T1 802008009 Full text
7
PENDAHULUAN
Menurut Boekaerts (2005) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan seorang siswa untuk mencapai prestasi yang maksimal. Faktor
tersebut adalah intelegensi, kepribadian, lingkungan sekolah, dan lingkungan
rumah. Namun selain faktor-faktor tersebut ternyata self regulation juga
mempunyai andil dalam keberhasilan siswa mencapai prestasi yang maksimal
(Boekaerts, 2005). Walaupun seorang siswa memiliki tingkat intelegensi yang
baik,
kepribadian,
lingkungan
rumah,
dan
lingkungan
sekolah
yang
mendukungnya, namun tanpa ditunjang oleh kemampuan self regulation maka
siswa tersebut tetap tidak akan mampu mencapai prestasi yang optimal.
Schunk (2001), mengemukakan bahwa siswa dikatakan melakukan self
regulation dalam belajar bila mereka secara sistematis mengatur perilaku dan
kognisinya dengan memperhatikan aturan yang dibuat sendiri, mengontrol
jalannya proses belajar dan mengintegrasikan pengetahuan, melatih untuk
mengingat informasi yang diperoleh, serta mengembangkan dan mempertahankan
nilai-nilai positif belajarnya.
Permasalahan belajar meliputi masalah pengaturan diri, untuk itu siswa
membutuhkan pengaturan diri (self regulated learning) atau (SRL). Zimmerman
(1989) menjelaskan bahwa self regulated learning penting bagi semua jenjang
akademis. Self regulated learning dapat diajarkan, dipelajari dan dikontrol.
Umumnya, siswa yang berhasil adalah siswa yang menggunakan strategi self
regulated learning dan sebagian besar sukses di sekolah. Self regulated learning
mampu mengatur kinerja dan prestasi akademis. Self regulated learning penting
untuk diteliti, mengingat siswa harus mengatur diri supaya prestasi akademisnya
sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan salah satu komponen dari self-regulation,
yaitu meregulasi usaha yang mempunyai hubungan dengan prestasi dan mengacu
pada niat siswa untuk mendapatkan sumber, energi, dan waktu untuk dapat
menyelesaikan tugas akademis yang penting (Wolters, Pintrich & Karabenick,
2003).
Belakangan ini pemenuhan layanan pada bidang pendidikan untuk setiap
warga negara oleh pemerintah semakin dikembangkan secara menyeluruh, tak
v
8
terkecuali kebutuhan akan layanan pendidikan untuk siswa yang notabene
mempunyai tingkat intelegensi tinggi (Hawadi, 2006). Hal tersebut disertai
dengan munculnya fenomena penyelenggaraan program percepatan belajar (kelas
akselerasi) di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
dan Sekolah Menengah Umum (SMU). Kelas akselerasi mulai dikembangkan
pada tahun 1998/1999 dengan maksud untuk memfasilitasi layanan pendidikan
khusus bagi anak berbakat (Hawadi, 2006). Menurut Tirtonegoro (2001)
percepatan (acceleration) adalah cara penanganan anak super normal dengan
memperbolehkan naik kelas secara meloncat atau menyelesaikan kelas reguler di
dalam jangka waktu yang lebih singkat. Hal senada juga disampaikan oleh Lubis
(dalam Hawadi, 2006) yang mendefinisikan istilah akselerasi sebagai program
pelayanan yang diberikan kepada siswa dengan tingkat keberbakatan tinggi agar
dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari siswa yang lain (kelas
reguler).
Peserta didik pada kelas akselerasi mempunyai metode dan cara belajar
yang berbeda dengan siswa kelas reguler. Siswa akselerasi mempunyai
kemampuan metakognisi dalam menghadapi dan mencerna materi pelajaran
kemampuan
untuk
merefleksikan
pada
berpikir
sendiri
mereka
dan
mengembangkan dan menggunakan keterampilan pemecahan masalah yang
praktis untuk menyelesaikan materi pelajaran di sekolahnya (Hawadi, 2006).
Siswa yang mampu mengarahkan dirinya saat belajar (self regulated learners)
dapat
dilihat dari cara mereka merencanakan, mengorganisasikan dan
mengarahkan diri sendiri, serta melakukan evaluasi diri pada berbagai tingkatan
selama proses perolehan informasi.
Berdasarkan wawancara dengan pihak sekolah yang diwakili oleh salah
satu guru matematika menuturkan bahwa SMPN 1 Salatiga merupakan pelopor
diadakannya kelas akselerasi di kota Salatiga. Kelas akselerasi
yang
diselenggarakan di SMPN 1 Salatiga dimulai pada kelas sepuluh atau biasa yang
disebut kelas satu SMP. Waktu tempuh kelas akselerasi di SMPN 1 Salatiga
adalah 2 tahun dengan kata lain bahwa kelas akselerasi lebih cepat 1 tahun
daripada kelas reguler pada umumnya. Siswa kelas akselerasi di SMP N 1 Salatiga
v
9
mempunyai tantangan dalam melakukan proses belajarnya. Tantangan yang harus
dihadapi adalah siswa kelas akselerasi harus sanggup belajar dengan materi yang
berlimpah dalam waktu yang cukup singkat, agar semua materi dapat selesai tepat
waktu seturut dengan kurikulum maupun aturan yang berlaku.
Dari pemaparan fenomena dan fakta maupun hasil penelitian sebelumnya,
maka peneliti tertarik untuk meneliti perbedaaan self regulated learning antara
siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga.
TINJAUAN PUSTAKA
Self Regulated Learning
Self regulation didefinisikan sebagai pengarahan aktivasi pemikiran,
perilaku dan perasaan (affect) yang terus menerus dalam usaha untuk mencapai
target yang telah ditetapkan (Schunk, 2001). Bentuk self regulation dalam proses
pembelajaran lebih dikenal sebagai self regulated learning. Zimmerman (1989)
menyatakan bahwa self regulated learning merupakan konsep mengenai
bagaimana seorang peserta didik menjadi pengatur bagi belajarnya sendiri.
Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) selanjutnya juga menjelaskan self regulated
learning sebagai suatu proses dimana seorang peserta didik mengaktifkan dan
mendorong kognisi (cognition), perilaku (behaviours) dan perasaannya (affect)
secara sistematis dan berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Purwanto
(2000) menjelaskan bahwa self regulated learning secara harfiah disusun dari dua
kata yaitu self regulated yang berarti mengelola diri dan learning berarti belajar.
Self regulated learning dapat diartikan sebagai belajar secara terkelola diri atau
dengan kata lain belajar yang bertumpu pada pengelolaan diri. Sedangkan
Zimmerman (1989) berpendapat bahwa siswa yang memiliki self regulated
learning adalah siswa yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral
merupakan peserta aktif dalam proses belajar bagi mereka.
Menurut Zimmerman (dalam Montalvo dan Torres, 2004), self regulated
learning mencakup tiga aspek :
v
10
a. Metakognisi
Menurut Reed & Giessler (dalam Alsa, 2007), metakognisi adalah berfikir
mengenai berfikir, yaitu kemampuan untuk mengetahui apa yang perlu
dilakukan dalam suatu peristiwa yang akan terjadi. Zimmerman (dalam Haryu,
2004) mengemukakan bahwa metakognisi adalah kemampuan individu dalam
merencanakan,
mengorganisasi
atau
mengatur,
mengintruksikan
diri,
memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar.
b. Motivasi Intrinsik
Strategi untuk meregulasi motivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan
dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk memulai,
mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau
sesuai tujuan. Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau
perilaku dimana siswa berusaha mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketekunan
tugas akademisnya (Wolters, Pintrich & Karabenick, 2003).
c. Perilaku Aktif
Strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk
mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Sesuai penjelasan Bandura
(Zimmerman, 1989) bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi (person),
walaupun bukan “self” internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi
dan afeksi. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation),
waktu dan lingkungan (time/ study environment), dan pencarian bantuan (helpseeking).
Zimmerman (1989) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi self
regulated learning sebagai berikut:
a. Faktor Personal
Beberapa faktor personal tersebut adalah pengetahuan peserta didik, proses
metakognisi, tujuan yang akan dicapai, dan afeksi. Paris dan Winograd (2002)
menggolongkan pengetahuan menjadi tiga yakni pengetahuan kondisional,
pengetahuan prosedural, dan pengetahuan deklaratif. Zimmerman (1989)
mengemukakan dari ketiga jenis pengetahuan tersebut yang merupakan
pengetahuan bagi peserta didik yang melaksanakan self regulated learning
v
11
adalah pengetahuan prosedural dan pengetahuan kondisional, sedangkan
pengetahuan deklaratif dan pengelolaan diri bersifat interaktif. Dapat
disimpulkan, dengan semakin baiknya pengetahuan kondisional (yaitu
menggunakan strategi yang tepat untuk memfasilitasi penyelesaian tugas) dan
pengetahuan prosedural (yaitu mengkomposisikan tugas untuk mencapai
tujuan jangka pendek) , maka peserta didik yang menggunakan self regulated
learning akan semakin dekat dalam pencapaian targetnya.
b. Faktor Perilaku
Faktor perilaku meliputi observasi diri (self observation), penilaian diri (self
judgement), dan reaksi diri (self reaction). Pentingnya observasi diri dapat
ditelaah melalui penelitian yang dilakukan oleh Schunk (2001). Hasil
penelitian tersebut menyatakan bahwa peserta didik yang menggunakan
observasi diri dalam proses pembelajaran lebih memiliki efikasi diri yang
tinggi, lebih terampil, dan lebih terkonsentrasi pada tugas daripada peserta
didik yang tidak menggunakan observasi diri. Penilaian diri mengarah pada
respon peserta didik yang berhubungan dengan komparasi secara sistematis
terhadap kinerja mereka dengan standar tujuan. Peserta didik yang
melaksanakan penilaian diri memiliki kinerja yang lebih tinggi, efikasi diri
yang lebih baik, dan kesadaran yang lebih baik. Peserta didik yang bereaksi
positif terhadap kemampuan dirinya maka dapat meningkatkan kinerjanya.
c. Faktor Lingkungan
Kegiatan belajar seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dimana peserta didik
tersebut berada. Lingkungan yang kondusif akan mengarahkan peserta didik
menggunakan self regulated learning dalam proses pembelajarannya, dan
sebaliknya jika lingkungan yang kurang kondusif akan membuat kesulitan
berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Hasil penelitian terhadap
peserta didik gifted dan ungifted yang dilakukan Munandar, Herkusumo &
Bonang (2009) menunjukkan bahwa lingkungan belajar di rumah sangat
mempengaruhi dimilikinya self regulated learning dan dapat berdampak pada
meningkatnya prestasi belajar.
v
12
Jenis Kelas
Definisi dari jenis kelas dalam penelitian ini adalah macam atau bentuk
suatu program pendidikan tempat siswa belajar di sekolah untuk mencapai suatu
tujuan yang ingin dicapai. Jenis kelas dibedakan menjadi:
a. Kelas Akselerasi
Colangelo (dalam Hawadi, 2004) memaparkan bahwa istilah akselerasi
menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service delivery) dan kurikulum
yang disampaikan (curriculum delivery). Sebagai model pelayanan, akselerasi
dapat diartikan sebagai model layanan pembelajaran cara lompat kelas,
misalnya bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi (IQ di atas 130) diberi
kesempatan untuk mengikuti pelajaran pada kelas yang lebih tinggi dari yang
seharusnya. Sementara itu, sebagai model kurikulum, akselerasi berarti
mempercepat bahan pelajaran dari yang seharusnya dikuasai oleh siswa saat
itu. Akselerasi akan membuat anak berbakat menguasai banyak isi pelajaran
dalam waktu yang singkat. Anak-anak ini dapat menguasai bahan pelajaran
secara cepat dan merasa bahagia atas prestasi yang dicapainya. Menurut Zuhdi
dan Latifah (2006), program percepatan belajar (akselerasi) adalah salah satu
program layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang oleh guru telah
diidentifikasi memiliki prestasi sangat memuaskan, dan oleh psikolog telah
diidentifikasi memiliki kemampuan intelektual umum pada taraf cerdas,
memiliki kreativitas dan keterikatan terhadap tugas di atas rata-rata, untuk
dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
mereka. Durasi KBM (kegiatan belajar mengajar) untuk siswa kelas akselerasi
lebih lama dari siswa kelas reguler, yaitu antara pukul 07.00 sampai dengan
16.00.
b. Kelas Reguler
Baker (2000) mendefinisikan reguler yaitu mengikuti pola, terutama dengan
jarak dan waktu yang sama. Kelas reguler merupakan kelas dengan
menggunakan sistem pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan
secara klasikal massal kepada siswa artinya dengan tidak memberikan
pengelompokan/pembedaan khusus atas dasar kemampuan, prestasi, akan
v
13
tetapi pembagian kelas secara merata dari segi kuantitas. Hal tersebut sesuai
dengan
pendapat
dari
Widyastono
(2004)
tentang
kelas
reguler
diselenggarakan berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Di dalam kelas
reguler semua peserta didik atau siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa
melihat perbedaan kemampuan mereka. Kelas reguler adalah kelas yang
mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku. Kelas ini merupakan kelas
umum dengan masa belajar selama 3 tahun. Durasi KBM (Kegiatan Belajar
Mengajar) pada siswa kelas reguler lebih singkat dari siswa kelas akselerasi,
yaitu antara pukul 07.00 sampai 13.30.
Perbedaan Self Regulated Learning Antara Siswa Akselerasi Dengan Siswa
Reguler
Teori sosial kognitif menjelaskan bahwa faktor perilaku, faktor kognitif
serta faktor sosial, memiliki peran penting dalam suatu proses pembelajaran. Self
regulated learning merupakan proses pembelajaran yang melibatkan ketiga faktor
tersebut. Self regulated learning didefinisikan oleh Zimmerman (1989) sebagai
suatu proses dimana seorang siswa mengaktifkan dan mendorong kognisi
(cognition), perilaku (behaviour ) dan perasaannya (affect) secara sistematis dan
berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Berdasarkan perspektif sosial
kognitif, siswa yang dapat dikatakan sebagai self regulated learner adalah siswa
yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral aktif dan turut serta dalam
proses belajar mereka.
Gie (1979) mengatakan bahwa cara belajar yang baik sangat mendukung
seseorang untuk berhasil dalam studi. Lembaga pendidikan menghendaki
siswanya belajar secara maksimal untuk mencapai prestasi yang seoptimal
mungkin. Tuntutan belajar tersebut mengharuskan siswa untuk belajar lebih
mandiri, disiplin dalam mengatur waktu, dan melaksanakan kegiatan belajar yang
lebih terarah dan intensif sehingga memungkinkan siswa tampil produktif, kreatif,
dan inovatif.
Nugroho (2006) menjelaskan bahwa jika dalam proses pembelajarannya
anak berbakat memiliki dan menggunakan self regulated yang kuat dan bersifat
v
14
positif maka akan mampu mendukung keberhasilan dalam dunia akademik. Self
regulated learning tersebut merupakan salah satu determinan faktor untuk
keberhasilan studi anak berbakat. Siswa belajar meregulasi diri disaat menghadapi
tantangan atau kurikulum baru disampaikan oleh Pintrich (dalam Alsa, 2007).
Pada siswa kelas akselerasi, peserta didik memperoleh materi pelajaran
yang lebih banyak dengan durasi yang lebih singkat dibandingkan peserta didik
kelas reguler. Siswa yang mempunyai bakat istimewa dari segi intelektualnya
yang tinggi tidak terlalu memerlukan motivasi atau dorongan dari luar dirinya.
Mereka mampu bekerja dan belajar secara mandiri, mempunyai daya imajinasi
yang tergolong tinggi, mempunyai konsentrasi yang baik, maka tidak seluruh
materi kurikulum pembelajaran harus diberikan dengan bentuk tatap muka di
kelas atau mengikuti irama pembelajaran yang sama dengan kelas reguler. Oleh
karena itu peserta didik kelas akselerasi diharapkan untuk mampu meregulasi diri
dengan melibatkan cara berpikir yang lebih efektif untuk memaksimalkan
kapabilitas, melibatkan keputusan motivasional tanpa adanya dorongan dari luar
tentang hakikat proses pembelajarannya, dan menggunakan strategi belajar
dengan
mengarahkan
situasi
dan
lingkungan
belajarnya
lebih
cermat
dibandingkan dengan peserta didik kelas reguler.
Dari pemaparan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa siswa
akselerasi lebih mampu belajar menggunakan regulasi diri dibandingkan siswa
kelas reguler.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan self
regulated learning antara siswa kelas akselerasi dengan siswa kelas reguler. Siswa
kelas akselerasi lebih mempunyai self regulated learning dibandingkan dengan
siswa kelas reguler.
v
15
METODE PENELITIAN
Partisipan
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Salatiga. Partisipan dalam
penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Salatiga tahun ajaran
2013/2014 pada program kelas akselerasi dan program kelas regular.
Prosedur Sampling
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling ,
dengan metode judgement sampling yaitu berdasarkan pemilihan sampel
berdasarkan pertimbangan tertentu disesuaikan dengan tujuan atau masalah
penelitian. Alasan menggunakan purposive sampling didasari pertimbangan agar
sampel data yang dipilih memenuhi kriteria untuk diuji (Sugiyono, 2012). Peneliti
memilih SMP Negeri 1 Salatiga karena memiliki kekhasan yaitu sebagai sekolah
yang menyelenggarakan dua program sekaligus meliputi program regular dan
akselerasi.
Sekolah
tersebut
merupakan
sekolah
yang
pertama
kali
menyelenggarakan program akselerasi di kota Salatiga. Sampel dalam penelitian
ini adalah siswa kelas VII pada kelas reguler 14 orang dan kelas akselerasi
sebanyak 14 orang.
Pengukuran
Skala dalam penelitian disusun oleh peneliti dengan mengacu pada aspekaspek self regulated learning yang dikemukakan oleh Zimmerman (dalam
Montalvo dan Torres, 2004) yaitu aspek metakognisi, motivasi intrinsik, dan
perilaku aktif. Alternatif pilihan jawaban untuk setiap item self regulated learning
yang tersedia, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), serta
Sangat Tidak Setuju (STS). Adapun nilai skala self regulated learning untuk
favourable adalah: satu (1) untuk Sangat Tidak Setuju (STS), dua (2) Tidak Setuju
(TS), tiga (3) untuk Setuju (S), dan empat (4) untuk Sangat Setuju (SS).
Sebaliknya untuk unfavourable adalah empat (4) untuk Sangat Tidak Setuju
(STS), tiga (3) untuk Tidak Setuju (TS), dua (2) untuk Setuju (S), dan satu (1)
untuk Sangat Setuju (SS). Artinya semakin tinggi skor yang diperoleh subjek
v
16
berarti semakin tinggi self regulated learning siswa SMP Negeri 1 Salatiga dan
sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah self
regulated learning siswa SMP Negeri 1 Salatiga.
Pengujian validitas alat ukur menggunakan patokan Azwar (2012) yang
menyatakan semua korelasi item yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30
daya bedanya dianggap memuaskan. Berdasarkan hasil uji validitas item pada
angket self regulated learning, dari 62 item terdapat 44 item valid dan 18 item
yang gugur. Item-item yang gugur adalah item nomor 2, 7, 10, 15, 23, 27, 31, 36,
37, 43, 45, 46, 48, 49, 52, 53, 58, 62. Item yang dinyatakan gugur tersebut adalah
item yang memiliki koefisien korelasi total kurang dari 0,3.
Tabel 1
Item Valid dan Gugur Pada Skala Self Regulated Learning
No
1
2
3
Aspek
Metakognisi
Indikator
Merencanakan
Favourable
1, 2*
Unfavourable
11, 12
Mengorganisasi
3, 4
13, 14
Menginstruksikan
Diri
Memonitor
Aktivitas Belajar
Melakukan
Evaluasi
Menggerakkan
5, 6
15*, 16
7*, 8
17, 18
9, 10*
19, 20
21, 22, 23*
30, 31*, 32
Mengarahkan
Menopang
Waktu dan Tempat
untuk Belajar
24, 25, 26
27*, 28, 29
39, 40, 41
33, 34, 35
36*, 37*, 38
51, 52*, 53*
Mengontrol dan
Meregulasi Usaha
Kelompok Belajar
Perilaku Mencari
Bantuan
Total Item Valid
42, 43*, 44
54, 55, 56
45*, 46*, 47
48*, 49*, 50
57, 58*, 59
60, 61, 62*
Motivasi
Intrinsik
Perilaku
Aktif
44
Keterangan: Tanda (*) menunjukkan nomor item yang gugur
Pengujian reliabilitas alat ukur menggunakan patokan Azwar (2012) yang
menyatakan bahwa minimal koefisien konsistensi internal paling tidak setinggi
0,80. Sesuai dengan standar reliabilitas menurut Azwar (2012), maka dari tabel 2
v
17
dapat diambil kesimpulan bahwa angket self regulated learning adalah reliabel
dengan koefisien konsistensi internal sebesar 0,945.
Tabel 2
Realibilitas Angket Self Regulated Learning
Cronbach's Alpha
.945
N of Items
44
Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dengan
uji Chi Square. Adapun alasan mempergunakan analisis statistik tersebut karena
uji Chi Square bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan
dalam hal self regulated learning antara dua kelompok yaitu akselerasi dan non
akselerasi (reguler). Penelitian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS
(Statistical Packages for Special Science) for windows release 17.0.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Salatiga yang terletak di jalan
Kartini No 24, Salatiga. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 14 siswa
akselerasi dan 14 siswa reguler yang berumur 11-13 tahun yang masih aktif
menjadi murid kelas VII SMP Negeri 1 Salatiga tahun ajaran 2013/2014. Peneliti
melakukan pengambilan data dengan cara menyebar angket self regulated
learning pada tanggal 16 April 2014.
Kategori untuk menentukan tinggi rendahya hasil pengukuran variabel self
regulated learning, yaitu: Sangat Tinggi, Tinggi, Rendah dan Sangat Rendah.
Jumlah pilihan pada masing-masing item adalah 4 (empat). Maka skor maksimum
diperoleh dengan cara mengkalikan skor tertinggi dengan jumlah soal, yaitu: 4 x
44 item valid= 176 dan skor minimum diperoleh dengan cara mengkalikan skor
terendah dengan jumlah soal 1 x 44 item valid = 44, jadi diperoleh interval
sebagai berikut:
v
18
Berdasarkan hasil analisis dapat dikemukakan kategori sebagai berikut:
Sangat Rendah
: 44≤ x
PENDAHULUAN
Menurut Boekaerts (2005) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan seorang siswa untuk mencapai prestasi yang maksimal. Faktor
tersebut adalah intelegensi, kepribadian, lingkungan sekolah, dan lingkungan
rumah. Namun selain faktor-faktor tersebut ternyata self regulation juga
mempunyai andil dalam keberhasilan siswa mencapai prestasi yang maksimal
(Boekaerts, 2005). Walaupun seorang siswa memiliki tingkat intelegensi yang
baik,
kepribadian,
lingkungan
rumah,
dan
lingkungan
sekolah
yang
mendukungnya, namun tanpa ditunjang oleh kemampuan self regulation maka
siswa tersebut tetap tidak akan mampu mencapai prestasi yang optimal.
Schunk (2001), mengemukakan bahwa siswa dikatakan melakukan self
regulation dalam belajar bila mereka secara sistematis mengatur perilaku dan
kognisinya dengan memperhatikan aturan yang dibuat sendiri, mengontrol
jalannya proses belajar dan mengintegrasikan pengetahuan, melatih untuk
mengingat informasi yang diperoleh, serta mengembangkan dan mempertahankan
nilai-nilai positif belajarnya.
Permasalahan belajar meliputi masalah pengaturan diri, untuk itu siswa
membutuhkan pengaturan diri (self regulated learning) atau (SRL). Zimmerman
(1989) menjelaskan bahwa self regulated learning penting bagi semua jenjang
akademis. Self regulated learning dapat diajarkan, dipelajari dan dikontrol.
Umumnya, siswa yang berhasil adalah siswa yang menggunakan strategi self
regulated learning dan sebagian besar sukses di sekolah. Self regulated learning
mampu mengatur kinerja dan prestasi akademis. Self regulated learning penting
untuk diteliti, mengingat siswa harus mengatur diri supaya prestasi akademisnya
sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan salah satu komponen dari self-regulation,
yaitu meregulasi usaha yang mempunyai hubungan dengan prestasi dan mengacu
pada niat siswa untuk mendapatkan sumber, energi, dan waktu untuk dapat
menyelesaikan tugas akademis yang penting (Wolters, Pintrich & Karabenick,
2003).
Belakangan ini pemenuhan layanan pada bidang pendidikan untuk setiap
warga negara oleh pemerintah semakin dikembangkan secara menyeluruh, tak
v
8
terkecuali kebutuhan akan layanan pendidikan untuk siswa yang notabene
mempunyai tingkat intelegensi tinggi (Hawadi, 2006). Hal tersebut disertai
dengan munculnya fenomena penyelenggaraan program percepatan belajar (kelas
akselerasi) di tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
dan Sekolah Menengah Umum (SMU). Kelas akselerasi mulai dikembangkan
pada tahun 1998/1999 dengan maksud untuk memfasilitasi layanan pendidikan
khusus bagi anak berbakat (Hawadi, 2006). Menurut Tirtonegoro (2001)
percepatan (acceleration) adalah cara penanganan anak super normal dengan
memperbolehkan naik kelas secara meloncat atau menyelesaikan kelas reguler di
dalam jangka waktu yang lebih singkat. Hal senada juga disampaikan oleh Lubis
(dalam Hawadi, 2006) yang mendefinisikan istilah akselerasi sebagai program
pelayanan yang diberikan kepada siswa dengan tingkat keberbakatan tinggi agar
dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari siswa yang lain (kelas
reguler).
Peserta didik pada kelas akselerasi mempunyai metode dan cara belajar
yang berbeda dengan siswa kelas reguler. Siswa akselerasi mempunyai
kemampuan metakognisi dalam menghadapi dan mencerna materi pelajaran
kemampuan
untuk
merefleksikan
pada
berpikir
sendiri
mereka
dan
mengembangkan dan menggunakan keterampilan pemecahan masalah yang
praktis untuk menyelesaikan materi pelajaran di sekolahnya (Hawadi, 2006).
Siswa yang mampu mengarahkan dirinya saat belajar (self regulated learners)
dapat
dilihat dari cara mereka merencanakan, mengorganisasikan dan
mengarahkan diri sendiri, serta melakukan evaluasi diri pada berbagai tingkatan
selama proses perolehan informasi.
Berdasarkan wawancara dengan pihak sekolah yang diwakili oleh salah
satu guru matematika menuturkan bahwa SMPN 1 Salatiga merupakan pelopor
diadakannya kelas akselerasi di kota Salatiga. Kelas akselerasi
yang
diselenggarakan di SMPN 1 Salatiga dimulai pada kelas sepuluh atau biasa yang
disebut kelas satu SMP. Waktu tempuh kelas akselerasi di SMPN 1 Salatiga
adalah 2 tahun dengan kata lain bahwa kelas akselerasi lebih cepat 1 tahun
daripada kelas reguler pada umumnya. Siswa kelas akselerasi di SMP N 1 Salatiga
v
9
mempunyai tantangan dalam melakukan proses belajarnya. Tantangan yang harus
dihadapi adalah siswa kelas akselerasi harus sanggup belajar dengan materi yang
berlimpah dalam waktu yang cukup singkat, agar semua materi dapat selesai tepat
waktu seturut dengan kurikulum maupun aturan yang berlaku.
Dari pemaparan fenomena dan fakta maupun hasil penelitian sebelumnya,
maka peneliti tertarik untuk meneliti perbedaaan self regulated learning antara
siswa akselerasi dengan siswa reguler di SMP N 1 Salatiga.
TINJAUAN PUSTAKA
Self Regulated Learning
Self regulation didefinisikan sebagai pengarahan aktivasi pemikiran,
perilaku dan perasaan (affect) yang terus menerus dalam usaha untuk mencapai
target yang telah ditetapkan (Schunk, 2001). Bentuk self regulation dalam proses
pembelajaran lebih dikenal sebagai self regulated learning. Zimmerman (1989)
menyatakan bahwa self regulated learning merupakan konsep mengenai
bagaimana seorang peserta didik menjadi pengatur bagi belajarnya sendiri.
Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004) selanjutnya juga menjelaskan self regulated
learning sebagai suatu proses dimana seorang peserta didik mengaktifkan dan
mendorong kognisi (cognition), perilaku (behaviours) dan perasaannya (affect)
secara sistematis dan berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Purwanto
(2000) menjelaskan bahwa self regulated learning secara harfiah disusun dari dua
kata yaitu self regulated yang berarti mengelola diri dan learning berarti belajar.
Self regulated learning dapat diartikan sebagai belajar secara terkelola diri atau
dengan kata lain belajar yang bertumpu pada pengelolaan diri. Sedangkan
Zimmerman (1989) berpendapat bahwa siswa yang memiliki self regulated
learning adalah siswa yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral
merupakan peserta aktif dalam proses belajar bagi mereka.
Menurut Zimmerman (dalam Montalvo dan Torres, 2004), self regulated
learning mencakup tiga aspek :
v
10
a. Metakognisi
Menurut Reed & Giessler (dalam Alsa, 2007), metakognisi adalah berfikir
mengenai berfikir, yaitu kemampuan untuk mengetahui apa yang perlu
dilakukan dalam suatu peristiwa yang akan terjadi. Zimmerman (dalam Haryu,
2004) mengemukakan bahwa metakognisi adalah kemampuan individu dalam
merencanakan,
mengorganisasi
atau
mengatur,
mengintruksikan
diri,
memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar.
b. Motivasi Intrinsik
Strategi untuk meregulasi motivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan
dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk memulai,
mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau
sesuai tujuan. Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau
perilaku dimana siswa berusaha mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketekunan
tugas akademisnya (Wolters, Pintrich & Karabenick, 2003).
c. Perilaku Aktif
Strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk
mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Sesuai penjelasan Bandura
(Zimmerman, 1989) bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi (person),
walaupun bukan “self” internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi
dan afeksi. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation),
waktu dan lingkungan (time/ study environment), dan pencarian bantuan (helpseeking).
Zimmerman (1989) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi self
regulated learning sebagai berikut:
a. Faktor Personal
Beberapa faktor personal tersebut adalah pengetahuan peserta didik, proses
metakognisi, tujuan yang akan dicapai, dan afeksi. Paris dan Winograd (2002)
menggolongkan pengetahuan menjadi tiga yakni pengetahuan kondisional,
pengetahuan prosedural, dan pengetahuan deklaratif. Zimmerman (1989)
mengemukakan dari ketiga jenis pengetahuan tersebut yang merupakan
pengetahuan bagi peserta didik yang melaksanakan self regulated learning
v
11
adalah pengetahuan prosedural dan pengetahuan kondisional, sedangkan
pengetahuan deklaratif dan pengelolaan diri bersifat interaktif. Dapat
disimpulkan, dengan semakin baiknya pengetahuan kondisional (yaitu
menggunakan strategi yang tepat untuk memfasilitasi penyelesaian tugas) dan
pengetahuan prosedural (yaitu mengkomposisikan tugas untuk mencapai
tujuan jangka pendek) , maka peserta didik yang menggunakan self regulated
learning akan semakin dekat dalam pencapaian targetnya.
b. Faktor Perilaku
Faktor perilaku meliputi observasi diri (self observation), penilaian diri (self
judgement), dan reaksi diri (self reaction). Pentingnya observasi diri dapat
ditelaah melalui penelitian yang dilakukan oleh Schunk (2001). Hasil
penelitian tersebut menyatakan bahwa peserta didik yang menggunakan
observasi diri dalam proses pembelajaran lebih memiliki efikasi diri yang
tinggi, lebih terampil, dan lebih terkonsentrasi pada tugas daripada peserta
didik yang tidak menggunakan observasi diri. Penilaian diri mengarah pada
respon peserta didik yang berhubungan dengan komparasi secara sistematis
terhadap kinerja mereka dengan standar tujuan. Peserta didik yang
melaksanakan penilaian diri memiliki kinerja yang lebih tinggi, efikasi diri
yang lebih baik, dan kesadaran yang lebih baik. Peserta didik yang bereaksi
positif terhadap kemampuan dirinya maka dapat meningkatkan kinerjanya.
c. Faktor Lingkungan
Kegiatan belajar seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dimana peserta didik
tersebut berada. Lingkungan yang kondusif akan mengarahkan peserta didik
menggunakan self regulated learning dalam proses pembelajarannya, dan
sebaliknya jika lingkungan yang kurang kondusif akan membuat kesulitan
berkonsentrasi dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Hasil penelitian terhadap
peserta didik gifted dan ungifted yang dilakukan Munandar, Herkusumo &
Bonang (2009) menunjukkan bahwa lingkungan belajar di rumah sangat
mempengaruhi dimilikinya self regulated learning dan dapat berdampak pada
meningkatnya prestasi belajar.
v
12
Jenis Kelas
Definisi dari jenis kelas dalam penelitian ini adalah macam atau bentuk
suatu program pendidikan tempat siswa belajar di sekolah untuk mencapai suatu
tujuan yang ingin dicapai. Jenis kelas dibedakan menjadi:
a. Kelas Akselerasi
Colangelo (dalam Hawadi, 2004) memaparkan bahwa istilah akselerasi
menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service delivery) dan kurikulum
yang disampaikan (curriculum delivery). Sebagai model pelayanan, akselerasi
dapat diartikan sebagai model layanan pembelajaran cara lompat kelas,
misalnya bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi (IQ di atas 130) diberi
kesempatan untuk mengikuti pelajaran pada kelas yang lebih tinggi dari yang
seharusnya. Sementara itu, sebagai model kurikulum, akselerasi berarti
mempercepat bahan pelajaran dari yang seharusnya dikuasai oleh siswa saat
itu. Akselerasi akan membuat anak berbakat menguasai banyak isi pelajaran
dalam waktu yang singkat. Anak-anak ini dapat menguasai bahan pelajaran
secara cepat dan merasa bahagia atas prestasi yang dicapainya. Menurut Zuhdi
dan Latifah (2006), program percepatan belajar (akselerasi) adalah salah satu
program layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang oleh guru telah
diidentifikasi memiliki prestasi sangat memuaskan, dan oleh psikolog telah
diidentifikasi memiliki kemampuan intelektual umum pada taraf cerdas,
memiliki kreativitas dan keterikatan terhadap tugas di atas rata-rata, untuk
dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
mereka. Durasi KBM (kegiatan belajar mengajar) untuk siswa kelas akselerasi
lebih lama dari siswa kelas reguler, yaitu antara pukul 07.00 sampai dengan
16.00.
b. Kelas Reguler
Baker (2000) mendefinisikan reguler yaitu mengikuti pola, terutama dengan
jarak dan waktu yang sama. Kelas reguler merupakan kelas dengan
menggunakan sistem pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan
secara klasikal massal kepada siswa artinya dengan tidak memberikan
pengelompokan/pembedaan khusus atas dasar kemampuan, prestasi, akan
v
13
tetapi pembagian kelas secara merata dari segi kuantitas. Hal tersebut sesuai
dengan
pendapat
dari
Widyastono
(2004)
tentang
kelas
reguler
diselenggarakan berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku. Di dalam kelas
reguler semua peserta didik atau siswa diberikan perlakuan yang sama tanpa
melihat perbedaan kemampuan mereka. Kelas reguler adalah kelas yang
mengacu pada kurikulum nasional yang berlaku. Kelas ini merupakan kelas
umum dengan masa belajar selama 3 tahun. Durasi KBM (Kegiatan Belajar
Mengajar) pada siswa kelas reguler lebih singkat dari siswa kelas akselerasi,
yaitu antara pukul 07.00 sampai 13.30.
Perbedaan Self Regulated Learning Antara Siswa Akselerasi Dengan Siswa
Reguler
Teori sosial kognitif menjelaskan bahwa faktor perilaku, faktor kognitif
serta faktor sosial, memiliki peran penting dalam suatu proses pembelajaran. Self
regulated learning merupakan proses pembelajaran yang melibatkan ketiga faktor
tersebut. Self regulated learning didefinisikan oleh Zimmerman (1989) sebagai
suatu proses dimana seorang siswa mengaktifkan dan mendorong kognisi
(cognition), perilaku (behaviour ) dan perasaannya (affect) secara sistematis dan
berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Berdasarkan perspektif sosial
kognitif, siswa yang dapat dikatakan sebagai self regulated learner adalah siswa
yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral aktif dan turut serta dalam
proses belajar mereka.
Gie (1979) mengatakan bahwa cara belajar yang baik sangat mendukung
seseorang untuk berhasil dalam studi. Lembaga pendidikan menghendaki
siswanya belajar secara maksimal untuk mencapai prestasi yang seoptimal
mungkin. Tuntutan belajar tersebut mengharuskan siswa untuk belajar lebih
mandiri, disiplin dalam mengatur waktu, dan melaksanakan kegiatan belajar yang
lebih terarah dan intensif sehingga memungkinkan siswa tampil produktif, kreatif,
dan inovatif.
Nugroho (2006) menjelaskan bahwa jika dalam proses pembelajarannya
anak berbakat memiliki dan menggunakan self regulated yang kuat dan bersifat
v
14
positif maka akan mampu mendukung keberhasilan dalam dunia akademik. Self
regulated learning tersebut merupakan salah satu determinan faktor untuk
keberhasilan studi anak berbakat. Siswa belajar meregulasi diri disaat menghadapi
tantangan atau kurikulum baru disampaikan oleh Pintrich (dalam Alsa, 2007).
Pada siswa kelas akselerasi, peserta didik memperoleh materi pelajaran
yang lebih banyak dengan durasi yang lebih singkat dibandingkan peserta didik
kelas reguler. Siswa yang mempunyai bakat istimewa dari segi intelektualnya
yang tinggi tidak terlalu memerlukan motivasi atau dorongan dari luar dirinya.
Mereka mampu bekerja dan belajar secara mandiri, mempunyai daya imajinasi
yang tergolong tinggi, mempunyai konsentrasi yang baik, maka tidak seluruh
materi kurikulum pembelajaran harus diberikan dengan bentuk tatap muka di
kelas atau mengikuti irama pembelajaran yang sama dengan kelas reguler. Oleh
karena itu peserta didik kelas akselerasi diharapkan untuk mampu meregulasi diri
dengan melibatkan cara berpikir yang lebih efektif untuk memaksimalkan
kapabilitas, melibatkan keputusan motivasional tanpa adanya dorongan dari luar
tentang hakikat proses pembelajarannya, dan menggunakan strategi belajar
dengan
mengarahkan
situasi
dan
lingkungan
belajarnya
lebih
cermat
dibandingkan dengan peserta didik kelas reguler.
Dari pemaparan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa siswa
akselerasi lebih mampu belajar menggunakan regulasi diri dibandingkan siswa
kelas reguler.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan self
regulated learning antara siswa kelas akselerasi dengan siswa kelas reguler. Siswa
kelas akselerasi lebih mempunyai self regulated learning dibandingkan dengan
siswa kelas reguler.
v
15
METODE PENELITIAN
Partisipan
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Salatiga. Partisipan dalam
penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Salatiga tahun ajaran
2013/2014 pada program kelas akselerasi dan program kelas regular.
Prosedur Sampling
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling ,
dengan metode judgement sampling yaitu berdasarkan pemilihan sampel
berdasarkan pertimbangan tertentu disesuaikan dengan tujuan atau masalah
penelitian. Alasan menggunakan purposive sampling didasari pertimbangan agar
sampel data yang dipilih memenuhi kriteria untuk diuji (Sugiyono, 2012). Peneliti
memilih SMP Negeri 1 Salatiga karena memiliki kekhasan yaitu sebagai sekolah
yang menyelenggarakan dua program sekaligus meliputi program regular dan
akselerasi.
Sekolah
tersebut
merupakan
sekolah
yang
pertama
kali
menyelenggarakan program akselerasi di kota Salatiga. Sampel dalam penelitian
ini adalah siswa kelas VII pada kelas reguler 14 orang dan kelas akselerasi
sebanyak 14 orang.
Pengukuran
Skala dalam penelitian disusun oleh peneliti dengan mengacu pada aspekaspek self regulated learning yang dikemukakan oleh Zimmerman (dalam
Montalvo dan Torres, 2004) yaitu aspek metakognisi, motivasi intrinsik, dan
perilaku aktif. Alternatif pilihan jawaban untuk setiap item self regulated learning
yang tersedia, yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), serta
Sangat Tidak Setuju (STS). Adapun nilai skala self regulated learning untuk
favourable adalah: satu (1) untuk Sangat Tidak Setuju (STS), dua (2) Tidak Setuju
(TS), tiga (3) untuk Setuju (S), dan empat (4) untuk Sangat Setuju (SS).
Sebaliknya untuk unfavourable adalah empat (4) untuk Sangat Tidak Setuju
(STS), tiga (3) untuk Tidak Setuju (TS), dua (2) untuk Setuju (S), dan satu (1)
untuk Sangat Setuju (SS). Artinya semakin tinggi skor yang diperoleh subjek
v
16
berarti semakin tinggi self regulated learning siswa SMP Negeri 1 Salatiga dan
sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah self
regulated learning siswa SMP Negeri 1 Salatiga.
Pengujian validitas alat ukur menggunakan patokan Azwar (2012) yang
menyatakan semua korelasi item yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30
daya bedanya dianggap memuaskan. Berdasarkan hasil uji validitas item pada
angket self regulated learning, dari 62 item terdapat 44 item valid dan 18 item
yang gugur. Item-item yang gugur adalah item nomor 2, 7, 10, 15, 23, 27, 31, 36,
37, 43, 45, 46, 48, 49, 52, 53, 58, 62. Item yang dinyatakan gugur tersebut adalah
item yang memiliki koefisien korelasi total kurang dari 0,3.
Tabel 1
Item Valid dan Gugur Pada Skala Self Regulated Learning
No
1
2
3
Aspek
Metakognisi
Indikator
Merencanakan
Favourable
1, 2*
Unfavourable
11, 12
Mengorganisasi
3, 4
13, 14
Menginstruksikan
Diri
Memonitor
Aktivitas Belajar
Melakukan
Evaluasi
Menggerakkan
5, 6
15*, 16
7*, 8
17, 18
9, 10*
19, 20
21, 22, 23*
30, 31*, 32
Mengarahkan
Menopang
Waktu dan Tempat
untuk Belajar
24, 25, 26
27*, 28, 29
39, 40, 41
33, 34, 35
36*, 37*, 38
51, 52*, 53*
Mengontrol dan
Meregulasi Usaha
Kelompok Belajar
Perilaku Mencari
Bantuan
Total Item Valid
42, 43*, 44
54, 55, 56
45*, 46*, 47
48*, 49*, 50
57, 58*, 59
60, 61, 62*
Motivasi
Intrinsik
Perilaku
Aktif
44
Keterangan: Tanda (*) menunjukkan nomor item yang gugur
Pengujian reliabilitas alat ukur menggunakan patokan Azwar (2012) yang
menyatakan bahwa minimal koefisien konsistensi internal paling tidak setinggi
0,80. Sesuai dengan standar reliabilitas menurut Azwar (2012), maka dari tabel 2
v
17
dapat diambil kesimpulan bahwa angket self regulated learning adalah reliabel
dengan koefisien konsistensi internal sebesar 0,945.
Tabel 2
Realibilitas Angket Self Regulated Learning
Cronbach's Alpha
.945
N of Items
44
Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dengan
uji Chi Square. Adapun alasan mempergunakan analisis statistik tersebut karena
uji Chi Square bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan
dalam hal self regulated learning antara dua kelompok yaitu akselerasi dan non
akselerasi (reguler). Penelitian ini dilakukan dengan bantuan program SPSS
(Statistical Packages for Special Science) for windows release 17.0.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Salatiga yang terletak di jalan
Kartini No 24, Salatiga. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 14 siswa
akselerasi dan 14 siswa reguler yang berumur 11-13 tahun yang masih aktif
menjadi murid kelas VII SMP Negeri 1 Salatiga tahun ajaran 2013/2014. Peneliti
melakukan pengambilan data dengan cara menyebar angket self regulated
learning pada tanggal 16 April 2014.
Kategori untuk menentukan tinggi rendahya hasil pengukuran variabel self
regulated learning, yaitu: Sangat Tinggi, Tinggi, Rendah dan Sangat Rendah.
Jumlah pilihan pada masing-masing item adalah 4 (empat). Maka skor maksimum
diperoleh dengan cara mengkalikan skor tertinggi dengan jumlah soal, yaitu: 4 x
44 item valid= 176 dan skor minimum diperoleh dengan cara mengkalikan skor
terendah dengan jumlah soal 1 x 44 item valid = 44, jadi diperoleh interval
sebagai berikut:
v
18
Berdasarkan hasil analisis dapat dikemukakan kategori sebagai berikut:
Sangat Rendah
: 44≤ x