T1 802008014 Full text
KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG
MENGALAMI INFERTILITAS PRIMER
OLEH
SRI YUNIA RAHMAWATI
802008014
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG
MENGALAMI INFERTILITAS PRIMER
Sri Yunia Rahmawati
Chr. Hari Soetjiningsih
Rudangta Arianti Sembiring
Progam Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
Abstrak
Kepuasan pernikahan merupakan evaluasi suami istri terhadap seluruh kualitas
kehidupan pernikahan (Snyder, 1997). Menurut Santrock (2006), kepuasan pernikahan
memberikan pengaruh yang sangat baik bagi pasangan, antara lain dapat mengurangi
tingkat stres psikologis dan fisik. Dalam pengertian masyarakat Indonesia kelengkapan
keluarga yaitu ada ayah, ibu dan anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga.
Selain itu, salah satu tujuan pernikahan menurut Soemiyati (1982) yaitu memiliki
keturunan yang sah. Ketika kehamilan yang diharapkan tersebut tidak kunjung terjadi
dalam suatu rumah tangga, maka dengan serta merta kesalahan tertuju pada kaum
perempuan (istri). Hal tersebut dikarenakan konteks budaya patriarki yang demikian
dominan, sehingga bila terjadi kemandulan seringkali yang disalahkan adalah kaum
perempuan yang kodratnya mampu hamil (Demartoto, 2008). Penelitian ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami
infertilitas primer. Gambaran kepuasan pernikahan diperoleh dari deskripsi dimensidimensi kepuasan pernikahan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan
memilih dua istri yang belum pernah memiliki anak sebagai partisipan, berusia antara
20-35 tahun, dengan usia pernikahan 3-5 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa kedua partisipan dapat merasakan kepuasan pernikahan dalam kondisi infertilitas
primer yang dialaminya. Kedua partisipan memandang kehadiran anak sebagai sesuatu
yang penting tetapi bukanlah sumber kebahagiaan mereka. Kedua partisipan justru
menikmati masa-masa berdua bersama suami karena dapat menambah keintiman. Untuk
peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat mengkaji lebih dalam mengenai kepuasan
pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas primer dengan teori-teori terbaru dan
melihat pengaruh latar belakang suku terhadap munculnya perasaan tertekan pada
kondisi infertilitas yang dialami oleh seseorang karena adanya sistem patriarki di
Indonesia.
Kata Kunci: Kepuasan pernikahan, infertilitas primer.
i
Abstract
Marital satisfaction is the evaluation married of husband and wife of the quality married
life (Snyder, 1997). Santrock (2006) said, marital satisfaction give a good impact for
couples to decrease rate of psychological and physical stress. In Indonesian, an ideal
family have father, mother and children, that‟s the complete family. Furthermore,
Soemiyati (1982) said a the purpose of marriage also have a legitimate descendant.
When the couple hope for pregnancy, but it haven‟t come yet, then women (wife) is the
one who blame (Dermatoto, 2008). This research was intended to get marital
satisfaction of the wife‟s that has an experienced primary infertility. This research used
a qualitative method and use two wives have never had children as a participants, aged
between 20-35 years, with the age of marriage between 3-5 years. The results of this
research indicate that both of them can enjoy marital satisfaction with primary
infertility. The two participants looked at the presence of children as something that is
important, but it‟s not the source of their happiness. They can actually enjoy the
togetherness to add intimacy. For the next researchers then expected to be able to study
more in terms of the marital satisfaction to wife that has an experienced in primary
infertility with the new theories and see the influence of ethnic to feeling of distress
because of the patriarchy system in Indonesia.
Keywords: Marital satisfaction, primary infertility.
ii
PENDAHULUAN
Masa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun sampai 40 tahun (Hurlock, 1980).
Secara umum, mereka yang tergolong dewasa awal adalah mereka yang berusia 20
hingga 40 tahun. Menurut Santrock (1999), dewasa awal termasuk masa transisi, baik
secara fisik, transisi secara intelektual, serta transisi peran sosial. Adapun tugas
perkembangan pada masa dewasa awal menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers &
Haditono, 2001) yang salah satunya yaitu menikah atau membangun suatu keluarga.
Pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Pasal 1 diartikan
sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Walgito, 2004). Salah satu tujuan
pernikahan menurut Soemiyati (1982) yaitu memiliki keturunan yang sah.
Pernikahan memberikan kesempatan bagi individu untuk dapat memenuhi
berbagai kebutuhan esensial seperti keintiman, persahabatan, perhatian atau kasih
sayang, kebutuhan seksual, serta kebersamaan (Papalia, Sterns, Feldman, & Camp,
2007).Dalam sebuah hubungan pernikahan, tentunya setiap pasangan memiliki harapan
yang ingin dicapai. Salah satu harapan yang terpenting adalah mencapai pernikahan
yang memuaskan (Turner & Helms, 1995). Menurut Santrock (2006), kepuasan
pernikahan memberikan pengaruh yang sangat baik bagi pasangan, antara lain dapat
mengurangi tingkat stres psikologis dan fisik. Sebaliknya, pasangan yang berada dalam
pernikahan yang tidak memuaskan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami sakit
dan mengurangi kesempatan hidup mereka (Gove, Style, & Hughes, dalam Santrock,
2006). Kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri terhadap seluruh kualitas
kehidupan pernikahan (Snyder, 1997).Hal-hal yang dievaluasi untuk menggambarkan
1
kepuasan pernikahan tersebut dijabarkan melalui dimensi-dimensi seperti affective
communication,
problem-solving
communication,
aggression,
time
together,
disagreement about finances, sexual dissatisfaction, role orientation dan family history
of distress (Snyder, 1997).
Affective communication yaitu dimensi yang menilai ketidakpuasan terhadap
jumlah afeksi dan pengertian yang diberikan oleh pasangan. Problem-solving
communication yaitu dimensi yang menilai ketidakefektifan dalam menyelesaikan
masalah. Aggression yaitu dimensi yang menilai tingkat intimidasi dan agresi fisik yang
dialami oleh partisipan dari pasangannya. Time together yaitu dimensi yang menilai
kebersamaan pasangan dalam waktu luang mereka. Dissagreement about finances yaitu
dimensi yang menilai perselisihan dalam hubungan mengenai pengelolaan keuangan.
Sexual dissatisfaction yaitu dimensi yang menilai ketidakpuasan terhadap frekuensi dan
kualitas hubungan seksual serta aktivitas seksual lainnya. Role orientation yaitu dimensi
yang menilai pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga. Family history of
distress yaitu dimensi yang mencerminkan gangguan hubungan dalam keluarga
partisipan.
Dalam pengertian masyarakat Indonesia kelengkapan keluarga yaitu ada ayah,
ibu dan anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga. Dalam sebuah keluarga,
anak memiliki beberapa fungsi. Yang pertama, anak sebagai simbol kesuburan dan
keberhasilan. Filosofi yang berkembang adalah banyak anak banyak rejeki,
keterlambatan memiliki anak dianggap sebagai kegagalan besar. Yang kedua, anak
sebagai pelanjut keturunan. Yang ketiga, anak sebagai teman dan penghibur. Yang
keempat, anak merupakan anugerah dan amanat Tuhan yang tidak boleh disia-siakan.
2
Yang kelima, anak yang saleh akan mendoakan dan menolong orang tuanya didunia dan
akhirat (Moeloek, dalam Hidayah, 2010).
Nilai anak dalam budaya dan masyarakat Indonesia sangat penting, apalagi
dalam suatu rumah tangga. Hal ini bukan hanya karena penerimaan yang baik pada
mereka yang mampu melahirkan anak, tetapi juga karena sumbangan sosial dan
ekonomi bagi rumah tangga. Ketika kehamilan yang diharapkan tersebut tidak kunjung
terjadi dalam suatu rumah tangga, maka dengan serta merta kesalahan tertuju pada
kaum perempuan (istri) karena dalam konteks budaya patriarki yang demikian dominan,
sehingga bila terjadi kemandulan seringkali yang disalahkan adalah kaum perempuan
yang kodratnya mampu hamil (Demartoto, 2008).
Akan tetapi, tidak semua pasangan bisa memiliki anak. Salah satu penyebab
ketidakmampuan memiliki anak adalah infertilitas. Infertilitas adalah kegagalan untuk
mengandung setelah satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat
kontrasepsi. Sedangkan infertilitas pada wanita yaitu ketidakmampuan mencapai suatu
kehamilan setelah satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa pelindung yang
dikarenakan faktor fisiologis (gangguan hormonal) antara lain gangguan ovulasi yang
disebabkan oleh disfungsi hipotalamus, kelenjar hipofisis atau kelenjar tiroid, dan faktor
patologis yaitu penyakit-penyakit yang menyebabkan gagalnya pembuahan seperti kista
(tumor ovarium), penyakit ovarium polikistik atau kerusakan ovarium akibat riwayat
pembedahan yang mengganggu siklus ovarium, serta terjadinya masalah pada produksi
dan pelepasan ovum (Henderson & Jones, 2005). Infertilitas dibagi menjadi dua jenis,
yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer yaitu pasangan
suami istri yang belum pernah mengalami kehamilan sebelumnya, sedangkan infertilitas
sekunder yaitu pasangan suami istri yang gagal untuk memperoleh kehamilan setelah
3
satu tahun pasca persalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apapun
(Prawirohardjo, 2011). Menurut statistik kehamilan terjadi sekitar 80% pada tahun
pertama, 75% pada tahun kedua, 50-60% pada tahun ketiga, pada tahun keempat turun
menjadi 40-50%, sedangkan tahun kelima lebih kecil yaitu antara 25-30% (Manuaba,
2009).
Menurut Manuaba (2009) tidak semua orangyang tidak bisa mengandung setelah
satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat kontrasepsi tersebut
dinyatakan infertil. Ada pemeriksaan yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
akhirnya dinyatakan infertil. Pemeriksaan tersebut ada dua yaitu pemeriksaan umum
yang berupa anamnesa yang terdiri dari tanya-jawab mengenai berapa lama menikah,
usia suami dan istri, frekuensi hubungan seksual, tingkat kepuasan seksual, penyakit
yang pernah diderita, teknik hubungan seksual, usia saat menarche (menstruasi pertama
kali), apakah haid teratur, dan lainnya. Kemudian, pemeriksaan khusus yang terdiri dari
pemeriksaan ovulasi, pemeriksaan lendir serviks, dan pemeriksaan endometrium.
Rata-rata para istri akan hamil setelah melakukan hubungan seksual sebanyak
104 kali dengan pasangannya. Demikian hasil survei yang dilakukan terhadap 3.000
perempuan oleh First Response, sebuah perusahaan popular untuk keluarga berencana.
Itu berarti, rata-rata istri butuh waktu 6 bulan untuk bisa hamil, dengan catatan
melakukan hubungan seks dengan suami sekitar 4 kali dalam seminggu selama jangka
waktu tertentu. Namun, ada beberapa istri yang langsung bisa hamil dengan hanya
melakukan hubungan seksual 2-3 kali saja. Selain itu, Dr. Mike Smith, juru bicara First
Response mengatakan bahwa hal utama yang harus diperhatikan agar cepat hamil
adalah kesehatan tubuh istri dan suami, terutama yang berkaitan dengan organ
4
reproduksi,
kualitas
sperma
dan
masa
subur
sang
istri
(http://www.parenting.co.id/article/hamil/frekuensi.seks.agar.cepat.hamil/001/001/141).
Perhatian khusus dalam kehamilan juga tertuju pada usia. Menurut Manuaba
(1998), „kurun waktu reproduksi sehat‟ yaitu antara 20-30 tahun. Pada masa remaja atau
pada usia dibawah 20 tahun kesulitan kehamilan pada remaja lebih tinggi yang
disebabkan oleh belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat
merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Sedangkan
menurut Benson dan Pernoll (2008), diatas usia 36 tahun kemungkinan untuk hamil
kurang dari 50%.
Wanita menyumbang 40-50% kasus infertilitas, laki-laki menyumbang 30%
kasus infertilitas dan 20-30% kasus infertilitas disebabkan oleh keduanya (Benson &
Pernoll, 2008). Rata-rata prevalensi dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar kasus infertilitas disebabkan oleh istri.
Infertilitas pada istri sekitar 60-70% yang disebabkan oleh subfaktor anatomis
dan subfaktor fungsional. Subfaktor anatomis (kelainan alat kelamin) antara lain, yaitu
liang senggama (vagina), mulut rahim, rahim sendiri, saluran telur (tuba fallopi), indung
telur dan faktor lapisan dalam abdomen. Sedangkan, subfaktor fungsional yaitu kelainan
hormonal berupa gangguan sistem hormonal wanita dan dapat disertai kelainan bawaan,
gangguan pada pelepasan telur, gangguan pada korpus luteum (defisiensi korpus
luteum), atau gangguan implantasi hasil konsepsi dalam rahim (Manuaba, 2009). Selain
itu, menurut Prawirohardjo (2011) faktor penyebab infertilitas ada dua jenis yaitu jenis
non-organik antara lain usia, frekuensi senggama, pola hidup seperti konsumsi alkohol,
merokok, berat badan. Sedangkan jenis organik antara lain yaitu masalah pada vagina,
masalah uterus, masalah tuba, masalah ovarium dan masalah peritoneum.
5
Dampak psikis yang timbul akibat ketidakhadiran anak dalam pernikahan adalah
stres. Griel (1991) melaporkan bahwa infertilitas akan meningkatkan ketegangan dalam
pernikahan. Pihak perempuan/istri seringkali disudutkan sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab bila suatu pernikahan belum juga dikarunia anak (dalam Hidayah,
2010). Oleh karena adanya masalah yang berkaitan dengan status wanita dewasa, serta
adanya tekanan di dalam masyarakat untuk memiliki anak, maka tidak mengherankan
jika reaksi yang ditunjukkan oleh wanita yang mengalami infertilitas adalah depresi,
merasa bersalah, cemas dan takut (Bird & Melville, 1994). Stres infertilitas yang tinggi
dapat memengaruhi hubungan dengan pasangan menjadi kurang harmonis. Ryder
(dalam Hidayah & Hadjam, 2006) menjelaskan bahwa keberadaan anak memang
memengaruhi kepuasan pernikahan. Ketidakhadiran anak dalam rumah tangga sering
menimbulkan konflik-konflik rumah tangga yang berkepanjangan. Konflik-konflik itu
dapat berujung pada perceraian. Hasil penelitian Hull dan Tukiran (dalam Hidayah &
Hadjam, 2006) mengenai infertilitas di Indonesia menguatkan permasalahan di atas.
Ditemukan bahwa perempuan infertil lebih berkemungkinan untuk dicerai atau dimadu,
distigmatisasi, menjadikan infertilitas sebagai sumber “rasa malu”, menghabiskan
banyak waktu dan biaya untuk mengatasi infertilitas yang dialami, serta sulit untuk
menemukan peran yang penuh di dalam komunitasnya.
Namun, tidak semua pasangan mengalami dampak negatif dari masalah
infertilitas. Beberapa pasangan melaporkan bahwa keadaan infertilitas tersebut justru
membuat pasangan semakin meningkatkan keintiman dan komunikasi (Burn &
Covington, dalam Lee, Sun & Chao, 2001).Judson (dalam Hidayah & Hadjam, 2006)
menyatakan bahwa padadekade-dekade terakhir ini lebih dari 60%kasus perceraian
dialami oleh pasangan yangsudah memiliki anak. Penelitian Callan serta Waldron dan
6
Routh (dalam Hidayah & Hadjam, 2006) menyimpulkan bahwa para istri yang
tidakmemiliki anak, baik yang dikehendaki maupunkarena mandul, secara umum tetap
merasapuas dengan kehidupan pernikahan mereka.Bagi mereka memiliki anak bukanlah
tujuanutama dalam sebuah pernikahan. Hubungan suami istri yang harmonis lebih
pentingdaripada anak.
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk
mengetahui lebih mendalam mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada istri yang
mengalami infertilitas primer. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dimana peneliti akan meneliti lebih
mendalam supaya memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai masalah yang
diangkat dalam penelitian.
METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Hal
ini disesuaikan dengan sifat masalah yang akan diteliti karena tidak dapat diungkap
dengan menggunakan kuantitatif atau angka. Dalam penelitian tersebut data yang dapat
diperoleh berasal dari naskah wawancara dan observasi dengan tujuan agar dapat
mendeskripsikan realitas empiris di balik fenomena yang ada secara mendalam, rinci
dan tuntas. Selanjutnya data hasil wawancara akan dianalisis dengan teknik analisis
tematik yaitu teknik mencari tema-tema penting untuk mendeskripsikan fenomena
(Daly, Kellehear, & Gliksman, 1997, dalam Fereday & Muir-Cochrane, 2006). Selain
itu juga menggunakan teknik triangulasi yang digunakan untuk memeriksa keabsahan
data dengan memanfaatkan sesuatu yang diluar data untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2007).
7
Partisipan
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mendeskripsikan mengenai
gambaran kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas primer, sehingga
sumber data dalam penelitian ini adalah individu dengan karakteristik antara lain:
1. Istri yang telah menikah selama 3-5 tahun.Pertimbangan ini berdasarkan
pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock (1980), bahwa selama tahun pertama
dan kedua perkawinan pasangan suami istri biasanya harus melakukan
penyesuaian utama satu sama lain terhadap anggota keluarga masing-masing dan
teman-temannya. Setelah mereka saling menyesuaikan satu sama lain dengan
anggota keluarga dan teman-teman, mereka perlu menyesuaikan dengan
kedudukan mereka sebagai orang tua (tahun ketiga). Selain itu, setelah tahun
kelima kemungkinan kehamilan kurang dari 50% (Manuaba, 2009).
2. Istri yang berusia 20-35 tahun, karena dalam rentang usia tersebut perempuan
memiliki tingkat kesuburan yang tinggi yakni 94 persen (dalam Prawihardjo,
2011). Dalam usia tersebut seorang perempuan juga sudah mencapai
kematangan fisiologis yang berarti memungkinkan terjadinya pembuahan
(dalam Walgito, 2004).
3. Belum memiliki anak(infertilitas primer), yaitujika sebelumnya pasangan suami
istri belum pernah mengalami kehamilan(Prawihardjo, 2011).
Gambaran Umum Partisipan Penelitian
Inisial
P1 (Y)
P2 (N)
Usia saat menikah
22 tahun
24 tahun
Pendidikan terakhir
SMA
S1 Akuntansi
Ibu rumah tangga
Ibu rumah tangga
Pekerjaan
8
Usia pernikahan
Penyebab infertilitas
3 tahun 9 bulan
3 tahun 4 bulan
Normal
Tidak diketahui
Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan mengorganisasikan data kualitatif dengan
rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Kemudian peneliti membubuhkan kode-kode
pada materi-materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi
dan mensistematisasikan data secara detail sehingga dapat memunculkan gambaran
tentang topik yang dipelajari. Selanjutnya, melakukan pemadatan faktual dan
menemukan tema-tema. Setelah itu, peneliti mencoba memikirkan hubungan tema-tema
tersebut sehingga tersusun kategori-kategori. Kategori-kategori tersebut disusun
sehingga menampilkan hubungan antarkategori. Terakhir adalah menarasikan kategorikategori tersebut (Poerwandari, 2007).
HASIL
Hasil analisis data memunculkan beberapa kategorisasi tema seperti berikut:
Makna anak bagi partisipan, sikap partisipan terhadap keadaaannya yang belum
memiliki anak di awal pernikahan, sikap partisipan terhadap saran-saran yang diberikan
oleh dokter, perasaan dan sikap partisipan setelah mengetahui hasil pemeriksaan,
dukungan yang diperoleh partisipan, dampak yang dirasakan partisipan dengan belum
hadirnya anak dalam rumah tangga, rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil
pemeriksaan, afeksi yang diperoleh partisipan, kemampuan problem-solving partisipan,
tidak adanya agresi fisik maupun verbal yang dialami oleh partisipan, respons partisipan
saat sedang melakukan aktivitas bersama suami, kemampuan partisipan dalam
9
mengelola keuangan, makna hubungan seksual bagi partisipan, sikap partisipan
terhadap pembagian peran dalam rumah tangga, hubungan partisipan dengan anggota
keluarga yang lain, sikap partisipan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar
kondisinya saat ini, pendapat partisipan mengenai kehidupan pernikahan orang tua dan
kehidupan masa kecilnya, gambaran kepuasan pernikahan partisipan.
Makna anak bagi partisipan
Anak menjadi salah satu harapan dari pernikahan bagi kedua partisipan.
Menurut kedua partisipan, salah satu tujuan pernikahan yaitu untuk mendapatkan
keturunan. Keberadaan anak dalam sebuah keluarga dirasa penting oleh kedua
partisipan.
Tabel 1. Makna anak bagi partisipan
Partisipan 1 (Y)
Makna anak bagi partisipan
“Yaa kehadiran anak itu penting ya dalam sebuah
keluarga karena tujuan menikah pasti pengen
punya keturunan. Jadi ya kehadiran anak ya sangat
dinanti dalam perkawinan”.
Partisipan 2 (N)
Makna anak bagi partisipan
“Ya salah satunya sih itu untuk meneruskan
keturunan”.
Sikap partisipan terhadap keadaaannya yang belum memiliki anak di awal
pernikahan
Kedua partisipan sama-sama memiliki program alami di awal pernikahan.
Namun, setelah beberapa waktu belum mendapatkan hasil akhirnya mereka
memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.
Tabel 2. Awal pemeriksaan dan hasil pemeriksaan
Partisipan 1 (Y)
Awal pemeriksaan
“Dari awal pernikahan juga saya sudah sering
periksa, cuma waktu itu kan masih pernikahan di
awal-awal jadi saya masih tenang-tenang saja,
cuma sekarang kan semakin kesini kan kok makin
Partisipan 2 (N)
Awal pemeriksaan
“Kalau program kehamilan itu kita ke dokter, kita
tes semua yang diarahkan dokter, tapi waktunya itu
kurang lebih setahun setelah pernikahan”.
10
belum hamil juga kan kenapa jadi saya sering
periksa”.
Inisiatif
dari
memeriksakan diri
suami
“Ya coba dibawa ke dokter kenapa kok belum
hamil, siapa tau ada masalah apa”.
Inisiatif untuk memeriksakan diri
“Dua-duanya, dua-duanya”.
Keluhan-keluhan yang disampaikan
“Yaa keluhannya sih sudah menikah 3 tahun
kenapa kok belum bisa hamil, terus menstruasi
saya kok tidak teratur”.
untuk
“Kalau kita sudah menikah kurang lebih setahun
terus kita belum mempunyai anak”.
Hasil pemeriksaan
“Ya itu hormon masih tidak teratur, faktor
kegemukan, saya diminta mengurangi berat badan
supaya hormonnya teratur”.
Keluhan-keluhan yang disampaikan
Hasil pemeriksaan
“Kita kalau memang hasil kita baik berarti kan
memang normal,,”.
Perasaan dan sikap partisipan setelah mengetahui hasil pemeriksaan
Setelah mengetahui hasil pemeriksaan, kedua partisipan merasa sedih karena
hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Meskipun hasil partisipan kedua (N) dinyatakan
baik dan sehat-sehat saja, namun N tetap merasa sedih dan bertanya-tanya mengapa ia
belum bisa hamil padahal kondisinya sehat.
Tabel 3. Respons partisipan dan suami setelah mengetahui hasil pemeriksaan
Partisipan 1 (Y)
“Yaa sedih ya, cuma pengennya kan memang juga
cepet hamil, cuma kalau kondisinya seperti ini ya
mau gimana lagi”.
Perasaan Y setelah mengetahui hasil
pemeriksaan
Perasaan Y setelah mengetahui hasil
pemeriksaan
“Kita sedihnya kok kenapa ya sehat semua kok
belum jadi, maksudnya kok belum ada hasil”.
Respons suami setelah mengetahui hasil
pemeriksaan
“Suami cuma menyuruh saya untuk mengurangi
berat badan, supaya saya ngikutin saran dokter”.
Partisipan 2 (N)
Respons suami setelah mengetahui hasil
pemeriksaan
“Sama, kita kalau memang hasil kita baik berarti
kan memang normal”.
11
Sikap partisipan terhadap saran-saran yang diberikan oleh dokter
Meskipun hasil pemeriksaan kurang baik, namun kedua partisipan berusaha
untuk menjalankan saran-saran dokter agar dapat memperlancar program kehamilan
yang sedang mereka jalani. Hanya saja, partisipan pertama (Y) terkadang lalai untuk
menjalankan saran dokter.
Tabel 4. Sikap partisipan terhadap saran-saran yang diberikan oleh dokter
Partisipan 1 (Y)
Saran-saran dokter yang dijalankan
“Kalau untuk yang diet dokter nyuruhnya itu waktu
terakhir saya ke dokter itu sekitar 5 bulan lalu..”.
Partisipan 2 (N)
Saran-saran dokter yang dijalankan
“Saya program 2 tahun, dikasih vitamin terus.
Beberapa bulan belakangan, 6 bulan lah, 6 bulan
kita dikasih propertil, propertil itu obat penyubur,
untuk menambah kesuburan atau gimana saya ngga
tau, intinya gitu lah. Itu tiap bulan di hari ketiga
mensitu kita minum obat sampai selama 5 hari, ya
itu aja sih, ngga ada obat lain, cuma vitamin aja.
Kalau itu hanya 6 bulan belakangan aja”.
Saran-saran yang diabaikan
“Ya dokter menyarankan untuk dibantu dengan
olahraga cuma saya ngga ada waktu”.
Dukungan yang diperoleh partisipan
Kedua partisipan sama-sama mendapatkan dukungan baik dari suami maupun
anggota keluarga yang lain. Dukungan yang diterima oleh kedua partisipan menjadi
kekuatan tersendiri bagi partisipan untuk tetap tegar dalam menerima kondisi mereka
saat ini. Hal tersebut sesuai dengan pengakuan suami P1 dan ibu P2 yang memberikan
dukungan berupa pemberian semangat dan menghibur partisipan dalam menerima
infertilitas yang dialami serta dukungan untuk menjalankan saran-saran dari dokter.
Tabel 5. Dukungan yang diperoleh partisipan
Partisipan 1 (Y)
Kehadiran suami saat pemeriksaan
“Suami ikut nemenin, cuma belum sempet, belum
sampai suami diperiksa kata dokternya sih memang
belum perlu”.
Partisipan 2 (N)
Dukungan yang diperoleh partisipan
“Tapi kita tetep
menguatkan..”.
12
saling
menghibur,
saling
Dukungan yang diperoleh partisipan
“Sewaktu mertua tanya kenapa belum hamil juga
padahal udah lama menikah bagaimana respons
suami? Dia (suami) cuma ngomong ngga usah
dimasukkin hati omongan orang tua”.
Respons partisipan terhadap dukungan
yang diperoleh
“Alhamdulillah kita tidak saling menyalahkan”.
Respons partisipan terhadap dukungan
yang diperoleh
“Saya ya berharap suami bisa mengerti keadaan
saya, dan dia ngga menuntut saya untuk cepetcepet punya anak”.
Dampak yang dirasakan partisipan dengan belum hadirnya anak dalam rumah
tangga
Kedua partisipan sama-sama merasakan dampak dari belum adanya anak dalam
rumah tangga. Ada rasa iri yang muncul saat melihat aktivitas orang tua dan anak.
Selain itu, Y mendapatkan sedikit tekanan karena adik ipar yang baru menikah satu
bulan sudah menunjukkan tanda-tanda kehamilan.
Tabel 6. Dampak yang dirasakan partisipan dengan belum hadirnya anak
Partisipan 1 (Y)
Dampak yang dirasakan
“Hubungan pernikahan ya seperti kayak hambar,
monoton, seperti itu itu aja setiap harinya”.
Partisipan 2 (N)
Dampak yang dirasakan
“Kalau lihat anak-anak kecil saya sama suami tu
rasanya seneng tapi kadang ya sedih juga karena
kita belum punya anak sendiri gitu”.
Rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil pemeriksaan
Rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil pemeriksaan membuat kedua
partisipan mengunjungi tiga dokter secara bergantian.
Tabel 7. Rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil pemeriksaan
Partisipan 1 (Y)
Jumlah dokter yang dikunjungi
“Yang jelas sudah tiga dokter saya datengin dan ini
mau ke empat kalinya saya mau ganti dokter lagi
yang beda”.
Partisipan 2 (N)
Jumlah dokter yang dikunjungi
“Kita 3 dokter”.
13
Alasan berganti-ganti dokter
“Yaa karena saya ingin mendapatkan jawaban yang
berbeda”.
Alasan berganti-ganti dokter
“Sebenernya sih cari opini yang lain... Maksudnya
untuk memastikan hasilnya gitu apakah sama atau
ngga gitu? Itu salah satunya juga sih”.
Afeksi yang diperoleh partisipan
Meskipun kedua partisipan belum bisa memenuhi harapan suami untuk memiliki
anak, namun para suami tetap menunjukkan rasa sayang dan pengertian mereka
terhadap partisipan.
Tabel 8. Afeksi yang ditunjukkan suami
Partisipan 1 (Y)
Afeksi yang ditunjukkan suami
“Ya kalau tiap malem mau tidur gitu bilang I love
you dengan perbuatan misalnya kalau tiap pagi
mau berangkat kerja ya pamit cium kening”.
Partisipan 2 (N)
Afeksi yang ditunjukkan suami
“Dia lebih ke tindakan.Misalnya kalau kita pengen
apapun gitu kan, dia langsung ngajakin, misal ke
mall atau apa ya langsung hari ini, ngga perlu
besok ya, seminggu lagi ya gitu”.
Kemampuan problem-solving partisipan
Ketika menghadapi masalah, kedua partisipan memiliki cara tersendiri dalam
menyelesaikan masalah tersebut. Jika N lebih menekankan pada diskusi untuk
mendapatkan solusi, Y justru lebih menekankan pada kesadaran diri untuk mengalah
dan mengerti apa yang diinginkan oleh pasangan.
Tabel 9. Kemampuan problem-solving partisipan
Partisipan 1 (Y)
Problem-solving partisipan
“Ya mengalah, salah satu harus ada yang
mengalah.Ya saling mengerti apa kesukaan
pasangan”.
Partisipan 2 (N)
Problem-solving partisipan
“Kita selalu berdiskusi gimana enaknya mencari
solusi”.
Tidak adanya agresi fisik maupun verbal yang dialami oleh partisipan
Kedua partisipan tidak pernah mengalami kekerasan baik fisik maupun verbal
dari suami. Hal tersebut membuat kedua partisipan merasa nyaman berada di dekat
suami.
14
Tabel 10. Perilaku suami saat marah
Partisipan 1 (Y)
Perilaku suami saat marah
“Ngga sih, orangnya ngga pernah kasar”.
Partisipan 2 (N)
Perilaku suami saat marah
“Alhamdulillah ngga, kalau kata kasar ngga, cuma
kadang keras, cuma keras. Menurut saya sih ngga
kasar, cuma keras aja. Kalau kekerasan dalam
rumah tangga ngga pernah”.
Respons partisipan saat sedang melakukan aktivitas bersama suami
Saat sedang melakukan aktivitas bersama kedua partisipan merasa senang.
Menurut N, banyak hal yang bisa dibicarakan saat bersama suami.
Tabel 11. Respons partisipan saat sedang melakukan aktivitas bersama suami
Partisipan 1 (Y)
Respons partisipan
“Ya seneng ya bisa berdua sama suami”.
Partisipan 2 (N)
Respons partisipan
“Ya seneng, karena bisa bersama kan. Jadi apapun
kita ngobrol, apapun diobrolkan, ya bisa ketawa
bersama kayak gitu”.
Kemampuan partisipan dalam mengelola keuangan
Untuk mengelola keuangan dalam rumah tangga kedua partisipan membuat
rincian dari setiap pengeluaran yang ada.
Bagi N, gaji suami sudah cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, sedangkan bagi Y ada ketidakpuasan finansial
karena Y terkadang merasa gaji suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Tabel 12. Kemampuan partisipan dalam mengelola keuangan
Partisipan 1 (Y)
Cara mengelola keuangan
“Yaa semua penghasilan suami kan udah ada
aturannya, udah diatur pengeluaran tiap bulan. Ya
sesuai dengan kebutuhan tiap bulan”.
Ketidakpuasan finansial
“Ya pernah, kalau pas tiap bulan pengeluaran
membengkak pasti begitu”.
15
Partisipan 2 (N)
Cara mengelola keuangan
“Saya biasanya sih buat kayak semacam laporan
keuangan rumah tangga sendiri sih. Pos-posnya
saya siapkan, bayar sewa rumah, pokoknya posposnya sudah saya siapkan sendiri gitu”.
Makna hubungan seksual bagi partisipan
Bagi kedua partisipan, hubungan seksual dipandang sebagai sebuah kewajiban
seorang istri. Meskipun begitu, kedua partisipan sama-sama merasakan kepuasan dalam
hubungan seksual dengan alasan yang berbeda.
Tabel 13. Makna hubungan seksual bagi partisipan
Partisipan 1 (Y)
Makna hubungan seksual
“Makna hubungan suami istri ya itu salah satu juga
kewajiban saya sebagai istri melayani suami, terus
juga itu juga bisa menambah hubungan lebih intens
ya sama suami”.
Partisipan 2 (N)
Makna hubungan seksual
“Sebenarnya saya membaca hubungan itu baik ya
untuk peredaran darah kita, untuk kepuasan kita
gitu kan. Kalau suami dia lebih semangat gitu dan
untuk kesehatan juga”.
Pengertian satu sama lain
“Ya kan saya menolak pasti ada alasannya, kalau
lagi ngga fit, capek, ya dia mengerti kalau saya lagi
ngga ingin”.
Pengertian satu sama lain
“Kalau pas capek iya, kalau pas capek aja
sih.Intinya kan kita ngga boleh menolak suami,
cuma kalau pas capek suami juga mengerti sih”.
Sikap partisipan terhadap pembagian peran dalam rumah tangga
Pembagian peran dalam rumah tangga kedua partisipan dilakukan berdasarkan
kesepakatan bersama sehingga tidak ada komplain atau rasa tidak puas terhadap
tanggung jawab masing-masing.
Tabel 14. Sikap partisipan terhadap pembagian peran dalam rumah tangga
Partisipan 1 (Y)
“Yaa suami bekerja ya, saya ngurus rumah
tangga”.
Pembagian peran
Pembagian peran
“Kalau peran sendiri kalau untuk rumah, bersihbersih rumah atau segala macem itu saya sudah
menangani sendiri, jadi suami itu cukup bekerja”.
Perasaan terhadap peran yang didapat
“Yaa menurut saya sih sudah sesuai ya, memang
sudah sesuai dan memang sudah kewajiban”.
Partisipan 2 (N)
Perasaan terhadap peran yang didapat
“Saya senang-senang aja karena saya tahu sendiri
maksudnya itu memang tugas saya dan suami juga
tugasnya kalau kerja”.
16
Hubungan partisipan dengan anggota keluarga yang lain
Kedua partisipan merasa hubungan mereka dengan anggota keluarga yang lain
baik-baik saja meskipun tidak begitua akrab sehingga tidak ada yang mengganggu.
Tabel 15. Hubungan partisipan dengan anggota keluarga yang lain
Partisipan 1 (Y)
Hubungan dengan kerabat
Partisipan 2 (N)
Hubungan dengan kerabat
“Hubungannya baik, ngga ada permasalahan, sama
adek-adek, sama keluarga yang lain”.
“Baik-baik aja. Ya, ngga begitu akrab.”
Sikap partisipan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar kondisinya
saat ini
Terdapat perbedaan respons partisipan dalam menghadapi pertanyaanpertanyaan yang muncul seputar kondisi mereka yang belum bisa memiliki anak.
Tabel 16. Sikap partisipan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar
kondisinya saat ini
Partisipan 1 (Y)
Perasaan saat menghadapi pertanyaan
seputar kondisi yang dialami
“Perasaannya ya sakit ya kayak kecewa ya kok
seakan-akan seperti memojokkan saya padahal kan
belum tentu juga dengan kondisi itu saya tidak bisa
hamil,”
Perubahan respons saat menghadapi
pertanyaan seputar kondisi yang
dialami
“Ya perasaannya sih pertama-pertama sih saya
kecewa ya cuma setelah itu ya biasa aja sih”.
17
Partisipan 2 (N)
Perasaan saat menghadapi pertanyaan
seputar kondisi yang dialami
“Kalau bertanya itu kan wajar ya. Cuma orang tua
bertanya, terus dia menyemangati jadi kita ngga
merasa terhakimi, ngga merasa sedih,”
Pendapat partisipan mengenai kehidupan pernikahan orang tua dan kehidupan
masa kecilnya
Kedua partisipan tidak merasakan adanya gangguan atau hal-hal yang membuat
partisipan trauma dari riwayat kehidupan pernikahan orang tua partisipan. Kedua
partisipan juga merasakan kepuasan pada kehidupan masa kecilnya.
Tabel 17. Pendapat partisipan mengenai kehidupan pernikahan orang tua dan
kehidupan masa kecilnya
Partisipan 1 (Y)
“Biasa saja. Ya kadang berantem soal macemmacem lah. Ngga pengen ikut campur urusan orang
tua.”
Pendapat
partisipan
mengenai
kehidupan pernikahan orang tua
“Masa kecilku ya bisa dibilang masa kecilku lebih
bahagia sih daripada sekarang. Masa kecilku kan
aku anak pertama, otomatis kalau anak pertama kan
kalau pasangan yang menikah terus dapet anak
pertama kan pasti anak pertama paling dimanja.
Naah apa yang aku pengen tuh pasti dituruti sama
orang tuaku. Jadi kalau saya bisa balik ke masa
kecil ya pengen balik ke masa kecil”.
Pendapat
partisipan
mengenai
kehidupan pernikahan orang tua
“Kalau pernikahan orang tua saya baik, sangat baik
malah ya, jadi saling berbagi peran, mencari
nafkah, kerjaan rumah tangga”,
Pendapat partisipan mengani masa
kecil
Partisipan 2 (N)
Pendapat partisipan mengnai masa
kecil
“Masa kecil baik-baik saja, bahagia, bermain,
belajar, enjoy sih, menikmati”.
Gambaran kepuasan pernikahan partisipan
Kedua partisipan sama-sama merasakan kepuasan dalam pernikahan meskipun
ada pula rasa tidak puas terhadap pernikahan mereka. Akan tetapi, kedua partisipan
mencoba mengambil sisi positif dari apa yang mereka alami sekarang.
Tabel 18. Gambaran kepuasan pernikahan partisipan
Partisipan 1 (Y)
Kepuasan pernikahan
“Ya kalau dibilang puas ngga puas ya sebenernya
ngga puas ya....Misalnya dari finansial semua
Partisipan 2 (N)
Kepuasan pernikahan
“Alhamdulillah kayaknya ngga ada yang kurang,
cuma ya itu terasa ngga rame kalau ngga ada anak
18
sendiri, terus juga udah ngga bisa seperti waktu
masih belum menikah, masih bisa kemana tiap saya
mau terserah saya. Sekarang kan ada yang harus
saya istilahnya saya harus kalau mau kemana-mana
harus ada tanggungan, suami saya, seperti itu”.
di rumah”.
Kepuasan terhadap infertilitas yang
dialami
“Yaa sebenarnya sih ada puas juga sih, maksudnya
kan umur saya masih muda saya belum dikasih
anak kan juga walaupun sudah menikah sebenarnya
saya juga ada rasa senengnya juga karena saya
belum punya tanggungan yang terlalu besar..
Kepuasan terhadap infertilitas yang
dialami
“Intinya alhamdulillah bersyukur sih cuma ada
keinginan itu yang belum terkabul jadi kadang ada
rasa yang sedih, maksudnya sedih karena belum
punya anak itu aja sih tapi untuk sampai saat ini
kita puas”.
PEMBAHASAN
Kedua partisipan menikah dalam rentang usia 22-25 tahun, dimana menurut
Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) salah satu tugas perkembangan
pada masa dewasa awal yaitu menikah atau membangun suatu keluarga. Alasan mereka
untuk menikah pun berbeda-beda. Y memutuskan untuk menikah karena ia merasa
sudah cocok, suka sama suka dan daripada pacaran terus menerus lebih baik langsung
menikah. Sedangkan N, ia menikah karena merasa sudah waktunya menikah, sesuai
harapannya yang ingin menikah di usia 25 tahun.
Kedua partisipan memiliki kesamaan harapan dalam pernikahannya yaitu dapat
selalu bersama dengan pasangan dan memiliki keturunan. Kedua partisipan sama-sama
memaknai anak sebagai salah satu tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan yang
dikemukakan oleh kedua partisipan sama seperti pendapat Soemiyati (1982) yang
menyatakan bahwa salah satu tujuan pernikahan yaitu memperoleh keturunan yang sah.
Setelah menikah, kedua partisipan sama-sama ingin mencoba cara alami untuk
mendapatkan keturunan. Y merasa tenang-tenang saja dengan cara alami karena masih
di awal-awal pernikahan. Begitu pula dengan N yang ingin mencoba cara alami karena
pada saat itu ia masih bekerja.Sesuai prosentase angka kesuburan, pada 6 bulan pertama
19
kemungkinan hamil 60%, lalu meningkat menjadi 75% per 9 bulan dan 90% per 18
bulan. Kemudian menurun seiring dengan meningkatnya usia (Benson & Pernoll, 2008).
Namun, karena belum ada hasil dalam kurun waktu yang cukup lama (kurang lebih satu
tahun), akhirnya kedua partisipan mencoba untuk memeriksakan diri ke dokter karena
takut ada masalah dengan kesehatan mereka. Sesuai dengan pernyataan Prawirohardjo
(2011) yang menyatakan bahwa infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh
pasagan suami istri yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan
hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi, tetapi belum
berhasil memperoleh kehamilan. Setelah melakukan pemeriksaan, kedua partisipan
mendapatkan hasil yang berbeda dari pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan
kesehatan Y dinyatakan normal oleh dokter berdasarkan USG yang dilakukannya. Yang
menyebabkan infertilitas pada Y adalah kelebihan berat badan. Hal ini selaras dengan
pendapat Prawirohardjo (2011) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab infertilitas
yaitu faktor kegemukan. Kelebihan berat badan pada Y menyebabkan masalah hormon
yang menyebabkan tidak teraturnya masa menstruasi. Begitu pula dengan kesehatan N
yang dinyatakan normal oleh dokter setelah pemeriksaan mendetail mulai dari USG,
pengecekan sel telur, sel sperma dan terakhir HSG.
Setelah hasil pemeriksaan tersebut, kedua partisipan merasa sedih sekaligus
kecewa karena hasilnya tidak sesuai dengan harapan.Y merasa sedih, keinginannya
untuk bisa segera hamil harus tertunda karena faktor kegemukan. Hal tersebut membuat
Y pasrah akan kondisi yang dialaminya. Sedangkan N merasa sedih karena belum bisa
hamil padahal hasil pemeriksaannya normal dan merasa sedikit lega karena tidak ada
masalah dengan kesehatannya dan kesehatan suami.Setelah mengetahui hasil
pemeriksaan tersebut, suami kedua partisipan memberikan respons yang baik dengan
20
memberi semangat pada kedua partisipan dan tidak lantas menyalahkan.Suami Y
memberi dukungan kepadanya untuk diet seperti saran dokter. Namun, suami Y tidak
lantas menekan Y agar sesegera mungkin menurunkan berat badannya. Hal tersebut
ditunjukkan dengan masih diberikannya toleransi kepada Y untuk libur diet pada harihari tertentu. Hal tersebut menjadi sebuah dukungan yang membuat kedua partisipan
dapat menerima kondisinya. Meskipun ada dampak-dampak yang dirasakan oleh kedua
partisipan dengan belum hadirnya anak dalam rumah tangga mereka. Y merasakan
kehidupan rumah tangga yang hambar dan monoton karena aktivitas yang dijalani setiap
harinya sama. Sedangkan N, merasa iri saat melihat aktivitas orang tua dan anak. N dan
suami kemudian saling menguatkan dengan mengatakan bahwa suatu saat mereka pasti
dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi orang tua.
Setelah hasil pemeriksaan yang pertama, kedua partisipan merasa kurang puas
dengan hasil pemeriksaan tersebut dan ingin mencari pendapat lain mengenai kondisi
kedua dari dokter yang lain. Kedua partisipan sama-sama sudah mendatangi tiga dokter
secara bergantian dan mendapatkan hasil yang sama pula. Pada Y kegemukan yang
memengaruhi sikus menstruasinya menjadi tidak teratur sehingga menghambat
pembuahan. Sedangkan pada N,secara keseluruhan dinyatakan normal seperti
pernyataan dokter sebelumnya.Setelah mendapatkan hasil yang sama seperti
pemeriksaan sebelumnya, akhirnya kedua partisipan dapat menerima hasil tersebut dan
menjalankan saran-saran yang diberikan oleh dokter. Y mulai menjalankan diet kalori
untuk menurunkan berat badannya, namun beberapa waktu ini ia sedikit lalai dengan
dietnya dan tidak menjalankan saran dokter yang lain seperti olahraga. Hal tersebut
dipengaruhi oleh tidak adanya desakan dari suami yang menuntutnya untuk segera
memiliki anak, sehingga Y lalai terhadap program dietnya dan kesibukan mengantar
21
adik sekolah di luar kota yang membuat Y tidak memiliki waktu untuk berolahraga.
Sedangkan N, selalu teratur mengikuti saran dokter dengan mengkonsumsi vitamin serta
obat penyubur (propertil). Infertilitas yang dialami oleh kedua partisipan juga tidak
memengaruhi kasih sayang dan pengertian yang diberikan oleh suami. Suami kedua
partisipan tetap menunjukkan kasih sayangnya dengan cara masing-masing.
Permasalahan yang sering muncul dalam pernikahan kedua partisipan berbedabeda. Dalam pernikahan Y, masalah yang sering muncul yaitu masalah keuangan dan
perbedaan cara berpikir. Masalah keuangan tersebut seperti baik partisipan maupun
suami sama-sama ingin memiliki sisa uang lebih dari pengeluaran setiap bulannya.
Sedangkan masalah berbeda pemikiran yaitusuami ingin melakukan hal-hal yang dirasa
kurang penting bagi partisipan seperti pergi ke tempat-tempat yang disukai oleh suami,
namun tidak disukai oleh partisipan. Untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut
biasanya salah satu di antara mereka mengalah dan mengerti kondisi yang sedang terjadi
dalam rumah tangga. Masalah keuangan yang biasa timbul yaitu keinginan untuk
mendapatkan uang lebih dari sisa pengeluaran setiap bulannya. Terkadang, pengeluaran
mereka juga membengkak karena hobi berbelanja yang sangat disukai oleh Y.
Sedangkan masalah yang biasa dihadapi oleh N dan suami yaitu masalah-masalah
sepele seperti perbedaan selera makan. Mereka cenderung mencari solusi dengan
berdiskusi agar keduanya tidak ada yang dirugikan seperti memilih tempat makan yang
bisa memenuhi selera keduanya.Menurut Atwater dan Duffy (2005), pasangan yang
memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara bersama-sama cenderung
merasakan kepuasan dalam pernikahannya. Saat sedang berselisih seperti itu, suami
kedua partisipan tidak menunjukkan perilaku yang kasar. Suami kedua partisipan tidak
pernah melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal yang membuat kedua partisipan
22
leluasa untuk berkomunikasi dan merasa nyaman berada di dekat suami.Kekerasan
dalam rumah tangga biasanya dipicu oleh pernikahan yang tidak bahagia sesuai dengan
berbagai behasil penelitian (Ross, Mirowsky, & Goldsteen dalam Prasetya, 2007).
Kedua partisipan selalu meluangkan waktu untuk bersama suami. Meskipun Y
dan suami tidak memiliki kesamaan hobi, namun mereka selalu meluangkan waktu
untuk sekedar makan bersama di sela-sela kesibukan yang mereka jalani.Sedangkan N,
memiliki perencanaan waktu untuk dihabiskan bersama setiap akhir pekan dengan
berolahraga bersama dan berbelanja kebutuhan rumah tangga atau hanya sekedar jalanjalan. Bagi N, yang penting bisa selalu berdua sama suami. Kedua partisipan merasakan
kebahagiaan saat bersama suami karena dapat berbagi segala hal dan membuat
hubungan mereka menjadi lebih intim. Dalam kebersamaan tersebut kedua partisipan
merasakan keintiman bersama suami. Hal-hal yang terkandung dalam keintiman yaitu
saling berbagi baik minat, aktivitas, pemikiran, perasaan, serta nilai yang dimiliki
pasangan (Robinson & Blanton, 1993).
Untuk menjalankan kehidupan rumah tangganya, kedua partisipan membagi
peran yang disepakati bersama suami. Para istri bertanggung jawab untuk urusan rumah
termasuk mengelola keuangan, sedangkan para suami bertanggung jawab untuk mencari
nafkah. Namun, tidak jarang juga mereka berbagi tanggung jawab saat partisipan tidak
dapat melaksanakan tanggung jawabnya karena sakit. Dalam pengelolaan keuangan,
kedua partisipan memiliki kesamaan dengan membuat laporan keuangan sesuai rincian
pengeluaran yang dilakukan setiap bulannya. Jika Y dan suami memiliki permasalahan
keuangan saat keduanya sama-sama menginginkan uang lebih. Lain halnya dengan N
yang tidak pernah memiliki permasalahan dalam hal keuangan. Meskipun keduanya
sama-sama mengatur perincian keuangan berdasarkan kesepakatan bersama, namun N
23
lebih merasakan kepuasan karena merasa semua kebutuhannya sudah tercukupi oleh
suami.
Kedua partisipan juga melakukan kewajiban mereka sebagai istri dengan baik
untuk melayani suami. Kedua partisipan sama-sama memandang hubungan seksual
sebagai sebuah kewajiban seorang istri. Selain sebagai kewajiban, Y memandang
hubungan seksual sebagai alat untuk menambah keintiman dengan suami. Sedangkan, N
memiliki tujuan lain dalam hubungan seksualnya yaitu untuk kesehatan suami dan
membuat suami menjadi lebih bersemangat.Infertilitas yang dialami oleh partisipan
tidak memengaruhi kualitas hubungan seksual mereka. Frekuensi hubungan seksual
mereka justru lebih teratur sesuai saran dokter. Suami kedua partisipan juga mengerti
ketika kedua partisipan tidak dapat melakukan kewajibannya karena capek. Menurut
Duvall dan Miller (1985), pasangan yang dapat merasakan kepuasan dalam
berhubungan seksual di dalam pernikahan akanmemengaruhi kepuasan pernikahan.
Dengan kondisi yang seperti sekarang ini, kedua partisipan sama-sama
menghadapi berbagai pertanyaan tentang kondisi yang dialaminya tersebut dari orangorang di sekitarnya termasuk keluarga. Y merasa kecewa dan sakit hati dengan
pertanyaan-pertanyaan yang seolah-olah memojokkan dirinya. Menurut Y, hal itu tidak
sepenuhnya ia yang salah karena belum dilakukan pemeriksaan terhadap suaminya.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu Y mulai terbiasa dengan pertanyaanpertanyaan mengenai kondisinya tersebut dan menanggapinya dengan santai.
Sedangkan N menganggap pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya mengenai
kondisinya itu merupakan hal yang wajar, sehingga ia pun menanggapinya dengan
positif dengan meminta doa agar harapannya untuk memiliki anak dapat segera
terwujud. Hal tersebut juga tidak memengaruhi hubungan mereka dengan anggota
24
keluarga yang lain meskipun hubungan mereka juga tidak tergolong dekat. Pada Y,
pertanyaan mertua mengenai kondisinya juga tidak membuat hubungan dengan
mertuanya menjadi renggang. Hal tersebut ditunjukkan dengan kedatangannya di acara
makan siang bersama keluarga beberapa waktu lalu. Pasangan yang memiliki sedikit
konflik dengan mertua memengaruhi kepuasan pernikahan mereka (Bryant, Conger &
Meehan, 2001).
Kedua partisipan sama-sama memandang kehidupan pernikahan orang tua baikbaik saja. Adanya permasalahan yang dihadapi orang tua dalam pernikahan dipandang
sebagai sesuatu yang wajar dalam rumah tangga.Mereka sebagai anak sama-sama tidak
ingin ikut campur dalam urusan tersebut. Permasalahan yang biasanya muncul pada
orang tua yaitu masalah keuangan. Meskipun begitu, kedua partisipan menilai masa
kecilnya cenderung bahagia dan menikmati masa kecil tersebut.Terutama Y yang
merasakan bahwa masa kecilnya lebih bahagia daripada masa sekarang. Hal tersebut
dikarenakan masalah finansial yang ia hadapi setelah berumah tangga. Saat kecil, segala
keinginannya dipenuhi oleh orang tua, sedangkan sekarang ia harus berusaha sendiri
untuk memperoleh apa yang diinginkannya terlebih dengan hobi belanja yang ia miliki.
Hal tersebut menimbulkan penyesalan terhadap keputusannya menikah muda yang
membuatnya merasa tidak puas dengan pernikahannya sekarang. Selain itu, aktivitas
yang terbatasi karena adanya tanggung jawab untuk mengurus suami juga menjadi
penyebab ketidakpuasan Y pada pernikahannya. Oleh karena itu, Y bersyukur dengan
infertilitas yang dialaminya sekarang karena dengan begitu tanggung jawabnya tidak
bertambah dan aktivitasnya belum terbatasi sepenuhnya di usianya yang masih muda
sekarang. Sedangkan N merasakan kepuasan pernikahan karena tidak ada hal-hal yang
25
kurang dari pernikahannya. Belum hadirnya anak bukan merupakan suatu penentu
kepuasan atau kebahagiaan, hanya keinginan yang belum tercapai.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data yang dilakukan, maka kesimpulanyang diperolehdari
penelitian ini adalah kedua partisipan merasakan kepuasan pada pernikahan mereka
meskipun mengalami infertilitas primer. Hal tersebut ditunjukkan dari evaluasi positif
yang dirasakan oleh kedua partisipan pada jumlah afeksi yang diberikan oleh suami,
kefektifan dalam menyelesaikan masalah, tidak adanya agresi fisik dan
MENGALAMI INFERTILITAS PRIMER
OLEH
SRI YUNIA RAHMAWATI
802008014
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG
MENGALAMI INFERTILITAS PRIMER
Sri Yunia Rahmawati
Chr. Hari Soetjiningsih
Rudangta Arianti Sembiring
Progam Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
Abstrak
Kepuasan pernikahan merupakan evaluasi suami istri terhadap seluruh kualitas
kehidupan pernikahan (Snyder, 1997). Menurut Santrock (2006), kepuasan pernikahan
memberikan pengaruh yang sangat baik bagi pasangan, antara lain dapat mengurangi
tingkat stres psikologis dan fisik. Dalam pengertian masyarakat Indonesia kelengkapan
keluarga yaitu ada ayah, ibu dan anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga.
Selain itu, salah satu tujuan pernikahan menurut Soemiyati (1982) yaitu memiliki
keturunan yang sah. Ketika kehamilan yang diharapkan tersebut tidak kunjung terjadi
dalam suatu rumah tangga, maka dengan serta merta kesalahan tertuju pada kaum
perempuan (istri). Hal tersebut dikarenakan konteks budaya patriarki yang demikian
dominan, sehingga bila terjadi kemandulan seringkali yang disalahkan adalah kaum
perempuan yang kodratnya mampu hamil (Demartoto, 2008). Penelitian ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami
infertilitas primer. Gambaran kepuasan pernikahan diperoleh dari deskripsi dimensidimensi kepuasan pernikahan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan
memilih dua istri yang belum pernah memiliki anak sebagai partisipan, berusia antara
20-35 tahun, dengan usia pernikahan 3-5 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa kedua partisipan dapat merasakan kepuasan pernikahan dalam kondisi infertilitas
primer yang dialaminya. Kedua partisipan memandang kehadiran anak sebagai sesuatu
yang penting tetapi bukanlah sumber kebahagiaan mereka. Kedua partisipan justru
menikmati masa-masa berdua bersama suami karena dapat menambah keintiman. Untuk
peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat mengkaji lebih dalam mengenai kepuasan
pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas primer dengan teori-teori terbaru dan
melihat pengaruh latar belakang suku terhadap munculnya perasaan tertekan pada
kondisi infertilitas yang dialami oleh seseorang karena adanya sistem patriarki di
Indonesia.
Kata Kunci: Kepuasan pernikahan, infertilitas primer.
i
Abstract
Marital satisfaction is the evaluation married of husband and wife of the quality married
life (Snyder, 1997). Santrock (2006) said, marital satisfaction give a good impact for
couples to decrease rate of psychological and physical stress. In Indonesian, an ideal
family have father, mother and children, that‟s the complete family. Furthermore,
Soemiyati (1982) said a the purpose of marriage also have a legitimate descendant.
When the couple hope for pregnancy, but it haven‟t come yet, then women (wife) is the
one who blame (Dermatoto, 2008). This research was intended to get marital
satisfaction of the wife‟s that has an experienced primary infertility. This research used
a qualitative method and use two wives have never had children as a participants, aged
between 20-35 years, with the age of marriage between 3-5 years. The results of this
research indicate that both of them can enjoy marital satisfaction with primary
infertility. The two participants looked at the presence of children as something that is
important, but it‟s not the source of their happiness. They can actually enjoy the
togetherness to add intimacy. For the next researchers then expected to be able to study
more in terms of the marital satisfaction to wife that has an experienced in primary
infertility with the new theories and see the influence of ethnic to feeling of distress
because of the patriarchy system in Indonesia.
Keywords: Marital satisfaction, primary infertility.
ii
PENDAHULUAN
Masa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun sampai 40 tahun (Hurlock, 1980).
Secara umum, mereka yang tergolong dewasa awal adalah mereka yang berusia 20
hingga 40 tahun. Menurut Santrock (1999), dewasa awal termasuk masa transisi, baik
secara fisik, transisi secara intelektual, serta transisi peran sosial. Adapun tugas
perkembangan pada masa dewasa awal menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers &
Haditono, 2001) yang salah satunya yaitu menikah atau membangun suatu keluarga.
Pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 Pasal 1 diartikan
sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Walgito, 2004). Salah satu tujuan
pernikahan menurut Soemiyati (1982) yaitu memiliki keturunan yang sah.
Pernikahan memberikan kesempatan bagi individu untuk dapat memenuhi
berbagai kebutuhan esensial seperti keintiman, persahabatan, perhatian atau kasih
sayang, kebutuhan seksual, serta kebersamaan (Papalia, Sterns, Feldman, & Camp,
2007).Dalam sebuah hubungan pernikahan, tentunya setiap pasangan memiliki harapan
yang ingin dicapai. Salah satu harapan yang terpenting adalah mencapai pernikahan
yang memuaskan (Turner & Helms, 1995). Menurut Santrock (2006), kepuasan
pernikahan memberikan pengaruh yang sangat baik bagi pasangan, antara lain dapat
mengurangi tingkat stres psikologis dan fisik. Sebaliknya, pasangan yang berada dalam
pernikahan yang tidak memuaskan memiliki resiko lebih besar untuk mengalami sakit
dan mengurangi kesempatan hidup mereka (Gove, Style, & Hughes, dalam Santrock,
2006). Kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami istri terhadap seluruh kualitas
kehidupan pernikahan (Snyder, 1997).Hal-hal yang dievaluasi untuk menggambarkan
1
kepuasan pernikahan tersebut dijabarkan melalui dimensi-dimensi seperti affective
communication,
problem-solving
communication,
aggression,
time
together,
disagreement about finances, sexual dissatisfaction, role orientation dan family history
of distress (Snyder, 1997).
Affective communication yaitu dimensi yang menilai ketidakpuasan terhadap
jumlah afeksi dan pengertian yang diberikan oleh pasangan. Problem-solving
communication yaitu dimensi yang menilai ketidakefektifan dalam menyelesaikan
masalah. Aggression yaitu dimensi yang menilai tingkat intimidasi dan agresi fisik yang
dialami oleh partisipan dari pasangannya. Time together yaitu dimensi yang menilai
kebersamaan pasangan dalam waktu luang mereka. Dissagreement about finances yaitu
dimensi yang menilai perselisihan dalam hubungan mengenai pengelolaan keuangan.
Sexual dissatisfaction yaitu dimensi yang menilai ketidakpuasan terhadap frekuensi dan
kualitas hubungan seksual serta aktivitas seksual lainnya. Role orientation yaitu dimensi
yang menilai pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga. Family history of
distress yaitu dimensi yang mencerminkan gangguan hubungan dalam keluarga
partisipan.
Dalam pengertian masyarakat Indonesia kelengkapan keluarga yaitu ada ayah,
ibu dan anak menjadi gambaran ideal dari sebuah keluarga. Dalam sebuah keluarga,
anak memiliki beberapa fungsi. Yang pertama, anak sebagai simbol kesuburan dan
keberhasilan. Filosofi yang berkembang adalah banyak anak banyak rejeki,
keterlambatan memiliki anak dianggap sebagai kegagalan besar. Yang kedua, anak
sebagai pelanjut keturunan. Yang ketiga, anak sebagai teman dan penghibur. Yang
keempat, anak merupakan anugerah dan amanat Tuhan yang tidak boleh disia-siakan.
2
Yang kelima, anak yang saleh akan mendoakan dan menolong orang tuanya didunia dan
akhirat (Moeloek, dalam Hidayah, 2010).
Nilai anak dalam budaya dan masyarakat Indonesia sangat penting, apalagi
dalam suatu rumah tangga. Hal ini bukan hanya karena penerimaan yang baik pada
mereka yang mampu melahirkan anak, tetapi juga karena sumbangan sosial dan
ekonomi bagi rumah tangga. Ketika kehamilan yang diharapkan tersebut tidak kunjung
terjadi dalam suatu rumah tangga, maka dengan serta merta kesalahan tertuju pada
kaum perempuan (istri) karena dalam konteks budaya patriarki yang demikian dominan,
sehingga bila terjadi kemandulan seringkali yang disalahkan adalah kaum perempuan
yang kodratnya mampu hamil (Demartoto, 2008).
Akan tetapi, tidak semua pasangan bisa memiliki anak. Salah satu penyebab
ketidakmampuan memiliki anak adalah infertilitas. Infertilitas adalah kegagalan untuk
mengandung setelah satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat
kontrasepsi. Sedangkan infertilitas pada wanita yaitu ketidakmampuan mencapai suatu
kehamilan setelah satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa pelindung yang
dikarenakan faktor fisiologis (gangguan hormonal) antara lain gangguan ovulasi yang
disebabkan oleh disfungsi hipotalamus, kelenjar hipofisis atau kelenjar tiroid, dan faktor
patologis yaitu penyakit-penyakit yang menyebabkan gagalnya pembuahan seperti kista
(tumor ovarium), penyakit ovarium polikistik atau kerusakan ovarium akibat riwayat
pembedahan yang mengganggu siklus ovarium, serta terjadinya masalah pada produksi
dan pelepasan ovum (Henderson & Jones, 2005). Infertilitas dibagi menjadi dua jenis,
yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer yaitu pasangan
suami istri yang belum pernah mengalami kehamilan sebelumnya, sedangkan infertilitas
sekunder yaitu pasangan suami istri yang gagal untuk memperoleh kehamilan setelah
3
satu tahun pasca persalinan atau pasca abortus, tanpa menggunakan kontrasepsi apapun
(Prawirohardjo, 2011). Menurut statistik kehamilan terjadi sekitar 80% pada tahun
pertama, 75% pada tahun kedua, 50-60% pada tahun ketiga, pada tahun keempat turun
menjadi 40-50%, sedangkan tahun kelima lebih kecil yaitu antara 25-30% (Manuaba,
2009).
Menurut Manuaba (2009) tidak semua orangyang tidak bisa mengandung setelah
satu tahun melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat kontrasepsi tersebut
dinyatakan infertil. Ada pemeriksaan yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
akhirnya dinyatakan infertil. Pemeriksaan tersebut ada dua yaitu pemeriksaan umum
yang berupa anamnesa yang terdiri dari tanya-jawab mengenai berapa lama menikah,
usia suami dan istri, frekuensi hubungan seksual, tingkat kepuasan seksual, penyakit
yang pernah diderita, teknik hubungan seksual, usia saat menarche (menstruasi pertama
kali), apakah haid teratur, dan lainnya. Kemudian, pemeriksaan khusus yang terdiri dari
pemeriksaan ovulasi, pemeriksaan lendir serviks, dan pemeriksaan endometrium.
Rata-rata para istri akan hamil setelah melakukan hubungan seksual sebanyak
104 kali dengan pasangannya. Demikian hasil survei yang dilakukan terhadap 3.000
perempuan oleh First Response, sebuah perusahaan popular untuk keluarga berencana.
Itu berarti, rata-rata istri butuh waktu 6 bulan untuk bisa hamil, dengan catatan
melakukan hubungan seks dengan suami sekitar 4 kali dalam seminggu selama jangka
waktu tertentu. Namun, ada beberapa istri yang langsung bisa hamil dengan hanya
melakukan hubungan seksual 2-3 kali saja. Selain itu, Dr. Mike Smith, juru bicara First
Response mengatakan bahwa hal utama yang harus diperhatikan agar cepat hamil
adalah kesehatan tubuh istri dan suami, terutama yang berkaitan dengan organ
4
reproduksi,
kualitas
sperma
dan
masa
subur
sang
istri
(http://www.parenting.co.id/article/hamil/frekuensi.seks.agar.cepat.hamil/001/001/141).
Perhatian khusus dalam kehamilan juga tertuju pada usia. Menurut Manuaba
(1998), „kurun waktu reproduksi sehat‟ yaitu antara 20-30 tahun. Pada masa remaja atau
pada usia dibawah 20 tahun kesulitan kehamilan pada remaja lebih tinggi yang
disebabkan oleh belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat
merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Sedangkan
menurut Benson dan Pernoll (2008), diatas usia 36 tahun kemungkinan untuk hamil
kurang dari 50%.
Wanita menyumbang 40-50% kasus infertilitas, laki-laki menyumbang 30%
kasus infertilitas dan 20-30% kasus infertilitas disebabkan oleh keduanya (Benson &
Pernoll, 2008). Rata-rata prevalensi dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar kasus infertilitas disebabkan oleh istri.
Infertilitas pada istri sekitar 60-70% yang disebabkan oleh subfaktor anatomis
dan subfaktor fungsional. Subfaktor anatomis (kelainan alat kelamin) antara lain, yaitu
liang senggama (vagina), mulut rahim, rahim sendiri, saluran telur (tuba fallopi), indung
telur dan faktor lapisan dalam abdomen. Sedangkan, subfaktor fungsional yaitu kelainan
hormonal berupa gangguan sistem hormonal wanita dan dapat disertai kelainan bawaan,
gangguan pada pelepasan telur, gangguan pada korpus luteum (defisiensi korpus
luteum), atau gangguan implantasi hasil konsepsi dalam rahim (Manuaba, 2009). Selain
itu, menurut Prawirohardjo (2011) faktor penyebab infertilitas ada dua jenis yaitu jenis
non-organik antara lain usia, frekuensi senggama, pola hidup seperti konsumsi alkohol,
merokok, berat badan. Sedangkan jenis organik antara lain yaitu masalah pada vagina,
masalah uterus, masalah tuba, masalah ovarium dan masalah peritoneum.
5
Dampak psikis yang timbul akibat ketidakhadiran anak dalam pernikahan adalah
stres. Griel (1991) melaporkan bahwa infertilitas akan meningkatkan ketegangan dalam
pernikahan. Pihak perempuan/istri seringkali disudutkan sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab bila suatu pernikahan belum juga dikarunia anak (dalam Hidayah,
2010). Oleh karena adanya masalah yang berkaitan dengan status wanita dewasa, serta
adanya tekanan di dalam masyarakat untuk memiliki anak, maka tidak mengherankan
jika reaksi yang ditunjukkan oleh wanita yang mengalami infertilitas adalah depresi,
merasa bersalah, cemas dan takut (Bird & Melville, 1994). Stres infertilitas yang tinggi
dapat memengaruhi hubungan dengan pasangan menjadi kurang harmonis. Ryder
(dalam Hidayah & Hadjam, 2006) menjelaskan bahwa keberadaan anak memang
memengaruhi kepuasan pernikahan. Ketidakhadiran anak dalam rumah tangga sering
menimbulkan konflik-konflik rumah tangga yang berkepanjangan. Konflik-konflik itu
dapat berujung pada perceraian. Hasil penelitian Hull dan Tukiran (dalam Hidayah &
Hadjam, 2006) mengenai infertilitas di Indonesia menguatkan permasalahan di atas.
Ditemukan bahwa perempuan infertil lebih berkemungkinan untuk dicerai atau dimadu,
distigmatisasi, menjadikan infertilitas sebagai sumber “rasa malu”, menghabiskan
banyak waktu dan biaya untuk mengatasi infertilitas yang dialami, serta sulit untuk
menemukan peran yang penuh di dalam komunitasnya.
Namun, tidak semua pasangan mengalami dampak negatif dari masalah
infertilitas. Beberapa pasangan melaporkan bahwa keadaan infertilitas tersebut justru
membuat pasangan semakin meningkatkan keintiman dan komunikasi (Burn &
Covington, dalam Lee, Sun & Chao, 2001).Judson (dalam Hidayah & Hadjam, 2006)
menyatakan bahwa padadekade-dekade terakhir ini lebih dari 60%kasus perceraian
dialami oleh pasangan yangsudah memiliki anak. Penelitian Callan serta Waldron dan
6
Routh (dalam Hidayah & Hadjam, 2006) menyimpulkan bahwa para istri yang
tidakmemiliki anak, baik yang dikehendaki maupunkarena mandul, secara umum tetap
merasapuas dengan kehidupan pernikahan mereka.Bagi mereka memiliki anak bukanlah
tujuanutama dalam sebuah pernikahan. Hubungan suami istri yang harmonis lebih
pentingdaripada anak.
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk
mengetahui lebih mendalam mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada istri yang
mengalami infertilitas primer. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dimana peneliti akan meneliti lebih
mendalam supaya memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai masalah yang
diangkat dalam penelitian.
METODE PENELITIAN
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Hal
ini disesuaikan dengan sifat masalah yang akan diteliti karena tidak dapat diungkap
dengan menggunakan kuantitatif atau angka. Dalam penelitian tersebut data yang dapat
diperoleh berasal dari naskah wawancara dan observasi dengan tujuan agar dapat
mendeskripsikan realitas empiris di balik fenomena yang ada secara mendalam, rinci
dan tuntas. Selanjutnya data hasil wawancara akan dianalisis dengan teknik analisis
tematik yaitu teknik mencari tema-tema penting untuk mendeskripsikan fenomena
(Daly, Kellehear, & Gliksman, 1997, dalam Fereday & Muir-Cochrane, 2006). Selain
itu juga menggunakan teknik triangulasi yang digunakan untuk memeriksa keabsahan
data dengan memanfaatkan sesuatu yang diluar data untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2007).
7
Partisipan
Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mendeskripsikan mengenai
gambaran kepuasan pernikahan pada istri yang mengalami infertilitas primer, sehingga
sumber data dalam penelitian ini adalah individu dengan karakteristik antara lain:
1. Istri yang telah menikah selama 3-5 tahun.Pertimbangan ini berdasarkan
pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock (1980), bahwa selama tahun pertama
dan kedua perkawinan pasangan suami istri biasanya harus melakukan
penyesuaian utama satu sama lain terhadap anggota keluarga masing-masing dan
teman-temannya. Setelah mereka saling menyesuaikan satu sama lain dengan
anggota keluarga dan teman-teman, mereka perlu menyesuaikan dengan
kedudukan mereka sebagai orang tua (tahun ketiga). Selain itu, setelah tahun
kelima kemungkinan kehamilan kurang dari 50% (Manuaba, 2009).
2. Istri yang berusia 20-35 tahun, karena dalam rentang usia tersebut perempuan
memiliki tingkat kesuburan yang tinggi yakni 94 persen (dalam Prawihardjo,
2011). Dalam usia tersebut seorang perempuan juga sudah mencapai
kematangan fisiologis yang berarti memungkinkan terjadinya pembuahan
(dalam Walgito, 2004).
3. Belum memiliki anak(infertilitas primer), yaitujika sebelumnya pasangan suami
istri belum pernah mengalami kehamilan(Prawihardjo, 2011).
Gambaran Umum Partisipan Penelitian
Inisial
P1 (Y)
P2 (N)
Usia saat menikah
22 tahun
24 tahun
Pendidikan terakhir
SMA
S1 Akuntansi
Ibu rumah tangga
Ibu rumah tangga
Pekerjaan
8
Usia pernikahan
Penyebab infertilitas
3 tahun 9 bulan
3 tahun 4 bulan
Normal
Tidak diketahui
Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan mengorganisasikan data kualitatif dengan
rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Kemudian peneliti membubuhkan kode-kode
pada materi-materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi
dan mensistematisasikan data secara detail sehingga dapat memunculkan gambaran
tentang topik yang dipelajari. Selanjutnya, melakukan pemadatan faktual dan
menemukan tema-tema. Setelah itu, peneliti mencoba memikirkan hubungan tema-tema
tersebut sehingga tersusun kategori-kategori. Kategori-kategori tersebut disusun
sehingga menampilkan hubungan antarkategori. Terakhir adalah menarasikan kategorikategori tersebut (Poerwandari, 2007).
HASIL
Hasil analisis data memunculkan beberapa kategorisasi tema seperti berikut:
Makna anak bagi partisipan, sikap partisipan terhadap keadaaannya yang belum
memiliki anak di awal pernikahan, sikap partisipan terhadap saran-saran yang diberikan
oleh dokter, perasaan dan sikap partisipan setelah mengetahui hasil pemeriksaan,
dukungan yang diperoleh partisipan, dampak yang dirasakan partisipan dengan belum
hadirnya anak dalam rumah tangga, rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil
pemeriksaan, afeksi yang diperoleh partisipan, kemampuan problem-solving partisipan,
tidak adanya agresi fisik maupun verbal yang dialami oleh partisipan, respons partisipan
saat sedang melakukan aktivitas bersama suami, kemampuan partisipan dalam
9
mengelola keuangan, makna hubungan seksual bagi partisipan, sikap partisipan
terhadap pembagian peran dalam rumah tangga, hubungan partisipan dengan anggota
keluarga yang lain, sikap partisipan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar
kondisinya saat ini, pendapat partisipan mengenai kehidupan pernikahan orang tua dan
kehidupan masa kecilnya, gambaran kepuasan pernikahan partisipan.
Makna anak bagi partisipan
Anak menjadi salah satu harapan dari pernikahan bagi kedua partisipan.
Menurut kedua partisipan, salah satu tujuan pernikahan yaitu untuk mendapatkan
keturunan. Keberadaan anak dalam sebuah keluarga dirasa penting oleh kedua
partisipan.
Tabel 1. Makna anak bagi partisipan
Partisipan 1 (Y)
Makna anak bagi partisipan
“Yaa kehadiran anak itu penting ya dalam sebuah
keluarga karena tujuan menikah pasti pengen
punya keturunan. Jadi ya kehadiran anak ya sangat
dinanti dalam perkawinan”.
Partisipan 2 (N)
Makna anak bagi partisipan
“Ya salah satunya sih itu untuk meneruskan
keturunan”.
Sikap partisipan terhadap keadaaannya yang belum memiliki anak di awal
pernikahan
Kedua partisipan sama-sama memiliki program alami di awal pernikahan.
Namun, setelah beberapa waktu belum mendapatkan hasil akhirnya mereka
memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.
Tabel 2. Awal pemeriksaan dan hasil pemeriksaan
Partisipan 1 (Y)
Awal pemeriksaan
“Dari awal pernikahan juga saya sudah sering
periksa, cuma waktu itu kan masih pernikahan di
awal-awal jadi saya masih tenang-tenang saja,
cuma sekarang kan semakin kesini kan kok makin
Partisipan 2 (N)
Awal pemeriksaan
“Kalau program kehamilan itu kita ke dokter, kita
tes semua yang diarahkan dokter, tapi waktunya itu
kurang lebih setahun setelah pernikahan”.
10
belum hamil juga kan kenapa jadi saya sering
periksa”.
Inisiatif
dari
memeriksakan diri
suami
“Ya coba dibawa ke dokter kenapa kok belum
hamil, siapa tau ada masalah apa”.
Inisiatif untuk memeriksakan diri
“Dua-duanya, dua-duanya”.
Keluhan-keluhan yang disampaikan
“Yaa keluhannya sih sudah menikah 3 tahun
kenapa kok belum bisa hamil, terus menstruasi
saya kok tidak teratur”.
untuk
“Kalau kita sudah menikah kurang lebih setahun
terus kita belum mempunyai anak”.
Hasil pemeriksaan
“Ya itu hormon masih tidak teratur, faktor
kegemukan, saya diminta mengurangi berat badan
supaya hormonnya teratur”.
Keluhan-keluhan yang disampaikan
Hasil pemeriksaan
“Kita kalau memang hasil kita baik berarti kan
memang normal,,”.
Perasaan dan sikap partisipan setelah mengetahui hasil pemeriksaan
Setelah mengetahui hasil pemeriksaan, kedua partisipan merasa sedih karena
hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Meskipun hasil partisipan kedua (N) dinyatakan
baik dan sehat-sehat saja, namun N tetap merasa sedih dan bertanya-tanya mengapa ia
belum bisa hamil padahal kondisinya sehat.
Tabel 3. Respons partisipan dan suami setelah mengetahui hasil pemeriksaan
Partisipan 1 (Y)
“Yaa sedih ya, cuma pengennya kan memang juga
cepet hamil, cuma kalau kondisinya seperti ini ya
mau gimana lagi”.
Perasaan Y setelah mengetahui hasil
pemeriksaan
Perasaan Y setelah mengetahui hasil
pemeriksaan
“Kita sedihnya kok kenapa ya sehat semua kok
belum jadi, maksudnya kok belum ada hasil”.
Respons suami setelah mengetahui hasil
pemeriksaan
“Suami cuma menyuruh saya untuk mengurangi
berat badan, supaya saya ngikutin saran dokter”.
Partisipan 2 (N)
Respons suami setelah mengetahui hasil
pemeriksaan
“Sama, kita kalau memang hasil kita baik berarti
kan memang normal”.
11
Sikap partisipan terhadap saran-saran yang diberikan oleh dokter
Meskipun hasil pemeriksaan kurang baik, namun kedua partisipan berusaha
untuk menjalankan saran-saran dokter agar dapat memperlancar program kehamilan
yang sedang mereka jalani. Hanya saja, partisipan pertama (Y) terkadang lalai untuk
menjalankan saran dokter.
Tabel 4. Sikap partisipan terhadap saran-saran yang diberikan oleh dokter
Partisipan 1 (Y)
Saran-saran dokter yang dijalankan
“Kalau untuk yang diet dokter nyuruhnya itu waktu
terakhir saya ke dokter itu sekitar 5 bulan lalu..”.
Partisipan 2 (N)
Saran-saran dokter yang dijalankan
“Saya program 2 tahun, dikasih vitamin terus.
Beberapa bulan belakangan, 6 bulan lah, 6 bulan
kita dikasih propertil, propertil itu obat penyubur,
untuk menambah kesuburan atau gimana saya ngga
tau, intinya gitu lah. Itu tiap bulan di hari ketiga
mensitu kita minum obat sampai selama 5 hari, ya
itu aja sih, ngga ada obat lain, cuma vitamin aja.
Kalau itu hanya 6 bulan belakangan aja”.
Saran-saran yang diabaikan
“Ya dokter menyarankan untuk dibantu dengan
olahraga cuma saya ngga ada waktu”.
Dukungan yang diperoleh partisipan
Kedua partisipan sama-sama mendapatkan dukungan baik dari suami maupun
anggota keluarga yang lain. Dukungan yang diterima oleh kedua partisipan menjadi
kekuatan tersendiri bagi partisipan untuk tetap tegar dalam menerima kondisi mereka
saat ini. Hal tersebut sesuai dengan pengakuan suami P1 dan ibu P2 yang memberikan
dukungan berupa pemberian semangat dan menghibur partisipan dalam menerima
infertilitas yang dialami serta dukungan untuk menjalankan saran-saran dari dokter.
Tabel 5. Dukungan yang diperoleh partisipan
Partisipan 1 (Y)
Kehadiran suami saat pemeriksaan
“Suami ikut nemenin, cuma belum sempet, belum
sampai suami diperiksa kata dokternya sih memang
belum perlu”.
Partisipan 2 (N)
Dukungan yang diperoleh partisipan
“Tapi kita tetep
menguatkan..”.
12
saling
menghibur,
saling
Dukungan yang diperoleh partisipan
“Sewaktu mertua tanya kenapa belum hamil juga
padahal udah lama menikah bagaimana respons
suami? Dia (suami) cuma ngomong ngga usah
dimasukkin hati omongan orang tua”.
Respons partisipan terhadap dukungan
yang diperoleh
“Alhamdulillah kita tidak saling menyalahkan”.
Respons partisipan terhadap dukungan
yang diperoleh
“Saya ya berharap suami bisa mengerti keadaan
saya, dan dia ngga menuntut saya untuk cepetcepet punya anak”.
Dampak yang dirasakan partisipan dengan belum hadirnya anak dalam rumah
tangga
Kedua partisipan sama-sama merasakan dampak dari belum adanya anak dalam
rumah tangga. Ada rasa iri yang muncul saat melihat aktivitas orang tua dan anak.
Selain itu, Y mendapatkan sedikit tekanan karena adik ipar yang baru menikah satu
bulan sudah menunjukkan tanda-tanda kehamilan.
Tabel 6. Dampak yang dirasakan partisipan dengan belum hadirnya anak
Partisipan 1 (Y)
Dampak yang dirasakan
“Hubungan pernikahan ya seperti kayak hambar,
monoton, seperti itu itu aja setiap harinya”.
Partisipan 2 (N)
Dampak yang dirasakan
“Kalau lihat anak-anak kecil saya sama suami tu
rasanya seneng tapi kadang ya sedih juga karena
kita belum punya anak sendiri gitu”.
Rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil pemeriksaan
Rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil pemeriksaan membuat kedua
partisipan mengunjungi tiga dokter secara bergantian.
Tabel 7. Rasa keingintahuan terhadap kepastian hasil pemeriksaan
Partisipan 1 (Y)
Jumlah dokter yang dikunjungi
“Yang jelas sudah tiga dokter saya datengin dan ini
mau ke empat kalinya saya mau ganti dokter lagi
yang beda”.
Partisipan 2 (N)
Jumlah dokter yang dikunjungi
“Kita 3 dokter”.
13
Alasan berganti-ganti dokter
“Yaa karena saya ingin mendapatkan jawaban yang
berbeda”.
Alasan berganti-ganti dokter
“Sebenernya sih cari opini yang lain... Maksudnya
untuk memastikan hasilnya gitu apakah sama atau
ngga gitu? Itu salah satunya juga sih”.
Afeksi yang diperoleh partisipan
Meskipun kedua partisipan belum bisa memenuhi harapan suami untuk memiliki
anak, namun para suami tetap menunjukkan rasa sayang dan pengertian mereka
terhadap partisipan.
Tabel 8. Afeksi yang ditunjukkan suami
Partisipan 1 (Y)
Afeksi yang ditunjukkan suami
“Ya kalau tiap malem mau tidur gitu bilang I love
you dengan perbuatan misalnya kalau tiap pagi
mau berangkat kerja ya pamit cium kening”.
Partisipan 2 (N)
Afeksi yang ditunjukkan suami
“Dia lebih ke tindakan.Misalnya kalau kita pengen
apapun gitu kan, dia langsung ngajakin, misal ke
mall atau apa ya langsung hari ini, ngga perlu
besok ya, seminggu lagi ya gitu”.
Kemampuan problem-solving partisipan
Ketika menghadapi masalah, kedua partisipan memiliki cara tersendiri dalam
menyelesaikan masalah tersebut. Jika N lebih menekankan pada diskusi untuk
mendapatkan solusi, Y justru lebih menekankan pada kesadaran diri untuk mengalah
dan mengerti apa yang diinginkan oleh pasangan.
Tabel 9. Kemampuan problem-solving partisipan
Partisipan 1 (Y)
Problem-solving partisipan
“Ya mengalah, salah satu harus ada yang
mengalah.Ya saling mengerti apa kesukaan
pasangan”.
Partisipan 2 (N)
Problem-solving partisipan
“Kita selalu berdiskusi gimana enaknya mencari
solusi”.
Tidak adanya agresi fisik maupun verbal yang dialami oleh partisipan
Kedua partisipan tidak pernah mengalami kekerasan baik fisik maupun verbal
dari suami. Hal tersebut membuat kedua partisipan merasa nyaman berada di dekat
suami.
14
Tabel 10. Perilaku suami saat marah
Partisipan 1 (Y)
Perilaku suami saat marah
“Ngga sih, orangnya ngga pernah kasar”.
Partisipan 2 (N)
Perilaku suami saat marah
“Alhamdulillah ngga, kalau kata kasar ngga, cuma
kadang keras, cuma keras. Menurut saya sih ngga
kasar, cuma keras aja. Kalau kekerasan dalam
rumah tangga ngga pernah”.
Respons partisipan saat sedang melakukan aktivitas bersama suami
Saat sedang melakukan aktivitas bersama kedua partisipan merasa senang.
Menurut N, banyak hal yang bisa dibicarakan saat bersama suami.
Tabel 11. Respons partisipan saat sedang melakukan aktivitas bersama suami
Partisipan 1 (Y)
Respons partisipan
“Ya seneng ya bisa berdua sama suami”.
Partisipan 2 (N)
Respons partisipan
“Ya seneng, karena bisa bersama kan. Jadi apapun
kita ngobrol, apapun diobrolkan, ya bisa ketawa
bersama kayak gitu”.
Kemampuan partisipan dalam mengelola keuangan
Untuk mengelola keuangan dalam rumah tangga kedua partisipan membuat
rincian dari setiap pengeluaran yang ada.
Bagi N, gaji suami sudah cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, sedangkan bagi Y ada ketidakpuasan finansial
karena Y terkadang merasa gaji suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Tabel 12. Kemampuan partisipan dalam mengelola keuangan
Partisipan 1 (Y)
Cara mengelola keuangan
“Yaa semua penghasilan suami kan udah ada
aturannya, udah diatur pengeluaran tiap bulan. Ya
sesuai dengan kebutuhan tiap bulan”.
Ketidakpuasan finansial
“Ya pernah, kalau pas tiap bulan pengeluaran
membengkak pasti begitu”.
15
Partisipan 2 (N)
Cara mengelola keuangan
“Saya biasanya sih buat kayak semacam laporan
keuangan rumah tangga sendiri sih. Pos-posnya
saya siapkan, bayar sewa rumah, pokoknya posposnya sudah saya siapkan sendiri gitu”.
Makna hubungan seksual bagi partisipan
Bagi kedua partisipan, hubungan seksual dipandang sebagai sebuah kewajiban
seorang istri. Meskipun begitu, kedua partisipan sama-sama merasakan kepuasan dalam
hubungan seksual dengan alasan yang berbeda.
Tabel 13. Makna hubungan seksual bagi partisipan
Partisipan 1 (Y)
Makna hubungan seksual
“Makna hubungan suami istri ya itu salah satu juga
kewajiban saya sebagai istri melayani suami, terus
juga itu juga bisa menambah hubungan lebih intens
ya sama suami”.
Partisipan 2 (N)
Makna hubungan seksual
“Sebenarnya saya membaca hubungan itu baik ya
untuk peredaran darah kita, untuk kepuasan kita
gitu kan. Kalau suami dia lebih semangat gitu dan
untuk kesehatan juga”.
Pengertian satu sama lain
“Ya kan saya menolak pasti ada alasannya, kalau
lagi ngga fit, capek, ya dia mengerti kalau saya lagi
ngga ingin”.
Pengertian satu sama lain
“Kalau pas capek iya, kalau pas capek aja
sih.Intinya kan kita ngga boleh menolak suami,
cuma kalau pas capek suami juga mengerti sih”.
Sikap partisipan terhadap pembagian peran dalam rumah tangga
Pembagian peran dalam rumah tangga kedua partisipan dilakukan berdasarkan
kesepakatan bersama sehingga tidak ada komplain atau rasa tidak puas terhadap
tanggung jawab masing-masing.
Tabel 14. Sikap partisipan terhadap pembagian peran dalam rumah tangga
Partisipan 1 (Y)
“Yaa suami bekerja ya, saya ngurus rumah
tangga”.
Pembagian peran
Pembagian peran
“Kalau peran sendiri kalau untuk rumah, bersihbersih rumah atau segala macem itu saya sudah
menangani sendiri, jadi suami itu cukup bekerja”.
Perasaan terhadap peran yang didapat
“Yaa menurut saya sih sudah sesuai ya, memang
sudah sesuai dan memang sudah kewajiban”.
Partisipan 2 (N)
Perasaan terhadap peran yang didapat
“Saya senang-senang aja karena saya tahu sendiri
maksudnya itu memang tugas saya dan suami juga
tugasnya kalau kerja”.
16
Hubungan partisipan dengan anggota keluarga yang lain
Kedua partisipan merasa hubungan mereka dengan anggota keluarga yang lain
baik-baik saja meskipun tidak begitua akrab sehingga tidak ada yang mengganggu.
Tabel 15. Hubungan partisipan dengan anggota keluarga yang lain
Partisipan 1 (Y)
Hubungan dengan kerabat
Partisipan 2 (N)
Hubungan dengan kerabat
“Hubungannya baik, ngga ada permasalahan, sama
adek-adek, sama keluarga yang lain”.
“Baik-baik aja. Ya, ngga begitu akrab.”
Sikap partisipan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar kondisinya
saat ini
Terdapat perbedaan respons partisipan dalam menghadapi pertanyaanpertanyaan yang muncul seputar kondisi mereka yang belum bisa memiliki anak.
Tabel 16. Sikap partisipan dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seputar
kondisinya saat ini
Partisipan 1 (Y)
Perasaan saat menghadapi pertanyaan
seputar kondisi yang dialami
“Perasaannya ya sakit ya kayak kecewa ya kok
seakan-akan seperti memojokkan saya padahal kan
belum tentu juga dengan kondisi itu saya tidak bisa
hamil,”
Perubahan respons saat menghadapi
pertanyaan seputar kondisi yang
dialami
“Ya perasaannya sih pertama-pertama sih saya
kecewa ya cuma setelah itu ya biasa aja sih”.
17
Partisipan 2 (N)
Perasaan saat menghadapi pertanyaan
seputar kondisi yang dialami
“Kalau bertanya itu kan wajar ya. Cuma orang tua
bertanya, terus dia menyemangati jadi kita ngga
merasa terhakimi, ngga merasa sedih,”
Pendapat partisipan mengenai kehidupan pernikahan orang tua dan kehidupan
masa kecilnya
Kedua partisipan tidak merasakan adanya gangguan atau hal-hal yang membuat
partisipan trauma dari riwayat kehidupan pernikahan orang tua partisipan. Kedua
partisipan juga merasakan kepuasan pada kehidupan masa kecilnya.
Tabel 17. Pendapat partisipan mengenai kehidupan pernikahan orang tua dan
kehidupan masa kecilnya
Partisipan 1 (Y)
“Biasa saja. Ya kadang berantem soal macemmacem lah. Ngga pengen ikut campur urusan orang
tua.”
Pendapat
partisipan
mengenai
kehidupan pernikahan orang tua
“Masa kecilku ya bisa dibilang masa kecilku lebih
bahagia sih daripada sekarang. Masa kecilku kan
aku anak pertama, otomatis kalau anak pertama kan
kalau pasangan yang menikah terus dapet anak
pertama kan pasti anak pertama paling dimanja.
Naah apa yang aku pengen tuh pasti dituruti sama
orang tuaku. Jadi kalau saya bisa balik ke masa
kecil ya pengen balik ke masa kecil”.
Pendapat
partisipan
mengenai
kehidupan pernikahan orang tua
“Kalau pernikahan orang tua saya baik, sangat baik
malah ya, jadi saling berbagi peran, mencari
nafkah, kerjaan rumah tangga”,
Pendapat partisipan mengani masa
kecil
Partisipan 2 (N)
Pendapat partisipan mengnai masa
kecil
“Masa kecil baik-baik saja, bahagia, bermain,
belajar, enjoy sih, menikmati”.
Gambaran kepuasan pernikahan partisipan
Kedua partisipan sama-sama merasakan kepuasan dalam pernikahan meskipun
ada pula rasa tidak puas terhadap pernikahan mereka. Akan tetapi, kedua partisipan
mencoba mengambil sisi positif dari apa yang mereka alami sekarang.
Tabel 18. Gambaran kepuasan pernikahan partisipan
Partisipan 1 (Y)
Kepuasan pernikahan
“Ya kalau dibilang puas ngga puas ya sebenernya
ngga puas ya....Misalnya dari finansial semua
Partisipan 2 (N)
Kepuasan pernikahan
“Alhamdulillah kayaknya ngga ada yang kurang,
cuma ya itu terasa ngga rame kalau ngga ada anak
18
sendiri, terus juga udah ngga bisa seperti waktu
masih belum menikah, masih bisa kemana tiap saya
mau terserah saya. Sekarang kan ada yang harus
saya istilahnya saya harus kalau mau kemana-mana
harus ada tanggungan, suami saya, seperti itu”.
di rumah”.
Kepuasan terhadap infertilitas yang
dialami
“Yaa sebenarnya sih ada puas juga sih, maksudnya
kan umur saya masih muda saya belum dikasih
anak kan juga walaupun sudah menikah sebenarnya
saya juga ada rasa senengnya juga karena saya
belum punya tanggungan yang terlalu besar..
Kepuasan terhadap infertilitas yang
dialami
“Intinya alhamdulillah bersyukur sih cuma ada
keinginan itu yang belum terkabul jadi kadang ada
rasa yang sedih, maksudnya sedih karena belum
punya anak itu aja sih tapi untuk sampai saat ini
kita puas”.
PEMBAHASAN
Kedua partisipan menikah dalam rentang usia 22-25 tahun, dimana menurut
Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) salah satu tugas perkembangan
pada masa dewasa awal yaitu menikah atau membangun suatu keluarga. Alasan mereka
untuk menikah pun berbeda-beda. Y memutuskan untuk menikah karena ia merasa
sudah cocok, suka sama suka dan daripada pacaran terus menerus lebih baik langsung
menikah. Sedangkan N, ia menikah karena merasa sudah waktunya menikah, sesuai
harapannya yang ingin menikah di usia 25 tahun.
Kedua partisipan memiliki kesamaan harapan dalam pernikahannya yaitu dapat
selalu bersama dengan pasangan dan memiliki keturunan. Kedua partisipan sama-sama
memaknai anak sebagai salah satu tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan yang
dikemukakan oleh kedua partisipan sama seperti pendapat Soemiyati (1982) yang
menyatakan bahwa salah satu tujuan pernikahan yaitu memperoleh keturunan yang sah.
Setelah menikah, kedua partisipan sama-sama ingin mencoba cara alami untuk
mendapatkan keturunan. Y merasa tenang-tenang saja dengan cara alami karena masih
di awal-awal pernikahan. Begitu pula dengan N yang ingin mencoba cara alami karena
pada saat itu ia masih bekerja.Sesuai prosentase angka kesuburan, pada 6 bulan pertama
19
kemungkinan hamil 60%, lalu meningkat menjadi 75% per 9 bulan dan 90% per 18
bulan. Kemudian menurun seiring dengan meningkatnya usia (Benson & Pernoll, 2008).
Namun, karena belum ada hasil dalam kurun waktu yang cukup lama (kurang lebih satu
tahun), akhirnya kedua partisipan mencoba untuk memeriksakan diri ke dokter karena
takut ada masalah dengan kesehatan mereka. Sesuai dengan pernyataan Prawirohardjo
(2011) yang menyatakan bahwa infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh
pasagan suami istri yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan
hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi, tetapi belum
berhasil memperoleh kehamilan. Setelah melakukan pemeriksaan, kedua partisipan
mendapatkan hasil yang berbeda dari pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan
kesehatan Y dinyatakan normal oleh dokter berdasarkan USG yang dilakukannya. Yang
menyebabkan infertilitas pada Y adalah kelebihan berat badan. Hal ini selaras dengan
pendapat Prawirohardjo (2011) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab infertilitas
yaitu faktor kegemukan. Kelebihan berat badan pada Y menyebabkan masalah hormon
yang menyebabkan tidak teraturnya masa menstruasi. Begitu pula dengan kesehatan N
yang dinyatakan normal oleh dokter setelah pemeriksaan mendetail mulai dari USG,
pengecekan sel telur, sel sperma dan terakhir HSG.
Setelah hasil pemeriksaan tersebut, kedua partisipan merasa sedih sekaligus
kecewa karena hasilnya tidak sesuai dengan harapan.Y merasa sedih, keinginannya
untuk bisa segera hamil harus tertunda karena faktor kegemukan. Hal tersebut membuat
Y pasrah akan kondisi yang dialaminya. Sedangkan N merasa sedih karena belum bisa
hamil padahal hasil pemeriksaannya normal dan merasa sedikit lega karena tidak ada
masalah dengan kesehatannya dan kesehatan suami.Setelah mengetahui hasil
pemeriksaan tersebut, suami kedua partisipan memberikan respons yang baik dengan
20
memberi semangat pada kedua partisipan dan tidak lantas menyalahkan.Suami Y
memberi dukungan kepadanya untuk diet seperti saran dokter. Namun, suami Y tidak
lantas menekan Y agar sesegera mungkin menurunkan berat badannya. Hal tersebut
ditunjukkan dengan masih diberikannya toleransi kepada Y untuk libur diet pada harihari tertentu. Hal tersebut menjadi sebuah dukungan yang membuat kedua partisipan
dapat menerima kondisinya. Meskipun ada dampak-dampak yang dirasakan oleh kedua
partisipan dengan belum hadirnya anak dalam rumah tangga mereka. Y merasakan
kehidupan rumah tangga yang hambar dan monoton karena aktivitas yang dijalani setiap
harinya sama. Sedangkan N, merasa iri saat melihat aktivitas orang tua dan anak. N dan
suami kemudian saling menguatkan dengan mengatakan bahwa suatu saat mereka pasti
dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi orang tua.
Setelah hasil pemeriksaan yang pertama, kedua partisipan merasa kurang puas
dengan hasil pemeriksaan tersebut dan ingin mencari pendapat lain mengenai kondisi
kedua dari dokter yang lain. Kedua partisipan sama-sama sudah mendatangi tiga dokter
secara bergantian dan mendapatkan hasil yang sama pula. Pada Y kegemukan yang
memengaruhi sikus menstruasinya menjadi tidak teratur sehingga menghambat
pembuahan. Sedangkan pada N,secara keseluruhan dinyatakan normal seperti
pernyataan dokter sebelumnya.Setelah mendapatkan hasil yang sama seperti
pemeriksaan sebelumnya, akhirnya kedua partisipan dapat menerima hasil tersebut dan
menjalankan saran-saran yang diberikan oleh dokter. Y mulai menjalankan diet kalori
untuk menurunkan berat badannya, namun beberapa waktu ini ia sedikit lalai dengan
dietnya dan tidak menjalankan saran dokter yang lain seperti olahraga. Hal tersebut
dipengaruhi oleh tidak adanya desakan dari suami yang menuntutnya untuk segera
memiliki anak, sehingga Y lalai terhadap program dietnya dan kesibukan mengantar
21
adik sekolah di luar kota yang membuat Y tidak memiliki waktu untuk berolahraga.
Sedangkan N, selalu teratur mengikuti saran dokter dengan mengkonsumsi vitamin serta
obat penyubur (propertil). Infertilitas yang dialami oleh kedua partisipan juga tidak
memengaruhi kasih sayang dan pengertian yang diberikan oleh suami. Suami kedua
partisipan tetap menunjukkan kasih sayangnya dengan cara masing-masing.
Permasalahan yang sering muncul dalam pernikahan kedua partisipan berbedabeda. Dalam pernikahan Y, masalah yang sering muncul yaitu masalah keuangan dan
perbedaan cara berpikir. Masalah keuangan tersebut seperti baik partisipan maupun
suami sama-sama ingin memiliki sisa uang lebih dari pengeluaran setiap bulannya.
Sedangkan masalah berbeda pemikiran yaitusuami ingin melakukan hal-hal yang dirasa
kurang penting bagi partisipan seperti pergi ke tempat-tempat yang disukai oleh suami,
namun tidak disukai oleh partisipan. Untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut
biasanya salah satu di antara mereka mengalah dan mengerti kondisi yang sedang terjadi
dalam rumah tangga. Masalah keuangan yang biasa timbul yaitu keinginan untuk
mendapatkan uang lebih dari sisa pengeluaran setiap bulannya. Terkadang, pengeluaran
mereka juga membengkak karena hobi berbelanja yang sangat disukai oleh Y.
Sedangkan masalah yang biasa dihadapi oleh N dan suami yaitu masalah-masalah
sepele seperti perbedaan selera makan. Mereka cenderung mencari solusi dengan
berdiskusi agar keduanya tidak ada yang dirugikan seperti memilih tempat makan yang
bisa memenuhi selera keduanya.Menurut Atwater dan Duffy (2005), pasangan yang
memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara bersama-sama cenderung
merasakan kepuasan dalam pernikahannya. Saat sedang berselisih seperti itu, suami
kedua partisipan tidak menunjukkan perilaku yang kasar. Suami kedua partisipan tidak
pernah melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal yang membuat kedua partisipan
22
leluasa untuk berkomunikasi dan merasa nyaman berada di dekat suami.Kekerasan
dalam rumah tangga biasanya dipicu oleh pernikahan yang tidak bahagia sesuai dengan
berbagai behasil penelitian (Ross, Mirowsky, & Goldsteen dalam Prasetya, 2007).
Kedua partisipan selalu meluangkan waktu untuk bersama suami. Meskipun Y
dan suami tidak memiliki kesamaan hobi, namun mereka selalu meluangkan waktu
untuk sekedar makan bersama di sela-sela kesibukan yang mereka jalani.Sedangkan N,
memiliki perencanaan waktu untuk dihabiskan bersama setiap akhir pekan dengan
berolahraga bersama dan berbelanja kebutuhan rumah tangga atau hanya sekedar jalanjalan. Bagi N, yang penting bisa selalu berdua sama suami. Kedua partisipan merasakan
kebahagiaan saat bersama suami karena dapat berbagi segala hal dan membuat
hubungan mereka menjadi lebih intim. Dalam kebersamaan tersebut kedua partisipan
merasakan keintiman bersama suami. Hal-hal yang terkandung dalam keintiman yaitu
saling berbagi baik minat, aktivitas, pemikiran, perasaan, serta nilai yang dimiliki
pasangan (Robinson & Blanton, 1993).
Untuk menjalankan kehidupan rumah tangganya, kedua partisipan membagi
peran yang disepakati bersama suami. Para istri bertanggung jawab untuk urusan rumah
termasuk mengelola keuangan, sedangkan para suami bertanggung jawab untuk mencari
nafkah. Namun, tidak jarang juga mereka berbagi tanggung jawab saat partisipan tidak
dapat melaksanakan tanggung jawabnya karena sakit. Dalam pengelolaan keuangan,
kedua partisipan memiliki kesamaan dengan membuat laporan keuangan sesuai rincian
pengeluaran yang dilakukan setiap bulannya. Jika Y dan suami memiliki permasalahan
keuangan saat keduanya sama-sama menginginkan uang lebih. Lain halnya dengan N
yang tidak pernah memiliki permasalahan dalam hal keuangan. Meskipun keduanya
sama-sama mengatur perincian keuangan berdasarkan kesepakatan bersama, namun N
23
lebih merasakan kepuasan karena merasa semua kebutuhannya sudah tercukupi oleh
suami.
Kedua partisipan juga melakukan kewajiban mereka sebagai istri dengan baik
untuk melayani suami. Kedua partisipan sama-sama memandang hubungan seksual
sebagai sebuah kewajiban seorang istri. Selain sebagai kewajiban, Y memandang
hubungan seksual sebagai alat untuk menambah keintiman dengan suami. Sedangkan, N
memiliki tujuan lain dalam hubungan seksualnya yaitu untuk kesehatan suami dan
membuat suami menjadi lebih bersemangat.Infertilitas yang dialami oleh partisipan
tidak memengaruhi kualitas hubungan seksual mereka. Frekuensi hubungan seksual
mereka justru lebih teratur sesuai saran dokter. Suami kedua partisipan juga mengerti
ketika kedua partisipan tidak dapat melakukan kewajibannya karena capek. Menurut
Duvall dan Miller (1985), pasangan yang dapat merasakan kepuasan dalam
berhubungan seksual di dalam pernikahan akanmemengaruhi kepuasan pernikahan.
Dengan kondisi yang seperti sekarang ini, kedua partisipan sama-sama
menghadapi berbagai pertanyaan tentang kondisi yang dialaminya tersebut dari orangorang di sekitarnya termasuk keluarga. Y merasa kecewa dan sakit hati dengan
pertanyaan-pertanyaan yang seolah-olah memojokkan dirinya. Menurut Y, hal itu tidak
sepenuhnya ia yang salah karena belum dilakukan pemeriksaan terhadap suaminya.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu Y mulai terbiasa dengan pertanyaanpertanyaan mengenai kondisinya tersebut dan menanggapinya dengan santai.
Sedangkan N menganggap pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya mengenai
kondisinya itu merupakan hal yang wajar, sehingga ia pun menanggapinya dengan
positif dengan meminta doa agar harapannya untuk memiliki anak dapat segera
terwujud. Hal tersebut juga tidak memengaruhi hubungan mereka dengan anggota
24
keluarga yang lain meskipun hubungan mereka juga tidak tergolong dekat. Pada Y,
pertanyaan mertua mengenai kondisinya juga tidak membuat hubungan dengan
mertuanya menjadi renggang. Hal tersebut ditunjukkan dengan kedatangannya di acara
makan siang bersama keluarga beberapa waktu lalu. Pasangan yang memiliki sedikit
konflik dengan mertua memengaruhi kepuasan pernikahan mereka (Bryant, Conger &
Meehan, 2001).
Kedua partisipan sama-sama memandang kehidupan pernikahan orang tua baikbaik saja. Adanya permasalahan yang dihadapi orang tua dalam pernikahan dipandang
sebagai sesuatu yang wajar dalam rumah tangga.Mereka sebagai anak sama-sama tidak
ingin ikut campur dalam urusan tersebut. Permasalahan yang biasanya muncul pada
orang tua yaitu masalah keuangan. Meskipun begitu, kedua partisipan menilai masa
kecilnya cenderung bahagia dan menikmati masa kecil tersebut.Terutama Y yang
merasakan bahwa masa kecilnya lebih bahagia daripada masa sekarang. Hal tersebut
dikarenakan masalah finansial yang ia hadapi setelah berumah tangga. Saat kecil, segala
keinginannya dipenuhi oleh orang tua, sedangkan sekarang ia harus berusaha sendiri
untuk memperoleh apa yang diinginkannya terlebih dengan hobi belanja yang ia miliki.
Hal tersebut menimbulkan penyesalan terhadap keputusannya menikah muda yang
membuatnya merasa tidak puas dengan pernikahannya sekarang. Selain itu, aktivitas
yang terbatasi karena adanya tanggung jawab untuk mengurus suami juga menjadi
penyebab ketidakpuasan Y pada pernikahannya. Oleh karena itu, Y bersyukur dengan
infertilitas yang dialaminya sekarang karena dengan begitu tanggung jawabnya tidak
bertambah dan aktivitasnya belum terbatasi sepenuhnya di usianya yang masih muda
sekarang. Sedangkan N merasakan kepuasan pernikahan karena tidak ada hal-hal yang
25
kurang dari pernikahannya. Belum hadirnya anak bukan merupakan suatu penentu
kepuasan atau kebahagiaan, hanya keinginan yang belum tercapai.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data yang dilakukan, maka kesimpulanyang diperolehdari
penelitian ini adalah kedua partisipan merasakan kepuasan pada pernikahan mereka
meskipun mengalami infertilitas primer. Hal tersebut ditunjukkan dari evaluasi positif
yang dirasakan oleh kedua partisipan pada jumlah afeksi yang diberikan oleh suami,
kefektifan dalam menyelesaikan masalah, tidak adanya agresi fisik dan