T1 802012032 Full text

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PEMAAFAN PADA
PELAYANGEREJA ISA ALMASIH PATI

OLEH
ELUZIA YULITASARI
802012032

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUKKEPENTINGAN
AKADEMIS
Sebagai citivas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang

bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Eluzia Yulitasari
Nim
: 802012032
Program Studi
: Psikologi
Fakultas
: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya
: Tugas Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW
hal bebas royalti non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas karya ilmiah saya
berjudul:
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PEMAAFAN PADA
PELAYAN GEREJA ISA ALMASIHPATI
Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalihmedia
atau mengalihformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis
atau pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
PadaTanggal

: 29 Maret 2016

Yang menyatakan,

Eluzia Yulitasari
Mengetahui,
Pembimbing

Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi, MA

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama

: Eluzia Yulitasari


Nim

: 802012032

Program Studi

: Psikologi

Fakultas

: Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PEMAAFAN PADA
PELAYAN GEREJA ISA ALMASIH PATI
Yang dibimbing oleh:
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi, MA
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk

rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya
saya sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 29 Maret 2016
Yang memberipernyataan,

Eluzia Yulitasari

LEMBAR PENGESAHAN
HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PEMAAFAN PADA
PELAYAN GEREJA ISA ALMASIH PATI

Oleh
Eluzia Yulitasari
802012032

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal 29 Maret 2016

Oleh:
Pembimbing,

Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi, MA

Diketahui Oleh,

Disahkan Oleh,

Kaprogdi

Dekan

Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.

Prof. Dr. SutartoWijono, MA.

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA

2016

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN PEMAAFAN PADA
PELAYANGEREJA ISA ALMASIH PATI

Eluzia Yulitasari
Berta Esti Ari Prasetya

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan
pemaafan pada pelayan Gereja Isa Almasih Pati. Jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah 50 orang. Pengambilan sampel dengan menggunakan sampel jenuh. Alat ukur
yang digunakan dalam pengambilan data adalah The Religiousity scale of christian

sample dan Transgression-Related Interpersonal Motivasion Inventory ( TRIM-18).
Data dianalisis menggunakan program SPSSv 16. Hasil penelitian ini menunjukkan
korelasi antara religiusitas dengan pemaafan memperoleh r = 0,516 dengan sig 0,000
(p0.05), which means
that there is a significant positive relationship between religiousity with forgiveness.
Keywourds : Relogiousity, Forgiveness

ii

1

PENDAHULUAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sugiyono., Muryati, Y., 2008) gereja
adalah suatu gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama kristen dan
badan (organisasi) umat kristen yang sama kepercayaan, ajaran dan tata caranya (Katolik, - Protestan, dan lain-lain). Salah satu gereja yang ada di Pati adalah Gereja Isa
Almasih. Sebelum melakukan penelitian peneliti melakukan wawancara terhadap
pendeta dari Gereja Isa Almasih mengenai misi dan visi gereja pada tanggal 25 Oktober
2015 setelah selesai ibadah pagi di gereja tersebut. Dalam Gereja Isa Almasih sendiri
memiliki misi yaitu membangun Tubuh Kristus (Gereja dan Pribadi masing-masing)
dan mewujudkan perubahan penanaman nilai-nilai Kerajaan Allah (Alkitab sebagai

buku ajaran umat kristiani) dan memiliki visi yaitu menjadikan jemaat yang dinamis,
bertumbuh secara iman dan berdampak kepada sesama, sehingga gereja tersebut dapat
menjalankan setiap misi dan visi tersebut dengan adanya pelayan gereja yang membantu
dalam proses pelayanan baik di dalam atau di luar gereja.
Pelayanan didalam gereja meliputi

pemimpin pujian atau yang memimpin

dalam bernyanyi, sebagai singer atau sebagai pengisi suara yang membantu pemimpin
pujian, pemain musik, pembawa renungan atau pengkotbah, pembawa kantong
persembahan, sebagai user atau penyambut tamu jemaat gereja, sebagai petugas LCD,
dan masih banyak lagi, hal ini diketahui oleh peneliti dari hasil observasi dan dengan
melakukan wawancara sebagai penguat observasi yang dilakukan pada tanggal 25
Oktober 2015. Ada pula pelayanan diluar gereja dilakukan dalam hal kemanusiaan
seperti menjual sembako kepada masyarakat sekitar gereja yang kurang mampu seperti
tukang becak, keluarga miskin dan lain-lain dengan harga yang sangat murah. Jika

2

terjadi bencana alam seperti banjir maka pelayan gereja menyediakan makanan, obatobatan bagi korban bencana alam tersebut.

Pelayan gereja adalah seseorang atau tim yang bergerak untuk memenuhi
kebutuhan suatu kegiatan gerajani yang dilakukan secara sukarela tanpa adanya tekanan
dari manapun (Haryyo, 2010). Dalam setiap pelayanan terdapat banyak individu yang
mengajukan diri sebagai pelayan yang bersedia melayani tanpa mendapatkan upah atau
gaji dari gereja itu sendiri. Begitu pula hal tersebut dilakukan oleh pelayan Gereja Isa
Almasih kota Pati yang bersedia melakukan pelayanan tanpa mendapatkan upah atau
gaji dari majelis gereja. Setiap pelayan sudah memiliki jadwal-jadwal pelayanan yang
sudah ditetapkan, sehingga bagi pelayan gereja yang sedang berhalangan karena suatu
hal yang sangat mendesak atau penting seperti sedang sakit dapat bertukar waktu
pelayanan dengan pelayan yang lain.
Pelayan di gereja tersebut memiliki karakter dan latar belakang yang berbedabeda. Mereka melakukan interaksi satu sama lain sebagai makhluk sosial yang memiliki
kebutuhan untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal tersebut kerap
memunculkan gesekan antara satu dengan yang lainnya. Baik dalam perlakukan, tutur
kata yang menyakiti hati ataupun kritikan-kritikan tajam yang memicu adanya perasaan
sakit hati pada setiap pelayan itu sendiri. Hal ini berpotensi memunculkan rasa sakit hati
oleh satu sama lain dan adanya kesulitan dalam memaafkan atau meminta maaf pada
orang yang disakiti.
Hal tersebut didukung dengan wawancara pada beberapa pelayan gereja
tersebut, wawancara dilakukan di Gereja Isa Almasih pada tanggal 1 November 2015
setelah kegiatan ibadah pagi digereja tersebut. Berdasarkan hasil observasi dan


3

wawancara yang dilakukan oleh peneliti efek negatif yang akan terjadi jika individu
tidak mampu melakukan pemaafanadalah ketidaknyamanan saat pelayanan berlangsung,
tidak adanya ketulusan dalam bekerjasama saat pelayanan, dan saling merugikan satu
sama lain seperti memfitnah atau menyebarkan hal negatif pada pelayan yang lainnya.
Sehingga mengakibatkan beberapa pelayan gereja undur diri dari pelayanan, bahkan ada
beberapa pelayan yang memutuskan untuk berpindah ke gereja lain karena merasa sakit
hati dan merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut.
Pemaafan merupakan sikap seseorang yang telah disakiti untuk tidak melakukan
perbuatan balas dendam terhadap orang yang menyakiti, tidak adanya keinginan untuk
menjauhi pelaku (McCullough dalam prasylia, 2015). Adanya pemaafan menimbulkan
keinginan untuk berdamai dan berbuat baik terhadap orang yang menyakiti walaupun
orang yang telah menyakiti telah berbuat menyakitkan terhadap individu. Namun
pemaafan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan karena harus melibatkan dua
faktor, yaitu harus menghilangkan motivasi membalas dendam dan menghilangkan
motivasi untuk menjauhi orang yang menyakiti (McCullough, 1999). Pemaafan tidak
hanya menghilangkan perasaan negatif saja, namun harus mengembalikan perasaan
positif terhadap pelakunya (Worthington, 1998). Pemaafan juga memiliki tujuan untuk

mengembalikan hubungan yang baik antara individu dengan individu lainnya.
Efek negatif yang akan terjadi jika tidak mampu melakukan pemaafan diantara
pelayan gereja adalah akan terjadi perpecahan diantara mereka yang akan memengaruhi
gereja, akan terbentuknya kelompok-kelompok yang menimbulkan perpecahan dalam
gereja dan akan menimbulkan persaingan antar kelompok pelayan satu dengan yang
lainnya. Hal tersebut diketahui dengan adanya wawancara terhadap beberapa pelayan

4

Gereja Isa Almasih pada tanggal 25 Oktober 2015. Ketidakmampuan untuk memaafkan
juga memiliki efek negatif yang dapat merugikan diri individu sendiri. Hal ini
ditemukan dalam penelitian di Medical College of Georgia, orang-orang yang mengaku
tidak dapat memaafkan memiliki dendam selama bertahun-tahun mengalami
peningkatan risiko beberapa masalah kesehatan termasuk penyakit jantung, hipertensi,
maag, sakit punggung, dan sakit kepala. (Detik.com, 2014 )
McCullough (2000) mengemukakan 3 aspek forgivenessyang menentukan perilaku
seseorangyaitu tidak adanyaa) Avoidance motivation, ditandai dengan individu yang
menghindar atau menarik dari (withdrawal) dari perilaku.b) Revenge motivation,
ditandai dengan dorongan individu untuk membalas perbuatan pelaku yang ditujukan
kepadanya. Dalam kondisi ini, individu tersebut marah dan berkeinginan untuk
membalas dendam terhadap pelaku. Ketika individu dilukai oleh individu lain (pelaku),
maka yang terjadi dalam dirinya adalah peningkatan dorongan untuk menghindar
(avoidance) dan membalas dendam (revenge). Dan adanya c)Benevolence motivation,
ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku. Dengan adanya
kehadiran benevolance, berarti juga menghilangkan kehadiran dua dimensi sebelumnya.
Oleh karena itu, individu yang memaafkan memiliki benevolance motivations yang
tinggi, namun di sisi lain memiliki avoidance yang rendah.
Faktor

yang

berpengaruh

terhadap

forgiveness

menurut

Wade

dan

Warthington(2003) yaitu a) Empati, empati adalah kemampuan seseorang untuk ikut
merasakan perasaan atau pengalama orang lain. Melalui empati terhadap pihak yang
menyakiti, seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah
dan tertekan akibat perilaku yang menyakitkan. b) Keramahan, dimana individu dapat
mengerti keadaan individu lain dan memakluminya. Keramahan memungkinkan untuk

5

terjadi pemaafan. c) Kemarahan, merupakan emosi negatif yang sering menstimulasi
usaha untuk mengurangi tindakan untuk memaafkan. d) Perasaan malu, individu
sebagai pelaku kejahatan merasa malu atas perbuatan yang dilakukannya dengan
mneyakiti orang lain. Adanya perasaan malu tersebut kemudian akan mempersulit
terjadinya pemaafan. e) Kedekatan hubungan dengan transgressor. Hal ini
dikarenakan pemaafan melibatkan perubahan dorongan dari negatif menjadi positif
terhadap transgressor, maka kedekatan hubungan kemudian akan mempengaruhi proses
tersebut. f) Kualitas hubungan interpersonal sebelum transgresi. McCullough,
Rachal, sabdage, Worthington, Brown dan Hight (1998) menyatakan bahwa hubungan
yang romantik mungkin lebih bersedia untuk memaafkan karena mempunyai sumber
daya yang cukup besar dalam hubungan. g) Reaksi transgressor (luka yang
ditimbulkan oleh transgressor), semakin besar luka yang dihasilkan , maka semakin
sulit pula individu untuk memaafkan transgressor. h) Permintaan maaf, hal ini
menstimulasi emosi dalam diri korban dan menumbuhkan empati terhadapnya, sehingga
dapat meningkatkan pemaafan individu terhadap transgressor. i) Religiusitas, dimana
individu yang mendasarkan tingkah laku hidup sehari-hari atau segala aspek hidupnya
dalam agama yang diyakininya dapat melakukan pemaafan. Individu yang memiliki
tingkat religiusitas tinggi dapat melakukan pemaafan.
Dari pernyataan Wade dan Warthington (2003) terlihat bahwasalah satu faktor yang
mempengaruhi forgiveness adalah religiusitas. Para pelayan gereja seharusnya memiliki
tingkat pemaafan atau mudah memaafkan karena individu yang melakukan praktik
keagamaan memiliki pemaafan yang tinggi ( Prasylla, 2015 )

. Nilai agama

mempengaruhi nilai dan konsep pemaafan individu, sedangkan keterlibatan di dalam

6

praktik keagamaan mempengaruhi kecenderungan memaafkan di situasi yang nyata.
(Hui, Watkins, Wong & Sun, 2006 )
Religiusitas menurut Stark dan Glock (1968) menyatakan bahwa religiusitas
sebagai komitmen religius yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu
yang bersangkutan dengan agama yang dianut.
Menurut Stark dan Glock (1968), dimensi religiusitas terdiri dari lima dimensi yaitu
a) Dimensi ideologi ini terdiri dari pengharapan-pengharapan dimana orang yang
religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, dan mengakui kebenaran
ajaran agama.

b) praktik keagamaan dimensi ini mencakup perilaku pemujaan,

ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmennya terhadap
agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua hal yang penting
yaitu ritual dan ketaatan. Ritual seperti menghadiri pengajian agama, sedangkan
ketaatan seperti mengerjakan shalat. c) Pengalaman Keagamaan dimensi ini berisikan
fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan yang pasti, meski
tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama baik pada suatu saat akan
mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan bahwa seseorang
akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural.

d) Pengetahuan

keagamaan dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama
paling tidak memiliki minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritualritual, kitab suci, dan tradisi-tradisi. e) Konsekuensi Keagamaan dimensi ini mengacu
kepada indentifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan
pengetahuan seseorang dari hari ke hari.

7

Hubungan antara religiusitas dan pemaafan
Religiusitas merupakan hal yang penting bagi kehidupan individu dan
merupakan hal yang penting bagi pembentukan perilaku individu tersebut. Individu
yang memiliki religiusitas yang tinggi dalam kehidupannya memilih dan memakai nilainilai agama sebagai bagian dari kehidupan duniawinya dan sebagai sarana untuk
kehidupan yang lebih baik (Turmudi dalam Haryyo, 2010). Individu yang memiliki
tingkat religiusitas akan menerapkan nilai-nilai agama yang dianutnya dalam kehidupan
sosialnya. Salah satunya adalah pemaafan. Apabila individu memiliki pemahaman
dasar-dasar agama yang baik maka individu mampu mengatasi permasalahan yang
dihadapi dan individu dapat menerapkan prinsip religiusitas agar memiliki perasaan
aman. Hal tersebut didukung dengan pernyataan (Allport & Ross dalam widyarini,
2009) sebagai pelopor psikologi sosial yang menyatakan bahwa salah satu orientasi
religiusitas adalah orientasi ekstrinsik yaitu memandang agama sebagai sesuatu yang
memberikan banyak manfaat seperti rasa aman dan penghiburan.
Sesuai dengan pandangan umumnya dimensi religiusitas menurut Stark dan
Glock (1968) yang pertama adalah dimensi iman yang mencakup ekspektasi (harapan)
bahwa seorang penganut agama menganut dan memahami suatu pandangan teologis
yang menyebabkan dia mengakui dan menerima kebenaran agama tertentu, hal tersebut
menyatakan bahwa jika individu mengakui dan melakukan ajaran yang diajarkan oleh
agama tersebut, sebagaimana agama kristiani mengajarkan umatnya untuk memaafkan.
Kemudian yang kedua orang yang religius adalah orang yang melakukan praktik
keagamaanyang mencakup ibadat (rituals) yang menjadi kewajiban yang harus dipenuhi
oleh setiap penganut agama seperti yang dilakukan oleh pelayan Gereja Isa Almasih
adalah wajib mengikuti doa puasa, Sekolah orientasi melayani (SOM) dan mengikuti

8

persekutuan-persekutuan kelompok daerah yang akan membentuk ketaatan akan
agamanya sehingga mendapatkan pengertian tentang ajaran untuk memaafkan pula.
Kemudian yang ketiga seseorang yang religius akan memiliki pengalaman
keagamaan yaitu mencakup kenyataan bahwa semua agama punya harapan yang
standard (umum) namun setiap pribadi penganutnya bisa memperoleh suatu pengalaman
langsung dan pribadi (subyektif) dalam berkomunikasi dengan realitas supranatural itu
hal . Dimensi religiusitas yang keempat seseorang yang religius akan memiliki
pengetahuan keagama yang merujuk pada ekspektasi bahwa penganut agama tertentu
hendaknya memiliki pengatahuan minimum mengenai hal-hal pokok dalam agama:
iman, ritus, Kitab Suci dan tradisi. Dimensi iman dan pengetahuan memiliki hubungan
timbal balik, yang mempengaruhi sikap hidup dalam penghayatan agamanya setiap hari.
Hal tersebut sudah tercatat dalam buku ajaran atau kitab suci umat Kristiani bahwa
orang yang menganut agama tersebut harus menerapkan pemaafan. Dalam Alkitab
sendiri mengatakan “ Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah
hendaklah dibuang diantara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah
kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni,
sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu”kalimat tersebut
berdasarkan ayat alkitab Efesus 4 : 31 (LAI, 2006). Berdasarkan kalimat diatas yang
tertulis menunjukkan bila individu yang memiliki religiusitas yang tinggi maka dapat
menerapkan ajaran agamanya tersebut dengan mampu memaafkan. kemudian dimensi
religiusitas yang kelima adalah konsekuensi sosial. Dimensi ini mengidentifikasi efek
dari keempat dimensi diatas dalam praktek, pengalaman serta kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini individu harus mempraktekkan setiap apa yang sudah diajarkan oleh

9

agama yang dianutnya, demikian juga dengan agama kristiani yang mengharuskan
setiap umatnya untuk memaafkan.
Pada hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prasylia (2015)
menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara religiusitas dengan
pemaafan pada individu yang melakukan praktik keagamaan. Namun ada hasil
penelitian yang berbeda dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Christina
(2015) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara religiusitas
dengan pemaafan pada warga dewasa awal yang tidak mengikuti ibadah/kegiatan nonminggu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Bandung.
Hipotesis
Adanya hubungan antara religiusitas dengan pemaafan pada pelayan Gereja Isa Almasih
Pati

METODOLOGI PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah :
Variabel Bebas ( X ) : Religiusitas
Variabel Terikat ( Y ): Pemaafan

Populasi penelitian & teknik sampling
Azwar (2012) mendefinisikan populasi sebagai kelompok subjek yang hendak
dikenai generalisasi hasil penelitian. Dalam pengertian tersebut populasi dari penelitian
ini adalah seluruh pelayan Gereja Isa Almasih Pati yang berjumlah 50 Orang. Sampel
adalah sebagian dari populasi (Azwar, 2005). Dengan jumlah populasi subjek yang

10

berjumlah 50 orang maka dengan semua pertimbangan sumber daya dari populasi maka
peneliti mengambil sampel sejumlah 50 orang. Peneliti menggunakan teknik
pengambilan sampel dengan menggunakan sampling jenuh. Sampling jenuh adalah
sampel yang mewakili jumlah populasi. Biasanya dilakukan jika populasi dianggap
kecil atau kurang dari 100 ( Sugiyono, 2012). Karakteristik dalam penelitian ini adalah
:
1. Pelayan Gereja Isa Almasih dan Pelayan Tempat Penyebaran Injil cabang
Gereja Isa Almasih Pati
2. Usia 20 – 60 Tahun.
Metode Analisis Data
Teknik yang digunakan untuk menguji hubungan antara dua variabel penelitian adalah
korelasi product moment dari Pearson. Dan akan menggunakan analisis data dengan
bantuan program khusus komputer statistik yaitu SPSS version 16.0 for windows

Alat ukur Penelitian
1. The Religiosity scale of Christian Sample
Dalam

melakukan

penelitian,

peneliti

menggunakanskala

untuk

mengukur Religiusitas dengan skala The Religiosity scale of Christian Sample
berdasarkan teori dari Stark dan Glock (1968) untuk mengukur Religiusitas.
Skala Religiusitas ini berisikan 23 item subjek diminta untuk menjawab
berdasarkan 4 pilihan jawaban yaitu “ sangat setuju” dengan skor 4 “ setuju”
dengan skor 3 “ tidak setuju” dengan skor 2 dan “ sangat tidak setuju” dengan
skor 1 Dengan arti semakin tinggi skor yang diperoleh maka religiusitas semakin
tinggi. alpha Cronbach 0,851 didapatkan dari penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Christina (2015). Dalam penelitian ini dilakukan pengujian
kembali oleh peneliti dengan memperoleh hasil seleksi aitem dan reliabilitas The
Religiosity scale of Christian Sample dengan dengan menyisakan 13 aitem

11

karena 10 aitem telah gugur. Nilai korelasi aitem total bergerak mulai dari
0,307-0,696 dengan koefisien Alpha Cronbach sebesar (α = 0, 856) yang berarti
alat ukur ini sangat reliabel (Azwar, 2004).

2. Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18)
Sedangkan skala yang kedua untuk mengukur Pemaafan, maka peneliti
menggunakan skala Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory
(TRIM-18) yang disusun oleh McCullough, Root dan Cohen (2006). Yang terdiri
dari 18 item, 6 aitem adalah favorable dan 12 unfavorable peneliti menguji
kembali dengan meminta subjek untuk menjawab berdasarkan 4 pilihan jawaban
yaitu “ sangat setuju” dengan skor 4 “ setuju” dengan skor 3 “ tidak setuju”
dengan skor 2 dan “ sangat tidak setuju” dengan skor 1 untuk aitem favorabel
dan skoring sebaliknya untuk unfavorable. Dengan arti semakin tinggi skor yang
diperoleh maka pemaafan akan semakin tinggi. alpha cronbach 0,861
didapatkan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prasylia (2015).
Hasil seleksi aitem dan reliabilitas yang dilakukan oleh peneliti dengan
menggunakan skala Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory
(TRIM-18) kemudian memperoleh hasil dengan menyisakan 15 aitem karena 3
aitem telah gugur nilai korelasi aitem bergerak mulai dari 0,315-0,622 dengan
koefisien Alpha Cronbach sebesar (α = 0, 835) yang berarti alat ukur tersebut
sangat reliabel (Azwar, 2004).

HASIL PENELITIAN
Analisis Deskriptif
Tabel 1 merupakan analisis statistik deskriptif dari variabel Religiusitasdan
variabel Pemaafan. Peneliti kemudian membagi skor dari tiap skala menjadi 5 kategori

12

dimulai “sangat rendah” sampai “sangat tinggi” menggunakan rumus kategorisasi
jenjang (Azwar, 2012).
Tabel 1. Descriptive Statistics
Descriptive Statistics
N

Minimum Maximum

Mean

Std.
Deviation

RELIGIUSITAS

50

30

52

43.76

4.529

PEMAAFAN

50

34

60

47.80

5.387

Valid N (listwise)

50

Tabel 2.Kriteria skor Religiusitas
No.
1.
2.
3.
4.
5.

Interval
Kategori
Frekuensi
44,8≤ x ≤ 52
Sangat Tinggi
22
36,4 ≤ x