BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Tria Pamungkas Siwi BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Respon

  1. Pengertian Respon Respon berasal dari kata response, yang berarti balasan atau tanggapan (reaction).

  Respon adalah istilah psikologi yang digunakan untuk menamakan reaksi terhadap rangsang yang di terima oleh panca indra. Hal yang menunjang dan melatarbelakangi ukuran sebuah respon adalah sikap, persepsi, dan partisipasi. Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang karena sikap merupakan kecendrungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku jika menghadapi suatu rangsangan tertentu. Jadi, berbicara mengenai respon atau tidak respon terlepas dari pembahasan sikap. Respon juga diartikan sebagai suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman yang mendetail, penelitian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu (Sobur, 2003). Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi respon seseorang, yaitu: (1) Diri orang yang bersangkutan yang melihat dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh sikap, motif, pentingan, dan harapannya.

  

10

  (2) Sasaran respon tersebut, berupa orang, benda, atau peristiwa. Sifat-sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap respon orang melihatnya.

  Dengan kata lain, gerakan, suara, ukuran, tindakan-tindakan, dan ciri-ciri lain dari sasaran respon turut menentukan cara pandang orang.

  (3) Faktor situasi, respon dapat dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi mana respon itu timbul mendapat perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam pembentukan atau tanggapan seseorang (Mulyani, 2007).

  2. Macam-macam Respon Menurut Azwar (2008), mengklasifikasikan respon ke dalam tiga jenis, yaitu : (1) Respon kognitif ( respon perseptual dan pertanyaan mengenai yang diyakini).

  (2) Respon afektif (respon saraf simpatik dan pernyataan afeksi). (3) Respon perilaku atau konatif (respon yang berupa tindakan atau pertanyaan mengenai perilaku) .

  Sementara itu Sumadi Suryabata (2013) menyebutkan macam- macam respon yang tidak jauh berbeda dengan Soemanto. Sumadi menyebutkan ada tiga macam respon diantaranya adalah : (1) Respon masa lampau atau respon imajinatif (2) Respon masa datang atau respon mengantisipasikan

  (3) Respon masa kini atau tanggapan respresentatif (respon mengimajinasikan).

  Sedangkan Sujanto (2013) mengemukakan macam-macam respon secara lebih lengkap lagi yaitu sebagai berikut: a. Respon menurut indera yang mengamati, yaitu:

  (1) Respon auditif, yaitu respon terhadap apa-apa yang telah didengarnya baik berupa suara, ketukan dan lain-lain.

  (2) Respon visual, yaitu respon terhadap sesuatu yang dialami oleh dirinya.

  (3) Respon perasaan adalah respon respon terhadap segala sesuatu yang dialami oleh dirinya.

  b. Respon menurut terjadinya, yaitu: (1) Respon ingatan atau respon masa lampau, yakni respon terhadap kejadian yang telah lalu.

  (2) Respon fantasi, yaitu tanggapan masa kini yakni respon terhadap sesuatu yang sedang terjadi.

  (3) Respon pikiran atau respon masa datang yakni respon terhadap sesuatu yang akan datang.

  c. Respon menurut lingkungannya, yaitu: (1) Respon benda, yakni respon terhadap benda-benda yang ada disekitarnya.

  (2) Respon kata-kata yaitu respon terhadap ucapan atau kata-kata yang dilontarkan oleh lawan bicara.

  Pembagian macam-macam respon diatas dapat menunjukan bahwa panca indera sebagai modal dasar pengamatan sangatlah penting, karena secara tidak langsung merupakan modal dasar bagi adanya respon sebagai salah satu fungsi jiwa yang dipandang sebagai kekuatan psikologis yang dapat menimbulkan keseimbangan atau mrintangi keseimbangan.

  Selain dari panca indera, respon juga akan didasari oleh adanya perasaan yang mendalam atau sesuatu pengetahuan dan ingatan serta cara respon tersebut diungkapkan dalam kata-kata. Oleh karena itulah respon menjadi sesuatu yang perlu dilihat dan diukur guna mengetahui gambaran gambaran atau pengamatan seseorang terhadap sesuatu objek.

  3. Indikator Respon Menurut Soemanto (2012) “respon yang muncul ke dalam kesadaran, dapat memperoleh dukungan atau rintangan dari respon lain”.

  Dukungan terhadap respon akan menimbulkan rasa senang. Sebaliknya respon yang mendapat rintangan akan menimbulkan rasa tidak senang.

  Penjelasan diatas menunjukan bahwa indicator respon terdiri dari respon yang positif kecenderungan tindakannya adalah mendekati, menyukai, menyenangi, dan mengahrapkan suatu objek. Sedangkan respon yang negatife kecenderungan tindakannya menjauhi, menghindari dan member objek tertentu. Sedangkan Sadirman, (2010) mengemukakan bahwa indicator respon itu adalah:

  a. Keinginan untuk bertindak/berpartisipasi aktif,

  b. Membacakan/mendengarkan,

  c. Melihat

  d. Menimbulkan/membangkitkan perasaan dan e. Mengamati.

  Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa indicator dari respon itu adalah senang atau positif dan tidak senang atau negatife. Mengenai rasa tidak senang ini pada setiap orang berbeda-beda. Sebagian ada yang menghargai dan menyenangi karena kedermawaannya, yang lainnya lagi karena intelegasinya dan sebagainya.

  Segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat swehingga mereka melakukan apa yang di harapkan. Termasuk faktor ekstrinsik yaitu : (1) Beban kerja

  Definisi beban kerja secara tat bahasa mempunyai arti sebagai tanggungan kewajiban yang harus dilaksanakan karena pekerjaan tertentu dan juga sebagai tanggung jawab. Beban kerja berpengaruh terhadap kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaannya. Pekerja yang mempunyai beban kerja berlebih akan menurunkan kualitas hsil kerja dan memungkinkan adanya inefsiensi waktu. Para manajer harus memperhatiikan tingkat optimal beban kerja karyawan. Beban kerja tidak hanya dipandang sebagai beban kerja fisik akan tetapi sebagai beban kerja mental.

  Beban kerja dipandang sebagai konsekuensi dari keterbatasan yang dimiliki individu secara fisik dalam melakukan tugas yang harus dilakukan dalam waktu tertentu (Surani, 2008). (2) Pelatihan

  Pelatihan bagi karyawan merupakan sebuah proses mengajarkan penegtahuan dan keahlian tertentu serta sikap agar karyawan senakin terampil dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar kerja.

  Biasanya pelatihan merujuk pada pengembangan ketrampilan bekerja yang dapat digunakakan dengan segera. Manfaat finansial bagi perusahaan biasanya terjadi dengan cepat (Surani, 2008).

  Kecenderungan untuk mempertahankan rasa tidak senang atau menghilangkan rasa tidak senang, akan memancing bekerjanya kekuatan kehendak dan kemauan. Adapun kehendak atau kamauan ini merupakan penggerak tingkah laku manusia.

3. Tenaga Kesehatan

  UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang dimaksud tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabadikan diri dalam bidang kesehatan, memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan.

  Tenaga kesehatan yang diatur dalam pasal 2 ayat (2) sampai dengan ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan terdiri dari :

  1. Tenaga medis terdiri dari dokter dan dokter gigi.

  2. Tenaga keperawatan terdiri dari perawat dan bidan.

  3. Tenaga kefarmasian terdiri dari apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.

  4. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemolog kesehatan, entomology kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanigtarian.

  5. Tenaga gizi meliputi nutrisioner dan dietisien.

  6. Tenaga kesehtan keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.

  7. Tenaga keteknisian medis meliputi radiographer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, othotik prostetik, teknisi transfuse dan perekam medis.

  Dalam UU praktik Kedokteran yang dimaksud dengan “Petugas” adalah dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Menurut PP No. 32 Tahun 1996, maka yang dimaksud petugas dalam kaitannya dengan tenaga kesehatan adalah dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan keteknisian medis.

4. Kader Kesehatan

  1. Defini Kader Kesehatan Kader kesehatan adalah anggota yang berasal dari masyarakat, dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan kader yang dipilih oleh masyarakat tadi menjadi penyelenggara posyandu. Menurut L.A Gunawan Kader Kesehatan adalah promotor kesehatan desa (prokes) tenaga sukarela yang dipilih oleh masyarakat dan bertugas mengembangkan masyarakat. Kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela.

  2. Tugas kegiatan kader Tugas kegiatan kader akan ditentukan, mengingat bahwa pada umumnyakader bukanlah tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanankesehatan. Dalam hal ini perlu adanya pembatasan tugas yang diemban, baikmenyangkut jumlah maupun jenis pelayanan.Adapun kegiatan pokok yang perlu diketahui oleh dokter kader dan semuapihak dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan baik yang menyangkut didalammaupun diluar Posyandu antara lain:

  a. Kegiatan yang dapat dilakukan kader di Posyandu adalah: - Melaksanan pendaftaran.

  • Melaksanakan penimbangan bayi dan balita.
  • Melaksanakan pencatatan hassil penimbangan.
  • Memberikan penyuluhan.

  • Memberi dan membantu pelayanan.
  • Merujuk.

  b. Kegiatan yang dapat dilakukan kader diluar Posyandu KB-kesehatan adalah:

  • Bersifat yang menunjang pelayanan KB, KIA, Imunisasi, Gizi dan penanggulandiare.
  • Mengajak ibi-ibu untuk datang para hari kegiatan Posyandu.
  • Kegiatan yang menunjang upanya kesehatan lainnya yang sesuai denganpermasalahan yang ada: a) Pemberantasan penyakit menular.

  b) Penyehatan rumah.

  c) Pembersihan sarang nyamuk.

  d) Pembuangan sampah.

  e) Penyediaan sarana air bersih.

  f) Menyediakan sarana jamban keluarga.

  g) Pembuatan sarana pembuangan air limbah.

  h) Pemberian pertolongan pertama pada penyakit. i) P3K j) Dana sehat dan Kegiatan pengembangan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan.

5. Manajemen Terpadu Balita Sakit berbasis Masyarakat (MTBS-M)

  1. Definisi MTBSM

  Manajemen terpadu adalah suatu pola manajemen kasus yang berisi prosedur kerja agar dalam organisasi setiap orang mau berusaha bekerja keras secara terus menerus memperbaiki input, autput dan proses manajemen menuju sukses nyang terdiri dari seperangkat prosedur dan proses untuk memperbaiki kinerja dan meningkatkan mutu kerja. Manajemen terpadu menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku hubungan antara yang mengelola dan yang melaksanakan pekerjaan (dokter, bidan, perawat, nutrisonis, dsb) dengan menggunakan pedoman klinis yang sudah terintegrasi.

  MTBS-M merupakan pendekatan pelayanan kesehatan bayi dan anak balita terigentrasi dengan melibatkan masyarakat sesuai standar Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Suatu pendekatan terpadu dalam tatalaksana balita sakit yang datang berobat ke fasilitas rawat jalan pelayanan kesehatan dasar (puskesmas) yang meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pnemunia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi dan upaya promotif dan preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan AKB dan AKABA dan menekan morbiditas karena penyakit tersebut (Permenkes, 2013).

  Kriteria Puskesmas yang sudah melaksanakan MTBS-M adalah Puskesmas yang melaksanakan program MTBS-M minimal 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di Puskesmas tersebut.

  2. Kerangka berpikir pelaksanaan MTBS-M

  Dalam pelaksanaaan MTBS-M diperlukan strategi-strategi dan program untuk mencapai hasil-hasil antara:

  Gambar 1. Kerangka konsep pelaksanaan MTBS-M

  Menurunkan Angka Kematian Balita

  r sekto ti ul m l/

  Peningkatancakupanintervensi inti kelangsungan

  rna e

  hidup balita dikabupaten dan kota

  kst tore ak

  • -f or kt

  Hasil antara 1: Hasil antara Hasil antara 3: Hasil antara

  Fa

  Adanya 2: Peningkatan 4: kebijakan dan Peningkatan kualitaspelaya Peningkatan koordinasi akses dan nan MTBS-M perilaku sehat institusional ketersediaani yang terbukti untukmencari yangmenduku ntervensi inti pertolonganpe dan terjamin

  3. Ruang lingkup penerapan MTBS-M ng MTBS& dan pelayanan layanan Perencanaan dan penyelenggaraan MTBS-M di daerah kabupaten/kota

  MTBS-M MTBS-M kesehatan merupakan bagian dari Rencana Aksi Nasional kelangsungan hidup anak.

  Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dengan pendekatan MTBS-M diterapkan pada daerah sulit akses di kabupaten/kota. Dengan fokus kegiatan Strategi dan program untuk setiap hasil antara untuk mempromosikan perilaku pencarian pertolongan kesehatan, perawatan

  Sumber: Kerangka Pelaksanaan MTBS-M Permenkes, 2013) balita di rumah dan pelatihan kepada anggota masyarakat yaitu kader untuk melakukan pengobatan sederhana kasus bayi muda dan balita sakit (diare, pneumonia, demam untuk malaria, dan masalah bayi baru lahir). Kader tersebut harus dipilih oleh masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah- masalah kesehatan perorangan atau masyarakat serta bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian pelayanan kesehatan (Permenkes, 2013).

  Penentuan wilayah dengan keterbatasan pelayanan kesehatan ditetapkan melalui surat keputusan Bupati dan Walikota yang mengacu pada kriteria kelompok masyarakat umum sebagai berikut: 1.

   Kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan sumber daya kesehatan yang berkesinambungan.

  Di beberapa wilayah Indonesia jumlah sumber daya tenaga kesehatan masih terbatas dan sebarannya tidak merata. Perbandingan antara fasilitas pelayanan kesehatan dasar dengan jumlah tenaga kesehatan masih belum sesuai, hal ini menyebabkan pelayanan kesehatan tidak dapat berjalan secara berkesinambungan. Banyak daerah yang belum menganggarkan biaya operasional maupun penyediaan logistik yang cukup untuk dapat mendukung pelayanan kesehatan dasar bagi anak dan ibu secara rutin.

  Dengan keterbatasan sumber daya, maka pendekatan yang dilakukan adalah melalui keterpaduan pelayanan dan melibatkan peran serta masyarakat (Permenkes, 2013).

2. Kelompok masyarakat dengan kendala sosial budaya

  Kelompok masyarakat yang memiliki akses ke fasilitas pelayanan kesehatan namun tidak memanfaatkan,karena : a. Masalah sosioekonomi dan sosiokultural, misalnya adanya budaya bahwa bayi yang belum berumur 40 hari tidak boleh keluar rumah, sehingga orang tua tidak mau membawa bayinya ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan.

  b. Ketidaktahuan masyarakat tentang pelayanan kesehatan, manfaat serta akibat yang akan timbul bila anak tidak mendapatkan pertolongan kesehatan.

  c. Kelompok masyarakat yang hidup secara berpindah-pindah.

  d. Kelahiran anak yang tidak terdaftar dan / atau tidak diinginkan.

  Pada kelompok ini sangat dibutuhkan keterlibatan lintas sektor, antropolog, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat termasuk tokoh agama, dan tokoh adat dalam rangka pendekatan, pendidikan, dan penyebarluasan informasi tentang pelayanan kesehatan (Permenkes, 2013).

3. Kelompok masyarakat dengan kendala geografis, transportasi dan musim.

  Di Indonesia banyak daerah yang sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan dasar rutin seperti wilayah pegunungan, pedalaman, dan rawa- rawa; pulau kecil/gugus pulau dan daerah pesisir; atau daerah perbatasan dengan negara lain, baik darat maupun pulau-pulau kecil terluar. Hambatan lain dikarenakan kondisi ketersediaan transportasi umum dan rutin yang digunakan baik darat, laut maupun udara (hanya 1 kali seminggu); waktu tempuh memerlukan waktu pulang-pergi lebih dari 6jam perjalanan; hanya tersedia transportasi dengan pesawat udara untuk mencapai lokasi; transportasi yang ada sewaktu-waktu terhalang kondisi iklim/cuaca (seperti musim angin, gelombang, dan lain-lain) atau tidak tersedia transportasi umum.

  Di beberapa daerah sulit ini, mungkin terdapat fasilitas pelayanan kesehatan tapi tanpa tenaga profesional, sarana dan prasarana yang sangat minim atau memang lokasinya sangat jauh dari tempat tinggal penduduk. Untuk masyarakat yang tinggal di daerah kepulauan maupun pegunungan, tenaga kesehatan dapat saja kesulitan menjangkau daerah tersebut untuk memberikan pelayanan kesehatan pada musim-musim tertentu akibat cuaca yang buruk.

  Pelayanan kesehatan dengan pendekatan MTBS-M merupakan pendekatan pelayanan kesehatan balita yang harus didukung oleh pemerintah daerah, dalam hal ini terutama oleh dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota

  Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dengan pendekatan MTBS-M, Kader pelaksana tidak boleh memperlakukan pelayanan yang diberikannya sebagai praktek perseorangan/mandiri. Tata laksana kasus di luar paket intervensi MTBS-M yang telah ditetapkan, harus dirujuk kader pelaksana MTBS-M ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar (Permenkes, 2013).

  4. Langkah-langkah persiapan penerapan MTBS -M 1). Tingkat pemerintah daerah Provinsi a. Membentuk kelompok kerja MTBS-M tingkat provinsi.

  b. Membuat pemetaan ketersediaan pelayanan kesehatan kabupaten dan kota serta pemetaan mitra kerja potensial di tingkat provinsi.

  c. Menetapkan kebijakan dan strategi lokal/daerah dalam pelaksanaan dan pengembangan MTBS-M.

  d. Merencanakan alokasi biaya APBD dan dana dekonsentrasi untuk mendukung pelaksanaan MTBS-M (Permenkes, 2013).

  2). Tingkat pemerintah daerah Kabupaten/Kota

  a. Melakukan kajian kebutuhan dan analisis situasi bagi pelaksanaan dan pengembangan MTBS-M di kabupaten kota.

  b. Menetapkan kebijakan dan strategi daerah dalam pelaksanaan dan pengembangan MTBS-M.

  c. Membentuk kelompok kerja atau tim MTBS-M kabupaten kota yang terintegrasi atau sebagai bagian dari tim MTBS.

  d. Membuat pemetaan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kecamatan atau puskesmas serta pemetaan mitra kerja potensial di tingkat kabupaten dan kota.

  e. Menyusun rencana kerja anggaran dan kerangka acuan kegiatan. f. Mempersiapkan kebutuhan alat/bahan dan logistik.

  g. Menentukan paket pelayanan kesehatan bayi dan balita dalam pendekatan MTBS-M sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kondisi wilayah setempat, berdasarkan analisis sebab kematian yang dilaporkan dan prevalensi kasus serta kajian formatif dan prioritas kebutuhan pelayanan kesehatan di daerah.

  h. Melaksanakan lokakarya adaptasi modul sesuai konteks wilayah bila masih dibutuhkan adaptasi, dengan cara: 1) Mengundang tim MTBS-M kabupaten untuk lokakarya adaptasi modul 2) Melaksanakan uji lapangan yang melibatkan tokoh masyarakat, kader, supervisor dan puskesmas.

  3) Mengundang provinsi untuk dukungan teknis finalisasi dalam rangka adaptasi modul.

  4) Mempersiapkan petunjuk teknis pelayanan MTBS-M dan kelegkapan dokumen pendukung lainnya.

  5) Merencanakan alokasi biaya untuk mendukung pelaksanaan MTBS-M:

  6) Fungsi pengawalan rencana anggaran yang sudah diusulkan dalam DTPS ke dalam musrenbang tingkat kabupaten sampai provinsi.

  7) Memberikan dukungan teknis penyusunan Perda pelaksanaan MTBS-M kepada dinas kesehatan kabupaten.

  8) Memberikan dukungan teknik penyusunan RKPD kepada tim perencanaan dan anggaran dinas kesehatan (Permenkes, 2013).

  3). Tingkat Kecamatan atau Puskesmas.

  Beberapa kegiatan puskesmas yang harus dilakukan dalam rangka persiapan pelaksanaan dan pengembangan MTBS-M di wilayah kerjanya, antara lain:

  a. Bersama tim kabupaten/kota menetapkan daerah awal pelaksanaan dan pengembangan MTBS-M dengan mempertimbangkan:

  1. Komitmen kepala wilayah.

  2. Ketersediaan kader atau tenaga kesehatan yang menetap di desa atau kelurahan.

  3. Kemampuan daerah dan ketersediaan tenaga untuk melaksanakan supervisi.

  4. Menetapkan supervisor dan pelaksana MTBS-M yang memenuhi kriteria dan standar kompetensi di daerah terpilih.

  5. Menyusun rencana kerja, anggaran dan kebutuhan logistik MTBS- M.

  6. Memanfaatkan lokakarya mini puskesmas untuk menggalang tim dan memperoleh dukungan perencanaan pelaksanaan MTBS-M.

  7. Mempersiapkan puskesmas sebagai tempat rujukan MTBS-M dari masyarakat di wilayah kerjanya.

  b. Persiapan di tingkat Desa dan Kelurahan.

  1. Bersama dengan tim puskesmas menetapkan pelaksana MTBS-M yang sesuai dengan kriteria dan standar kompetensi.

  2. Mengalokasikan dana untuk transport pelaksana MTBS-M dan rujukan.

  3. Mempersiapkan pemetaan atau SMD termasuk penyiapan tenaga pelaksana dan penetapan waktu pelaksanaan.

  4. Melakukan sosialisasi MTBS-M dan promosi perilaku sehat kepada masyarakat, antara lain dengan membuat papan informasi atau melalui kunjungan rumah, pertemuan-pertemuan di desa dan kelurahan, di tempat ibadah atau di forum masyarakat lainnya.

  5. Melaksanakan MMD sebagai sarana umpan balik.

  Catatan: 1) Dana lintas sektor tingkat desa dapat diperoleh melalui forum MMD.

  2) Fungsi pengawalan dimulai dari musrenbang desa sampai musrenbang kabupaten.

  3) Fungsi advokasi pada saat musrenbang kecamatan.

  Penyusunan POA Alokasi Dana Desa (ADD) dan PNPM, bila tersedia.

  5. Penerapan MTBS-M Penerapan MTBS-M perlu didukung dengan penyiapan logistik yang terdiri dari obat, peralatan kerja (formulir tata laksana kasus, dll). Pemenuhan kebutuhan logistik tersebut dilakukan melalui : (1) Pencatatan pemakaian dan permintaan obat serta peralatan kerja oleh pelaksana MTBS-M.

  (2) Penyusunan laporan pemakaian dan permintaan obat serta peralatan kerja dari puskesmas ke dinas kesehatan.

  (3) Supervisi ke lapangan untuk melihat ketersediaan obat dan peralatan kerja pelaksana MTBS-M.

  Pelaksana MTBS-M melakukan penilaian, klasifikasi dan tindakan pada balita sakit dan bayi muda sesuai materi yang diterima saat pelatihan. Pada kondisi balita tidak dapat ditangani sendiri, kader pelaksana MTBS-M dapat memberikan pertolongan pertama sebelum merujuk (Permenkes, 2013). Rujukan dari tingkat rumah tangga secara berjenjang sampai ke Rumah Sakit Umum Daerah dapat dilakukan sebagaimana bagan alur rujukan di bawah ini.

  Gambar 2. Bagan Alur Rujukan

  Apabila rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar tidak dimungkinkan, misalnya karena diluar jam kerja puskesmas atau jarak ke puskesmas lebih jauh dibanding ke rumah sakit, maka pasien dapat langsung dirujuk ke rumah sakit. Surat rujukan dari puskesmas dapat segera disusulkan setelah pasien ditangani (Permenkes, 2013).

  6. Prosedur Penerapan MTBS-M 1). Prosedur pelayanan MTBS-M

  Penyelenggara MTBS-M bertujuan untuk meningkatkan akses pelayanan Balita sakit di tingkat masyarakat pada daerah yang sulit akses terhadap pelayanan kesehatan. Daerah sulit akses sebagaimana dimaksud yaitu : a. Kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan sumber daya kesehatan yang berkesinambungan b. Kelompok masyarkat dengan kendala sosial budaya c. Kelompok masyarakat dengan kendala geografis, transportasi, dan musim.

  Pelayanan MTBS-M dilakukan oleh kader setempat yang telah mendapatkan pelatihan sebagai pelaksanan, dalam melakukan pelayanannya kader pelaksana MTBS-M harus di bwah pengawasan tenaga kesehatan yang berasal dari Puskesmas pelaksana MTBS setempat. Penyelenggara upaya kesehatan MTBS-M dilakukan melalui kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, dan kuratif terbatas.

  Pelayanan kuratif terbatas yang dimaksud adalah berakhir setelah pelayanan kesehatan di daerah penyelenggara MTBS-M tersebut telah dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dalam hal daerah penyelengara MTBS-M sudah dinyatakan bukan sebagai daerah sulit akses pelayanan kesehatan, penyelenggara MTBS-M harus berakhir dan pelaksanan pelayanan kesehatan oleh kader pelaksana difokuskan hanya pada kegiatan promotif dan preventif termasuk mempromosikan perilaku pencarian pertolongan kesehatan dan perawatan balita dirumah (Permenkes, 2013).

  7. Pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan Pencatatan dan pelaporan di Puskesmas yang menerapkan MTBS-M sama dengan Puskesmas yang lain yaitu menggunakan SP2TP. Perubahan yang perlu dilakukan adalah konversi klasifikasi MTBS-M ke dalam kode diagnosis dalam SP2TP sebelum masuk ke dalam system pelaporan (Depkes,2006). Tahapan dalam pencatatan dan pelaporan, diantaranya:

  a) Pencatatan hasil pelayanan Pencatatan seluruh hasil pelayanan, yaitu kunjungan, hasil pemeriksaan sampai penggunaan obat tidak memerlukan pencatatan khusus. Pencatatan yang telah da dipuskesmas digunakan sebagai alat pencatatan. Alat pencatatan yang dapat digunakan adalah: register kunjungan, register rawat jalan, register kohort bayi, register kohort balita, register imunisasi, register malaria, demam berdarah dengue,

  ISPA, gizi, dan register obat.

  b) Pelaporan hasil pelayanan Pelaporan yang digunakan adalah: LBI, LPLPO, LB3, laporan mingguaan diare, dan laporan kejadian luar biasa. LBI adalah laporan yang memerlukan perhatian khusus. Hasil pemeriksaan dalam MTBS-M ditulis dalam bentuk klasifikasi penyakit sedangkan pelaoran yang ada dalam bentuk diagnosis (Depkes, 2006).

  c) Langkah-langkah pelaksanan MTBS-M meliputi :

  1. Penilaian adanya tanda dan gejala dari suatu penyakit dengan cara bertanya , melihat, mendengar, dan meraba dengan kata lain dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik dasar dan amnamnesis.

  2. Membuat klasifikasi dengan menentukan tingkat kegawatan dari suatu penyakit, hal ini digunakan untuk menentukan tindakan, bukan diagnosis khusus penyakit.

  3. Menentukan tindakan dan menghromati, yaitu memberikan tindakan pengobatan difasilitas kesehatan, membuat resep, dan mengajari ibu tentang penggunaan obat serta tindakan yang harus dilakukan didalam rumah.

  4. Memberikan konseling dengan menilai cara pemberian makan dan kapan anak harus kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan.

  5. Memberikan pelayanan tindak lanjut pada kunjungan ulang (Alamansyah,2010)

  Strategi MTBS-M berfokus pada : (1) Peningkatan dari pemberi layanan kesehatan dalam manajemen tatalaksana kasus, (2) peningkatan system kesehatan secara menyeluruh, (3) peningkatan praktik kesehatan oleh keluarga dan masyarakat. Strategi MTBS-M mempromosikan identifikasi penyakit balita dengan tepat, menjamin terpadu dari semua penyakit utama secara tepat, memperkuat konseling bagi ibu dan mengidentifikasi kebutuhan rujukan dan penigkatan kecepatan rujukan dari balita yang sakit berat. Dalam tatanan rumah, MTBS-M mempromosikan perilaku mencari pelayanan yang tepat, perbaikan gizi dan pelayanan pencegahan serta penerapan yang benar dari anjuran perawatan (DepKes, 2008). Strategi MTBS-M menggunakan pendekatan yang luas dan lintas program dengan tiga komponen sebagai berikut :

  1. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan :

  a. Standar dan pedoman tatalaksana kasus

  b. Pelatihan petugas di fasilitas kesehatan primer

  c. Peran MTBS-M untuk pemberi layanan swasta

  d. Menjaga kompetensi dari petugas kesehatan terlatih

  2. Peningkatan sistem kesehatan dengan cara :

  a. Perencanaan dan manajemen di tingkat Kabupaten/ Kota

  b. Ketersediaan obat

  c. Peningkatan kualitas supervisi difasilitas kesehatan

  d. Alur rujukan dan pelayanan

  e. Sistem informasi kesehatan

  f. Peningkatan praktik kesehatan di tingkat keluarga dan masyarakat

  g. Pencarian pelayanan kesehatan yang tepat

  h. Penatalaksanaan pemberian nutrisi yang tepat i. Tatalaksana perawatan dirumah dan kepatuhan terhadap penyuluhan yang diberikan j. Peran masyarakat dalam perencanaan pemantauan kesehatan.

6. Kerangka Teori

  • Respon petugas kesehatan
  • Keingian untuk bertindak
  • Membacakan /Mendengarkan
  • Melihat -
  • Mengamati Keterlibatan MTBSM
  • Beban kerja
  • Pelatihan

  Bagan 1. Kerangka Teori Dimodifikasi dari Sadirman (2010)

  FAKTOR

  INTRINSIK

  Membangkitkan perasaan

  FAKTOR EKSTRINSIK

7. Kerangka Konsep

  Rspon petugas kesehatan Bagan 2. Kerangka Konsep

  Respon petugas kesehatan Keterlibatan MTBS-M

  Keterlibatan Kader