PROSES PENCAPAIAN INDIVIDUASI PADA TOKOH UTAMA NOVEL ”SANG ALKEMIS” MENURUT TEORI ANALITIS JUNG

  

PROSES PENCAPAIAN INDIVIDUASI

PADA TOKOH UTAMA NOVEL ”SANG ALKEMIS”

MENURUT TEORI ANALITIS JUNG

  SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

  

Oleh :

Bernadetha Puspitarini

NIM : 009114006

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

  

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

Ada kalanya dalam hidup ini, manusia hanya bisa terdiam

Tanpa tahu harus berbuat apa.

Ada begitu banyak karang terjal yang harus dilewati, namun kita seakan

tidak punya cukup kekuatan untuk bertahan. Apa yang kita inginkan

tampak begitu sulit untuk digapai dan tidak ada cahaya untuk menuntun.

  

Pada saat itulah Tuhan bekerja.

Dalam kelemahan kita, Tuhan ingin menyatakan kuasa-Nya yang ajaib.

Manusia hanya perlu belajar untuk hening dan mendengarkan suara-Nya.

  

Tuhan akan mengutus malaikat-malaikatNya untuk menemani kita.

Dia tidak pernah berjanji bahwa kita tidak akan menemui karang terjal

lagi, namun dia berjanji bahwa ketika sedang bersusah payah mendaki

karang terjal itu, Dia akan ada disisi kita dan ikut mendaki bersama

kita. Dia akan menerangi jalan kita dengan cahayaNya yang tak pernah

pudar.

  

Sebuah karya yang tidak sempurna ini aku persembahkan untuk semua

orang yang sedang berjuang meraih mimpi mereka dan semua orang yang

sedang mencari apa mimpi mereka.

  

“Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-

Ku menjadi sempurna” (II Korintus 12:9)

  

ABSTRAK

PROSES PENCAPAIAN INDIVIDUASI

PADA TOKOH UTAMA NOVEL “SANG ALKEMIS”

MENURUT TEORI ANALITIS JUNG

  

Bernadetha Puspitarini

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pencapaian individuasi pada Santiago, tokoh utama novel “Sang Alkemis” berdasarkan teori analitis Jung. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, dengan menggunakan analisis narasi sebagai metode analisis data. Penelitian ini berawal dari fenomena bahwa saat ini banyak manusia yang terlalu mengandalkan rasio dan mengabaikan sisi ketidaksadaran dalam dirinya. Masyarakat memerlukan suatu panduan yang dapat mengispirasi mereka untuk lebih memperhatikan sisi ketidaksadaran agar terwujud suatu pribadi yang seimbang. Salah satu media yang dapat dipakai adalah novel “Sang Alkemis”. “Sang Alkemis” telah menjadi buku yang banyak terjual di berbagai penjuru dunia dan telah diterjemahkan ke dalam 66 bahasa. Penulisnya, Paulo Coelho telah menjadi salah satu penulis paling berpengaruh di abad ini.

  Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perjalanan Santiago dalam mencari harta karun dapat dianalogikan dengan proses pencapaian individuasi. Hal lainnya adalah untuk mencari tahu apa saja langkah yang digunakan Santiago dalam mencari harta karun dan apakah langkah tersebut sama dengan langkah-langkah untuk mencapai individuasi. Yang terakhir adalah untuk mengetahui apakah ada perubahan dalam karakter Santiago selama melakukan perjalanan mencari harta karun.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjalanan Santiago mencari harta karun dapat dianalogikan dengan proses individuasi. Santiago juga menggunakan langkah yang sama dengan langkah-langkah untuk mencapai individuasi. Hasil penelitian menunjukkan ada perubahan-perubahan dalam karakter Santiago. Yang terakhir, Santiago memang menunjukkan ciri-ciri individu yang terindividuasi namun bukan berarti bahwa Santiago telah mencapai individuasi karena individuasi merupakan proses yang dinamis dan terus terjadi sepanjang kehidupan individu.

  

ABSTRACT

THE PROCESS OF INDIVIDUATION ON “THE ALCHEMIST’s”

MAIN CHARACTER BASED ON JUNG’S ANALYTICAL THEORY

Bernadetha Puspitarini

  

Faculty of Psychology

Sanata Dharma University

  The aim of this research is to know how is the process of individuation on Santiago, “The Alchemist’s” main character based on Jung’s analytical theory. This research is a descriptive qualitative research and using narrative analysis as a data analysis method. This research started from the phenomenon that people often pay attention only to their ratio and disregard their unconscious. They need a guide that could inspire them to pay attention on their unconscious to create a balance personality. One of the media that could be used is a novel called “The Alchemist”. “The Alchemist” has became a best seller book in the whole world and has been translated into 66 languages. Paulo Coelho, the author of “The Alchemist” has become one of the most influential author in this century.

  The focus of the research is to find out whether the Santiago’s journey in searching his treasure, could be compared with the process of individuation. The next thing is to know what is Santiago’s steps in his journey and compare it with steps in reach out the individuation. The last thing is to find out are there any changes in Santiago’s character during his journey to searching his treasure.

  The results of this research shows that Santiago’s journey can be analogized with the process of individuation. Santiago also used the same steps in searching his treasure, with steps to reach the individuation. The result of this research also shows changes in Santiago’s character during his journey to searching his treasure. Finally, Santiago shows characteristics of individuated person but it does not mean that Santiago is individuated person because individuation is a dynamic process that will continues to happen during someone’s life.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Pengasih, karena atas bimbingan- Nya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

  Skripsi yang dikerjakan dalam waktu yang tidak singkat ini, membuat penulis sadar akan cinta kasih Tuhan lewat orang-orang yang selalu menemani dan membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si, selaku dekan fakultas psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. DR. A. Supratiknya, sebagai dosen pembimbing yang tidak kenal lelah dalam membimbing penulis, juga kepada bapak Heri Widodo, S.Psi., M.si yang dulu juga menjadi dosen pembimbing penulis.

  3. Kepada orang tuaku yang dengan sabar senantiasa menemaniku dan memberikan dukungan dalam banyak hal.

  4. Kepada kakak-kakakku dan para keponakanku, terima kasih banyak atas doanya.

  5. Semua dosen Fakultas Psikologi, yang telah mendidik penulis dalam menyelesaikan studi.

  6. Mas Gandung, mbak Nanik, mas Puji, mas Doni, pak Gi’, yang membantu banyak hal selama penulis studi di Fakultas Psikologi.

  7. Dictus yang selama 10 tahun ini selalu mendukungku dalam meraih mimpi-mimpiku.

  8. Sahabat-sahabatku, Lintang, Desy, Ia, Sr.Lusi, Kadek, Astri, Lusi, Siska, Mitha, Tia, Reni, Justina, Desty, Anette, Linggar, Bayu, Eva dan semua teman-temanku di Fakultas Psikologi. Terima kasih atas dukungan dan kebersamaan kita selama ini.

  9. Sahabatku Dita, Rensi, Kristin, QQ, mas Tedy, mas Heri, Indra, Wulan.

  Terima kasih atas semua pengalaman indah yang kita lewati bersama.

  10. Saudaraku Erlin, terima kasih banyak untuk pinjaman bukunya dan waktu untuk diskusi.

  11. Bang Herman yang telah mengajariku banyak hal tentang kehidupan.

  12. Semua pihak yang secara tidak langsung telah membantuku dalam penulisan skripsi ini.

  Penulis menyadari bahwa masih banyak kelemahan yang terdapat dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat berguna bagi penulis di waktu yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.

DAFTAR ISI

   Halaman

HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………… ii

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………….. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………….. v

ABSTRAK.................................................................................................... vi

ABSTRACT………………………………………………………………. vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI…………... viii

KATA PENGANTAR……………………………………………………. ix

DAFTAR ISI……………………………………………………………… xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1 B. Rumusan Masalah…………………………………………….. 7 C. Tujuan Penelitian……………………………………………… 7 D. Manfaat Penelitian……………………………………………. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengantar Psikologi Analitis Jung…………………………….. 9

  1. Struktur Kepribadian………………………………………. 11

  a. Kesadaran……………………………………………… 11

  b. Ketidaksadaran………………………………………... 12

  2) Ketidaksadaran Kolektif………………………….. 15

  2. Langkah-langkah Pokok dalam Proses Individuasi………... 28

  1. Analisis Teks secara Keseluruhan…………………………… 43

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian…………………………………………………. 40 B. Metode Analisis Data…………………………………………… 40 C. Sumber Data dan Subjek Penelitian…………………………….. 42 D. Rancangan Penelitian.................................................................... 43

  F. Pertanyaan-pertanyaan Panduan………………………………. 39

  E. Kritik Sastra terhadap Novel “Sang Alkemis”…………………. 38

  D. Latar Belakang Penulis Novel “Sang Alkemis”……………….. 35

  C. Sinopsis Novel Sang Alkemis…………………………………. 31

  3. Ciri-ciri Individu yang Terindividuasi……………………... 30

  1. Karakteristik Pokok pada Proses Individuasi……………… 26

  a) Persona………………………………………… 17

  B. Pengertian Proses Individuasi…………………………………. 25

  3. Self…………………………………………………………. 25

  b. Fungsi………………………………………………….. 22

  a. Sikap…………………………………………………… 21

  2. Tipe Kepribadian…………………………………………... 21

  c) Anima dan Animus……………………………. 19

  b) Shadow………………………………………… 18

  2. Analisis Teks Langkah-langkah Santiago dalam Mencari Harta

  Karun…………………………………………………….... 44

  3. Analisis Karakter Santiago………………………………….. 44

  4. Analisis Perubahan Karakter Santiago……………………… 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Teks Secara Keseluruhan……………………………… 46 B. Analisis langkah-langkah Santiago dalam Mencari Harta Karun.. 104 C. Analisis Karakter Santiago……………………………………… 113 D. Analisis Perubahan Karakter Santiago…………………………. 121 E. Pembahasan……………………………………………………… 124 F. Keterbatasan Penelitian…………………………………………. 131 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan…………………………………………………… 132 B. Saran…………………………………………………………… 133 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 134

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi saat ini berkembang dengan begitu pesat. Teknologi

  sebagai hasil dari rasio manusia, dapat memberikan kemudahan dalam berbagai bidang kehidupan. Teknologi mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat. Pada era industri saat ini, setiap manusia diharapkan untuk dapat menguasai teknologi agar tidak tertinggal dari manusia lain.

  Kemajuan teknologi selain membawa perubahan positif, ternyata juga membawa perubahan negatif bagi manusia. Rasio sebagai penghasil teknologi mendominasi pribadi individu. Segala sesuatu dinilai hanya berdasarkan rasionalitasnya saja. Peristiwa yang tidak dapat dijelaskan dengan rasio, dianggap tidak pernah terjadi. Menurut sebuah penelitian yang dikutip oleh Sentanu, manusia terbiasa menggunakan rasio yang hanya memiliki kekuatan sekitar 12 persen dari seluruh kekuatan otak dan mengabaikan kekuatan lain yang berada dalam ketidaksadaran (2005). Banyak manusia yang melupakan bahwa kepribadian tidak hanya terdiri dari rasio saja dan aspek kesadaran, namun juga sisi batiniah yang termasuk dalam ketidaksadaran. Ketidaksadaran dalam diri manusia juga perlu diolah dan dikembangkan agar terjadi suatu keseimbangan dalam kepribadian.

  Menurut Laing, jiwa secara keseluruhan adalah sebuah lautan luas yang manusia, terdapat bagian-bagian yang belum dikembangkan secara utuh dan maksimal. Jung mengatakan bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk mengoptimalkan segala potensi yang ada dalam dirinya dan menjadi yang terbaik di antara sesamanya (dalam Cremers, 1986). Jung juga menyebutkan bahwa dalam seluruh perkembangan manusia terdapat suatu rencana hidup tersembunyi yang secara diam-diam mempengaruhi seluruh perkembangan itu dan jika seseorang tidak mampu untuk mengenalinya, dia akan mengalami suatu kekosongan batin (dalam Cremers, 1986). Apabila ada suatu bagian dalam kepribadian diabaikan atau kurang dikembangkan, maka bagian tersebut akan menjadi pusat resistensi yang berusaha merampas energi dari sistem yang berkembang secara lebih penuh, dan jika terlalu banyak resistensi maka individidu tersebut akan menjadi neurotik (Hall & Lindzey, 1993). Kepribadian yang utuh hanya dapat dicapai jika individu mau mengembangkan semua bagian dalam dirinya. Manusia menjadi kehilangan jati dirinya jika tidak ada keseimbangan dalam kepribadian. Banyak orang terutama yang hidup di kota besar mengalami hal ini. Mereka mengalami keresahan spiritual tanpa tahu apa penyebabnya. Salah satu akibat dari keresahan spiritual yang dialami oleh manusia adalah pelampiasan kepada hal-hal yang negatif seperti obat-obatan terlarang atau bahkan bunuh diri (Widyasmoro & Christantiowati, 2004).

  Berlatar belakang pada masalah yang sudah dijelaskan di atas, penulis melihat bahwa manusia memerlukan suatu panduan yang dapat menginspirasinya untuk lebih memperhatikan ketidaksadarannya untuk dapat mencapai pribadi yang memetik pelajaran berharga sehingga hidupnya menjadi lebih baik adalah melalui karya sastra (Sumardjo, 1984). Ada banyak karya sastra yang baik, namun penulis akan meneliti satu novel berjudul “Sang Alkemis”. “Sang Alkemis” adalah novel laris karya Paulo Coelho, seorang penulis berkebangsaan Brasil.

  “Sang Alkemis” terjual sebanyak 100 juta kopi di seluruh dunia dan telah diterjemahkan ke dalam 66 bahasa termasuk bahasa Indonesia (Rakadewa & Setiawan, 2007). Paulo Coelho sebagai pengarang banyak mendapat pujian dan penghargaan internasional atas karyanya tersebut. Pujian dan penghargaan tersebut tidak hanya datang dari pengamat sastra saja, melainkan juga dari tokoh politik dan banyak orang dari berbagai pihak di seluruh dunia (Tim Matabaca, 2006). Novel “Sang Alkemis” menjadi salah satu buku yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah dan menempatkan Coelho sebagai salah satu penulis yang paling berpengaruh di abad ini (Martin & Ballesteros, 2002).

  Novel “Sang Alkemis” menceritakan kisah perjuangan seorang pemuda bernama Santiago dalam mewujudkan mimpinya. Santiago yang bekerja sebagai seorang gembala domba harus meninggalkan segalanya setelah dia bermimpi akan menemukan harta karun di piramida Mesir. Novel “Sang Alkemis” menggambarkan berbagai rintangan yang harus dihadapi oleh Santiago dalam menemukan harta karun tersebut. Santiago harus berkelana dari daerah asalnya Spanyol menuju ke Mesir, negeri yang sama sekali asing baginya. Dalam novel ini, digambarkan juga perubahan-perubahan yang terjadi pada Santiago selama ia melakukan perjalanannya. Pada akhir cerita dikisahkan bahwa Santiago berhasil

  Kesuksesan novel “Sang Alkemis” terletak pada kisahnya yang sederhana namun penuh makna dan mampu menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.

  Menurut komentar banyak pembaca “Sang Alkemis” yang dirangkum dalam majalah Matabaca, Coelho melalui tokoh Santiago mampu mengajak pembacanya untuk mencari panggilan hidupnya dan kemudian berjuang mewujudkan panggilan itu (Tim Matabaca, 2006). Di tengah-tengah kemajuan teknologi dan manusia yang cenderung bersifat materialistis dan hanya mengejar nilai-nilai keduniawian, novel “Sang Alkemis” dianggap memberikan angin segar dan menginspirasi orang untuk lebih memperhatikan nilai-nilai rohani seperti relasi dengan Tuhan dan sesama (Chusnato, 2006). Salah satu pujian internasional untuk novel “Sang Alkemis” yang dimuat pada sampul bukunya terbitan Alvabet, berasal dari Philippe Douste Blazy, mantan menteri kebudayaan Prancis. Blazy menyatakan bahwa novel “Sang Alkemis” telah mendorong berjuta-juta pembacanya untuk bermimpi, hasrat untuk mencari dan menjadi dirinya sendiri (2001).

  Penulis akan menganalisis novel “Sang Alkemis” dengan menggunakan teori psikologi analitis Jung yang juga mengutamakan keseimbangan antara kesadaran dan ketidaksadaran dalam kepribadian. Penulis mencoba mendeskripsikan perjuangan tokoh utama novel “Sang Alkemis”, Santiago dalam mencari harta karun di Mesir. Penulis melihat bahwa selama melakukan perjalanan mencari harta karun, Santiago banyak mengalami perubahan- perubahan dalam kepribadiannya. Perubahan-perubahan itu tidak terjadi dalam bagi Santiago. Santiago harus mengorbankan banyak hal seperti domba-domba yang dimilikinya dan harus setia pada tujuan yang ingin dicapainya, walaupun terkadang ada banyak kesulitan yang harus diatasi. Santiago juga belajar untuk mengoptimalkan semua potensi yang ada dalam dirinya termasuk sisi ketidaksadarannya, sehingga pada akhirnya dia menjadi individu yang berkembang secara utuh.

  Proses penjang dan menyakitkan yang dialami Santiago memiliki kemiripan dengan proses pencapaian individuasi dalam psikologi analitis. Proses individuasi adalah suatu konsep kepribadian yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung dan merupakan inti dari seluruh teorinya. Proses individuasi menurut Jung yang dirangkum penulis dari beberapa buku adalah proses atau jalan unik yang ditempuh setiap orang untuk mewujudkan kepribadiannya yang asli, dimana terjadi perpaduan yang harmonis dari semua aspek dalam kepribadian manusia (Jung dalam Cremers, 1986 ; Hall & Lindzey, 1993). Kunci sukses dari proses individuasi adalah kemauan individu untuk mengenali ketidaksadarannya yang seringkali diabaikan, sehingga dapat dikembangkan secara optimal bersama dengan kesadaran untuk mencapai pribadi yang utuh. Dalam suatu proses selalu diharapkan terjadinya perubahan pada individu yang menjalani proses tersebut, demikian juga dengan proses individuasi. Dalam proses individuasi, akan terjadi perubahan dimana ego yang selama ini memegang peranan utama digantikan oleh apa yang disebut Jung sebagai “self”, yang meliputi kesadaran dan ketidaksadaran. Jika individuasi telah tercapai, maka individu akan memiliki kepribadian yang matang dan seimbang, yang tidak hanya berguna bagi dirinya sendiri tapi juga bagi relasinya dengan Tuhan dan sesama.

  Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penulis akan membandingkan perjuangan Santiago dengan proses pencapaian individuasi menurut psikologi analitis Jung. Penulis akan melihat langkah-langkah apa saja yang harus ditempuh oleh Santiago untuk dapat menemukan harta karun dan membandingkannya dengan langkah-langkah dalam mencapai proses individuasi. Penulis juga akan melihat perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada kepribadian Santiago selama melakukan perjalanan mencari harta karun.

  Penulis berharap bahwa penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada dua bidang. Yang pertama, penulis berharap bahwa penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk psikologi kepribadian terutama karena menggunakan teori psikologi analitis Jung yang belum banyak digunakan di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan titik tolak untuk dilakukannya penelitian lain secara lebih mendalam. Manfaat yang kedua ditujukan untuk masyarakat luas, supaya masyarakat dapat mewujudkan kepribadian yang utuh dimana tidak ada satu bagian yang mendominasi bagian lain dalam kepribadian.

  Melalui penelitian ini penulis berharap agar para pembaca dapat terinspirasi untuk mengaplikasikan proses individuasi dalam hidupnya seperti yang digambarkan oleh tokoh utama novel “Sang Alkemis”.

B. Rumusan Masalah 1.

  Apakah perjalanan tokoh utama novel “Sang Alkemis” dalam mencari harta karun dapat dianalogikan dengan proses pencapaian individuasi?

  2. Langkah-langkah apa saja yang digunakan tokoh utama novel “Sang Alkemis” dalam mencari harta karun dan apakah langkah yang digunakan sama dengan langkah-langkah dalam proses individuasi?

  3. Apakah ada perubahan yang terjadi pada tokoh utama novel “Sang Alkemis” selama melakukan perjalanan mencari harta karun? C.

   Tujuan Penelitian 1.

  Mendeskripsikan perjalanan tokoh utama novel “Sang Alkemis” dalam mencari harta karun dan membandingkannya dengan proses pencapaian individuasi.

  2. Mendeskripsikan langkah-langkah yang digunakan oleh tokoh utama novel “Sang Alkemis” selama mencari harta karun dan membandingkannya dengan langkah-langkah dalam proses individuasi.

  4. Mendeskripsikan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri tokoh utama novel “Sang Alkemis” selama melakukan perjalanan mencari harta karun.

D. Manfaat Penelitian 1.

  Manfaat Teoretis Untuk memberikan sumbangan pengetahuan bagi ilmu psikologi dianggap kurang dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan psikologi dan kurang mendapat perhatian. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi titik tolak untuk dilakukannya penelitian lain yang lebih mendalam.

2. Manfaat Praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat menginspirasi para pembacanya untuk dapat mewujudkan keseimbangan dalam kepribadian dan mencapai pribadi yang utuh dengan menjalani proses individuasi seperti yang digambarkan oleh tokoh utama novel “Sang Alkemis”.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengantar Psikologi Analitis Jung Individuasi merupakan inti atau tujuan akhir yang ingin dicapai dari seluruh

  teori yang dikemukakan oleh Carl Gustav Jung. Individuasi adalah suatu konsep yang cukup kompleks dan akan sangat sulit untuk memahaminya tanpa pengetahuan yang memadai mengenai dasar-dasar teori Jung yang tertuang dalam psikologi analitisnya. Berdasarkan atas hal tersebut, maka penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai prinsip dasar teori Jung, sebelum membahas tentang individuasi.

  Carl Gustav Jung mengawali karirnya sebagai seorang psikiater di Zurich. Jung sangat mengagumi Sigmund Freud dan karya-karyanya, hingga Jung menjadi murid dan sahabat setia Freud. Persahabatan antara Jung dan Freud hanya bertahan selama kurang lebih tujuh tahun, dan berakhir dengan perpecahan diantara keduanya. Perpecahan tersebut terutama disebabkan karena Jung tidak setuju dengan pandangan-pandangan Freud yang terlalu menekankan pada seksualitas, selain itu juga disebabkan karena alasan pribadi (Fordham, 1956 ; Hall & Lindzey, 1993).

  Jung menyusun teori dan metode psikoterapinya sendiri yang dinamakan dengan psikologi analitis setelah perpecahannya dengan Freud. Hubungan kerja yang cukup lama antara Jung dan Freud ternyata memberi pengaruh bagi Jung perbedaan yang bertolak belakang dengan psikoanalisa Freud. Teori-teori dalam psikologi analitis memandang manusia secara lebih positif dibandingkan dengan pikoanalisa Freud. Menurut Jung, setiap manusia memiliki kecenderungan dalam dirinya untuk dapat berkembang secara utuh seumur hidupnya (Jung dalam Cremers, 1986). Pandangan-pandangan Jung dalam psikologi analitis banyak dipengaruhi oleh ketertarikannya terhadap berbagai bidang seperti filsafat, agama, kebudayaan timur, mitologi, gnosis dan terutama alkimia. Jung menyatakan bahwa dengan mempelajari bidang-bidang tersebut, Jung dapat mengungkapkan banyak segi dari struktur kepribadian manusia secara utuh (dalam Cremers, 1986).

  Jung menggunakan istilah psike untuk menyebut keseluruhan kepribadian manusia dengan sejumlah sistem yang ada di dalamnya. Psike merupakan suatu sistem yang dinamis dan akan terus berkembang secara kreatif untuk menuju keutuhan sepanjang rentang kehidupan. Energi yang mengatur Psike disebut libido, namun konsep libido yang digunakan oleh Jung tidak sama dengan konsep libido yang dikemukakan oleh Freud. Libido dalam pandangan Jung tidak hanya energi insting yang bersifat seksual saja, melainkan memiliki pengertian yang lebih luas. Libido menurut Jung adalah energi proses hidup yang sifatnya menggerakkan berbagai hal dalam diri manusia ( dalam Sebatu, 1994). Libido memiliki peranan yang sangat penting dalam psike karena digunakan untuk dua tujuan utama. Tujuan yang pertama adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti bertahan hidup dan berkembang biak. Tujuan yang kedua adalah untuk melakukan tujuan-tujuan hidup yang lebih tinggi dalam kegiatan kultural

  Jung memandang bahwa kepribadian atau psike adalah suatu sistem yang kompleks dan terdiri dari aspek-aspek berlawanan yang masing-masing mempunyai realitas sendiri, maka agar tercapai perkembangan yang sehat dan utuh, individu harus mau mengembangkan semua potensi dalam dirinya menjadi satu kesatuan yang harmonis (Hostie, 1957). Tujuan kepribadian manusia adalah totalitas psikis dimana terdapat kerjasama antara berbagai bagian, karena dominasi yang berlebihan pada satu aspek akan menyebabkan gangguan psikis pada kepribadian. Menurut Jung banyak keputusasaan yang melanda masyarakat modern disebabkan karena manusia terlalu mengandalkan rasionya dalam segala hal, sehingga terlalu berat sebelah dalam menekankan kesadaran dengan mengorbankan ketidaksadaran (dalam Schultz, 1991). Melalui teorinya dalam psikologi analitis, Jung mencoba menawarkan suatu cara untuk mencapai kepribadian yang utuh dan seimbang dengan menjalankan individuasi yang menekankan harmonisasi berbagai bagian dalam kepribadian.

1. Struktur Kepribadian

  Jung membagi struktur kepribadian menjadi dua bagian pokok yaitu kesadaran dan ketidaksadaran. Ketidaksadaran dibagi lagi menjadi dua yaitu ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif.

a. Kesadaran

  Kesadaran adalah bagian dari psike yang di dalamnya berisi persepsi, ingatan, pikiran dan perasaan yang disadari oleh individu dengan ego sebagai pusatnya. Ego bertugas untuk melakukan kontak dengan dunia luar dan membentuk identitas pada individu (Hall & Lindzey, 1993 ; Naisaban, 2004).

b. Ketidaksadaran

  Jung (1978) menggambarkan ketidaksadaran sebagai berikut:

  Unconscious contains everything psychic that hasn’t reached the treshold of consciousness or whose energy charge isn’t sufficient to maintain it in consciousness, or that will reached consciousness only in the future. .

  Ketidaksadaran dengan kata lain adalah bagian dari psike yang berisi segala sesuatu yang belum mencapai kesadaran karena tidak memiliki cukup energi untuk mencapainya, atau hal-hal yang hanya akan mencapai kesadaran dimasa yang akan datang. Jung dalam bukunya yang lain menyebutkan bahwa ketidaksadaran sangat sedikit yang berkaitan dengan kesadaran, sehingga kebanyakan orang akan menyangkal keberadaannya, namun ketidaksadaran tetap akan termanifestasi dalam banyak hal seperti perilaku individu, hasil karya manusia dan bahkan juga dalam mimpi (1980).

  Isi dari ketidaksadaran tidak mudah dipahami oleh individu terutama yang muncul dalam bentuk mimpi, karena menggunakan bahasa simbol (Jung, 1964). Jung mengatakan bahwa sesuatu disebut sebagai simbol jika mengandung makna lebih dari yang terlihat, memiliki unsur ketidaksadaran dan tidak dapat dijelaskan secara dengan tanda. Tanda menurut Jung hanyalah sebagai pengganti atau perwakilan dari suatu benda atau peristiwa yang benar-benar mencerminkan apa yang terlihat dari luar (dalam Fordham, 1956).

  Selain dari mimpi dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar individu, Jung menambahkan bahwa simbol juga muncul pada apa yang disebut Jung sebagai sinkronisitas. Sinkronisitas adalah keterkaitan antara dua peristiwa yang tidak terjadi karena hubungan sebab akibat, namun oleh makna (Franz, 1964 ; Hart, 1997). Sinkronisitas menurut Jung dapat menghubungkan ketidaksadaran individu dengan ketidaksadaran individu lainnya (dalam Kalia, Singh dan Singh, 2002).

  Pemahaman individu terhadap simbol menurut Jung sangat penting untuk mengetahui isi dari ketidaksadaran yang berguna uintuk terwujudnya individuasi (1964).

  Ketidaksadaran menurut Jung yang dikutip oleh Fordham, memiliki peran yang sangat penting untuk perkembangan psike.

  Fordham (1956) menjelaskan bahwa “The unconscious therefore in

  Jung’s view, isn’t merely a cellar where man dumps his rubbish, but the

source of conscious and of the creative and destructive spirit of

mankind.” . Dalam ketidaksadaran terdapat aspek-aspek kreatif yang

  kalau diabaikan oleh kesadaran akan dapat mengganggu proses-proses rasional sadar dengan menguasainya dan membelokkannya ke dalam bentuk-bentuk yang menyimpang (Jung dalam Hall & Lindzey, 1993).

  Jung membagi ketidaksadaran menjadi dua bagian yaitu ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif.

1) Ketidaksadaran Pribadi

  Ketidaksadaran pribadi adalah bagian dari psike yang didalamnya terdapat hal-hal seperti pengalaman, harapan dan dorongan yang pernah disadari tetapi kemudian dilupakan atau diabaikan, serta hal-hal yang terlalu lemah untuk dibawa ke kesadaran (Hall & Lindzey, 1993).

  Fordham (1956) dalam bukunya menjelaskan bahwa isi dari ketidaksadaran pribadi dapat muncul dalam kesadaran lewat beberapa cara. Fordham menyatakan sebagai berikut:

  The memories of personal unconscious, though not entirely under the control of the will, can when repressions weakens (as for instance in sleep), be recalled. Sometimes they return of their own accord, sometimes a chance association or shock will bring them to light, sometimes they appear somewhat disguised in dreams and fantasies, sometimes especially if they are causing disturbances as in neurosis, they need to be ‘dug out’.

  Dalam ketidaksadaran pribadi terdapat kelompok perasaan, pikiran, persepsi dan ingatan yang terorganisasi yang disebut Jung dengan istilah kompleks (Fordham, 1956). Kompleks memiliki inti yang bersifat seperti magnet dan menarik berbagai pengalaman dan ide ke arahnya (Hall & Lindzey, 1993). Kompleks dapat menentukan bagaimana individu dimilikinya (Schultz, 1991). Salah satu contohnya adalah kompleks ibu. Seseorang yang memiliki kompleks ibu, pikiran, perasaan dan perbuatannya sangat didominasi oleh konsep tentang ibu.

2) Ketidaksadaran Kolektif

  Jung (dalam Kalia, Singh dan Singh, 2002) mendefinisikan ketidaksadaran kolektif sebagai berikut:

  It is the re servoir of our experiences as a species, a kind of knowledge we are all born with. And yet we can never be directly conscious of it. It influences all of our experiences and behaviors, most especially the emotional ones, but we only know about it indirectly, by looking at those influences.

  Ketidaksadaran kolektif merupakan “gudang” ingatan laten yang diwariskan oleh nenek moyang yang terlepas dari segala segi pribadi dan bersifat universal yang dapat mempengaruhi perilaku walaupun tidak dapat dilihat secara langsung.

  Manusia mewarisi kemungkinan atau kecenderungan menghidupkan kembali pengalaman generasi masa lampau yang kemudian diproyeksikan pada lingkungan, yang membuat manusia bereaksi terhadap dunia secara selektif.

  Salah satu contoh yang diberikan oleh Jung adalah kecenderungan manusia untuk takut terhadap binatang buas.

  Kecenderungan ini menurut Jung diwarisi dari pengalaman manusia purba dalam menghadapi binatang buas (Hall & Lindzey, 1993).

  Komponen utama dalam ketidaksadaran kolektif adalah

  

arketipe. Konsep ini muncul sebagai hasil penyelidikan Jung

  terhadap sejumlah dongeng, mitos dan mimpi dari berbagai kebudayaan. Jung menemukan adanya pola dasar tertentu yang sama yang muncul pada dongeng, mitos dan mimpi tersebut. Misalnya saja pola mengenai kebangkitan kembali yang muncul pada banyak kebudayaan di dunia. Pola-pola dasar ini menurut Jung merupakan warisan masa lampau yang tertanam pada psike dan bisa mengungkapkan diri secara spontan (1978).

  Secara garis besar arketipe dapat diartikan sebagai suatu bentuk pemikiran atau ide-ide yang tertanam dalam psike yang menjadi dasar pandangan individu dan diproyeksikan terhadap pengalaman individu. Meskipun arketipe berada pada taraf tidak sadar, namun pengaruhnya dapat dilihat pada beberapa hal seperti mimpi dan muncul secara tidak langsung pada hasil karya manusia.

  Ada banyak arketipe dalam psike, namun Jung menyebutkan beberapa arketipe yang pengaruhnya sangat penting bagi individu terutama dalam mencapai individuasi. Arketipe

a) Persona

  

Kata persona berasal dari bahasa latin yang berarti

  topeng yang sering dipakai berganti-ganti oleh seorang pemain drama ketika sedang mementaskan sebuah pertunjukan (Sebatu, 1994). Sesuai dengan asal katanya,

  

persona menurut Jung adalah topeng yang dipakai

  individu sebagai reaksi terhadap tuntutan-tuntutan di lingkungan luar individu (dalam Hall & Lindzey, 1993).

  Individu memakai persona dengan tujuan untuk memunculkan kesan baik pada lingkungan luar. berguna bagi individu untuk menyesuaikan

  Persona

  diri dengan situasi lingkungan yang berbeda-beda. Sebagai contohnya seorang wanita yang menjadi atasan di kantornya harus memakai persona yang membuat dirinya tegas dan disegani oleh bawahannya, namun sebagai seorang istri di rumah dia harus memakai persona yang berbeda dalam menghadapi suaminya. Individu dapat memakai lebih dari satu persona tergantung dari peranan yang harus dijalankan dalam situasi yang berbeda-beda.

  Persona merupakan aspek yang sangat penting bagi

  individu, namun kalau seseorang terlalu sering menggunakan persona, maka ia menjadi terasing dari menyebabkan kepribadian yang sebenarnya tidak berkembang, karena individu hanya berusaha untuk menampilkan kesan baik pada lingkungan luar yang belum tentu merupakan perwujudan dari kepribadian individu yang sesungguhnya (Sebatu, 1994).

b) Shadow

  Shadow atau bayang-bayang adalah sisi gelap atau sering disebut juga sebagai sisi yang jahat dalam diri manusia yang diusahakan seminimal mungkin untuk ditampilkan ke lingkungan luar. Jung menyatakan bahwa

  

arketipe ini terdiri dari insting-insting binatang yang

  diwarisi manusia dalam evolusinya dalam bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (Hall & Lindzey, 1993).

  Shadow muncul dalam bentuk pikiran, perasaan dan perilaku yang tidak menyenangkan dan seringkali tidak dapat dikendalikan oleh individu. Shadow biasanya disembunyikan dari lingkungan luar dengan memakai

  

persona , karena shadow yang ditampilkan keluar oleh

  individu akan mendapatkan celaan atau hukuman sebagai akibat dari penyimpangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu Fordham (1956) menyatakan dalam suatu masyarakat, akan semakin besar shadow yang ada dalam diri individu.

  Shadow sebenarnya juga memiliki segi positif karena didalamnya terdapat sumber-sumber spontanitas dan kreativitas yang juga penting bagi individu. Shadow tidak seharusnya disangkal karena shadow tidak mungkin dihilangkan. Menyangkal keberadaan shadow hanya akan membuat shadow muncul ke kesadaran dalam bentuk yang tidak bisa dikendalikan oleh individu. Menurut Jung, yang terbaik adalah menerima shadow sebagai bagian dari psike dan diseimbangkan dengan aspek-aspek lainnya sehingga dapat berkembang secara utuh (dalam Fordham, 1956).

c) Anima dan Animus

  Arketipe anima dan animus muncul berdasarkan pada teori bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk biseksual. Secara biologis, baik pria maupun wanita memiliki hormon yang terdapat pada lawan jenisnya, demikian juga secara psikologis. Anima adalah aspek feminim yang terdapat pada ketidaksadaran kolektif pria, sedangkan animus adalah aspek maskulin yang terdapat pada ketidaksadaran kolektif wanita (Hall & Lindzey,

   Arketipe Anima dan Animus pada umumnya muncul dalam bentuk pikiran, perasaan dan emosi yang dapat berakibat positif maupun negatif. Arketipe ini berkembang dari pengalaman individu hidup bersama lawan jenisnya.

  

Anima banyak dipengaruhi oleh pengalaman pria dengan

  ibunya, sedangkan animus banyak dipengaruhi oleh pengalaman wanita dengan ayahnya. Apabila individu merasa bahwa ayah atau ibunya memiliki pengaruh negatif terhadap dirinya, maka anima dan animus dapat muncul dalam bentuk negatif. pada pria dapat muncul dalam bentuk negatif

   Anima

  dalam bentuk seperti emosi yang tidak stabil, fantasi- fantasi erotis atau bersikap tidak rasional. Animus juga dapat muncul dalam bentuk negatif seperti sifat keras kepala, sulit dikendalikan dan sangat rasional. Selain dari pengaruh negatifnya, anima dan animus juga membawa pengaruh positif bagi individu. Arketipe ini membantu individu untuk memahami karakter lawan jenisnya dan menemukan pasangan ideal bagi individu dengan menciptakan gambaran dalam ketidaksadaran. Anima dan merupakan yang penting bagi

  animus arketipe

  perkembangan individu. Apabila individu mampu

  animus dapat menjadi pemandu bagi individu untuk mencapai individuasi (Franz, 1968).

2. Tipe Kepribadian

  Salah satu sumbangan Jung yang dianggap penting bagi ilmu psikologi adalah teorinya mengenai tipe kepribadian. Jung membedakan tipe kepribadian manusia berdasarkan sikap, yaitu cara yang digunakan individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya. Jung kemudian juga mengembangkan empat fungsi dari aktivitas mental. Fungsi kepribadian ditentukan dari aktivitas mental yang paling dominan pada individu dalam merespon lingkungannya. Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu:

a. Sikap

  Sikap dibedakan Jung menjadi dua, yaitu ekstrovert dan

  introvert. Ekstrovert adalah sikap dimana individu lebih tertarik

  kepada dunia luar. Ketertarikan ini biasanya diwujudkan dengan ketergantungan terhadap orang lain dan sangat dipengaruhi oleh hal-hal di lingkungan sekitarnya. Ada beberapa ciri khas yang terdapat pada individu yang memiliki sikap ektrovert, yang penulis rangkum dari Fordham (1956), yaitu:

  1) Memiliki kemampuan yang baik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.

  2) Pandai bersosialisasi karena sangat menyukai interaksi

  3) Menyukai kegiatan yang melibatkan banyak orang.

  4) Optimis dan sangat antusias dalam melakukan banyak hal.

  Introvert adalah sikap dimana individu lebih tertarik

  kepada dunia batinnya dan lebih dikendalikan oleh hal-hal yang ada dalam dirinya. Berikut ini adalah beberapa ciri khas sikap

  introvert yang juga dirangkum dari Fordham (1956), yaitu: 1) Lebih suka melakukan kegiatan seorang diri.

  2) Memiliki daya imajinasi yang tinggi.

  3) Suka berefleksi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dirinya.

  4) Memiliki pendirian yang kuat.