BAB II PENGATURAN TENTANG TEMBAKAU YANG BERTENTANGAN DENGAN KONSEP PERSAINGAN USAHA YANG SEHAT - PENGATURAN TERKAIT TEMBAKAU DAN DAMPAKNYA BAGI PERSAINGAN USAHA Repository - UNAIR REPOSITORY

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

BAB II PENGATURAN TENTANG TEMBAKAU YANG BERTENTANGAN DENGAN KONSEP PERSAINGAN USAHA YANG SEHAT

2.1. Identifikasi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

  Tembakau adalah salah satu bahan utama yang dibutuhkan bagi industri rokok baik itu merupakan industri rokok skala besar maupun industri yang bergerak dalam lingkup yang lebih kecil. Indonesia sendiri memiliki produk hasil tembakau yang menjadi ciri khas dan kearifan lokal yang disebabkan oleh tradisi yang dilakukan secara turun-temurun. Produk olahan tembakau tersebut tidak lain adalah rokok berjenis kretek. Tidak heran bahwa produk-produk olahan yang berjenis kretek sangat digemari oleh masyarakat Indonesia dikarenakan rasanya yang kuat dan lebih beraroma bila dibandingkan dengan jenis-jenis rokok yang lainnya.

  Namun belakangan ini Pemerintah mengeluarkan regulasi-regulasi yang mengancam keberadaan tembakau lokal yang diawali dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan diakhiri dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang

  15

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan sebagai berikut,

  ‘’ Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Zat adiktif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan

  8 gas yang bersifat adiktif bagi d irinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.’’

  Pasal tersebut dengan sangat jelas memasukkan tembakau ke dalam bahan yang tergolong sebagai zat adiktif sehingga diperlukan pengamanan terhadapnya.

  Ketentuan lebih lanjut diatur di dalam pasal 116 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tersebut sebagai jalan bagi lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

  Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan ditemukan beberapa aturan terkait tembakau yang dapat mengakibatkan tergesernya posisi tembakau lokal yang selama ini telah menjadi suatu kearifan lokal bangsa dengan tembakau asing melalui jalur impor. Hal tersebut sangatlah berpotensi guna memunculkan suatu bentuk praktik monopoli pada segelintir pelaku usaha di dalam pasar yang bersangkutan, terlebih bagi mereka yaitu para pelaku usaha sejenis yang lebih dominan menggunakan bahan impor tersebut sebagai bahan baku dalam memproduksi produk tembakaunya.

8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Ps. 113 ayat (1) dan (2).

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  2.1.1. Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

  Pada pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 disebutkan bahwa,

  ‘’ Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau berupa Rokok harus melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar per batang untuk setiap

  9 varian yang diproduksi.”

  Dari bunyi pasal tersebut terdapat pemikiran bahwa setiap orang atau pihak yang berposisi sebagai pelaku usaha dalam bidang produk tembakau, diwajibkan untuk melakukan pengujian terhadap kandungan kadar Nikotin dan Tar per batang dari produk tembakau yang dihasilkannya. Hal inilah yang kemudian menimbulkan banyak perdebatan di kalangan pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis tembakau dan produknya di pasar yang tidak lain adalah pengusaha produk tembakau dan petani tembakau itu sendiri. Di dalam penjelasan ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut dikatakan bahwa maksud pemerintah mengeluarkan aturan tersebut tidak lain adalah agar masyarakat mengetahui tentang kandungan bahan Nikotin dan Tar di dalam produk tembakau yang mereka konsumsi. Pemerintah berdalih bahwa pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 ini hanya dimaksudkan sebagai sarana pemberi informasi kepada para pemakai produk tembakau terkait dengan kandungan bahan berbahaya yang terdapat di dalamnya.

  Namun bila kita lihat lebih dalam lagi maka sesungguhnya terdapat suatu maksud 9 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, Ps. 10 ayat 1.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  lain yang dimiliki oleh pemerintah yang berkaitan dengan dikeluarkannya pasal

  10 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tersebut. Yaitu terdapatnya kesan bahwa pemerintah pada dasarnya bermaksud ingin melancarkan proses impor tembakau ke dalam negeri dengan bersembunyi di balik naungan Undang- Undang Kesehatan.

  Perlu diketahui bersama bahwa terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara tembakau yang dihasilkan di dalam negeri dengan tembakau yang didatangkan dengan cara impor. Tembakau dalam negeri memiliki kadar Nikotin dan Tar yang jauh lebih besar daripada tembakau impor asing. Terkait dengan kadarnya, hal tersebut digolongkan lagi menjadi 3 (tiga) golongan yakni kadar tinggi, middle dan low. Jenis tembakau dengan kadar Nikotin low, antara lain Burley, Vike, RAM, Madura (Prancak N1 dan Prancak N2), Virginia (DB, Coker, NC, T45). Untuk kategori middle, antara lain tembakau Madura (varietas lokal), Kasturi, Paiton, Lumajang VO. Sedangkan Tembakau Jawa termasuk jenis

  10

  tembakau dengan kadar nikotin tinggi (5-7%). Kadar Nikotin tembakau lokal tersebut disebabkan oleh kondisi geografis dari Indonesia itu sendiri yang kemudian mencetak kualitas tembakau dengan kadar Nikotin dan Tar yang lebih tinggi. Sehingga dapat diketahui bahwa memang dari asalnyalah tembakau dalam negeri memiliki rata-rata kandungan kadar Nikotin dan Tar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tembakau dari luar negeri. 10 Permasalahannya di sini adalah bahwa tembakau berkualitas dengan kadar

  17 Februari 2015, h. 1, Tim, ”Nikotin Tembakau”, dikunjungi pada tanggal 2 Maret 2015.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Nikotin dan Tar yang tinggi itu merupakan bahan baku utama dalam pembuatan produk tembakau yang dinamakan rokok kretek, dan hampir sebagian besar pelaku usaha produk tembakau di Indonesia bergerak pada industri kretek tersebut. Terlebih bagi pelaku usaha dalam skala kecil. Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tersebut jelas menjadi suatu penghalang yang nyata bagi pelaku industri rokok dalam negeri yang memakai jenis tembakau lokal sebagai bahan baku utama pembuatan produknya. Hal tersebut dikarenakan tembakau lokal pasti akan kalah saing dengan tembakau luar yang memiliki kadar Nikotin dan Tar yang lebih rendah di dalam pasar. Salah satu contohnya adalah tembakau Virginia yang merupakan tembakau impor yang memiliki kadar Nikotin dan Tar yang lebih rendah dari tembakau lokal. Biasanya tembakau impor dengan kadar Nikotin dan Tar yang rendah ini merupakan bahan bagi pembuatan rokok putih. Hal tersebut dikarenakan ciri dari rokok putih yang selalu memiliki kandungan kadar Nikotin dan Tar yang lebih rendah dari pada rokok berjenis kretek. Sedangkan perlu diketahui pula bahwa mayoritas produsen yang bergerak di sektor rokok putih ini adalah para pengusaha asing.

  Permasalahan selanjutnya adalah untuk dapat bersaing dengan tembakau impor layaknya tembakau jenis Virginia yang memiliki kadar Nikotin dan Tar yang lebih rendah, maka para produsen rokok kretek mau tidak mau harus menurunkan kadar Nikotin dan Tar dari tembakau lokal yang digunakan sebagai bahan baku dari produknya. Sayangnya untuk mendapatkan kadar Nikotin dan Tar

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  yang lebih rendah hanya dengan cara laser filter rokok atau dengan cara mencampurkan tembakau lokal yang tinggi kadar Nikotin dan Tar nya tersebut dengan tembakau yang memiliki kadar Nikotin dan Tar yang rendah. Untuk cara pertama yaitu laser filter rokok dimaksudkan untuk dapat mengurangi jumlah Nikotin dan Tar secara signifikan melalui filter rokok. Pembuatan laser filer rokok ini membutuhkan biaya yang besar sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa produsen-produsen rokok dalam negeri yang tergolong ke dalam pelaku usaha kecil akan sangat kesulitan mengakses cara ini. Berbeda dengan produsen besar yang mampu menjangkau teknologi laser filter ini dikarenakan memiliki pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha kecil tersebut. Cara yang kedua adalah dengan cara mencampurkan tembakau dengan kadar Nikotin dan Tar yang tinggi yakni tembakau lokal dengan tembakau dengan kadar Nikotin dan Tar yang lebih rendah yaitu tembakau impor. Cara kedua ini juga berdampak buruk terhadap iklim usaha yang terjadi di dalam pasar yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan pelaku usaha kecil dengan dana dan modal serta pangsa pasar yang kecil akan sangat kesulitan untuk memasok tembakau impor. Dengan keterbatasan itulah maka tidak menutup kemungkinan bahwa pelaku usaha kecil akan tetap mempertahankan tembakau lokal sebagai bahan baku pembuatan produknya yang diketahui bersama bahwa tembakau lokal dengan kadar Nikotin dan Tar yang tinggi tidak akan bertahan lama di pasaran diakibatkan oleh adanya regulasi ini.

  Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tersebut dengan kata lain merupakan pintu awal yang membuka

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  celah bagi masuknya tembakau-tembakau asing melalui jalur impor.

  Dengan keadaan yang seperti itu, maka akan terjadi ketimpangan di antara pelaku usaha kecil dan pelaku usaha besar. Walaupun secara nyata aturan ini menekan kedua belah pihak, yakni pelaku usaha besar maupun pelaku usaha kecil, namun perlu dikaji kembali bahwasanya dengan pangsa pasar yang besar, maka keuntungan yang didapat pelaku usaha besar juga akan besar pula. Sehingga aturan tersebut tidak akan terlalu mengganggu kegiatan usahanya. Namun berbeda dengan pelaku usaha kecil yang apabila dia tidak bisa menyeimbangkannya dengan pelaku-pelaku usaha yang lebih besar darinya maka pelaku usaha kecil tersebut pada akhirnya akan tersingkirkan dan keadaan seperti ini tentu saja berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan posisi monopoli yang dimiliki oleh pelaku usaha lain.

  2.1.2. Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

  Pasal lain yang rancu untuk menjadi salah satu pemicu matinya usaha kecil dalam hal ini juga dijumpai di dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Pasal tersebut menyebutkan bahwa,

  “ Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibutikan secara ilmiah bahan tambahan

  11 tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan.” 11 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Dari ketentuan pasal tersebut terdapat pemikiran bahwa para pelaku usaha yang memproduksi produk tembakau dilarang untuk menggunakan bahan tambahan yang dinilai berbahaya bagi kesehatan. Perlu digaris bawahi bahwa larangan penggunaan bahan tambahan tersebut masih tidak jelas dan tentu saja hal ini menjadi penghalang tambahan bagi para produsen rokok kretek. Hal tersebut dikarenakan hampir seluruh jenis produk tembakau yang beredar di pasaran terlebih itu adalah jenis rokok kretek adalah produk tembakau yang banyak menggunakan bahan tambahan dalam proses produksinya. Berbeda dengan produk tembakau yang berjenis putih atau yang biasa disebut dengan rokok putih. Di dalam proses pembuatan rokok putih tersebut, para produsen hanya membutuhkan beberapa bahan baku pembuatan saja yang bahan-bahan tersebut juga digunakan sebagai bahan pembuatan rokok berjenis kretek. Sebut saja tembakau, filter rokok dan juga kertas rokok. Namun di sini yang harus jadi perhatian adalah terdapat perbedaan bahan baku pembuatan antara rokok putih dan rokok kretek yaitu pada rokok kretek, dibutuhkan bahan lebih untuk dapat menciptakan sebuah produk tembakau tersebut, yang antara lain adalah cengkih dan saus rokok. Sedangkan di dalam proses pembuatan rokok putih, bahan berupa cengkih tidak dibutuhkan meskipun di dalam rokok putih itu sendiri juga terdapat saus rokok. Sehingga dapat dilihat bahwa kandungan bahan yang dibutuhkan untuk membuat satu produk rokok kretek adalah lebih banyak dibandingkan dengan bahan yang dibutuhkan untuk membuat satu produk tembakau berjenis putih atau rokok putih itu sendiri.

  Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, Ps. 12 ayat 1.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Pada penjelasan pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tersebut dikatakan sebagai berikut,

  “ Yang dimaksud dengan “bahan tambahan” antara lain penambah rasa, penambah aroma, dan pewarna. Cengkeh, klembak, atau kemenyan tidak

  12 termasuk bahan tambahan, melainkan sebagai bahan baku.’’

  Di dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa cengkih memang bukan termasuk ke dalam bahan tambahan melainkan sebagai bahan baku, namun penambah rasa penambah aroma dan pewarna masuk dalam kumpulan bahan yang digolongkan sebagai bahan tambahan menurut Peraturan Pemerintah ini. Penambahan bahan penambah aroma, saus rokok dan lain sebagainya adalah dilarang apabila membahayakan kesehatan. Padahal penambahan bahan penguat aroma, saus rokok dan lain sebagainya itu merupakan bahan yang menjadikan rokok kretek itu berbeda atau dengan kata lain memberikan kekhasan tersendiri apabila disandingkan dengan rokok putih yang minim akan bahan tambahan.

  Hal tersebut diperparah dengan adanya ketentuan lanjutan yang termuat di dalam ayat (3) dari pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang menyatakan sebagai berikut,

  “ Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau yang menggunakan bahan tambahan yang berbahaya bagi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh Menteri berupa penarikan produk atas biaya

  13 produsen.” 12 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, Ps. 12 ayat 1. 13 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Sebelumnya telah kita ketahui bahwa rokok kretek memiliki perbedaan bahan baku bila dibandingkan dengan rokok putih. Hal ini dikarenakan memang cita rasa khas dari rokok kretek tersebut dihasilkan dari banyaknya rempah- rempah yang dipakai sebagai bahan baku pembuatannya. Dengan adanya ketentuan pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tersebut, maka dengan sangat jelas ruang gerak dari rokok kretek ini menjadi sangat terbatasi. Dengan terbatasinya ruang gerak rokok kretek ini maka akan sangat berimbas pada produsen yang berada di baliknya, yang dalam hal ini adalah produsen dalam skala produksi yang kecil.

  Ditambah lagi dengan sangat jelas pula pasal tersebut akan memberikan sanksi bagi produsen-produsen rokok yang menggunakan bahan tambahan yang disinyalir berbahaya bagi kesehatan. Namun bila kita tinjau ulang dari konsep zat adiktifnya, maka hal ini sudah sepatutnya untuk dikaji ulang dengan cara menoleh kembali kebelakang. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan tersebut dikeluarkan sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di judul Peraturan Pemerintah itu sendiri sudah dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan dari Peraturan Pemerintah Itu adalah untuk mengamankan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau. Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor

  36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dikatakan bahwa, yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan , Ps. 12 ayat 3.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk

  yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat 14 sekelilingnya.

  Sedangkan zat adiktif itu sendiri didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan adiksi atau ketergantungan yang membahayakan kesehatan dengan ditandai perubahan perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk mengonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain,

  15 meningkatnya toleransi dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat.

  Bila kita mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut, maka dapat ditarik suatu pemikiran bahwa tembakaunya itu sendiri pada dasarnya sudah dikategorikan sebagai bahan yang berbahaya atau adiktif sehingga produk yang dihasilkan dari tembakau itu pun sudah tentu merupakan bahan yang bersifat berbahaya atau adiktif pula selama itu berbentuk rokok. Sehingga bila rokok yang dalam hal ini merupakan bahan adiktif, maka segala macam penambahan di dalam proses pembuatannya akan bersifat adiktif karena hasil akhir dari campuran bahan tersebut telah dinyatakan sebagai bahan yang adiktif atau berbahaya. Inilah yang dinilai sebagai salah satu kekaburan yang terdapat di dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Aturan semacam ini dinilai sia-sia karena bahan apapun yang akan ditambahkan ke dalam bahan pembuatan rokok dapat dinilai sebagai bahan yang adiktif karena 14 15 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Ps. 113 ayat 2.

  Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, Ps. 1 angka 1.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  membahayakan konsumennya. Hal-hal semacam itu merugikan produsen produk tembakau yang bergerak di bidang rokok kretek karena mereka membutuhkan banyak rempah-rempah alam yang nantinya akan digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan produk tembakaunya. Ditambah lagi sanksi administratif yang harus diterima oleh produsen berupa penarikan produk atas biaya produsen. Hal ini semakin menjadi beban dan penghalang produsen rokok kretek untuk bersaing pada pasar terbuka.

  Aturan-aturan tersebut menjadi suatu jembatan pemisah nyata yang mematikan banyak sekali produsen produk tembakau dalam negeri khususnya yang berada dalam pasar produk kretek dan sebaliknya aturan-aturan tersebut dapat menjadi suatu jembatan emas bagi produk tembakau putih untuk menjadi suatu produk yang dominan di pasar menggantikan produk kretek tersebut.

  2.1.3. Pasal 14 sampai dengan 18 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan

  Pada pasal 14 sampai dengan pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan diatur tentang kewajiban produsen untuk memberikan informasi tambahan pada kemasan produk tembakaunya berupa gambar yang sifatnya malah akan membuat para konsumen untuk enggan mengkonsumsi produk tembakau tersebut. Aturan-aturan terkait pencantuman peringatan tersebut kemudian dilaksanakan dengan diterbitkannya Peraturan

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau. Hal ini seperti apa yang tertera pada salah satu pasalnya yang berbunyi sebagai berikut,

  “ Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau ke dalam wilayah Indonesia wajib mencantumkan Peringatan Kesehatan pada

  16 Kemasan terkecil dan Kemasan lebih besar Produk Tembakau.

  

  Pada pasal yang lain dikatakan sebagai berikut,

  “ Peringatan Kesehatan terdiri atas 5 (lima) jenis yang berbeda, yang dicantumkan pada setiap 1 (satu) varian Produk Tembakau dengan porsi masing- masing 20% (dua puluh persen) dari jumlah setiap varian Produk Tembakau

  17 pada waktu yang bersamaan.

  

  Hal ini merupakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk menekan jumlah perokok di Indonesia melalui pemberian informasi kesehatan yang lebih banyak ketimbang aturan sebelumnya dalam wujud gambar yang mencolok di kemasan luar produk tembakau. Namun terdapat beberapa permasalahan yang muncul diakibatkan oleh aturan ini bila kita kaitkan dengan konsumen maupun produsen yang memproduksi produk tembakau tersebut. Pertama, gambar-gambar yang merupakan informasi kesehatan tersebut sangatlah mengganggu konsumen dikarenakan sebagian dari gambar-gambar tersebut merupakan gambar yang memberikan efek tidak nyaman bagi para konsumen produk tembakau. Misalnya gambar paru-paru yang membusuk diakibatkan oleh asap rokok dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja akan mengurangi minat pembeli untuk 16 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, Ps. 3. 17 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, Ps. 4 ayat 1.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  mengkonsumsi produk tembakau yang kini keseluruhan merek yang beredar di pasaran telah mengenakan informasi kesehatan berupa gambar tersebut. Yang kedua adalah bagi produsen penghasil produk tembakau, aturan semacam ini tentu saja mempengaruhi daya jual dan produksinya. Dengan semakin menurunnya pembeli maka pendapatan para produsen juga akan menurun, ditambah dengan adanya regulasi yang akan memberikan sanksi kepada para produsen produk tembakau yang tidak memberikan informasi kesehatan tersebut, seperti pada ketentuan berikut,

  “ Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau tanpa mencantumkan peringatan kesehatan berupa gambar dan tulisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 17 dikenakan sanksi sesuai

  18 dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .”

  Perlu diketahui bersama bahwa pencantuman informasi kesehatan berdampak pada tingkat produksi para produsen produk tembakau dikarenakan para produsen tersebut harus mengeluarkan dana yang lebih besar dari pada sebelumnya. Misalnya saja biaya cetak gambar-gambar peringatan kesehatan yang membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga pengeluaran yang harus ditanggung oleh produsen produk tembakau akan melonjak drastis dikarenakan oleh adanya regulasi ini. Dengan kondisi yang demikian, maka hal tersebut menjadi salah satu jalan lain yang mengancam industri produk tembakau skala kecil. Untuk mereka para produsen produk tembakau besar mungkin regulasi semacam ini juga berdampak pada tingkat pengeluarannya selama masa produksi namun kembali lagi, dengan pendapatan yang besar dikarenakan pangsa pasarnya 18 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, Ps. 18.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  yang besar maka hal tersebut tentu tidak akan terlalu berdampak pada kelangsungan usahanya. Para produsen besar ini tidak akan terancam gulung tikar dikarenakan regulasi ini. Namun apabila kita lihat pada sisi yang lain yaitu dengan objeknya adalah para produsen kecil, maka hal tersebut akan berdampak lain.

  Bentuk usaha yang kecil dengan pangsa pasar yang kecil akan membuat para produsen rokok kecil ini kesulitan untuk memenuhi setiap tuntutan dari regulasi- regulasi yang ada.

  Sehingga hal ini menimbukan kesan bahwa regulasi-regulasi semacam ini bukanlah regulasi yang dapat menjadikan suatu kondisi perekonomian nasional menjadi sehat. Regulasi semacam ini akan menciptakan ketimpangan sosial di kedua sisi yaitu antara para produsen besar dan kecil. Kemudian terdapat penilaian bahwa regulasi-regulasi semacam ini merupakan suatu jalan pendukung yang dapat menimbulkan posisi monopoli pada pelaku usaha yang kuat dan hal tersebut sangat berpotensi menciptakan iklim persaingan usaha yang tidak sehat diakibatkan matinya para produsen produk tembakau kecil.

2.2. Identifikasi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Sebagai Perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai

  Tembakau juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 dikarenakan sifat dari tembakau itu sendiri yang digolongkan ke dalam golongan bahan yang mengandung zat adiktif di dalamnya. Di dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa cukai diterapkan kepada barang-barang yang mempunyai sifat

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  19

  atau karakteristik sebagai berikut: 1. Konsumsinya perlu dikendalikan.

  2. Peredarannya perlu diawasi.

  3. Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau

  4. Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan Negara demi keadilan dan keseimbangan.

  Dikarenakan sifat dari tembakau itu sendiri yang adiktif maka dengan jelas tembakau memenuhi unsur dari pasal tersebut, sehingga sudah menjadi alasan bagi pemerintah untuk menetapkan dan menarik pungutan atas tembakau dan produk hasil olahan tembakau yang beredar di pasaran. Hal tersebut kemudian diperjelas dengan ketentuan sebagai berikut,

  “ Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri dari hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak

  20 bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya.’’

  Berkenaan dengan penetapan besaran pungutan yang diberikan kepada masing- masing produsen produk tembakau, pemerintah kemudian menyisipkannya di dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai itu sendiri yang dilaksanakan oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.011/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 19 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Ps. 2 ayat 1. 20 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Ps. 4 ayat 1 huruf c.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

  Yang menjadi pokok permasalahannya adalah dengan kondisi persaingan yang semakin timpang sebelah antara produsen rokok besar dan kecil, belum lagi hambatan dari tembakau impor, para pelaku usaha kecil ini juga harus dihadapkan pada ketentuan pemerintah berupa cukai pada hasil olahan produk tembakaunya.

  Dengan adanya ketentuan tersebut, maka mau tidak mau para pelaku usaha kecil di pasar harus memenuhi tanggungannya yaitu membayar pungutan atas barang produksinya dikarenakan ada sanksi yang melekat bagi pelanggar ketentuan tersebut di belakangnya. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal berikut ini,

  “ Penagihan dilakukan atas: a. utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya; b. kekurangan cukai; dan/atau c. sanksi administrasi berupa denda. Pembayaran utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari nilai utang cukai, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang tidak

  21 dibaya r.”

  Persoalan yang muncul pada hakikatnya didasarkan pada besarnya tarif cukai yang harus dibayarkan oleh para produsen produk tembakau tersebut. Apabila kita lihat ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.011/2014 maka akan diperoleh data sebagai berikut:

21 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Ps. 10 ayat 1 dan 2 huruf a.

  No.Urut Golongan pengusaha pabrik hasil tembakau Batasan harga jual eceran per batang atau gram Tarif cukai per batang atau gram Jenis Golongan

  1 SKM

  I Paling rendah Rp 800,00

  Rp 415,00

  II Lebih dari Rp 588,00

  Rp 305,00 Paling rendah Rp

  511,00 sampai dengan Rp Rp 588,00

  Rp 265,00

  2 SPM

  I Paling rendah Rp 820,00

  Rp 425,00

  II Lebih dari Rp 520,00

  Rp 270,00 Paling rendah Rp

  425,00 sampai dengan Rp 520,00 Rp 220,00

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  3 SKT atau SPT

  Rp 80,00

  Rp 265,00

  Rp 305,00 Paling rendah Rp 5 11 ,00 sampai

  II Lebih dari Rp 588,00

  Rp 415,00

  I Paling rendah Rp 800,00

  4 SKTF atau SPTF

  IIIB Paling rendah Rp 286,00

  I Lebih dari Rp 825,00

  286,00 Rp 85,00

  IIIA Paling rendah Rp

  385,00 sampai dengan Rp 417,00 Rp 125,00

  Rp 140,00 Paling rendah Rp

  II Lebih dari Rp 417,00

  606,00 sampai dengan Rp 825,00 Rp 220,00

  Rp 290,00 Paling rendah Rp

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  dengan Rp 588,00

  5 TIS Tanpa Lebih dari Rp 2 Rp 28,00 Golongan 75,00

  Lebih dari Rp Rp 22,00 177,00 sampai dengan Rp 275,00

  Paling rendah Rp Rp 6,00 55,00 sampai dengan

  Rp 177 ,00

  6 KLB Tanpa Lebih dari Rp Rp 28,00 Golongan 286,00

  Paling rendah Rp Rp 22,00 198,00 sampai dengan Rp 286,00

  7 KLM Tanpa Paling rendah Rp Rp 22,00 Golongan 198,00

  8 CRT Tanpa Lebih dari Rp Rp 110.000,00 Golongan 198.000,00

  Lebih dari Rp Rp 22.000,00 55.000,00 sampai dengan Rp 19 8.000,00

  Lebih dari Rp 22.000,00 sampai dengan Rp

  55.000,00 Rp 11.000,00

  Lebih dari Rp 5 .500,00 sampai dengan Rp 2 2

  .000,00 Rp1.320,00

  Paling rendah Rp 495,00 sampai dengan Rp 5.500,00

  Rp 275,00

  9 HPTL Tanpa Golongan

  Paling terendah Rp 303,00

  Rp 110,00 Terkait dengan penggolongan pengusaha pabrik hasil tembakau jenis rokok, maka didasarkan pada ketentuan sebagai berikut,

  No. Pengusaha Pabrik Batasan Jumlah Produksi Pabrik

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Urut Jenis Golongan

  1 SKM

  I Lebih dari 2 milyar batang

  II Tidak lebih dari 2 milyar batang

  2 SPM

  I Lebih dari 2 milyar batang

  II Tidak lebih dari 2 milyar batang

  3 SKT atau SPT

  I Lebih dari 2 milyar batang

  II Lebih dari 350 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang

  IIIA Lebih dari 50 juta batang tetapi tidak lebih dari 350 juta batang

  IIIB Tidak lebih dari 50 juta batang

  4 SKTF atau

  I Lebih dari 2 milyar batang SPTF

  II Tidak lebih dari 2 milyar batang

  5 TIS Tanpa Tanpa batasan jumlah produksi Golongan

  6 KLM atau Tanpa Tanpa batasan jumlah produksi

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  KLB Golongan

  7 CRT Tanpa Tanpa batasan jumlah produksi Golongan

  8 HPTL Tanpa Tanpa batasan jumlah produksi Golongan

  Berdasarkan pada data di atas dapat dilihat bahwa rata-rata setiap produsen rokok terkena kenaikan cukai sebesar 8,75% dari ketentuan sebelumnya. Untuk kenaikan harga cukai tertinggi terdapat pada pengusaha yang masuk dalam golongan SKM (Sigaret Kretek Mesin) untuk pabrik golongan I yaitu sebesar Rp.60 atau sebesar 16,9% dari tarif cukai sebelumnya. Untuk kenaikan tarif cukai terendah terdapat pada jenis rokok SKT (Sigaret Kretek Tangan) atau jenis SPT (Sigaret Putih Tangan) yaitu pada kisaran 4,1% sampai dengan 7,7% dari harga sebelumnya. Dan tidak ada kenaikan tarif cukai untuk rokok golongan SKT (Sigaret Kretek Tangan) atau SPT (Sigaret Putih Tangan) yang masuk ke dalam golongan III B. aturan tersebut sudah diberlakukan terhitung sejak tanggal 1 januari 2015.

  Dari rata-rata kenaikan tarif cukai untuk masing-masing produk tembakau berupa rokok tersebut, maka tentu saja ada persaingan yang ditimbulkan sebagai efek dari ketentuan tersebut. Yaitu persaingan untuk tetap dapat eksis di bidang usaha antara sesama pelaku usaha terlebih adalah antara para pelaku usaha besar

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  dan kecil. Terhadap para pelaku usaha kecil, maka tingkat efisienitas sangat diperlukan untuk menjaga agar usahanya tetap hidup dan mampu bersaing dengan pelaku usaha lain. Namun tetap saja aturan yang memuat kenaikan tarif cukai tersebut lambat laun akan semakin menekan tingkat kelangsungan usaha tembakau terlebih itu adalah merupakan usaha yang berjalan dalam lingkup yang kecil.

2.3. Analisis Yuridis Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Teori Hukum Persaingan Usaha

  Setelah meninjau berbagai peraturan perundang-undangan terkait tembakau yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 sebagai Perubahan dari Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, maka terdapat pemikiran yang mengindikasikan bahwa peraturan-peraturan tersebut memicu terjadinya kondisi pasar persaingan yang tidak seimbang antara berbagai pelaku usaha di dalam pasar khususnya adalah produsen rokok besar dan kecil. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa peraturan-peraturan tersebut menjadi suatu senjata tersendiri yang akan digunakan oleh para produsen rokok besar untuk memperoleh posisi yang nyata di pasar yang bersangkutan atau dengan kata lain adalah posisi monopoli usaha. Hal tersebut dikarenakan regulasi-regulasi itu memang lebih menguntungkan beberapa pihak yakni para produsen besar dan juga produsen rokok putih.

  Sebelumnya perlu dikaji lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan monopoli usaha menurut aturan di dalam hukum persaingan usaha itu sendiri.

  Bahwa yang dimaksud dengan Monopoli adalah penguasaan praktek produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa. Akan tetapi tidak semua tindakan penguasaan atas produksi atau pemasaran merupakan pelanggaran. Monopoli yang terjadi karena keunggulan produk, atau perencanaan dan pengelolaan bisnis yang baik, atau terjadi melalui perjuangan dalam persaingan jangka panjang sehingga terdapat suatu perusahaan menjadi kuat dan besar dan menguasai pangsa pasar yang besar pula, tentu saja tidak merupakan tindakan penguasaan yang dilarang.

22 Monopoli terbentuk jika hanya satu pelaku mempunyai kontrol

  eksklusif terhadap pasokan barang dan jasa di suatu pasar, dan dengan demikian juga terhadap penentuan harganya.

23 Adapun jenis-jenis monopoli tersebut

  sebagai berikut:

  24

  a. Monopoli yang Terjadi Karena Dikehendaki oleh Undang-Undang (Monopoli by Law)

  Pasal 33 UUD 1945 menghendaki adanya monopoli negara untuk menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemberian hak-hak eksklusif atas penemuan baru, baik yang berasal dari hak atas kekayaan intelektual seperti hak cipta (copyright) dan hak atas kekayaan industry (industrial property) seperti paten (patent), merek (trademark), desain produk industry (industrial

  design ), dan rahasia dagang (trade secret) pada dasarnya adalah

  merupakan bentuk lain monopoli yang diakui dan dilindungi oleh undang- undang.

  b. Monopoli yang Lahir dan Tumbuh Secara Alamiah Karena Didukung oleh Iklim dan Lingkungan Usaha yang Sehat (Monopoli by Nature) 22 L. Budi Kagramanto II, Op.Cit., h. 182. 23 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 5. 24 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia ( Dalam Teori dan

  

Praktik serta Penerapan Hukumnya) , Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 236-240

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  Monopoli ini terjadi bila terdapat perusahaan yang memiliki kemampuan sumber daya manusia yang profesional, kerja keras, dan strategi bisnis yang tepat dalam mempertahankan posisinya yang akan membuat suatu perusahaan memiliki kinerja yang unggul (superior skill) sehingga tumbuh secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi antara kualitas dengan harga barang dan jasa serta pelayanan sebagaimana dikehendaki oleh konsumen.

  c. Monopoli yang Diperoleh Melalui Lisensi dengan Menggunakan Mekanisme Kekuasaan (Monopoly by License) Monopoli seperti ini dapat terjadi oleh karena adanya kolusi antara para pelaku usaha dengan birokrat pemerintah. Kehadirannya menimbukan distorsi ekonomi karena menganggu bekerjanya mekanisme pasar yang efisien.

  d. Monopoli Karena Terbentuknya Struktur Pasar Akibat Perilaku yang Tidak Jujur Sifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar dalam waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin atau sebaliknya, dengan menggunakan modal yang sangat besar untuk memperoleh posisi dominan guna menggusur para pesaing yang ada.

  Selain dari keempat jenis monopoli yang telah disebutkan di atas, terdapat pula berbagai macam jenis monopoli lain yang pada dasarnya adalah sama dengan apa yang telah disebutkan sebelumnya. Sehingga berdasarkan pada penjelasan tersebut maka suatu monopoli bukan merupakan suatu hal yang dilarang namun yang dilarang adalah praktek monopolinya. Praktek Monopoli itu sendiri di definisikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa tertentu sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat sehingga

  

25

  dapat merugikan kepentingan umum. Dari ketentuan tersebut perlu dilakukan pengkajian unsur-unsur yang terdapat di dalamnya dengan dikaitkan pada aturan- 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat , Ps. 1 angka 2.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

  aturan yang dianggap rancu tersebut. Hal ini dikarenakan sifat dari teori Monopoli itu sendiri yang rule of reason, yang membutuhkan analisis lebih lanjut terkait kelayakan suatu permasalahan untuk dapat dikatakan sebagai suatu bentuk monopoli ataukah tidak. Dapat dikatakan bahwa rule of reason lebih memfokuskan pada melihat akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan yang

  26

  dilakukan. Unsur-unsur yang dapat kita temukan dari pengertian praktek monopoli antara lain sebagai berikut:

  1. Terjadinya pemusatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha.

  2. Terdapat penguasaan atas produksi atau pemasaran barang atau jasa tertentu.

  3. Terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

  4. Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum.

  Kenyataan menunjukkan, bahwa perekonomian Indonesia justru semakin terpuruk kondisinya gara-gara pemerintah memberikan perlakuan istimewa terhadap segelintir pelaku usaha yang dekat dengannya. Penguasa kurang merespon keluhan dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak serta tidak adanya iklim berusaha dan bersaing secara sehat. Segelintir pelaku usaha tersebut tidak menyadari, bahwa dengan bersaing secara sehat dan jujur dalam berusaha pada akhirnya akan melemahkan mereka yang senantiasa dimanja dengan berbagai regulasi yang menguntungkan dan proteksi yang berlebihan yang 26 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., h. 711.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

27 diberikan oleh pemerintah.

  Perlu diketahui bersama bahwa pada pasal 10, 12, 14 sampai dengan pasal

  18 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tersebut merupakan aturan- aturan yang sangat berpengaruh terhadap persaingan usaha. Terdapatnya suatu bentuk kekangan yang besar bagi pelaku usaha kecil untuk dapat mengimbangi persaingan yang ditawarkan oleh pelaku usaha besar. Seperti contohnya standarisasi kadar Nikotin dan Tar yang tidak dapat dipenuhi oleh bahan bakunya yakni tembakau lokal, larangan untuk menambah bahan-bahan tambahan yang dinilai berbahaya walaupun pada dasarnya setiap produk hasil olahan tembakau sudah tentu digolongkan ke dalam bahan yang mengandung zat adiktif, serta kewajiban untuk memberikan informasi tambahan berupa gambar yang akan membengkakkan biaya produksi perusahaan. Hal tersebut tentu saja mematikan proses produksi para pelaku usaha kecil tersebut. Dengan matinya usaha-usaha produk olahan tembakau kecil, maka hal ini akan berimbas juga pada kelangsungan petani tembakau lokal. Petani yang awalnya menyuplai tembakau- tembakau lokal berNikotin dan Tar yang tinggi kepada para pelaku usaha kecil tersebut maka dengan matinya usaha olahan tembakau, para petani tersebut akan kesulitan untuk menjual hasil tanamannya. Ujungnya mereka harus menjual tembakau-tembakaunya kepada produsen produk olahan tembakau skala besar dengan harga yang murah.

  Keadaan yang sedemikian harus diperparah lagi dengan ketentuan- ketentuan yang membebankan pungutan yang terjumlah besar atas hasil 27 L. Budi Kagramanto II, Op.Cit., h. 28.

  

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga