PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bell’s palsy sinistra.

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S
PALSY SINISTRA

Naskah Publikasi
Diajukan Guna Melengkapi Tugas
dan Memenuhi Sebagian Persyaratan
Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Fisioterapi

Oleh :
DIYAN NURUL ISTIQOMAH
J100141110

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014

PENGESAHAN NASKAH PT'BLIKASI
Naskah Publikasi Ilmiah dengan judul Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Bell's Patsy

Sinistra

Naskah Publikasi Ilmiah

ini Telah Disetujui oleh Pembimbing KTI untuk di Publikasikan di
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Diajukan Oleh

:

NAIUA

: DIYAltt NURUL ISTIQOMAH

NIM

: J100141110

*ry:*
(Dwi R

r"\^yahsio


s.Fis,Iu.Fis )

MANAGEMENT IN THE CASE OF BELL’S PALSY PHYSIOTHERAPY
SINISTRA

( Diyan Nurul Istiqomah, 2014, 61 pages )

ABSTRACT
Background: Bell’s Palsy is a symptom of nercvus in the face area that can
weakness or paralyzed suddenly on one side of the face. Bell’s Palsy in patients
with decreased fuctional ability as when drinking or gargling water leak, when
eating, food accumulate on one side of the face and people with impaired
expression.
Purpose: To know the implementation on physiotherapy in improving muscle
strength and improve the functional capabilities of the facial muscles in the case
of Bell’s Palsy using modalities Infra Red ( IR ), Electrical Stimulation ( ES ),
facial massage and theraupeutic with mirror exercise.
Result : After doing therapy in six times the obtained result an increase in muscle
m. frontalis T1 : 0, to T6 : 3, m. orbicularis okuli T1 : 3, to T6 : 3, m. risorius T1 :

0, to T6 : 3, m. buccinator T1 : 0, to T6 : 6, an increase in functional ability in
facial muscles break T1 : 0, to T6 : 6, frowned T1 : 0, to T6 : 3, closed eyes T1 :
9, to T6 : 9, smile T1 : 0, to T6 : 9, whistling T1 : 0, to T6 : 3.
Conclusion: Infra Red ( IR ), Electrical Stimulation ( ES ), Facial massage and
Theraupeutic Exercise with Mirror Exercise can increase muscle strength and
functional ability facial muscle strenghtin the case Bell’s Palsy sinistra.
Key word: Bell’s Palsy, Infra Red ( IR ), Electrical Stimulation ( ES ), Facial
massage and Theraupeutic Exercise with Mirror Exercise

iv

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bell’s Palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang
menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan tiba – tiba pada otot di satu sisi wajah.
Bell’s Palsy sering timbul secara mendadak, biasanya sehabis bangun tidur,
perjalanan dengan kendaraan, dan sering setelah terpapar angin langsung di dekat
jendela bis atau kereta api, berjaga tidak tidur sampai larut malam atau tidur di
lantai tanpa alas ( Lumbantobing, 2006 ).


B. Rumusan Masalah
A. Apakah pemberian teknologi fisioterapi berupa infra red, electrical
stimulation, massage, dan mirror exercise dapat meningkatkan kekuatan
otot wajah yang diukur dengan MMT ?
B. Apakah pemberian teknologi fisioterapi berupa infra red, electrical
stimulation,

massage,

dan

mirror

exercise

dapat

meningkatkan

kemampuan fungsional otot wajah pasien yang diukur dengan skala ugo

fisch ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui manfaat pemberian teknologi fisioterapi berupa infra
red,

electrical

stimulation, massage dan

meningkatkan kekuatan otot – otot wajah.

1

mirror exercise

dalam

2. Untuk mengetahui manfaat pemberian teknologi fisioterapi berupa infra

red, electrical stimulation, massage, dan mirror exercise dalam
meningkatkan kemampuan fungsional otot wajah.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
1. Anatomi dan Fisiologi
a. Persarafan
Saraf otak ke VII ( nervus facialis ) mengandung 4 macam serabut, yaitu
(1) serabut somato motorik, yang mensyarafi otot – otot wajah kecuali m.levator
palpebrae ( N III ), otot plastima stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapeideus bagian tengah; (2) serabut visero – motorik ( parasimpatis ) yang

datang dari nucleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula
dan mucosa faring, palatum, rongga hidung, snus para nasal, dan glandula
submaksilar serta sublingual dan lakrimalis; (3) serabut visero – motorik yang

rasa nyeri dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus
irigeminus. Daerah overlapping ( disarafi oleh lebih dari satu saraf ) ini terdapat di

lidah, palatum, meatus, akustikus eksterna dan bagian luar gendang telinga (

Lumbantobing, 2006 ).
b. Otot – Otot Wajah
Otot – otot wajah tertanam pada facia superficialis, dan hampir semua
berorigo pada tulag cranium serta berinsersio ke kulit. Lubang – lubang pada
wajah yaitu orbita, cavum nasi, dan cavum oris, dilindungi oleh palpebrae, nares,
dan labia oris. Otot wajah berfungsi sebagai sfingter atau dilatator struktur –

2

struktur tersebut. Fungsi lain otot wajah adalah untuk mengubah ekspresi wajah.
Otot wajah berkembang dari arcus pharyngeus kedua dan disarafi nervus facialis (
Richard, 1997 ).
Otot – otot wajah bagian atas wajah mendapat persarafan dari dua sisi.
Sehingga, terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus facialis jenis
sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat
persarafan dari dua sisi tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari
wajah. Pada cabang saraf yang mengatur pengecapan dan sekresi ludah yang
berjalan bersama nervus facialis ( Lumbantobing, 2006 ).
Kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus facialis ( lesi traktus
piramidalis atau korteks motorik ) mengakibatkan kelumpuhan pada otot – otot


wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Lesi supranuklir ( upper
motor neuron ) nervus facialis sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini

dapat dijumpai pada stroke. Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan otot
wajah, baik yang volunter, maupun yang involunter lumpuh ( Lumbantobing,
2006 ).
2.

Bell’s Palsy
a. Definisi
Menurut asal katanya yaitu “Bell” diambil dari nama belakang Sir

Charles Bell ( 1833 ) yang telah membuktikan bahwa otot wajah disarafi oleh
nervus facialis, bukannya oleh nervus trigeminus sebagaimana anggapan

sebelumnya. Sedangkan “Palsy” berarti kelumpuhan. Jadi Bell’s Palsy adalah
kelumpuhan facialis perifer akibat proses non – supratif, non neo – plastic,

3


non degeneratif primer namun sangat mungkin akibat oedema jinak pada

bagian nervus facialis di foramen stilomastoideus atau sedikit ke proksimal
dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan ( Sidharta, 1999 ).
Bell’s Palsy adalah kelumpuhan nervus facialis jenis perifer yang timbul
secara akut, yang penyebabnya belum diketahui, tanpa kelainan neurologik lain (
Lumbantobing, 2006 ).
b. Etiologi
Etiologi Bell’s Palsy saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi ada empat
teori yang diajukan sebagai penyebab Bell’s Palsy, yaitu :
1) Teori Ischemic Vasculer
Nervus facialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena

gangguan sirkulasi darah di canalis falopi. Kerusakan yang ditimbulkan
oleh tekanan pada saraf perifer, terutama berhubungan dengan oklusi dari
pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, tidak karena akibat tekanan
langsung pada sarafnya ( Tamrinsyam, 1991 ).
2) Teori Virus

Teori ini banyak dikemukakan oleh Adour dkk pada tahun 1978,
virus ini yang paling banyak menjadi penyebab adalah herpes simplex
virus ( HSV ). Dibuktikan melalu penelitiannya mengatakan bahwa 9 dari

penderita Bell’s Palsy yang diperiksa serumnya didapatkan hasil 100%
positif antibody HSV ( Tamrinsyam, 1991 ).

4

3) Teori Herediter
Bahwa Bell’s Palsy bersifat herediter, umumnya diketahui jika
berhubungan dengan kelainan anatomis berupa terdapatnya canalis facialis
yang kecil yang herediter ( Tamrinsyam, 1991 ).
4) Teori Immunologi
Teori ini mengatakan bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat immunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelum atau sesudah pemberian
imunisasi.
c. Patologi
Bell’s Palsy diduga terjadi peradangan pada saraf wajah, yang mana
terjadi penekanan pada saraf yang keluar dari terusan tulang tengkorak .

Pada keadaan serangan Bell’s Palsy, saraf wajah mengalami
peradangan, kemudian membengkak, dan terjepit di liang tulang bawah telinga
yang dilaluinya. Jepitan saraf yang membengkak menimbulkan gejala Bell’s
Palsy yang khas ( Foster, 2008 ).

Menurut pendapat Lee ( 1990 ), sebagaimana saraf perifer yang lain,
jenis cidera yang mungkin terjadi pada kondisi Bell’s Palsy adalah :
1) Neuropraksia, yaitu suatu paralisis dimana saraf hanya tertekan sehingga
terjadi hambatan aliran impuls tanpa kerusakan atau degenerasi akson
pada sebelah distal tempat lesi. Sehingga apabila tekanan ini hilang, fungsi
saraf akan kembali sempurna dengan cepat, keadaan ini sering disebut
sebagai blokade aksonal fisiologik. Disini ketiga unsur serabut saraf (
akson, selubung myelin dan neurilema ) tidak mengalami kerusakan.

5

2) Aksonotmesis, yaitu suatu paralysis dimana saraf mengalami tekanan yang
cukup kuat sehingga akson disebelah distal lesi akan mengalami kematian
atau degenerasi dalam beberapa hari kemudian, pada kondisi ini yang
mengalami kerusakan hanya aksonnya, sedangkan kedua selubungnya
masih baik.
3) Neuronotmesis, yaitu suatu paralysis dimana seluruh batang saraf terputus,
disini semua unsur serabut saraf di distal lesi mengalami kerusakan.

RENCANA PELAKSANAAN STUDI KASUS
A. Diagnosa Fisioterapi
a. Impairment

Kelemahan yang dikeluhkan oleh pasien yaitu sebagai berikut :
1. Kelemahan pada otot wajah sisi kiri
2. Penurunan sensibilitas pada wajah sisi kiri
b. Functional Limitation

Batasan kemampuan fungsional pada kasus

Bell’s Palsy adalah sebagai

berikut :
1. Adanya gangguan saat minum dan berkumur karena air keluar dari sisi
yang lesi.
2. Adanya gangguan saat makan, karena makanan terkumpul pada sisi yang
sehat.
3. Adanya gangguan ekspresi, seperti mengerutkan dahi, mengangkat alis,
menutup mata, tersenyum dan bersiul.
c. Disability

6

Gangguan yang dialami oleh penderita Bell’s Palsy adalah sebagai berikut:
1. Adanya penurunan rasa percaya diri saat bergaul di lingkungan masyarakat
karena gangguan ekspresi wajah.
2. Adanya gangguan kemampuan fungsional pasien, seperti berkumur,
makan, minum dan lain – lain.
B. Penatalaksanaan Fisioterapi
a. Infra Red
Penyinaran dengan sinar infra merah diusahakan tegak lurus dengan
daerah yang diobati

dengan jarak lampu antara 45 – 60 cm. Lama waktu

penyinaran antara 10 – 30 menit / disesuaikan dengan kondisi penyakitnya (
Sujatno, dkk 1993 ).
b. Stimulasi Electrik dengan Faradic
Indeferent electrode yang dilapisi pad lembab dipasang di daerah leher dan

difiksasi dengan tekanan berat badan dari pasien. Sedangkan untuk active
electrode berupa disk electrode kecil dilapisi pad yang lembab juga, dipegang

terapis dan diberikan sesuai distribusi motor point pada wajah

sehingga

didapatkan kontraksi otot. Durasi pulsa yang digunakan 100 ms, frekuensi 60 Hz,
dan interval pulse 1000, intensitas diatas 6 Ma sampai timbul kontraksi 30x tiap
motor point, pindah dan diulangi sampai 3x.

c. Massage Wajah
Pemberian massage ini diberikan pada seluruh permukaan wajah. Posisi
terapis di sebelah atas kepala pasien. Sebelum massage dimulai, pelicin
dituangkan ke telapak tangan terapist terlebih dahulu. Massage dapat dimulai

7

dengan pemberian efflurage ke segala arah untuk meratakan pelicin, dilanjutkan
dimulai dari dagu menuju ke arah telinga. Dilanjutkan dengan finger kneading
pada sisi otot wajah yang sehat dengan arah gerakan menuju ke arah telinga
dimulai dari dagu sampai dahi. Dan diberikan tappotement dengan teknik tapping
dengan tepukan ringan dari ujung – ujung jari yang dilakukan secara cepat dan
berirama. Tapping diberikan pada sisi yang sakit. Setiap penggantian teknik
diselingi efflurage. Massage diberikan selama 10 – 15 menit, dengan pengulangan
7 – 10 kali untuk setiap teknik.
d. Terapi Latihan dengan Mirror Exercise
Pasien diminta melakukan gerakan – gerakan dari wajah seperti :
mengangkat alis dan dahi ke atas, menutup mata, tersenyum, menarik sudut mulut
ke samping kanan atau kiri, bersiul dan mencucu, menutup mata dengan rapat,
memperlihatkan gigi seri dan mengangkat bibir ke atas, mengembang kempiskan
cuping hidung, mengucap kata – kata labial : l, m, n. Latihan dilakukan selama 10
– 20 menit dengan pengulangan 4 – 5 kali setiap latihan, dan dilakukan 2 – 3 kali
sehari.

PEMBAHASAN
1. Peningkatan nilai kekuatan otot – otot wajah
Setelah dilakuakn terapi selama 6 kali didapatkan hasil berupa adanya
peningkatan kekuatan pada otot – otot wajah. Hasil evaluasi menggunakan
MMT Otot Wajah.
2. Peningkatan Kemampuan Gerakan Fungsional Otot – Otot Wajah

8

Setelah dilakukan terapi selama 6 kali terapi didapatkan hasil berupa adanya
peningkatan kemampuan fungsional otot – otot wajah. Hasil Evaluasi
menggunakan Skala Ugo Fisch.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Seorang pasien perempuan yang bernama Ny. B, dengan umur 58 tahun
dengan kondisi Bell’s Palsy Sinistra yang menimbulkan masalah adalah adanya
penurunan kekuatan otot, penurunan sensibilitas, dan penurunan kemampuan
fungsional. Setelah mendapatkan penanganan fisioterapis dengan menggunakan
penyinaran dengan Infra red, Faradic, massage dan mirror exercise sebanyak 6
kali selama 2 minggu diperoleh satu perkembangan positif sebagai berikut :
1. Adanya peningkatan kekuatan otot – otot wajah
2. Adanya peningkatan kemampuan fungsional pada daerah wajah.

B. Saran
Suatu keberhasilan terapi juga ditentukan oleh sikap dari pasien itu sendiri,
jadi perlu ada kerjasama dengan baik antara terapis, pasien serta keluarga pasien.
Untuk mengoptimalkan hasil terapi yang diberikan akan diberikan saran
sebagai berikut :
1. Bagi Pasien
Bagi penderita diharapkan kerja sama yang baik dengan terapis selama proses
terapi berlangsung. Pasien diharapkan tetap selalu rutin menjalani program –

9

program terapi yang telah diberikan dan ditentukan serta tetap menjalani home
program seperti yang telah diedukasikan oleh fisioterapis.
2. Bagi Keluarga
Kepada keluarga hendaknya selalu memberikan motivasi kepada pasien untuk
latihan dan membantu dalam proses latihan dengan kerjasama yang baik
antara terapis, pasien dan keluarga pasien diharapkan akan dapat tercapai
keberhasilan terapi.
3. Bagi Fisioterapis
Fisioterapis hendaknya sebelum melakukan terapi kepada pasien diawali
dengan pemeriksaan dengan mencatat permasalahan pasien, melakuakn
evaluasi dan memberikan edukasi pada pasien se3hingga memperoleh hasil
yang optimal.
4. Bagi Masyarakat
Hendaknya

masyarakat

tetap

memperhatikan

kesehatannya

demi

meningkatkan derajat kehidupan serta untuk segera melakukan pengobatan
penceghan jika terjadi gejala seperti yang penderita alami.
Akhirnya penulis menyadari bahwa penyajian karya tulis ilmiah mengenai
penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Bell’s Palsy Sinistra dengan modalitas IR,
Faradik, massage dan mirror exercise ini masih mempunyai kekurangan dan perlu
disempurnakan.

Oleh

karena

itu

saran

dan

kritik

yang

bersifat

membangunsenantiasa penulis harapkan guna kepentingan bersama yang lebih
baik

10

DAFTAR PUSTAKA

Chusid, J. G. 1990 : Anatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional; Gadjah Mada
University Press, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 1992; Undang – Undang RI No. 23 tahun 1992
Tentang Kesehatan ; Jakarta.
Gersh, Meryl. R, 1992 ; Electrotherapy in Rehabilitation ; F. A. Davis Company,
Philadelphia.
Hamid, Thamrinsyam, 1991 ; Bell’s Palsy
Sardjito / FK UGM, Jogjakarta.

Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr.

Ikatan Fisioterapi Indonesia, 2001 ; Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia ( IFI ),
Jakarta.
Kalbefama, ( 27 Mei 2014 ), Perkembangan dikutip 27/06/2014, dari Google
untuk
http;//www.kalbefarma.com/files/cdk/files/12Perkembangan.pdf/12.
Kompas,
Kesehatan
dikutip
http;//www.kompas.com/health/index.htm.

17/06/2014,

dari

Lee, Jennifer M, 1990 ; Segi Prajtis Fisioterapi ; Edisi ke – 1, Binarupa Aksara,
Jakarta, hal 95 – 97.
Lumbantobing, S. M, 2006; Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental ;
Balai Penerbit FK UI, Jakarta, hal. 55 – 60.
Mardiman, Sri, dkk, 1994; Dokumentasi Persiapan Praktek Profesi Fisioterapi (
DPPPFT ) Akademi Fisioterapi Surakarta Depkes RI, Surakarta, hal. 76 –
77.
Surakarta.
Medicastore ( 2004 ), Bell’s
Palsy.
http;//medicastore.com.htm.

Dikutip

23/06/2014

dari

Putz, R & Pabst R, 2002; Sobbota Atlas Anatomi Manusia; Jilid Kedua, Edisi 21,
EGC, Jakarta.

Sidharta, Priguna, 2000; Neurplogi Klinik Dasar ; Edisi 8, Dian Rakyat, Jakarta,
hal. 159b- 163.
Sidharta, Priguna, 1999; Tata Pemeriksaan Klinik dalam Neurologi ; Dian Rakyat,
Jakarta, hal. 303 – 317.
Snell, Ricard S, 1997; Anatomi Klinik; Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta, hal 52 – 53.
Sujatno, Ig. Dkk, 1993; Sumber Fisis; Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan
Fisioterapi, Surakarta.
Tappan, Frances. M, 1998; Healing MassageTechniques Holistic, Classic, and
Emerging Methods; Second Edition, Appleton & Lange, California, hal.
106.
Wikipedia, the free Encyclopedia, Bells Palsy. Dikutip 27/06/2014, dari
www.wikipedia.com bell’spalsy-wikipedia. The free encyclopedia.htm.