A. Penelitian Relevan - Adhy Pramudya Bab II

BAB II LANDASAN TEORI Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian Hiperrealitas dan Simulakra dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2013, tentu tidak terlepas dengan

  penelitian terdahulu yang telah dilakukan. Adapun persoalan yang dibahas dalam penelitian terdahulu ialah hiperrealitas dan simulakra yang terdapat di dalam media audio visual, media virtual, media jejaring sosial dan iklan. Meski begitu, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah karya satra (cerpen). Dengan demikian, media yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini berbeda dengan sumber data dalam penelitian terdahulu. Itulah kenapa, penelitian relevan terkait objek meterial yang digunakan dalam penelitian ini diperlukan untuk melihat perbedaan topik atau tema yang akan dibahas.

A. Penelitian Relevan

  Penelitian terkait yang membahas objek material kumpulan cerpen pilihan

  

Kompas 2013, terdapat pada artikel berjudul: Kejahatan Kemanusiaan pada

  Kumpulan Cerpen Klub Solidarias Suami Hilang: Cerpen Pilihan Kompas 2013 dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Objek atau masalah yang dikaji dalam penelitian tersebut menekankan pada persoalan kejahatan kemanusiaan yang terdapat di dalam cerita. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan mimetik, menggunakan metode kualitatif deskriptif. Berdasarkan penelitian yang disimpulkan, ditemukan 5 dari 23 cerpen yang menunjukan adanya persoalan kejahatan kemanusiaan dalam bentuk pembunuhan, penghilangan orang, dan penganiayaan. Iitulah sebabnya, persoalan-persoalan yang dibahas, akhirnya dijadikan

  7 sebagai pembelajaran sastra karena dianggap relevan bagi kalangan siswa SMA (Fatimah, 2017).

  Berbeda dengan penelitian di atas, terdapat penelitian yang membahas topik lain dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013. Peneltian tersebut berjudul: Kajian Intertekstualitas Kumpulan Cerpen Klub Solidaritas Suami Hilang Dalam Kumpulan Cerpen Kompas 2013, Nilai Pendidikan dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra di SMA. Penelitian itu menggunakan pendekatan intertekstualitas dan metode yang digunakan ialah deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil yang dibahas, diperoleh kesimpulan bahwa adanya keterjalinan dan keterlibatan antara cerpen satu dan cerpen lain yang dianalisis. Hubungan tersebut meliputi unsur instrinsik, persamaan dan perbedaan, nilai pendidikan, dan kesesuaian sebagai bahan ajar pembelajaran sastra di SMA. Dari segi unsur instrinsik, aspek intertekstualitas nampak bahwa adanya kesamaan unsur instrinsik dan nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Meski setiap cerpen dinyatakan terdapat persamaan dan perbedaan, namun paradoks tersebut membentuk hubungan intertekstualitas antar cerpen. Meskipun setiap cerpen tidak memiliki persamaan pada masing-masing aspek yang dibicarakan, akan tetapi hubungan intertekstualitas ditemukan pada beberapa aspek yang cukup kuat. Hasil penelitian tersebut memiliki keterlibatan yang erat dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yakni pembelajaran teori dan apresiasi cerita pendek di kelas XI SMA (Perdana, dkk, 2015).

  Penelitian relevan terkait objek material cerpen pilihan Kompas 2013 juga terdapat pada: Amanat Cerpen Klub Soliaritas Suami Hilang dan Aku Pembunuh Munir dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2013. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi sastra dengan metode deskriptif analitik. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa amanat dalam cerpen Aku Membunuh Munir karyaSeno Gumira Ajidarma, dimaknai sebagai upaya penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah tentang kematian tokoh pejuang HAM, Munir Said Thalib.

  Secara tersirat amanat dalam cerpen mengajak pembaca untuk tidak lupa atas peristiwa terbunuhnya Munir. Sejalan dengan itu, cerpen Klub Solidaritas Suami Hilang, hadir membawa tema keperempuanan. Cerita tentang perempuan di belahan dunia barat dan belahan timur sama-sama mengalami arsip ditinggalkan suami. Pada sisi lain tampak pula citra perempuan yang melankolis, identik dengan sisi mental yang lemah dan bentuk kepribadian yang pada umumnya peka terhadap peristiwa tertentu (Afriyanti, 2016).

  Selain beberapa penelitian relevan di atas, terdapat pula penelitian yang berjudul: Kajian Kode Bahasa, Sastra dan Budaya dalam Kumpulan Cerpen Pilihan

  

Kompas 2013, Sebagai Bahan Ajar Prosa Fiksi pada Mahasiswa Program Studi

  Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Pasundan, Bandung. Berkenaan dengan kajian kode bahasa, sastra dan budaya dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2013. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan semiotik, dengan metode deskriptif analitik. Setiawan (2017) menjelaskan bahwa di dalam kumpulan cerpen tersebut mempunyai penggunaan kode bahasa yang beragam dengan campuran bahasa Indonesia baku dan bahasa daerah. Kode sastra yang beragam dari berbagai jenis gaya bahasa yang dijadikan sebagai ciri kode sastra, digunakan masing- masing pengarang dan adanya kode budaya yang variatif dengan mengangkat kode budaya lokal sebagai perbedaan penceritaan dalam cerpennya masing-masing. Adanya kode bahasa yang terdapat di dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013, pada akhirnya menjelaskan bahwa latar belakang pengarang memberi gambaran tentang keadaan khusus kebudayaan tertentu.

  Secara ringkas, penelitian terkait yang membahas objek material kumpulan cerpen pilihan Kompas 2013 diantaranya yaitu: (1) Kejahatan Kemanusiaan pada Kumpulan Cerpen Klub Solidaritas Suami Hilang: Cerpen Pilihan Kompas 2013 dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah, pendekatan mimetik, menggunakan metode kualitatif deskriptif., (2) Kajian Intertekstualitas Kumpulan Cerpen Klub Solidaritas Suami Hilang Dalam Kumpulan Cerpen Kompas 2013, Nilai Pendidikan dan Relevansinya dengan Pembelajaran Sastra di SMA. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan intertekstualitas dan metode yang digunakan deskriptif kualitatif., (3) Amanat Cerpen Klub Soliaritas Suami Hilang dan Aku Pembunuh Munir dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2013. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi sastra, metode deskriptif analitik., (4) Kajian Kode Bahasa, Sastra dan Budaya dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2013, Sebagai Bahan Ajar Prosa Fiksi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Pasundan, Bandung. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan semiotik, metode yang digunakan deskriptif analitik.

  Adapun fokus penelitian ini adalah Hiperrealitas dan Simulakra dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2013, metode yang digunakan deskriptif kualitatif dan pendekatan hipersemiotika.

B. Hiperrealitas dalam Sastra

  Hiperrealitas adalah sebuah kontak imajiner atau mimetisme sensorial yang dapat diraba dan disalurkan ke dalam dunia simulasi. Media yang mensimulasi dapat merubah sesuatu yang nyata menjadi suatu alegori kematian. Sesuatu yang hiperreal berhasil menghapuskan bahan kontradiksi antara yang nyata dan yang imajiner.

  Adanya hiperrealitas membuat kenyataan tidak lagi terletak dalam impian atau fantasi, melainkan dalam kemiripan yang bersifat halusinasi (menganggap seolah-olah nyata) terhadap dirinya sendiri. Secara singkat, hiperrealitas dapat pula diartikan sebagai ketegangan antara realitas sebagaimana adanya dan sebagaimana harusnya, hilang. Realitas ini lebih nyata daripada yang nyata kerana telah menjadi satu-satunya eksistensi yang hadir ke permukaan. (Baudrillard, 2001: 14; Sarup, 2011: 260)

  Gagasan yang relatif sama, menganggap hiperrealitas sebagai dunia yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi objek-objek simulacrum. Objek-objek yang murni penampakan, yang tercabut dari realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tidak mempunyai realitas sebagai referensinya. Di dalam dunia seperti ini subjek sebagai consumer digiring ke dalam pengalaman ruang hiperreal, pengalaman silih bergantinya penampakan di dalam ruang, berbaur dan meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi, dan nostalgia, sehingga perbedaan antara satu sama lainnya sulit ditemukan. Secara sederhana, hiperrealitas diistilahkan sebagai replika, salinan atau tiruan yang bisa tampak ―(seakan-akan) lebih nyata dari kenyataan‖ yang disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya, sehingga menciptakan sebuah kondisi‖ meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original). Pendek kata, hiperrealitas dapat diartikan sebagai produk sejati simulasi yang menyalin keadaan nyata menjadi bentuknya sendiri di masa kini. (Piliang ,2012: 131 ; Eco, 1987: 7)

  Pendapat lain menegaskan bahwa hiperrealitas merupakan kondisi di mana keadaan seakan-akan telah melampaui realitas, suatu keadaan di mana fantasi atau mimpi-mimpi berusaha untuk diwujudkan atau direpresentasikan sehingga batas antara keduanya nyaris tidak ada. Dalam hal ini pencitraan yang direalisasikan melalui berbagai media semakin mantap mendukung eksistensi dunia maya. Semakin objek-objek tertentu terhubung ke dalam ruang virtual, maka ia tidak mampu membedakan antara kenyataan dan fantasi. Kondisi ini merupakan problematik hiperrealitas yang dapat menjauhkan kehidupan nyata sekaligus mengakibatkan kematian realitas. Pada level tertentu, hal tersebut bukan saja dapat menyamarkan realitas tetapi dapat menjadi realitas itu sendiri. Kondisi tersebut, merupakan sebuah proses simulasi yang bertahap menjadi hiperrealitas. Pada tahap ini, keberadaan simulasi dapat mengikis antara yang nyata dan khayali. Itulah sebabnya, keadaan simulasi ini benar-benar murni ke dalam dunia hiperrealitas total (Syahputra, 2011: 245 ; Martadi, 2003 ; Astuti, 2015).

  Secara singkat, hiperrealitas dapat dipahami sebagai produk yang dihasilkan karena adanya pengubahan kenyataan untuk membentuknya menjadi baru di masa kini, sebagai representasi dari kenyataan yang sebenarnya. Itulah sebabnya, hadirnya kenyataan baru ini, seringkali dianggap sebagai tiruan, salinan, fantasi dengan bentuk kemiripannya yang jauh lebih nyata daripada keadaan sebagaimana mestinya. Hiperrealitas sebagai produk daur ulang kenyataan pada akhirnya menghapus realitas murni menjadi realitas palsu dengan daur ulang yang sama sekali baru.

  Pendapat di atas telah menjelaskan bagaimana konsep hiperrealitas secara dasar. Hiperrealitas sepemahaman penulis dapat dikatakan sebagai kenyataan yang berlebih. Sehubungan dengan itu, konsep hiperrealitas secara teoritik dan hiperrealitas dalam sastra tentu mempunyai kaitan dan saling terbuka. Itulah sebabnya, beberapa ilmuan sastra juga mempunyai konsep hiperrealitas di dalam sastra.

  Karya sastra pada hakikatnya adalah hiperreality (hiperrealitas) bukan sebagai kenyataan natural yang seakan sama saja bagi setiap pembaca. Anggapan ini dilandasi bahwa sastra merupakan sebuah pemaparan gaya dan kreasi yang sepenuhnya disadari dan diolah melalui perenungan mendalam secara kontradiktif, kiasan atau sanepa. Hiperrealitas sastra adalah sebuah motif untuk menyandikan apa atau siapa. Dihubungkan dengan keberadaan gaya yang secara esensial terkait dengan kegiatan menyusun dan mengemukakan gagasan, kondisi seperti itu menyebabkan terjadinya simulacrum atau destruksi (peruskan, pemusnahan, penghancuran, pembinasaan, penghilangan) gambaran pengertian karena pengertian teremban dalam kata-kata lain yang juga mengandaikan pengertian yang lain pula. Karena itu kehendak menyusun dan mengemukakan gagasan yang dihadapkan pada berbagai kemungkinan kata-kata dengan berbagai kemungkinan gambaran maknanya. Sebab itulah bahasa seringkali dimaknai sebagai metafora (Aminudin, 1994: 8 ; Toer, 2017: xxi)

  Lain halnya dengan Endraswara (2013: viii), ia memahami hiperrealitas karena membaca karya sastra baginya sama halnya sedang mempelajari hidup yang mau tidak mau harus berhadapan dengan the other (yang lain) yang harus dimaki- maki, dicerca, ditertawakan sinis, dibohongi, dibantai, dan ditelanjangi. Mungkin itulah sebuah potret zaman edan. Membaca karya sastra baginya juga seperti sedang bertamasya, keliling dunia, yaitu dunia imajiner karena harus diuji dengan kesabaran, kadang-kadang juga mengunjungi tempat-tempat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Keragaman budaya seperti kekerasan, perselingkuhan, kedengkian, jegal menjegal, dan sebagainya selalu ada dalam dunia mungkin itu. Keasyikan memahami seluk beluk budaya dalam imajiner itulah yang merupakan pengalaman memasuki dunia hiperrealitas yang penuh dengan kelamisan (kepalsuan). Pada hakikatnya, karya sastra merupakan simbol-simbol lamis sisi gelap kemanusiaan yang dibalut dengan imajinasi (Endraswara, 2013: viii).

   Secara sederhana, hiperrealitas dalam sastra dapat dipahami sebagai kehidupan yang sudah direka ulang dengan imajinasi dan fantasi oleh pengarang.

  Kehidupan di dalam sastra pada hakikatnya ialah kenyataan yang sudah didaur ulang menjadi fiksi sehingga kenyataan yang ada di dalam sastra dapat menimbulkan sesuatu yang lain dengan kehidupan yang sebenarnya. Itulah sebabnya, kehidupan di dalam karya sastra seringkali menimbulkan penggambaran, dan efek-efek yang melampaui kenyataan karena imajinasi telah membuat realitas menjadi fiksi.

C. Simulakra dalam Sastra

  Simulakra yang mempunyai istilah lain simulasi adalah sebuah proses penataan kembali tentang keadaan alam (kenyataan) atau ruang dan waktu menjadi suasana yang lebih baru. Hadirnya kembali kenyataan baru tersebut dipandang tidak sesuai lagi dengan penampilan aslinya secara spesifik, melainkan sebuah model yang bertentangan dengan kenyataan sebenarnya. Secara singkat, simulakra adalah proses membentuk kembali tanda-tanda alam yang bertolak dari kebenaran aslinya (Baudrillard, 2015: 122).

  Gagasan yang serupa menyatakan bahwa simulakra adalah praktik media yang menata kembali kehidupan menjadi kenyataannya sendiri tanpa memiliki rujukan yang jelas terhadap kenyataan aslinya. Adanya proses membuat kenyataan baru di dalam media menjadikan kenyataan media dipandang sebagai kehidupan yang lebih asli. Dengan demikian, kehidupan di dalam media diartikan pula sebagai kehidupan yang benar seperti halnya kehidupan nyata (Sarup, 2011: 257).

  Pendapat yang sepadan menyebut simulakra sebagai dunia yang dikontruksi oleh model. Adanya simulakra dalam kebudayaan menyebabkan runtuhnya ideologi tentang humanisme dalam berbagai implosi struktural karena dihilangkan oleh simulakra atau yang dibangun atas berbagai kode. Kode yang dibangun melalui simulakra ini, pada akhirnya menjadi hiperrealitas yang tidak memiliki rujukan realitas apapun terhadap dirinya sendiri. Sejalan dengan itu simulakra dapat menghadirkan penciptaan-penciptaan tanpa referensi realitas yang jelas. Kendati bersifat imaji, namun proses simulakra tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap khalayak (Syahputra, 2011: 243).

  Sehubungan dengan hal tersebut, simulakra didefinisikan sebagai penciptaan model-model kenyataan yang tanpa asal-usul atau tanpa referensi realitas. Model realitas tersebut pada akhirnya menjadi realitas kedua yang referensinya adalah dirinya sendiri. Imajinasi, fiksi, mimpi, fantasi, dan halusinasi, bahkan dongeng yang semula dianggap sebagai lawan dari realitas, melalui proses penciptaan simulakra akhirnya menjadi realitas. Secara ringkas, melalui kemampuan mencipta (simulakra) apapun menjadi realitas, bahkan realitas sempurna yang dianggap sebagai hiperrealitas. Simulakra dengan demikian tampak seolah-olah nyata, namun sebenarnya adalah realitas artifisial (Ratna, 2012: 296).

  Secara ringkas, simulakra dapat diartikan sebagai proses terbentuknya dunia baru, di mana kenyataan tidak lagi dirujuk sebagai kebenaran, akan tetapi kebenaran itu ada pada kenyataan yang tampak baru oleh proses simulakra. Kenyataan apapun yang telah diolah, diubah, direka ulang, dan diciptakan dengan model-model simulakra dengan demikian dapat dianggap sebagai kenyataan yang seolah-olah nyata namun hakikatnya adalah imajinasi dan fantasi yang menyimpang dari kenyataan sebenarnya.

  Simulakra dapat disimpulkan sebagai proses menciptakan realitas, kenyataan atau kehidupan di dalam media. Hasil dari proses mencipta tersebut lebih jelas dianggap sebagai realitas artifisial atau realitas yang melampaui kebenaran secara nyata. Gagasan tersebut tentunya berkaitan erat dengan proses mencipta dalam media- media lain. Karya sastra ialah media yang erat hubungannya dengan bahasa dan peristiwa yang diciptakan oleh pengarang. Dengan demikian, gagasan simulakra yang hakikatnya merupakan proses menciptakan imajinasi dan fantasi, sangat dekat kaitannya dengan sastra sebagai dunia rekaan. Itulah sebabnya, beberapa pendapat tentang simulakra dalam sastra pun saling terjalin dan berhubungan dengan konsep simulakra secara dasar.

  Simulakra adalah gagasan ontologis yang dikenalkan Plato sebagai tiruan dari buadaya asli (Endraswara, 2013: 139). Proses meniru ada dalam berbagai hal, antara lain melalui simulakra. Simulakra teks sering diawali dari interteks. Intertekstualitas sendiri pertama kali digagas oleh Kristeva. Menurut Kristeva (Piliang, 2012: 118) sebuah karya seni (sastra) dibuat di dalam ruang dan waktu yang konkrit.Oleh sebab itu, mesti ada relasi antara satu teks dengan karya lainnya dalam ruang, dan antara satu teks atau karya seni dengan teks yang sebelumnya di dalam garis waktu tertentu. Sastrawan yang membaca teks lain akan terpengaruh hingga melahirkan karya baru yang mirip. Simulakra dapat juga dilakukan dengan meniru realitas budaya di sekitarnya.

  Simulakra sastra dianggap sebagai destruksi gambaran pengertian karena pengertian teremban dalam kata-kata lain yang juga mengandaikan pengertian yang lain pula. Karena itu, kehendak menyusun dan mengemukakan gagasan dalam sastra dihadapkan pada berbagai kemungkinan kata-kata dengan berbagai kemungkinan gambaran maknanya. Dalam kondisi demikian, bahasa sastra disikapi sebagai fakta yang tidak sepenuhnya bersifat sistematis dan rasional melainkan juga mengemban potensi kekuatan dan ciri figurative. Secara ringkas simulakra sastra adalah tiruan terhadap realitas. Kehidupan yang ada di dalam sastra dengan demikian sangat dekat dengan dunia kemungkinan yang jauh dari faktualitas. (Aminudin, 1997: 9 ; Endraswara, 2016: 34)

  Potensi kekuatan dan ciri figurative termanfaatkan apabila pemakai mampu mengadakan presensi atau pengahadiran (presence) gambaran makna dalam sistem tanda dengan mengatasi acuan konkretnya. Melalui denaturalisasi tersebut, sastrawan mengadakan penelusuran makna untuk menemukan kegelapan makna dan menemukan perbedaan atau jarak semantic guna menemukan pertalian hubungannya. Dalam kondisi demikian, penggunaan gaya penuturan ada dalam kondisi yang sifatnya terbuka dan serba mungkin. Sastrawan mungkin akan menggunakan gagasan dengan menggunakan realitas yang langsung mengatasi acuan konkretnya, memanfaatkan acuan konkret sebagai alat untuk mengemukakan gagasan, bukan untuk menggambarkan realitas itu sendiri, atau mungkin mengganti modus penggunaan bahasa dengan sistem tanda lain yang dianggap lebih mewakili realitas yang sebenarnya ada tetapi dalam kondisi kekosongan (Aminudin, 1997: 9).

  Berkaitan dengan hal tersebut, Abrams (Aminudin, 1997: 72) menempatkan simulakra sastra sebagai karya mimetik, yaitu sebuah imitasi dari universe. Dalam wawasan tersebut, imitasi dibedakan menjadi tiga maacam. Pertama adalah imitasi tanpa disertai upaya pengubahan tetapi justru diusahakan memperoleh kesamaan.

  Kedua, imitasi semata-mata didasarkan pada refleksi dunia pengalaman dan pengetahuan pengarangnya. Ketiga, imitasi yang oleh pengarang hanya digunakan untuk menceritakan gagasannya secara tidak langsung. Dalam hal ini imitasi bukan hanya dihubungkan dengan sesuatu yang teramati secara konkret, melainkan dapat pula dihubungkan dengan gejala yang sifatnya abstrak.

  Bagi Aminudin (1997: 73) sastra mimetik atau simulakra sastra terdapat pembandingan antara dunia imajinatif yang tertuang dalam karya sastra dengan pengalaman keseharian. Adalah hal yang wajar apabila tingkat pengalaman dan daya kritis pembaca dalam merepresentasikan atau menggambarkan kembali dunia pengalaman kehidupan sehari-hari juga ikut menentukan kelancaran dan kekayaan pemahamannya.

  Sehubungan dengan itu, Scherer dalam Toer (2017: xiii) menganggap karya sastra sebagai kreasi berbunga dari imajinasi pujangga ataupun penggalian kembali penulis masa kini, episode yang dihidupkan berulang kali dengan beribu variasi, memang mempunyai suatu ikatan faktual dengan peristiwa sejarah. Masing-masing seolah-olah ingin saling tiru. Penggambaran berbagai peristiwa yang bergerak antara realitas sejarah dan fiksi, seolah-olah membuktikan bahwa karya sastra menguntit peristiwa sejarah dengan setia, dan selanjutnya peristiwa sejarah terjadi seolah-olah meniru kembali apa yang dibayangkan oleh perangkum sastra.

  Sehubungan dengan itu sastra sebagai karya seni, tidak terlepas dengan keindahan. Keindahan sastra sendiri terletak pada penggunaan bahasa estetiknya.

  Bahasa digunakan oleh sastrawan untuk menciptakan dunia rekaan. Sastrawan dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat: sastra tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru tokoh-tokoh dunia rekaan. Mereka bercinta, melakukan tindakan kejahatan, atau bunuh diri seperti cerita dalam novel. Pembentukan dunia semacam ini, pada akhirnya akan membentuk simulakra sastra (Wellek dan Warren 2013: 109).

  Karya sastra menurut Wellek dan Warren (2013: 216) tidak memakai sistem tanda tunggal untuk menyampaikan secara konsisten suatu sistem abstraksi seperti wacana ilmiah. Sastra menyusun pola kata-kata yang unik dan tak bisa diulangi. Tiap objek dan tanda dalam sastra dipakai dengan cara yang tidak dapat diduga oleh sistem di luar sastra. Itulah sebabnya, penciptaan bahasa yang seperti itu menimbulkan peniruan realitas menggunakan simbol dan citraan yang menjadikan sastra dipandang imajinatif.

  Simulakra dalam sastra berarti sebuah proses penciptaan, daya imaji, proses mereka ulang kehidupan, sehingga tercipta dunia yang seolah-olah nyata, benar, fantastis, ilusif, namun sebenarnya merupakan fiktif belaka. Apa yang nyata sebenarnya adalah dunia yang telah melampaui kenyataan aslinya. Imajinasi di situ menjadi penting, sebab imajinasi bertugas untuk memandu cerita menjadi lebih menarik. Itulah kenapa, dunia yang sudah direka ulang melalaui imajinasi dan fantasi, akan terlihat lebih terkesan daripada realitas yang asli. Sejalan dengan hal tersebut, simulakra dalam sastra lebih menekankan proses terjadinya kenyataan yang melampaui kenyataan sebenarnya sehingga timbul dunia baru di dalamnya. Hasil dari kenyataan baru tersebut dinamakan hiperrealitas. Dengan demikian, sastra dianggap sebagai medium yang menceritakan berbagai peristiwa simulakra. D. Teori Hipersemiotika Piliang (2012: 262) mendefinisikan hipersemiotika, sebagai ―ilmu atau kajian tentang tanda yang melampaui alam, realitas, bentuk, karakter, kode, makna dan struktur‖. Kajian tersebut secara prinsipil dapat menjadi pendekatan yang berkaitan dengan segala sistem tanda di luar semiotika struktural. Hipersemiotika dapat pula dipandang sebagai metode, khususnya sebagai metode pembacaan teks (reading) atau penyingkapan kode-kode tanda (decoding). Bila strukturalisme menawarkan metode pembacaan yang statis, ahistoris, reproduktif, retrospektif, maka hipersemiotika menawarkan sebuah proses pembacaan yang melampaui, dinamis, berubah, transformatif, produktif, subversif, revolusioner, dan dekonstruktif (Piliang, 2012: 247).

  Hipersemiotika sebagai teori maupun metode pembacaan keberadaannya semakin penting dalam perubahan masyarakat dan kebudayaan ke arah masyarakat informasi dan budaya virtual (cyberculture), di mana tanda-tanda bergerak ke arah tanda-tanda yang bersifat artifisial atau virtual yang melampaui realitas itu sendiri (hypersign). Perkembangan tanda-tanda melampaui itu seiring dengan perkembangan ke arah hipermedia, hiperteks dan hiperrealitas (Piliang, 2012: 248).

  Konsepsi yang relatif sama tentang hipersemiotika menganggap tanda mempunyai jurang yang dalam antara sebuah tanda (sign) dan referensinya pada realitas (referent). Konsep, isi, atau makna dari apa yang dibicarakan atau ditulis tidak sesuai dengan realitas yang diluksiskan. Hipersemiotika juga dapat diartikan sebagai kajian tentang peran tanda-tanda yang melampaui batas realitas dan mampu menciptakan dunia hiperrealitas. Dengan kata lain, dalam kajian hipersemiotika setiap penanda memiliki petanda (makna) yang luas dan bebas, seluas dunia hiperrealitas, tergantung pada daya imajinasi dan interpretasi setiap orang yang menikmatinya. (Mardiana & Hatip, 2016 ; Raharjo & Irma, 2013)

  Fokus dalam metode hipersemiotika adalah memahami elemen-elemen tanda yang melampaui, baik dalam pengertian melampaui teks, melampaui struktur, atau melampaui realitas. Di antara fenomena dari elemen-elemen yang melampaui adalah keterputusan, diskontinuitas, perubahan, subversivitas, abnormalitas, hibriditas, superelativitas, pembalikan, perlintasan, permainan, percampuran, intertekstualitas, baik pada tingkat tanda, penanda, petanda, kode, denotasi, konotasi, ideologi dan mitos. Metode ini mencoba menyingkap elemen-elemen anti struktur, anti kode, anti- kemapanan atau anti realitas. Bila elemen-elemen melampaui itu tidak ada pada tanda atau kumpulan tanda (teks), maka metode hipersemiotika tidak akan dapat bekerja (Piliang, 2012: 295).

  Pada tingkat tanda itu sendiri, hipersemiotika merupakan upaya menyingkap elemen-elemen penanda melampaui (hyper-signifier), yaitu tanda-tanda melampaui, baik dalam pengertian palsu, menipu, daur ulang, superlatif atau artifisial. Ia juga dapat menyingkap elemen-elemen lintas semiotika (trans-semiotics), seperti pada lintas waktu (inter-sign), tanda hibrid, tanda eklektik atau tanda sinkretik. Hipersemiotika menemukan penanda melampaui dalam pengertian yang luas sebagai penanda-penanda yang palsu, daur ulang, artifisial, superlatif, hibrid, eklektik atau skizofrenik (Piliang, 2012: 295-296).

  Selain itu, fenomena tanda dalam hipersemiotika dicirikan oleh sifat-sifat yang dinamsi, terus bergerak, melintas dan bertukar-tukar, maka kajian tentang aturan, konvensi, aturan main atau kode di dalam semiotika struktural, yang cenderung dipandang bersifat tetap, stabil, tak berubah dan mengikat. Untuk itu, istilah kode- hiper (hyper-code) digunakan di sini untuk menjelaskan seperangkat, aturan, konvensi, aturan main, atau kode yang melampaui kode-kode yang baku atau konvensional. Oleh karena itu, melalui metode hipersemiotika, yang harus ditemukan bukanlah kode yang mapan dan bertahan lama (durable) sebagaimana di dalam semiotika struktural, melainkan kode-kode baru yang disebut oleh Eco (Piliang, 2012: 296), sebagai idiolect dan cara kerjanya disebut overcoding. Seperti yang dikemukakan pula oleh Barthes (Piliang, 2012: 296), bahwa kajian semiotika telah mengalami pergeseran dari awalnya sebagai ―kajian tanda dan makna‖ ke arah ―kajian kode‖ itu sendiri, yaitu berbagai kode baru yang tercipta di dalam proses pertandaan, yang baru, berbeda, bergerak dan bertransformasi.

  Secara sederhana, hipersemiotika dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang berlebih atau melampaui. Apa yang dikatakan melampaui atau berlebih ialah keadaan alam atau realitas yang telah mengalami daur ulang karena diproses oleh media. Realitas atau keadaan yang telah didaur ulang, digubah, direkayasa, menjadi kenyataan yang imajinatif dan artifisial biasa dinamakan hiperrealitas. Oleh karena itu, realitas berlebihan tersebut, dapat dipandang sebagai tanda yang melampaui (hiper sign). Itulah sebabnya, tanda-tanda yang mengandung muatan lebih atau melampaui keadaan asli tersebut, dapat dikaji menggunakan teori hipersemiotika. Hipersemiotika dengan demikian, bisa dikatakan sebagai ilmu yang dapat mengkaji dunia hiperrealitas.