BHN AJAR HK EKONOMI INTERNASIONAL

PENGANTAR
HEI
BIDANG HUKUM
PALING PROGRESSIF

GLOBALISASI
EKONOMI

KEMAJUAN TEKNOLOGI
DAN KOMUNIKASI

AKTIVITAS EKONOMI TIDAK LAGI
TERKUNGKUNG OLEH BATAS NEGARA

REGIONALISME

1

Faktor Pendukung Berkembangnya HEI

MENINGKATNYA

INTERDEPENDENSI EKONOMI

PELUNAKAN
TEORI KEDAULATAN NEGARA

Kerjasama Utara-Selatan
Kerjasama Selatan-Selatan
Regionalisasi Ekonomi

INPRES NO. 2 TAHUN 1996
TENTANG MOBIL NASIONAL

2

HUBUNGAN EKONOMI INTERNASIONAL
• Pergerakan internasional barang-barang (international
movement of goods);
• Pergerakan internasional jasa-jasa (biasanya disebut
sebagai perdagangan jasa (invisible trade) melalui
transaksi-transaksi yang melintasi batas-batas negara

(the cross-border supply of service);
• Pergerakan orang-orang yang melintasi batas-batas
negara (international movement of persons);
• Pergerakan internasional modal yang mensyaratkan
investor-investor asing untuk dapat mengawasi secara
langsung modalnya (penanaman modal asing, misalnya
mendirikan perusahaan); dan
• Pembayaran internasional dalam transaksi-transaksi
ekonomi (foreign exchange transactions).
3

Carreau, Julliand dan Flory
• The law of legal entity establishment;
Hukum pendirian badan hukum

• The law of investment
Hukum Penanaman Modal

• The law of economic institutions
Hukum institusi ekonomi


• The law of economic relations
Hukum hubungan ekonomi

• The law of regional economic integration
Hukum integrasi ekonomi regional
4

DEFINISI HEI
John H. Jackson
“International economic law could be
defined as including all legal subjects
which have both an international and
economic component.”
Huala Adolf
Hukum Ekonomi Internasional adalah
subjek hukum yang memiliki unsur
internasional dan unsur ekonomi.
5


DEFINISI HEI
Verloren van Themaat
“International economic law can be described in
overall terms as the total range of norms
(directly or indirectly based on treaties) of public
international law with regard to transnational
economic relations.”

Hukum Ekonomi Internasional dapat
diartikan sebagai sederetan norma yang
baik secara langsung maupun tidak
langsung didasarkan pada traktat hukum
internasional publik yang berkaitan
dengan hubungan ekonomi internasional.
6

DEFINISI HEI
Schwarzenberger
“The branch of International public law which is
concerned with an ownership and exploitation of national

resources, production and distribution of goods, invisible
international transactions of an economic and financial
character, currency and finance, related services and
organization of the entities in such activities.”

Cabang Hukum Ekonomi Internasional
publik yang berkaitan dengan kepemilikan
dan eksploitasi sumberdaya alam nasional,
produksi dan distribusi barang,
perdagangan jasa ekonomi dan keuangan
internasional, pembayaran internasional
dalam transaksi ekonomi, dan jasa dan
organisasi terkait dengan kegiatan seperti 7

Kritik Verloren van Themaat

• Definisi ini terlalu luas
• Hub. EI diatur oleh hk kontrak dan perdata
bahkan oleh hk nas. Publik.
• Hub. EI perlu pula diatur dg hk int’l.

• Hk. Nas. Publik mempunyai peranan yg
besar terhadap hub. EI.
8

SEJARAH HEI

9

SEBELUM PD II
• Sejak Abad ke 15, masy. Int’l telah mengenal
klausul “most favoured nations (MFN) treatment
dan resiprositas (timbal balik) spt yg termuat
dlm suatu perjanjian atr Inggris dan Burgundy
pd th.1417.
• Prinsip dlm hk laut juga memberi kontribusi
terhdp perkembangan HEI, seperti freedom of
navigation dan kebebasan menangkap ikan dan
prinsip cabotage.10

10


• Abad ke 19 mrpkan kulminasi perkembangan klausul
most favoured nations dg masuknya klausul itu
kedalam Hukum Komersial negara-negara Eropah.
• Pd Abad ke 19 ini, klausul MFN diinkorporasikan ke
dlm bbrp perjanjian int’l, spt European Convention of
the Danube (1855), Rhine Navigation of Liberty and
Artistic Works (1886), dan the Brussels Union for the
Publication of Customs Tariffs (1890).
• Tahun 1914, campur tangan negara dlm hub. EI. Ps.
23 (e) Piagam LBB mengharuskan “equitable
treatment for the commerce of all members.”
• 1923-1936 LBB mengadakan studi ttg formalitas
pajak, yang hasilnya menjadi landasan terbentuknya
GATT.

11

PASCA PD II
• Bretton Woods System (1944) melahirkan

International Monetary Fund dan the
International Bank for Reconstruction and
Development;
• Setelah lahirnya PBB (1945) ada upaya untuk
mendirikan the International Trade Organization
melalui Piagam Havana (1948), namun ITO
gagal berdiri;
• GATT menjadi organisasi int’l melalui Protocol of
Provisional Application 1947.
12

GATT
• Tdk memenuhi persyaratan sbg organisasi int’l
krn tdk memiliki anggaran dasar dan struktur
organisasi;
• Tdk memiliki ketentuan mengenai hukum acara
sbg suatu organisasi;
• Tdk memiliki ketentuan yg jalas dan
komprehensif ttg penyelesaian sengketa; dan
• Protocol of Provisional Application mengizinkan

berlakunya grandfather rights.
13

• 1960
OECD
Eropah Barat, AS,
Kanada, Australia dan Selandia Baru;
• 1960 the United Nations Conference on
Trade and Development (UNCTAD)
utk
melindungi kepentingan ekonomi negara
berkembang
• New International Economic Order (NIEO)
[Tata Ekonomi Internasional Baru/TIEB]

14

PASCA PERANG DINGIN
• Pasar terbuka dan kompetitif;
• Semakin berperannya GATT (yg dilebur menjadi

WTO) dan UNCTAD dlm membuat aturan-aturan
dan pedoman aspek perdagangan int’l dlm
bentuk perjj. Int’l.;
– GATS (General Agreement on Trade and Services;
– TRIMS (Trade Related Investment Measures);
– TRIPS (Trade Related Aspects of Intelectual Property
Rights);
– The Understanding on Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes, Final Act of the
Uruguay Round.
15

MBER HUKUM EKONOMI INTERNASIONA

16

SUMBER HUKUM INT’L
Article 38 (1)
ICJ Statute


1.
2.
3.
4.

Treaties
International Customary Law
Principles of International Law
Decisions and Doctrines

17

TREATIES/TRAKTAT
• Konvensi Wina 1969
• The International Telegraph Convention of
1865
• International Convention on the
Settlement of Investment Disputes
Between States and Nationals of Other
States
• General Agreement on Tariffs and Trade
• Dll.
18

International Treaties ?

ANNEXES

Bagian Yang Tak Terrpisahkan
dari Traktat

19

HUKUM KEBIASAAN INTERNATIONAL

Norms deriving from general
practices of states
accepted as opinio juris

Norms deriving from international
Conferences

PACTA SUNT SERVANDA
FREEDOM OF COMMERCE
FREEDOM OF NAVIGATION
CABOTAGE
RECIPROCITY

MINIMUM STANDARDS
IDENTICAL TREATMENT
MOST FAVOURED NATION

20

PRINSIP HUKUM UMUM

Interpretation of legal rules at all levels
of governance, from the global
to the municipal

Good Faith
State Responsibility

21

JUDICIAL DECISIONS AND DOCTRINES

Subsidiary Means For Determining
Rules of Law

Kartika Candra Hotel Vs. Amco

Doktrin Equal Treatment
Doktrin Resiprositas

22

SUBJEK-SUBJEK HEI

23

SUBJEK HUKUM
• “A subject of the law is an entity capable of
possessing international rights and duties
and having the capacity to maintain its
rights by bringing international claims.
• Doktrin ini menganggap bahwa individu
bukan subjek hukum.
• Doktrin ini menganggap bahwa subjek
hukum satu-satunya adalah negara.
24

SUBJEK HUKUM “MODERN”






Negara
Individu
Perusahaan Transnasional
Organisasi Ekonomi Internasional

25

NEGARA
Konvensi Montevideo 1933
– Negara protektorat
– Negara boneka
– Negara koloni
– Negara sangat miskin
– Negara bagian

Bukan Subjek

26

INDIVIDU

• Individu dan badan hukum sbg subjek
hukum terbatas;
• ICSID (International Convention on the
Settlement of Investment Disputes
Between States and Nationals of Other
States)

27

PERUSAHAAN TRANSNASIONAL
• Perusahaan transnasional memperoleh status
sebagai subjek hukum ekonomi internasional
sejak 1960-an dengan munculnya perusahaan
transnasional modern seperti Exxon
Corporation, Texaco Inc, British Petroleum.
• Tujuan memberikan status subjek hukum untuk
melindungi perusahaan dr ekspropriasi dan
nasionalisasi (Tinoco Arbitration).

28

ORGANISASI EKONOMI INTERNASIONAL
• Org. EI mendapat pengakun pertama sbg subjek
hukum dlm Advisory Opinion MI dlm Reparation
for Injuries Case (Pangeran Bernadotte dr
Swedia)
• Bank Dunia
• Dana Moneter Internasional
• ICSID
• MIGA
• UNCTAD
• WTO
29

AIDAH KAIDAH DASAR (FUNDAMENTAL) H

30

KAIDAH DASAR (FUNDAMENTAL) HEI

FREEDOM OF COMMERCE &
FREEDOM OF TRADE

PRINSIP KEBEBASAN BERNIAGA
DAN BERDAGANG

FREEDOM OF COMMUNICATION

KEBEBASAN UTK MEMASUKI
WILAYAH NEGARA LAIN UTK
TRANSAKSI EKONOMI
31

KAIDAH DASAR (FUNDAMENTAL) HEI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Minimum (Minimum Standards).
Perlakuan Sama (Identical Treatment).
Perlakuan Nasional (National Treatment).
Klausul Atau Kewajiban “Most-Favoured-Nation
(MFN)”.
Kewajiban Menahan Diri Untuk Tidak Merugikan
Negara Lain.
Tindakan Pengamanan: Klausul Penyelamat
(Safeguards and Escape Clause).
Preferensi Negara Sedang berkembang.
Penyelesaian Sengketa Secara Damai.
32

Kaidah Dasar Standar Minimum
(Minimum Standards)
Kewajiban negara untuk sedikitnya
memberikan jaminan kepada pedagang
atau pengusaha asing dan harta miliknya

Kaidah ini kemudian berkembang menjadi Hukum
Kebiasaan Internasional dan sering diinkorporasikan
dalam perjanjian internasional
33

Perlakuan Sama (Identical Treatment)
• Prinsip ini didasarkan pada prinsip
resiprositas dalam hukum diplomatik;
• Prinsip ini dilandaskan pada perlakuan
yang sama atau identik
Misalnya, Kalau pengusaha A dari negara
X dikenakan bea masuk sebesar 5% di
negara Y maka pengusaha B dari negara
Y juga hanya dikenakan bea masuk
sebesar 5% di negara X.
34

Perlakuan Nasional (National Treatment)
• Prinsip ini mengharuskan suatu negara
memperlakukan barang-barang dan jasa atau
modal yang memasuki pasar dalam negerinya
dengan cara yang sama sebagaimana negara
tersebut memperlakukan produk-produk
tersebut ketiaka dibuat, dimiliki atau diawasi
oleh warga negaranya;
• Prinsip ini didasari oleh prinsip non-diskriminasi
dan resiprositas
35

Kewajiban “Most-Favoured-Nation (MFN)”
• Klausul MFN berasal dr the Bretton Woods
System;
• Klausul MFN merupakan prinsip yang
menharuskan negara untuk memberikan
perlakuan yang sama terhadap negara lainnya
sebagaimana perlakuan terhadap negara
ketiga;
• Klausul MFN terdiri dr Conditional dan
Unconditional MFN.
36

Kewajiban Utk Tdk Merugikan Negara Lain
• Kewajiban negara utk tidak menimbulkan bebanbeban ekonomi kepada negara lain krn adanya
kebijaksanaan ekonomi domestik negara yang
bersangkutan;
• Kewajiban negara utk tdk memberikan subsidi
tanpa konsultasi sehingga memberikan proteksi
pd produk dalam negeri; dan
• Kewajiban negara untuk tidak melakukan
praktek dumping
37

Tindakan Pengamanan: Klausul Penyelamat
(Safeguards and Escape Clause)
• Klausul penyelamat memungkinkan suatu
negara, terutama nagara berkembang/ miskin,
untuk melakukan tindakan pengamanan
ekonomi domestik dengan jalan menunda
berlakunya suatu kewajiban yang bersumber dr
perjanjian internasional;
• Penangguhan hanya diperbolehkan dlm hal
keadaan perdagangan internasional
menimbulkan kerugian terhadap industri dalam
negeri
38

Preferensi Negara Sedang berkembang
• Kaidah yang mensyaratkan perlunya suatu kelonggaran
atas aturan-aturan hukum bagi negara
berkembang/miskin, misalnya berupa pengurangan bea
masuk produk-produk mereka ke pasar negara maju;
• Kaidah ini diterapkan dalam pemberian GSP
(Generalized System of Preferences), yaitu sistem
preferensi umum negara maju kepada negara
berkembang/miskin.
• Kaidah ini memungkinkan penyimpangan terhadap
Kaidah MFN utk memberikan keuntungan kompetitif
tertentu dlm masyarakat industri.

39

Penyelesaian Sengketa Secara Damai

• Prinsip ini mengharuskan penyelesaian
sengketa secara damai, seperti negosiasi
atau konsultasi dan bila gagal sengketa
diselesaikan melalui forum arbitrase;
• Prinsip ini juga memungkinkan negara
menggunakan WTO (Dispute Settlement
Body) untuk menyelesaikan sengketa
yang timbul.
40

Aturan-Aturan Hukum Ekonomi Internasional
by
Sukanda Husin

41

Pengantar
TRIMs
GATS

TRIPs

GATT (1947)
Antar
Pengusaha

Antar
Negara

WTO (1994)
42

Tujuan GATT
1.
2.
3.
4.

Meningkatkan taraf hidup umat manusia;
Meningkatkan kesempatan kerja;
Meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan
Meningkatkan produksi dan tukar menukar barang

1. Menciptakan iklim perdagangan internasional yang aman
dan jelas bagi masyarakat bisnis;
2. Menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan
43

Fungsi GATT

Wadah Perangkat Aturan
(The Rules of Road For Trade)

Forum Perundingan
Perdagangan

Forum Penyelesaian Sengketa
Perdagangan Internasional

44

Sejarah GATT
Jenewa
1947 Uruguay
Perancis 23
1986-94
1947
123
13
Tokyo
GATT
1973-79
102
Kennedy
Jenewa
1964-67
1956
Jenewa 62
26
1960
61

Torquay
1951
38

45

Keberhasilan Putaran Tokyo
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Subsidi & tindakan balasan ( subsidiesand countervalling
measures),yakni kesepakatan yang menafsir pasal VI,XVI dan
XXIII GATT;
Rintangan-rintangan teknik terhadap perdagangan (technical
barrier to trade), yang kadangkala disebut pula sebagai ‘Standard
Code’);
Prosedur lisensi impor
kesepakatan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah
(government procurement)
Penaksiran bea cukai (customs valuation) yang menaksirkan
pasal VII GATT;
Antidumping, yang menafsirkan pasal VI dan mengantikan the
Kennedy Round Antidumping Code;
Pengaturan mengenai daging olahan (bovine meat
arrangement);
Perdagangan dalam pesawat udara sipil (trade in civil aircraft).
46

Prinsip-Prinsip GATT
1. Most Favoured Nation
2. National Treatment
3. Larangan Restriksi (Pembatasan)
Kuantitatif
4. Perlindungan Melalui Tarif
5. Resiprositas
6. Perlakuan Khusus Bagi Negara
Berkembang
47

Prinsip Most Favoured Nation (MFN)
• Diatur dalam Pasal 1 GATT, Pasal 4 TRIPs, dan
Pasal 2 GATS.
• Perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif
• Semua negara harus memberlakukan perlakuan
yang sama pada semua negara dlm
melaksanakan kebijakan impor dan ekspor
• Perlakuan yang sama harus segera dijalankan
dan tanpa syarat
• Negara tdk boleh memberikan perlakuan istimewa
kepada suatu negara tertentu
48

Penanggalan (Waiver) Prinsip MFN

1. Perlakuan preferensi di wilayah tertentu yang
sudah ada (French dan Banelux Economic
Union) tetap boleh dilaksanakan namun batas
preferensinya tdk boleh dinaikkan.
2. Anggota GATT yg membentuk Customs Union
dan Free Trade Area yang sesuai dg Pasal XXIV
tdk harus memberikan perlakuan yang sama
kepada negara anggota lainnya.
3. Jika pembentukan itu tdk sesuai dg Pasal XXIV,
negara ybs dpt mengajukan permohonan untuk
minta pengecualian demi menyelamatkan
ekonomi negaranya
49

Penanggalan (Waiver) Prinsip MFN

4. Pemberian preferensi tarif oleh negara maju
kepada produk impor negara berkembang atau
negara kurang beruntung melalui fasilitas
Generalized System of Preference (Sistem
Preferensi Umum).
5. Negara yang tidak punya jalan lain untuk
melindungi atau memproteksi untuk sementara
waktu industri dalam negerinya (safeguard
rule).
6. Negara anggota dpt menerapkan pengaturan
bilateral diskriminatif yang dikenal dg voluntary
export restraints (VERs), contoh industri tekstil.
50

Prinsip National Treatment
• Diatur dalam Pasal III GATT dan Pasal 3 TRIPS
• Produk suatu negara yang diimpor ke satu negara lain
harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam
negeri.
• Prinsip ini berlaku untuk semua macam pajak dan
pungutan lainnya.
• Prinsip ini juga berlaku pada perundang-undangan yang
mengatur persyaratan penjulan,pembelian,
pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk
dimaksud
• Prinsip ini juga memberikan perlindungan dari kebijakan
proteksionisme
51

Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif







Diatur dalam Pasal IX GATT
Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor
merupakan perbuatan terlarang.
Tujuannya adalah
1. Mencegah terkurasnya produk essensial di
negara pengekspor;
2. Melindungi pasar dalam negeri, terutama
mengenai produk pertanian dan perikanan
3. Mengamankan neraca pembayaran
Restriksi boleh dilakukan oleh negara berkembang
untuk mencegah terkurasnya valuta asing (devisa)
setelah mengajukan permohonan dan konsultasi.
52

Prinsip Perlindungan Melalui Tarif

• GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi
terhadap industri domestik melalui tarif (dengan
meningkatkan tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya
perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures
• Penggunaan tarif masih dibolehkan tetapi tetap tunduk
kepada ketentuan GATT, misalnya tidak diskriminatif dan
tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT/WTO.
• Penaikan tarif harus mendapat persetujuan WTO terlebih
dahulu.
• Tarif terendah saat ini dalam kerangka GATT/WTO adalh
4 %.
• Penetapan tarif harus transfaran artinya dapat diakses
oleh siapa saja.
53

Prinsip Resiprositas

• Diatur dalam Paragraf 3 Preambul
• Prinsip fundamental dalam GATT
• Diberlakukan dalam perundingan dan
penetapan tarif antar sesama negara anggota
untuk keuntungan pada kedua belah pihak

54

Perlakuan Khusus Bagi Negara Berkembang
• Diatur dalah pasal XXXVI – XXXVIII
• Ini diberlakukan karena dua pertiga dari negara anggota
adalah negara berkembang
• Negara berkembang diberikan prioritas untuk
memperoleh akses pasar yang lebih menguntungkan
(Bagian IV)
• Negara maju dilarang membuat rintangan (barrier) baru
terhadap ekspor negara berkembang
• Negara maju tidak boleh menuntut resiprositas dalam
penurunan tarif bagi negara berkembang
• Negara maju harus memberlakukan Generalized System
of Preference kepada negara berkembang
55

Garis-Garis Besar
Ketentuan GATT

56

ARTICLE 1
General Most-Favoured-Nation Treatment

1. With respect to customs duties and charges of any kind
imposed on or in connection with importation or
exportation or imposed on the international transfer of
payments for imports or exports, and with respect to the
method of levying such duties and charges, and with
respect to all rules and formalities in connection with
importation and exportation, and with respect to all
matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III,*
any advantage, favour, privilege or immunity granted by
any contracting party to any product originating in or
destined for any other country shall be accorded
immediately and unconditionally to the like product
originating in or destined for the territories of all other
contracting parties.
57

ARTICLE 1
General Most-Favoured-Nation Treatment

1. Prinsip ini menharuskan negara untuk
memberikan perlakuan yang sama tentang
pengenaan pajak ekspor atau impor terhadap
semua negara anggota. Jika suatu negara
ingin memberikan keuntungan, favour,
kekhususan dan kekebalan atas pajak barangbarang yang berasal dari negara tertentu harus
sesegera mungkin diperjanjikan dan
diperlakukan sama dengan produk dalam
negeri atau produk negara lainnya.
58

Article III

National Treatment on Internal Taxation and Regulation

1.

2.

“The contracting parties recognize that internal taxes and other
internal charges, and laws, regulations and requirements affecting
the internal sale, offering for sale, purchase, transportation,
distribution or use of products, and internal quantitative
regulations requiring the mixture, processing or use of products in
specified amounts or proportions, should not be applied to
imported or domestic products so as to afford protection to
domestic production.”
“The products of the territory of any contracting party imported
into the territory of any other contracting party shall not be
subject, directly or indirectly, to internal taxes or other internal
charges of any kind in excess of those applied, directly or
indirectly, to like domestic products. Moreover, no contracting
party shall otherwise apply internal taxes or other internal charges
to imported or domestic products in a manner contrary to the
principles set forth in paragraph 1.“

59

Pasal IV
Pasal ini membolehkan suatu negara untuk
menetapkan kuota terhadap film-film melalui
peraturan tentang pembatasan film. Tapi,
pembatasan-pembatasan atau kuota ini
harus tetap tunduk kepada negosiasi
dengan pihak yang terkena oleh
pembatasan atau kuota dimaksud.

60

Pasal V
Pasal ini mengakui adanya kebebasan transit
barang-barang, termasuk perahu dan sarana
angkutan lainnya melalui wilayah suatu negara
anggota dengan menggunakan rute-rute yang
digunakan untuk transit internasional guna
melakukan transit ke atau dari wilayah negara
anggota GATT lainnya.
Negara anggota dapat mengenakan bea-bea dan
peraturan terhadap transit secara wajar dan
dengan memperhatikan keadaan atau kondisi lalu
lintas transit.
61

Pasal VI
Anti-dumping and Countervailing Duties

1. The contracting parties recognize that dumping, by which
products of one country are introduced into the commerce of
another country at less than the normal value of the
products, is to be condemned if it causes or threatens
material injury to an established industry in the territory of a
contracting party or materially retards the establishment of a
domestic industry. For the purposes of this Article, a product
is to be considered as being introduced into the commerce
of an importing country at less than its normal value, if the
price of the product exported from one country to another
2. In order to offset or prevent dumping, a contracting party
may levy on any dumped product an anti-dumping duty not
greater in amount than the margin of dumping in respect of
such product. For the purposes of this Article, the margin of
dumping is the price difference determined in accordance
with the provisions of paragraph 1
62

Pasal VI
Anti-dumping and Countervailing Duties

1. Pasal ini melarang negara anggota untuk
mempraktekan dumping harga produk, yakni
menjual produk di bawah harga normal.
Pengertian harga di bawah harga normal ialah:
lebih rendah dari harga produk di negara dimana
produk itu dibuat.
2. Apabila terbukti bahwa suatu negara melakukan
dumping, negara pengimpor dapat mengenakan
bea masuk tambahan, yang dikenal dengan antidumping duty, yang tidak lebih besar dari jumlah
keuntungan dumping produk dimaksud.
63

Pasal VII
Pasal ini menetapkan kriteria mengenai
penilaian atas barang impor oleh pejabatpejabat Bea Cukai dari negara anggota
GATT.
Pasal ini juga mensyaratkan bahwa nilai
barang-barang impor untuk maksud
kepabeanan harus didasarkan pada nilai
nyata barang (actual value of the imported
merchandise).
64

Pasal VIII
• Pasal ini mensyaratkan bahwa semua biaya dan
pungutan (selain daripada bea masuk impor dan ekspor
serta pajak yang diatur dalam Pasal III) yang dikenakan
atas atau dalam hubungannya dengan impor atau
ekspor harus dibatasi.
• Pasal ini juga mensyaratkan bahwa pungutan seperti itu
tidak boleh dijadikan sebagai proteksi tidak langsung
terhadap produk domestik.
• Pasal ini juga meminta negara anggota untuk
menyederhanakan peraturan dan kerumitan formalitas
impor dan ekspor dan mengurangi dan
menyederhanakan persyaratan dokumen impor dan
ekspor.
65

Pasal IX
• Pasal ini mensyaratkan agar semua negara anggota
harus memberikan perlakuan yang sama (no less
favourable treatment) berkaitan dengan persyaratan asal
barang terhadap semua produk dari negara anggota
seperti halnya perlakuan terhadap produk serupa dari
negara ketiga.
• Pasal ini juga mensyaratkan agar negara anggota harus
bekerjasama dalam mencegah penggunaan nama
dagang yang tidak menggambarkan asal barang suatu
produk, dengan merugikan nama-nama regional atau
geografis dari produk suatu negara anggota yang
dilindungi oleh hukum.
66

Pasal X
Pasal ini menegaskan bahwa undang-undang,
peraturan-peraturan, putusan-putusan pengadilan
dan administrasi mengenai klasifikasi dan
penilaian produk untuk tujuan kepabeanan, pajak,
pungutan, atau segala persyaratan yang
mempengaruhi penjualan, distribusi, transportasi,
asuransi, inspeksi pemrosesan, penggunaan, dan
lain-lain, harus dipublikasikan secara wajar
sehingga para negara anggota dan para pedagang
mengetahuinya.
67

Pasal XI
Negara anggota dilarang mempraktekkan
restriksi kuantitatif seperti pengenaan kuota,
lisensi impor atau ekspor atau upaya-upaya
lainnya disamping bea masuk, pajak dan
pungutan lainnya.

68

Pasal XII
Pasal ini membolehkan suatu negara untuk
menerapkan pembatasan masuknya produk
impor demi untuk mengamankan neraca
pembayarannya (restriction to safeguard the
balance of payment)

69

Pasal XIII
Pasal ini mensyaratkan bahwa penerapan
restriksi kuantitatif harus dilaksanakan tanpa
diskriminasi. Jadi, misalnya suatu negara
membatasi masuknya suatu produk dari
negara B. Pembatasan terhadap produk
negara B ini juga harus diberlakukan
terhadap negara C atau negara anggota
lainnya.
70

Hak-Hak

dan Kewa
jiban-Kew
ajiban Ek
Negara-N
onomi
egara

71

• HONESTE VIVERE
• NEMINEM LEDERE
• SUM QUI CUE TRIBUERI

72

PENGANTAR
Luis Echeverria Alvarez (1971)

HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL

Hak-Hak Ekonomi Negara

Kewajiban-Kewajiban
Ekonomi Negara

Perlu ada kesepakatan internasional
Karena belum diatur dalam Piagam PBB
73

NEGARA-NEGARA KELOMPOK 77

UNCTAD

RESOLUSI 45 (III)
18 Mei 1972

“ . . . Stressed the urgency to establish generally accepted norms to govern
international economic relations systematically and recognized that it is not
feasible to establish a joint order and a stable order as long as a charter to
protect the rights of all countries, and in particular the developing states, is
not formulated”.
74

KRISIS MINYAK DUNIA 1973

MAJELIS UMUM PBB (1974)

1. The Resolution on the Establishment of a New
International Economic Order (Resolusi 3201
(S-VI) 1 Mei 1974); dan
2. The Programme of Action on the Establishment of
a New International Economic Order (Resolusi 3202
(S-VI) 1 Mei 1974).
75

PIAGAM PBB TENTANG PRINSIP-PRINSIP
HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL

1. Mukadimah
2. Prinsip-Prinsip Fundamental Mengenai
Hubungan Ekonomi Internasional
3. Hak-Hak dan Kewajiban-Kewajiban
Ekonomi Negara-Negara
4. Tanggungjawab Bersama Terhadap
Masyarakat Internasional
5. Ketentuan Penutup
76

MUKADIMAH
1.
2.

3.
4.
5.

Menciptakan kemakmuran yang lebih luas di antara semua
negara dan standar hidup yang lebih tinggi bagi semua bangsa;
Memajukan ekonomi dan sosial semua bangsa, khususnya
negara sedang berkembang oleh segenap masyarakat
internasional, memajukan kerjasama atas dasar keuntungan dan
manfaat timbal balik bagi semua negara pencinta damai yang
bersedia melaksanakan ketentuan-ketentuan Piagam di bidang
ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan dan teknik tanpa
memandang sistem politik, ekonomi dan sosial;
Menanggulangi rintangan-rintangan utama bagi pembangunan
ekonomi negara-negara berkembang;
Memajukan perkembangan ekonomi negara-negara berkembang
untuk mengurangi jurang pemisah antara negara berkembang
dengan negara maju; dan
Melindungi dan memelihara lingkungan.

77

Prinsip-Prinsip Fundamental
Hubungan Ekonomi Internasional
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Kedaulatan, integritas wilayah dan kemerdekaan politik
negara-negara;
Persamaan kedaulatan semua negara;
Non-Agresi;
Non-intervensi;
Saling memberi manfaat dan adil;
Koeksistensi damai;
Hak-Hak sama dan penentuan nasib sendiri bagi
rakyat;
Penyelesaian sengketa secara damai;
Memperbaiki ketidakadilan yang disebabkan oleh satu
negara;
78

Prinsip-Prinsip Fundamental
Hubungan Ekonomi Internasional
10. Melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional
dengan ihtikad baik;
11. Menghormati Hak Azasi Manusia dan kebebasan
fundamenal;
12. Tidak mencari hegemoni dan pengaruh kekuasaan;
13. Memajukan keadilan sosial internasional;
14. Kerjasama internasional untuk pembangunan; dan
15. Akses bebas ke dan dari laut oleh negara-negara yang
dikelilingi oleh darat dalam ruang lingkup prinsipprinsip di atas.

79

Kedaulatan dan PMA Serta Harta Kekayaan
Yang Dibagi (Shared Resources)

80

Kadaulatan Negara

Full Sovereignty

Shared Sovereignty

Pasal 2

Pasal 3

Every State has and shall freely exercise
full and permanent sovereignty, … over
all its wealth, natural resources and
economic activities.

Dalam mengeksploitasi kekayaan alam
oleh dua atau lebih negara, masingmasing negara harus bekerjasama atas
dasar suatu sistem informasi dan berkonsultasi sebelumnya untuk mencapai
pemanfaatan optimal tanpa merugikan
kepentingan sah negara lainnya

81

Full Sovereignty

Prinsip Iktikad Baik
Pendirian

Nasionalisasi
Ekspropriasi

Waiver of Sovereignty

Non-Diskriminasi

PMA

Hukum Nasional

Perlakuan Sama

Hukum Internasional

Pengadilan Nasional & Arbitase

82

ATURAN-ATURAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

83

Pasal 4
Hak setiap negara untuk melakukan perdagangan
internasional dan bentuk-bentuk kerjasama
ekonomi lainnya tanpa memandang perbedaanperbedaan sistem politik, ekonomi dan sosial.

PRINSIP NON-DISKRIMINASI

84

Pasal 14
Setiap negara berkewajiban untuk bekerjasama dalam memajukan
perluasan dan liberalisasi perdagangan dunia dan meningkatkan
kesejahteraan dan standar kehidupan semua rakyatnya, khususnya
bagi negara-negara berkembang.

PRINSIP LIBERALISASI
EKONOMI

Negara maju harus memberikan perlakuan, perluasan dan peningkatan sistem
tarif preferensial yang sifatnya tidak timbal balik (tanpa pamrih) dan nonDiskriminatif kepada negara-negara berkembang yang sesuai dengan kesimpulan-kesimpulan atau keputusan-keputusan yang diambil di dalam organisasi
internasional yang kompeten. (Pasal 18)

85

Pasal 28

Negara-negara maju harus memberikan
pertimbangan-pertimbangan serius untuk
mengambil upaya-upaya lainnya yang layak dan
memungkinkan guna memenuhi kebutuhankebutuhan perdagangan dan pembangunan
negara-negara berkembang.

86

Pasal 21

Untuk memajukan perluasan perdagangan, negara-negara
berkembang harus berusaha untuk memberikan
preferensi-preferensi perdagangan kepada negara-negara
berkembang lainnya tanpa harus memberikan preferensi
tersebut kepada negara-negara maju, asalkan bahwa
usaha-usaha demikian itu tidak menghalangi liberalisasi
dan perluasan perdagangan umum. .

87

Pasal 26

International trade should be conducted without
prejudice to generalized non-discriminatory and
non-reciprocal preferences in favour of developing
nations, on the basis of mutual advantage,
equitable benefits and the exchange of mostfavoured-nation treatment.

88

Pasal 28

Semua negara wajib bekerjasama dalam mencapai
penyesuaian-penyesuaian harga ekspor negara-negara
berkembang dalam kaitannya dengan harga impor mereka.
Hal ini dilakukan guna memajukan persyaratanpersyaratan perdagangan yang adil bagi negara-negara
berkembang menurut cara-cara yang menguntungkan bagi
produsen dan adil baik untuk produsen maupun konsumen.

89

Perlakuan Preferensial Terhadap
Negara-Negara Kurang Maju

90

Pasal 19
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
negara-negara berkembang dan memperkecil
jurang ekonomi negara-negara berkembang dan
negara maju, maka negara maju harus
memberikan preferensi umum, prinsip non-pamrih
(non-reciprocal), dan non-diskriminatif kepada
negara-negara sedang berkembang di bidang
kerjasama ekonomi internasional manakala
memungkinkan.
91

Pasal 25
Negara-negara harus meperhatikan kebutuhankebutuhan dan masalah-masalah khusus negara
miskin diantara negara-negara berkembang dan
negara-negara kepulauan yang sedang
berkembang dengan tujuan membantu negaranegara tersebut untuk menanggulangi kesulitankesulitan khusus mereka dan karena itu
membantu pembangunan ekonomi dan sosial
mereka.

92

Organisasi Internasional

93

Pasal 10

Semua negara secara hukum memiliki
kedudukan yang sama sebagai anggota
masyarakat internasional. Karena itu,
semua negara memiliki hak yang sama
dalam proses pengambilan keputusan
dalam menyelesaikan masalah-masalah
ekonomi, keuangan dan moneter dunia
melalui organisasi internasional.
94

Pasal 11

Semua negara harus bekerjasama untuk
memperkuat dan meningkatkan effisiensi
organisasi internasional guna merealisasikan upaya-upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi semua negara khususnya
negara berkembang.

95

Kelompok-Kelompok
(Organisasi) Ekonomi Regional

96

Pasal 12
Negara-negara memiliki hak untuk bergabung dalam
kelompok-kelompok kerja sama subregional, regional dan
interregional dalam upayanya mengejar pembangunan
ekonomi dan sosialnya.

Semua negara yang terikat dalam kerjasama seperti itu
berkewajiban menjamin agar kebijaksanaan kelompok
dimaksud tidak bertentangan dengan ketentuan Piagam
dan konsisten dengan kewajiban-kewajiban internasional
dan kebutuhan kerjasama ekonomi internasional serta
kepentingan yang sah dari negara berkembang.
97

Alih Teknologi

98

Pasal 13: 1




Setiap negara berhak untuk memdapatkan
manfaat dari kemajuan dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan pembangunan sosial dan
ekonominya
Semua negara berkewajiban untuk
memajukan kerjasama ilmu pengetahuan dan
teknologi dan alih teknologi antar negara
dengan memperhatikan semua kepentingan
yang sah, termasuk, antara lain, hak dan
kewajiban pemegang, pemasok dan penerima
teknologi.
99

Pasal 13: 2, 3 dan 4
2.

3.

4.

Negara-negara harus memberi kesempatan kepada
negara berkembang untuk mendapatkan teknologi dan
pembentukan teknologi dasar bagi kepentingan
ekonomi dan kebutuhan negara berkembang;
Negara-negara maju harus bekerjasama dengan
negara-negara berkembang dalam membentuk,
memperkuat dan membangun infrastruktur dan
penelitian ilmu pengetahuan guna membantu
perluasan dan peningkatan ekonomi negara
berkembang;
Semua negara harus bekerjasama dalam bidang
penelitian guna mengembangkan pedoman-pedoman
atau pengaturan-pengaturan yang diterima secara
internasional untuk alih teknologi, dengan
memperhatikan kepentingan negara berkembang.
100

Kewajiban-Kewajiban Umum Untuk
Memajukan Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi

101

Pasal 7

• Setiap negara memiliki tanggungjawab
utama untuk memajukan pertumbuhan
ekonomi sosial dan budaya rakyatnya;
• Setiap negara secara individu maupun
kolektif diwajibkan untuk bekerjasama
dalam menghapuskan rintangan-rintangan
yang menghambat mobilisasi dan
penggunaan kekayaan alamnya.
102

Pasal 8
Setiap negara harus:
1. bekerjasama dalam memperlancar
hubungan ekonomi internasional yang
lebih rasional dan adil; dan
2. menggalakkan perubahan-perubahan
struktural dalam perekonomian dunia
yang harmonis sesuai dengan
kebutuhan dan kepentingan semua
negara, khususnya negara berkembang.
103

Pasal 9

Semua negara memiliki tanggungjawab
untuk bekerjasama di dalam lapangan
ekonomi, sosial dan budaya, ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk
memajukan tingkat ekonomi dan sosial di
seluruh dunia, khususnya negara
berkembang.
104

Tanggungjawab Bersama Terhadap
Masyarakat Internasional

105

Tanggung Jawab Bersama

Pasal 29

Pasal 30

Common Responsibility
towards
the International Commodity

Common Responsibility
To Protect
the Environment
106

PENNYELESAIAN
SENGKETA
EKONOMI
INTERNASIONAL
(SUKANDA HUSIN, SH. LL.M.)
107

Macam-Macam Sengketa
Ekonomi Internasional
Sengketa antara Pedagang
dengan Pedagang

Sengketa antara Pedagang
Dengan Negara Asing

Azas
Kebebasan Berkontrak

Prinsip
Jure Gestiones
108

Prinsip Prinsip
Penyelesaian Sengketa
• KESEPAKATAN PARA PIHAK
• KEBEBASAN MEMILIH CARACARA PENYELESAIAN SENGKETA
• KEBEBASAN MEMILIH HUKUM
• IHTIKAT BAIK (GOOD FAITH)
• EXHAUSTION OF LOCAL
REMEDIES
109

• PACTUM DE COMPROMITENDO

110

Pasal 33 Piagam PBB

“The parties to any dispute … shall
… seek a solution by negotiation, inquiry,
mediation, conciliation, arbitration, judicial
settlement … or other peaceful means
of their own choice

1.
2.
3.
4.
5.

Negoisiasi
Mediasi
Penyelidikan
Jasa-Jasa Baik
Arbitrase

1.
2.
3.
4.

Pengadilan Internasional
WTO
ICC
ICSID
111

Penyelesaian Sengketa

Adjudicative/
Judicial Way

Amicable Way/

Alternative Dispute Resolution

PENGADILAN

NEGOSIASI
MEDIASI
ARBITRASI

OPEN ACCESS

LIMITED ACCESS

112

Negosiasi
• Negotiation is an efficacious means of
settling disputes relating to an agreement
because they enable parties to arrive at
conclusions being regard to the wishes of
all disputants.”
• Negotiations tend to be success because
they are carried out through diplomatic
channels and/or friendly relations.
113

Kelemahan Negosiasi
• Kedudukan para pihak tidak selalu
seimbang. Akibatnya sering terjadi
penekanan oleh pihak yang kuat terhadap
pihak yang lemah;
• Prosesnya sangat lambat dan memakan
banyak sumberdaya finansial;
• Pendirian yang kuat dari para pihak;

114

Mediasi
• Penyelesaian sengketa dg
mempergunakan jasa pihak ketiga;
• Mediator berupaya mencarikan saran
penyelesaian sengketa;
• Pihak yang bersengketa dapat menolak
saran yang diberikan mediator.

115

Penyelidikan (Inquiry)
• Konsiliator berusaha menemukan faktafakta yang berkaitan dengan sengketa;
• Berdasarkan fakta-fakta tersebut
konsiliator menawarkan saran untuk
membantu penyelesaian sengketa;

116

Jasa Baik (Good Offices)
• Jasa baik merupakan upaya pihak ketiga
untuk menggiring pihak bersengketa ke
meja perundingan;
• Keikutan pihak ketiga da am perundingan
harus berdasarkan konsensus pihak yang
bersengketa

117

Arbitrasi
• Penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga
yang disebut arbiter;
• Arbitrase menyelesaikan sengketa
dengan membuat keputusan yang bersifat
final and binding;
• Penyerahan sengketa ke arbitrase harus
dengan akta compromis.

118

Article XXIII
Dispute Settlement and Enforcement
1. If any Member should consider that any other Member
fails to carry out its obligations or specific commitments
under this Agreement, it may with a view to reaching a
mutually satisfactory resolution of the matter have
recourse to the DSU.
2. If the DSB considers that the circumstances are serious
enough to justify such action, it may authorize a Member
or Members to suspend the application to any other
Member or Members of obligations and specific
commitments in accordance with Article 22 of the DSU.

119

3.If any Member considers that any benefit it could
reasonably have expected to accrue to it under a
specific commitment of another Member under
Part III of this Agreement is being nullified or
impaired as a result of the application of any
measure which does not conflict with the
provisions of this Agreement, it may have recourse
to the DSU. If the measure is determined by the
DSB to have nullified or impaired such a benefit,
the Member affected shall be entitled to a mutually
satisfactory adjustment on the basis of
paragraph 2 of Article XXI, which may include the
modification or withdrawal of the measure. In the
event an agreement cannot be reached between
the Members concerned, Article 22 of the DSU
shall apply.
120

BENTUK ARBITRASE
Nasional
AD-HOC

INSTITUSIONAL

Insidentil
Aturan Khusus

Peraturan para pihak
(Partij Otonomie)

Internasional

Permanen &
melembaga

1.

UU No. 30/1999 + BANI

2.

DSB/DSU

3.
4.
5.

ICC Rules
UNCITRAL Arbitration Rules
ICSID/ICSID Rules
121

LEMBAGA PENYELESAIAN
SENGKETA

Sengketa antara Negara

Sengketa antara Investor
Dengan Negara Asing

DSB WTO

ICSID
122

Partij Otonomie
Choice of Forum
Forum Non Conveniens

Choice of Law

Arbitrase/Alternatif
Penyelesaian Sengketa
123

DISPUTE SETTLEMENT BODY
The Understanding Rules and Procedures
Governing the Settlement of Disputes (DSU)

The rules and procedures of this Understanding shall apply
to disputes brought pursuant to the consultation and dispute
settlement provisions of the agreements listed in Appendix 1
to this Understanding (referred to in this Understanding as
the "covered agreements"). The rules and procedures of
this Understanding shall also apply to consultations and the
settlement of disputes between Members concerning their
rights and obligations under the provisions of the Agreement
Establishing the World Trade Organization (referred to in this
Understanding as the "WTO Agreement") and of this
Understanding taken in isolation or in combination with any
other covered agreement. (Art. 1)
124

APPENDIX 1
1. Multilateral Agreements on Trade in
Goods
2. General Agreement on Trade in Services
3. Agreement on Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights

125

ARTICLE 2
. . .the DSB shall have the authority to
establish panels, adopt panel and
Appellate Body reports, maintain
surveillance of implementation of
rulings and recommendations, and
authorize suspension of concessions
and other obligations under the covered
agreements . . . .
126

ARTICLE 3 (2)
The dispute settlement system of the WTO is
a central element in providing security and
predictability to the multilateral trading
system. The Members recognize that it
serves to preserve the rights and
obligations of Members under the covered
agreements, and to clarify the existing
provisions of those agreements in
accordance with customary rules of
interpretation of public international law.
Recommendations and rulings of the DSB
cannot add to or diminish the rights and
obligations provided in the covered
127
agreements.

ARTICLE 3 (3)
The prompt settlement of situations in
which a Member considers that any
benefits accruing to it directly or
indirectly under the covered
agreements are being impaired by
measures taken by another Member
is essential to the effective functioning
of the WTO and the maintenance of a
proper balance between the rights and
obligations of Members
128

ARTICLE 3 (7)
The aim of the dispute settlement
mechanism is to secure a positive solution to
a dispute. A solution mutually acceptable to
the parties to a dispute and consistent with
the covered agreements is clearly to be
preferred. In the absence of a mutually
agreed solution, the first objective of the
dispute settlement mechanism is usually to
secure the withdrawal of the measures
concerned if these are found to be
inconsistent with the provisions of any of the
covered agreements.

129

ARTICLE 6
If the complaining party so requests, a
panel shall be established at the latest
at the DSB meeting following that at
which the request first appears as an
item on the DSB's agenda, unless at
that meeting the DSB decides by
consensus not to establish a panel

130

ARTICLE 7
If the complaining party so requests, a
panel shall be established at the latest
at the DSB meeting following that at
which the request first appears as an
item on the DSB's agenda, unless at
that meeting the DSB decides by
consensus not to establish a panel

131

ARTICLE 11
The function of panels is to assist the DSB in
discharging its responsibilities under this
Understanding and the covered agreements.
Accordingly, a panel should make an objective
assessment of the matter before it, including an
objective assessment of the facts of the case and the
applicability of and conformity with the relevant
covered agreements, and make such other findings
as will assist the DSB in making the
recommendations or in giving the rulings provided for
in the covered agreements. Panels should consult
regularly with the parties to the dispute and give them
adequate opportunity to develop a mutually
satisfactory solution.

132

ARTICLE 21 (3)
. . . . If it is impracticable to comply immediately with the
recommendations and rulings, the Member concerned shall
have a reasonable period of time in which to do so. The
reasonable period of time shall be:
(a) the period of time proposed by the Member concerned,
provided that such period is approved by the DSB; or, in the
absence of such approval,
(b) a period of time mutually agreed by the parties to the
dispute within 45 days after the date of adoption of the
recommendations and rulings; or, in the absence of such
agreement,
(c) a period of time determined through binding arbitration
within 90 days after the date of adoption of the
recommendations and rulings. In such arbitration, a guideline
for the arbitrator should be that the reasonable period of time to
implement panel or Appellate Body recommendations should
not exceed 15 months from the date of adoption of a panel or
Appellate Body report. However, that time may be shorter or
longer, depending upon the particular circumstances.
133

The Tuna-Dolphin Case
1. Amerika Serikat melakukan embargo terhadap produk ikan tuna
yang berasal dari Mexico karena berdasarkan putusan pengadilan
dalam perkara Earth Island Institute v. Mosbacher, Pemerintah
Amerika Serikat harus melaksanakan embargo atas ikan tuna yang
berasal dari Meksiko karena dalam melakukan penangkapan ikan
tuna, Meksiko menggunakan net atau jala yang dapat membunuh
ikan lumba-lumba yang populasinya makin berkurang.
2. Petisi ini dilakukan oleh Earth Island Institute atas dasar
keberadaan sebuang undang-undang federal, the Marine Mamal
Protection Act (MMPA) 1972. Tujuan diundangkannya MMPA
adalah untuk mengurangi jumlah lumba-lumba yang mati akibat
penggunaan purse seine nets.
3. Menurut MMPA, bila ada negara yang melakukan penangkapan
tuna berakibat matinya lumba-lumba, maka pemerintah harus
mengembargo masuknya tuna dimaksud ke Amerika Serikat.

134

Tuna-Dolphin Case (Cont.)
4. Tindakan pemerintah Amerika Serikat melakukan
embargo tersebut menuai protes dari Meksiko.
5. Meksiko beranggapan bahwa perbuatan pemerintah
Amerika Serikat tersebut bertentangan atau berlawanan
dengan Klausul most-favoured nations sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 GATT.
6. Amerika Serikat membela diri dengan mengatakan
bahwa tindakannya tersebut adalah benar dan
mempunyai dasar hukum. Tindakannya dikatakan
sebagai suatu upaya penyelamatan lingkungan seperti
yang diharuskan oleh MMPA dan perjanjian multilateral
di bidang lingkungan hidup.
135

Tuna-Dolphin Case (Cont.)
5. Meksiko membawa sengketa ini ke GATT Dispute Panel.
Panel memutuskan bahwa embargo A.S. atas produk tuna
Meksiko merupakan perbuatan yang tidak konsisten
dengan kewajiban perdagangan internasional A.S. dengan
tiga alasan :
1. “A nation can protect life and health within its own territory, but it
should not affect the conduct of foreign procedures outside
domestic jurisdiction in respect of animals also outside
jurisdiction;
2. Trade measures could only be used where they were
necessary; not if they were uncertain or arbitrary;
3. The embargo discriminated against Mexican tuna products
although there was no intrinsic difference between the tuna
produced by Mexico and the USA. The reason for the embargo
related wholly to an undesirable effect of the fishing or
production process.”
136

Tuna-Dolphin Case (Cont.)
Berdasarkan pertimbangan di atas dapat disimpulkan:
(1) bahwa suatu negara boleh membuat hukum untuk
melindungi kehidupan dan kesehatan manusia termasuk
binatang di teritorialnya, tapi peraturan itu tidak dapat
diberlakukan di luar yurisdiksinya;
(2) bahwa pembatasan perdagangan hanya dapat digunakan
bila diperlukan dan tidak boleh digunakan bila tidak pasti
dan semena-mena; dan
(3) bahwa embargo dimaksud merupakan perbuatan
diskriminasi terhadap produk ikan tuna Meksiko walaupun
sebenarnya tidak ada perbedaan yang jelas antara tuna
yang diproduksi oleh Meksiko dan oleh Amerika Serikat.
Alasan melakukan embargo berkaitan secara keseluruhan
dengan akibat yang tak diinginkan terhadap perikanan dan
proses produksi.
137

What do you think?
1. Produk mebel Indonesia pernah ditolak di pasar
Eropah;
2. Alasannya adalah karena mebel Indonesia dibuat
dari hasil illegal logging dan merusak hutan tropis
sebagai paru-paru dunia; yang paling penting
adalah karena Indonesia melanggar norma
hukum internasional.
3. Apakah Indonesia bisa mengajukan protes/
gugatan ke DSB WTO?
4. Kalau anda jadi Arbitornya, apa keputusan anda?

138

NORMA HI YG MELARANG
ILLEGAL LOGGING
• 1994 International Tropical Timber
Agreement (ITTA) – sustainable forest
management
• Maximum Sustainable Yield
• UU NO. 41/1999 TTG KEHUTANAN
• DATA WWF: JLH IZIN HPH, HPHTI, IPK,
dll oleh RI sdh melebihi jlh wil hutan ind
139

Sengketa Mobnas Indonesia
• 23 Juli 1998, Dispute Settlement Body (DSB) WTO mengadopsi the
Panel Report ttg Indonesia – Certain Measures Affecting the Automobile
Industry.
• Berkaitan dengan Program Pemerintah tahun 1993, Panel
berpendapat bahwa persyaratan bahan/komponen lokal, yang terkait
dengan keuntungan pajak penjualan dan cukai tertentu melanggar
ketentuan Article 2 the Agreement on Trade-Related Investment
Measures (the "TRIMs Agreement") dan bahwa aspek diskriminasi
pajak penjualan melanggar Article III:2 GATT 1994.
• Berkaitan dengan Program Mobil Nasional 1996, Panel berpendapat,
inter alia, bahwa Indonesia telah bertindak secara inkonsisten dengan
Article 2 of the TRIMs Agreement dan Articles I dan III:2 GATT 1994,
• The EC telah mendemonstrasikan bahwa Indonesia telah menyebabkan
prejudice yang serius terhadap kepentingan EC dalam artian Article 5(c)
the Agreement on Subsidies and Countervailing Measures.
• Panel merekomendasikan bahwa DSB meminta Indonesia untuk
mencocokan standard-standard-nya dengan kewajiban-kewajibannya
berdasarkan WTO Agreement."
140

Award Sengketa Mobnas




Article 21.1 DSU menyebutkan prinsip umum bahwa “pencepatan
kepatuhan terhadap rekomendasi dan keputusan DSB adalah esensial
agar dapat menjamin penyelesaian sengketa efektif untuk keuntungan
semua Negara Anggota.”
Sehubungan dengan Article 21.3 DSU: "jika ini tidak praktis untuk
segera mentaati rekomendasi dan keputusan, Negara Anggota
bersangkutan harus mempunyai periode waktu yang pantas untuk
melakukan itu." Bila periode waktu yang pantas ditetapkan melalui
arbitrase mengikat sesuai dengan Article 21.3(c), ketentuan mana
mengatur bahwa:
... a guideline for the arbitrator should be that the reasonable period of time to
implement panel or Appellate Body recommendations should not exceed 15
months from the date of adoption of a panel or Appellate Body report.
However, that time may be shorter or longer, depending upon the particular
circumstances

141

Award Sengketa Mobnas
• Indonesia telah menunjukan, baik secara tertulis maupun
secara lisan yang dibuat dalam persidangan lisan, bahwa
dia berniat untuk tidak begitu saja mencabut peraturanperaturan ya