarga mana yang akan dihubunginya? Ayah
kandungnya telah tiada, dan saudara-saudaranya, kaisar dan para pangeran di Kerajaan Beng tentu
semua benci dan menganggapnya sebagai musuh dan pemberontak. Sedangkan ayah tirinya, Raja
Sabutai, tentu juga marah kepadanya karena kegagalannya. Di samping itu, dia merasa malu untuk
berjumpa dengan siapapun juga dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya ini.
Demikianlah, dengan penuh cinta dan kesetiaan, Ciauw Si pendekar wanita yang gagah perkasa dan
cantik manis itu merawat suaminya. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, kesehatan Han Houw makin
membaik dan kedua kakinyapun mulai dapat digerakkan! Agaknya ramalan Yok-sian itu mendekati
kebenaran karena Han Houw yang tadinya mengira akan lumpuh selamanya itu kini mulai dapat
berjalan dan setelah dirawat selama dua tahun, benar saja, dia telah sembuh sama sekali! Dia telah
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
9
sehat lagi, tidak lumpuh, dan dia dapat melakukan tugas sebagai suami normal, dan dapat berjalan,
bahkan berlari dan bergerak cepat, sungguhpun tenaga sin-kangnya telah banyak hilang sehingga
biarpun dia dapat mainkan kembali semua ilmu silatnya, namun tidak dapat sepenuh tenaga dan tentu
saja dia telah kehilangan kelihaiannya. Bahkan dengan sisa tenaga sin-kang yang tidak berapa kuat itu,
dia tidak lagi mampu memainkan ilmu-ilmu silatnya yang dipelajarinya dahulu dari kitab-kitab Bu Beng
Hud-couw. Tentu saja Pangeran ini menjadi kecewa dan berduka, akan tetapi isterinya yang
mencintanya itu menghiburnya dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta di tempat yang
sunyi itu.
Beberapa bulan kemudian, suami isteri itu merasa amat gembira dan berbahagia dengan kenyataan
bahwa Ciauw Si mulai mengandung! Dan sembilan bulan kemudian terbuktilah ramalan Yok-sian
dengan lahirnya seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil! Akan tetapi, kegembiraan bagi suami
isteri itu disuramkan dengan peristiwa kematian Yok-sian! Kakek yang usianya tentu sudah lebih dari
seratus tahun itu meninggal dunia dalam keadaan tenang dan karena kakek itu tidak berkeluarga, maka
Han Houw dan Ciauw Si yang mengganggap kakek itu sebagai penolong mereka, lalu merawat dan
mengurus jenazahnya, dibantu oleh para penghuni dusun mereka.
Anak laki-laki itu mereka beri nama Ceng Thian Sin. Tentu saja suami isteri itu merasa amat berbahagia
dan mereka merawat Thian Sin penuh kasih sayang. Sejak kecil sekali Thian Sin telah menunjukkan
bahwa dia amat cerdik di samping memiliki wajah yang sangat tampan sekali. Dengan adanya Thian
Sin, suami isteri itu merasa terhibur dan agaknya mereka sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi,
sudah cukup berbahagia hidup bertiga di dusun itu, mempunyai para tetangga orang-orang dusun yang
amat jujur dan bersahaja hidupnya, hidup sehat dekat dengan alam, jauh dari keributan karena ulah
manusia kota yang selalu bersaing untuk mengejar kesenangan, memperebutkan uang, kedudukan dan
nama serta menjadi hamba yang membuta dari nafsu-nafsu mereka.
Bertahun-tahun lewat dengan cepatnya tanpa terasa dan tahu-tahu delapan tahun telah lewat sejak
Thian Sin terlahir ke dalam dunia. Setelah berusia delapan tahun, makin nampak betapa anak ini
memiliki wajah yang amat tampan, wajah yang sedemikian eloknya sehingga nampak manis seperti
wajah seorang anak perempuan! Akan tetapi wataknya cukup jantan karena anak ini selain cerdik, juga
memiliki pribadi yang kuat dan tabah dan semenjak kecil tentu saja dia telah digembleng oleh ayahnya
sendiri. Biarpun dia sendiri sudah kehilangan sin-kangnya, namun tentu saja Han Houw tahu
bagaimana caranya mendidik dan melatih ilmu-ilmu silat kepada puteranya yang amat disayangnya.
Dasar-dasar ilmu silat tinggi telah diajarkan kepada anak itu semenjak anak itu berusia lima tahun.
Bukan hanya ilmu silat bahkan anak itu pun sejak kecil telah diajarkan ilmu tulis dan baca karena ayah
bundanya menghendaki agar putera mereka kelak bukan hanya menjadi seorang ahli silat, akan tetapi
juga seorang ahli dalam kesusastraan, patut menjadi keturunan keluarga Kaisar dan keturunan
keluarga Cin-ling-pai!
Han Houw dan Ciauw Si juga tidak merahasiakan keturunan mereka dan anak itu telah mendengar
penuturan orang tuanya bahwa ayahnya sebetulnya adalah Pangeran Oguthai atau Pangeran Ceng
Han Houw, seorang pangeran kerajaan besar dari Kaisar Beng-tiauw, sedangkan ibu kandung ayahnya
adalah Permaisuri Khamila di utara. Dan ibunya adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai, sebuah
perkumpulan silat yang amat terkenal di seluruh dunia persilatan. Penuturan ini tentu saja menanamkan
sesuatu dalam batin Thian Sin, dan semenjak mendengar tentang keturunan ini, dia merasa bahwa
dirinya jauh lebih tinggi dalam hal keturunan dan derajat daripada semua anak di dalam dusun itu. Dia
tidak menjadi tinggi hati atau sombong karenanya, hanya dia merasa seperti menyimpan suatu rahasia
yang membuatnya merasa amat bangga! Dari ibunya, Thian Sin memperoleh pelajaran tentang sikap
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
10
seorang pendekar besar yang selalu harus membela kebenaran dan keadilan, harus melindungi yang
lemah tertindas den harus menentang setiap kejahatan dan orang-orang kuat yang bertindak
sewenang-wenang, harus pula selalu merendahkan hati dan menjauhi sikap sombong.
Pada suatu hari, selagi Thian Sin berada di depan rumahnya, seorang hwesio memasuki halaman
rumah itu. Seorang hwesio yang berpakaian sederhana berwarna kuning, memegang tongkat den
sebuah mangkok butut. Hwesio itu masih belum tua benar, belum ada empat puluh tahun usianya,
berwajah tegap dan nampak kuat, wajahnya tampan den bundar, sepasang matanya mengeluarkan
sinar ketulusan dan kejujuran, mulutnya tersenyum wajar tidak dibuat-buat. Melihat hwesio itu
memasuki halaman dengan langkah lambat tanpa ragu-ragu, Thian Sin bangkit dan memandang tajam.
Dia adalah seorang anak yang sejak lahir berada di dalam dusun, namun pengetahuannya telah cukup
banyak berkat bimbingan ayah bundanya sehingga melihat hwesio ini, tahulah dia apa yang
dikehendaki oleh pendeta itu. Apalagi, di dusun itu sudah beberapa kali lewat hwesio-hwesio berkelana
yang singgah di dusun untuk minta diberi makanan sekedarnya untuk penyambung hidup.
“Losuhu, apakah Losuhu seorang hwesio yang sedang melakukan perjalanan berkelana dan kebetulan
lewat di tempat ini?” tanyanya tanpa ragu, suaranya bening dan pandang matanya tajam. Hwesio itu
tertarik sekali. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak laki-laki yang cerdik luar biasa,
maka dia tersenyum ramah dan memandang penuh kagum.
“Benar, dugaanmu, sahabat kecil.”
“Dan apakah Losuhu singgah di sini untuk minta bantuan makanan?” Dia memandang ke arah mangkok
kosong di tangan kanan hwesio itu.
“Sekali lagi dugaanmu tepat, sahabat kecil. Pinceng kebetulan lewat dan melihat bahwa rumah ini
adalah rumah paling besar di antara rumah-rumah di dusun ini, maka pinceng singgah dengan harapan
untuk mendapatkan sekedar makanan kalau ada makanan lebih di dalam rumah ini.”
“Tentu saja, Losuhu. Silakan duduk dulu di ruangan depan, aku akan memberi tahu kepada ibu untuk
menyediakan makanan.”
“Omitohud... sahabat kecil sungguh berhati murah! Harap jangan repot-repot, kalau engkau suka
mengisi mangkokku ini dengan makanan, sudah cukuplah itu bagi pinceng,” Dia lalu menyerahkan
mangkok putih itu kepada Thian Sin. Anak itu menerima mangkok dan dia melihat bahwa di topi
mangkok itu ada tulisan cat hitam yang berbunyi LIE. Sejenak dia tertegun, lalu dia berlari masuk
membawa mangkok butut itu kepada ibunya yang sedang sibuk di dapur.
“Anak baik... Anak baik...” Hwesio itu mengangguk-angguk dengan kagum dan juga heran bagaimana di
dalam sebuah dusun sederhana seperti itu dia dapat bertemu dengan seorang anak laki-laki yang
demikian cerdik dan pandai membawa diri seperti seorang anak terpelajar saja. Diam-diam timbul rasa
sukanya kepada anak itu.
Sementara itu, Thian Sin berlari-lari ke dalam dan ketika bertemu dengan ibunya di dalam dapur, dia
cepat berkata, “Ibu...! Ibu...! Di luar ada seorang hwesio minta sedekah makanan!”
Ciauw Si tersenyum. Nyonya yang usianya telah tiga puluh tiga tahun lebih itu masih nampak muda dan
cantik segar, berkat kehidupan bersih di pegunungan dan berkat keadaan batin yang tenteram dan
bahagia. Dia tersenyum memandang puteranya penuh kasih sayang. “Aihh, Sin-cu (Anak Sin), kenapa
engkau ribut-ribut? Apa anehnya sih dengan kedatangan seorang hwesio minta sedekah? Engkau
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
11
kelihatan tegang dan terengah-engah. Tenanglah, menghadapi apa pun juga, apalagi hanya seorang
hwesio minta sumbangan.”
“Tapi dia bukan hwesio biasa, ibu. Dia masih muda dan kelihatan gagah. Aku percaya bahwa dia tentu
seorang hwesio yang lihai! Dan ibu lihat mangkok ini, lihat huruf apa yang tertulis di sini!” Dia
memperilhatkan mangkok putih itu kepada ibunya.
Ciauw Si masih tersenyum ketika menerima mangkok itu, akan tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap, dan
mukanya berubah penuh keheranan ketika dia membaca huruf LIE yang tertulis pada mangkok itu.
“Dia she Lie? Ataukah kebetulan saja mangkok ini pemberian orang she Lie?” Ciauw Si termangumangu, akan tetapi dia lalu mengisi mangkok itu sepenuhnya dengan nasi dan beberapa macam
masakan sayur tanpa daging. Ketika Thian Sin membawa mangkok yang sudah terisi makanan itu
keluar, Ciauw Si tak dapat menahan keinginan tahunya dan dia mengikuti dari belakang.
Hwesio itu bangkit berdiri sambil tersenyum ramah ketika dia melihat Thian Sin datang membawa
mangkoknya yang telah terisi, akan tetapi ketika dia melihat nyonya muda yang berjalan di belakang
anak itu, dia memandang terbelalak dan kelihatan terkejut sekali. Demikian pula, ketika Ciauw Si
melihat wajah hwesio itu, wajahnya seketika berubah pucat dan matanya terbelalak. Sejenak mereka
berdua berdiri bengong saling pandang, kemudian wajah hwesio itu tersenyum kembali, agaknya hanya
sedetik saja dia terangsang oleh rasa kaget.
“Omitohud... semoga Sang Buddha memberkahi kita semua... bukankah engkau... Ciauw Si, adikku...?”
“Seng-koko...!” Ciauw Si menjerit dan menangis, lari menghampiri lalu menubruk kedua kaki hwesio itu
sambil sesenggukan. “Seng-ko... bagaimana... bagaimana engkau bisa menjadi begini...?” Ciauw Si
menangis sesenggukan sambil mengangkat muka memandang.
“Kehendak Tuhan... kehendak Tuhanpun jadilah...” kata hwesio itu yang kemudian berdoa. “Berkah
Sang Buddha Yang Maha Murah sajalah yang mempertemukan kita hari ini, Si-moi. Dan anak itu... dia
puteramu...?”
Thian Sin juga menjadi bengong dan melihat ibunya menubruk kaki hwesio itu sambil menangis dan
menyebut Seng-koko, dia cepat menaruh mangkok itu di atas meja dan lari menghampiri, ikut berlutut di
dekat ibunya.
“Ibu apakah dia ini Toapek (Uwa) Lie Seng? Kenapa dia seorang hwesio?” anak itu sudah bertanya
dengan heran. Dia pernah mendengar cerita ibunya tentang kakak ibunya yang bernama Lie Seng,
seorang pendekar perkasa.
“Benar, anakku, dia ini adalah Toapekmu. Seng-ko, ini adalah Ceng Thian Sin, anakku...”
“Ceng...?” Lie Seng yang kini telah menjadi hwesio itu bertanya. Tentu saja dia merasa terheran-heran.
karena selama ini dia mengasingkan diri dan tidak pernah mencampuri urusan dunia, tekun
mempelajari agama sehingga dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan keluarganya, dengan
adiknya ini.
Hwesio itu yang dahulu bernama Lie Seng, seorang pendekar yang lihai, murid dari mendiang Kok
Beng Lama yang sakti. Lie Seng ini adalah kakak dari Lie Ciauw Si, Cucu luar dari mendiang ketua Cinling-pai. Dibandingkan dengan adik kandungnya itu, keadaannya lebih menyedihkan lagi, peristiwa yang
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
12
menimpa kehidupannya membuat dia putus asa dan memaksa dia masuk menjadi seorang hwesio!
Seperti juga adiknya, dia saling mencinta dengan seorang dara yang tidak disetujui oleh keluarga Cinling-pai. Tidak dapat menyalahkan sikap keluarga Cin-ling-pai memang karena dara yang dicintanya itu,
yang bernama Sun Eng, adalah seorang gadis yang pernah melakukan penyelewengan besar, pernah
menyerahkan diri begitu saja kepada pria-pria bangsawan dan hartawan yang hidung belang. Biarpun
kemudian antara dua orang muda ini terjalin cinta kasih yang murni, yang tidak mau mengingat lagi halhal yang lampau, namun keluarga Cin-ling-pai tidak setuju dan akibatnya Lie Seng pergi berdua
bersama Sun Eng dan hidup sebagai suami isteri tanpa restu dari orang tuanya!
Kemudian, Sun Eng yang merasa rendah diri itu melakukan pengorbanan demi keselamatan keluarga
Cin-ling-pai yang difitnah dan menjadi buronan pemerintah. Sun Eng merayu dan berhasil memikat hati
Pangeran Ceng Han Houw yang ketika itu masih mempunyai kekuasaan besar. Akan tetapi kemudian
perbuatan Sun Eng ini diketahui oleh Han Houw dan akibatnya Sun Eng tewas dalam keadaan tersiksa
oleh anak buah Pangeran Ceng Han Houw!
Lie Seng hampir gila melihat wanita yang dicintanya itu seolah-olah membunuh diri demi keluarga Cinling-pai, hatinya penuh sesal dan duka. Kemudian muncul seorang hwesio tua yang berhasil
mendatangkan penerangan dalam hatinya dan dia pun lalu meninggalkan dunia ramai, ikut bersama
hwesio tua itu mempelajari kebatinan dan agama di dalam kuil dengan masuk menjadi hwesio pula.
Semua ini telah diceritakan dalam kisah Pendeker Lembah Naga dan sejak memasuki Kuil Thian-totang di bukit kecil sebelah selatan kota raja, dia tidak pernah lagi mencampuri urusan dunia. Saking
tekunnya mempelajari agama, setelah hwesio tua yang menyadarkannya itu meninggal dunia, dialah
yang dipilih menjadi ketua Kuil Thian-to-tang itu dan berjuluk Hong San Hwesio. Seperti kebiasaan para
hwesio lainnya, Hong San Hwesio sering kali mengadakan perjalanan berkelana, menyebarkan
pelajaran agama mendatangkan penerangan kepada banyak orang, di samping itu juga tekun
berprihatin dan makan hanya dari hasil pemberian dan kasih sayang orang-orang lain saja. Maka pada
hari itu dia tiba di dusun tempat tinggal adik kandungnya juga tanpa sengaja dan hanya kebetulan
belaka.
Mendengar pertanyaan kakaknya yang terkejut mendengar bahwa anaknya memiliki she Ceng, Ciauw
Si lalu bangkit, menggandeng tangan kakaknya diajak duduk di ruangan tamu. “Mari kita duduk dan
bicara dengan leluasa, koko.”
Lie Seng atau lebih tepat kita sebut Hong San Hwesio sudah memperoleh kembali ketenangannya
ketika dia duduk berhadapan dengan Ciauw Si yang merangkul puteranya. Dia menatap wajah adiknya
dan melihat wajah adiknya yang cantik segar dan menyinarkan cahaya kebahagiaan itu, diam-diam dia
memuji syukur dan merasa ikut berbahagia.
“Seng-ko, bagaimana tiba-tiba engkau menjadi hwesio? Kukira engkau telah... di mana adanya Sun
Eng?”
Mulut itu masih tersenyum dan memang kini peristiwa yang dulu pernah membuat hatinya berdarah itu
kini tidak lagi membekas. “Dia telah bebas dari kesengsaraan, dia telah meninggalkan dunia yang
penuh dengan kepalsuan dan kesengsaraan ini.” jawabnya lembut.
“Ahhh...!” Ciauw Si terbelalak dan menatap wajah kakaknya penuh rasa iba. “Dan... sejak itu... engkau
lalu menjadi hwesio?”
“Ya, sejak aku sadar melihat betapa hidup ini penuh dengan kepalsuan, dendam, kebencian,
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
13
permusuhan, maka aku mengalihkan langkah hidup menyusuri lorong yang bersih dan diterangi oleh
sinar cinta kasih. Dan engkau sendiri, bagaimana tahu-tahu bisa tinggal di sini, Si-moi? Aku girang
sekali melihat bahwa engkau hidup berbahagia.”
Adik itu memandang kepada kakaknya dan melihat bahwa kakaknya tersenyum dengan wajah berseri
itu, dia pun tidak lagi merasa berduka dan kini wajahnya malah berseri. “Memang aku hidup
berbahagia, koko! Lihat, ini keponakanmu, Thian Sin. Aku hidup tenteram dan bahagia di sini, jauh
daripada segala macam kekerasan dan permusuhan.”
Hong Sian Hwesio meraih pundak anak itu dan memangkunya sambil mengelus kepalanya. “Anak
baik... anakmu ini baik sekali...” dia memuji dan berdoa untuk memberkahi anak itu. Thian Sin hanya
tersenyum dan memandang kepada wajah Toapek-nya dengan terheran-heran. Tak disangkanya sama
sekali bahwa kakak ibunya yang dikabarkan seorang pendekar perkasa itu kini telah menjadi seorang
hwesio!
“Si-moi, anakmu ini she Ceng, apakah engkau menjadi...”
“Ceng Han Houw adalah suamiku, koko.” jawab Ciauw Si cepat sambil menatap wajah kakaknya. Dia
tidak akan heran kalau melihat wajah itu terkejut, akan tetapi kini dia malah agak heran akan tetapi juga
lega melihat betapa wajah kakaknya itu tetap biasa dan tenang saja, sungguhpun ada sinar keheranan
pada pandang mata yang lembut itu.
“Ya, aku telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw dan Thian Sin ini adalah anak kita. Dan...
koko... perjodohan antara kami juga tiada bedanya dengan perjodohanmu dengan Sun Eng, aku
mengalami penderitaan batin yang hebat, hampir saja aku tidak kuat menanggungnya, koko. Akan
tetapi semua itu telah berlalu dan kini kami hidup bahagia, sungguhpun putus dengan keluarga.”
Kemudian Ciauw Si lalu menceritakaan semua pengalamannya kepada kakaknya, dengan singkat
namun cukup jelas. Diceritakannya betapa dia membantu usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han
Houw karena dianggapnya suaminya itu benar dan kaisar yang lalim dan telah memusuhi keluarga Cinling-pai. Kemudian betapa fihak Cing-ling-pai malah membantu pemerintah menumpas gerakan
suaminya dan sebagai akibatnya, suaminya menderita luka-luka parah dan hampir saja suaminya tewas
kalau tidak bertemu dengan mendiang Yok-sian dan mengalami perawatan secara teliti selama dua
tahun.
“Pengalaman yang amat pahit, koko, akan tetapi kami sudah melupakan itu semua, kami anggap
sebagai mimpi buruk saja dan kini kami hidup bertiga penuh bahagia di tempat sunyi ini.”
Hong San Hwesio mengangguk-angguk dan masih tersenyum. Memang hebat sekali perubahan yang
terjadi dalam batin hwesio ini. Adik kandungnya kini telah menjadi isteri Pangeran Ceng Han Houw,
padahal Pangeran itulah yang menyebabkan kematian kekasihnya secara demikian menyedihkan. Akan
tetapi, mendengar semua itu, batinnya tenang saja dan sedikit pun tidak timbul kemarahan atau
kebencian terhadap Pangeran Ceng Han Houw!
“Bersyukurlah kepada Tuhan bahwa segala-galanya berakhir dengan baik, Si-moi. Sekarang, di mana
adanya suamimu?”
“Dia sedang mencangkul di sawah tadi.” kata Ciauw Si.
Hong San Hwesio tertawa. Seorang Pangeran yang demikian tinggi kedudukannya dahulu, kini
mencangkul di sawah. Betapa aneh dan lucu kedengarannya.
Pendekar Sadis > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
14
“Itu ayah pulang...!” Thian Sin turun dari atas pangkuan Toapek-nya dan menuding keluar, menyambut
ayahnya yang datang memanggul cangkul.
“Eh, ada tamu? Siapa tamunya? Seorang hwesio...?” Ceng Han Houw yang kini sama sekali tidak
kelihatan seperti seorang pangeran melainkan seperti seorang petani yang tampan dan gagah itu
bertanya sambil memandang ke dalam dengan heran.
Ketika dia memasuki ruangan depan, Hong San Hwesio bangkit berdiri dan merangkap kedua
tangannya memberi hormat. “Selamat bertemu, Pangeran,” katanya hormat.
“Eh, siapakah... suhu...?” Ceng Han Houw membalas penghormatan itu, agak terkej